Tulisan Berjalan

NIKMATILAH PEKERJAANMU NISCAYA KAMU AKAN MENEMUKAN KEBAHAGIAAN YG TERPENDAM
Tampilkan postingan dengan label Mayyit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mayyit. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 14 April 2012

Baca Qur'an, Shadaqah, Do'a dan Tahlilan Tak Bermanfaat Bagi Orang Mati, Apa Betul ???


Do’a, Bacaan Al-Qur’an, Shadaqoh & Tahlil untuk Orang Mati
Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:
وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى
Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)
Juga hadits Nabi MUhammad SAW:
اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
Apabila anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.
Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :
وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن
Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)
Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.
وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ
Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ
Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).
Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.
Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.
Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.
Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:
عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ
Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.
Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.
KH Nuril Huda
Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama 

Sabtu, 07 April 2012

Mengurus Mayyit

1. Lafadz Niat Memandikan Mayyit :
MAWAITUL GUSLA HAAZIHIL JANAAZATI FARDHAN LILLAAHI TA'ALA

2. Jikalau Simayyit Meninggal Dalam Keadaan Junub, niatnya :
NAWAITUL GUSLA HAAZIHIL JANAAZATI MA'AL JADASYIL AKBARI ARFA'A BIHII FARDHAN LILLAAHI TA'ALA

3. Inilah Bacaan Jika dimandikan mayyit disiram air dari atas kepala sampai kakinya 3x, yaitu :
GUFRAANAKA YAA ALLAH RABBANAA WAILAIKAL MASHIIR

4. Kemudian dibalik kekiri dan disiram bagian kanannya 3x dari kepala sampai kakinya, bacaan waktu menyiram :
GUFRAANAKA YAA RAHMAN RABBANAA WAILAIKAL MASHIIR

5. Kemudian dibalik kesebelah kanan lalu disiram bagian badan sebelah kiri dari kepala sampai kakinya dan dibaca :
GUFRAANAKA YAA RAHIIM RABBANAA WAILAIKAL MASHIIR

6. Kemudian dengan perlahan dibalik sampai belakangnya diatas, kemudian disiram air 3x dari kepala sampai kakinya dan dibaca :
GUFRAANAKAL HAMDU RABBANAA WAILAIKAL MASHIIR

7. Tidak boleh mayyit laki-laki dimandikan oleh wanita bagitupun sebaliknya kecuali darurat. Kemudian diwudhu'kan lafadz niatnya :
NAWAITUL WUDHUUA LIHAAZIHIL JANAAZATI FARDHAN LILLAAHI TA'ALA

8. Lafadz Niat Sholat Janazah
USHALLII ALAA HAAZIHIL JANAAZATA ARBA'A TAKBIIRAATIN FARDHAL KIFAAYATI LILLAAHI TA'ALA

9. Lafadz Niat Sholat Ghaib :
USHALLII ALAL JANAAZATIL GAAIBATI ARBA'A TAKBIIRAATIN FARDHAL KIFAAYATI LILLAAHI TA'ALA ( TAMBAH MA'MUMAN JIKA MA'MUM)

10. Sesudah Takbir ke 2 baca :
ALLAAHUMMAH SALLII ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN WA'ALAA AALISAYYIDINAA MUHAMMADIN. KAMAA SHALLAITA ALAA SAYYIDINA IBRAAHIIM WA'ALAA AALI SAYYIDINAA IBRAAHIIM. WABAARIK ALAA SAYYIDINA MUHAMMADIN WA'ALAA AALI SAYYIDINA MUHAMMADIN. KAMAA BAARAKTA ALAA SAYYIDINAA IBRAAHIIM WA 'ALAA AALI SAYYIDINA IBRAAHIIM. FIL 'AALAMIINA INNAKA HAMIIDUN MAJIID

11. Setelah Takbir ke 3 baca :
ALLAAHUMMAGFIRLAHU WARHAMHU WA'AAFIHII  WA'FUANHU
( Jika mayyit wanita HU diganti HA)


12. Setelah Takbir ke 4 baca :
ALLAAHUMMAH LAA TAHRIMNAA AJRAHU WALAA TAFTINAA BA'DAHU WAGFIRLANAA WALAHU WALI IHWAANINNAL LADZIINA SABAQUUNAA BIL IIMAN. WALAA TAJ'AL FII QULUUBINAA GILLAN LILLADZIINA AAMANU. INNAKA RAUUFUN RAHIIM


(Bersambung....)




Jumat, 24 Februari 2012

Pendapat Imam Syafi'i Tentang Orang Yang Meninggalkan Sholat


AddThis Social Bookmark Button
CetakPDF
meninggalkan_shalatPara ulama seringkali membahas masalah ini tatkala memasuki bahasan shalat, apakah orang yang meninggalkan shalat masih muslim ataukah bukan, alias “kafir”. Kalau mengingkari kewajiban shalat, tidak diragukan lagi kafirnya. Namun yang dibahas adalah jika ia tidak memiliki amalan shalat, padahal mengaku muslim (di KTP), artinya ia meninggalkan shalat takaasulan (malas-malasan).
Sebagian orang memahami bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat. Namun yang tepat dalam hal ini, Imam Syafi’i adalah di antara ulama yang menyatakan kafirnya. Sedangkan kesimpulan bahwa beliau tidak mengkafirkan, itu tidak secara nash dari beliau. Dan sebenarnya hanya kesimpulan dari para ulama madzhab Syafi’i karena melihat indikasi dari perkataan beliau, bukan dari perkataan Imam Syafi’i secara tegas.
Imam Ath Thohawi rahimahullah telah menyandarkan perkataan bahwa Imam Asy Syafi’i menyatakan meninggalkan shalat itu kafir. Ath Thohawi berkata dalam Musykilul Atsar (4: 228),
و قد اختلف أهل العلم في تارك الصلاة كما ذكرنا , فجعله بعضهم بذلك مرتدا عن الإسلام , و جعل حكمه حكم ما يستتاب في ذلك , فإن تاب وإلا قتل , منهم الشافعي رحمة الله تعالي عليه
“Para ulama telah berselisih pendapat dalam masalah hukum meninggalkan shalat sebagaimana yang pernah kami sebutkan. Sebagian ulama ada yang menyatakan orang yang meninggalkan shalat berarti murtad dari Islam dan ia pun harus dimintai taubat. Jika tidak bertaubat, ia dibunuh. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Asy Syafi’irahimahullah.”
Pendapat yang menyatakan kafirnya orang yang meninggalkan shalat didukung oleh Al Qur’an, hadits dan ijma’ (kesepakatan) para sahabat.
Allah Ta’ala berfirman,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam : 59-60)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)
Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas, sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim, namun tempat orang-orang kafir.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257).
Umar bin Khottob mengatakan,
لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.” Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan) sahabat.
Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)
Ibnul Qayyim mengatakan, ”Tidakkah seseorang itu malu dengan mengingkari pendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah dan kesepakatan sahabat. Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang memberi taufik).” (Ash Sholah, hal. 56)
Adapun orang yang kadang shalat, kadang tidak, ini dihukumi telah melakukan dosa besar bahkan satu shalat saja yang ditinggalkan itu lebih besar dari dosa zina, dosa membunuh, dosa meminum minuman keras dan dosa besar lainnya. Rincian akan hal ini telah dibahas di rumaysho.com dalam tulisan: Dosa Meninggalkan Shalat Limat Waktu Lebih Besar dari Dosa Berzina
Jika sudah tahu besarnya dosa meninggalkan shalat, kenapa masih enggan melaksanakannya dan seringnya bolong-bolong (kadang shalat dan kadang tidak)?
Moga Allah beri hidayah demi hidayah untuk terus beramal sholeh dan melakukan yang wajib.

Referensi:
Al Manhaj As Salafi ‘inda Asy Syaikh Nashiruddin Al Albani, ‘Amr bin ‘Abdul Mun’im Salim
Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qoyyim, terbitan Dar Al Imam Ahmad