Tulisan Berjalan

NIKMATILAH PEKERJAANMU NISCAYA KAMU AKAN MENEMUKAN KEBAHAGIAAN YG TERPENDAM

Mutiara Hikmah


Gantungkan Cita-Citamu Setinggi Langit





Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah ketika menerangkan ucapan Abu Thayyib Al-Mutanabbi mengatakan: “Aku tidak menganggap aib-aib manusia sebagai kekurangan, seperti kurangnya orang-orang yang mampu mencapai kesempurnaan.”


Beliau rahimahullah berkata: “Seyogianya orang yang berakal berusah menyempurnakan dirinya sampai pada batas maksimal yang ia mampu. Seandainya digambarkan kepada anak Adam dirinya dapat naik ke atas langit, sungguh aku memandang kerelaanya tinggal di bumi ini merupakan seburuk-buruknya kekurangan. Jika saja kenabian dapat diperoleh dengan usaha yang sungguh-sungguh, niscaya aku memandang orang-orang yang meninggalkan upaya dalam mendapatkannya berada pada puncak kerendahan. Perjalanan hidup yang baik, menurut para ahli hikmah, adalah keluarnya suatu jiwa menuju puncak kesempurnaan yang mungkin dalam keilmuan dan amalan.”
Beliau berkata: “Secara ringkas, tidaklah ia tinggalkan satu keutamaan pun yang mungkin untuk dia raih melainkan ia berusaha mendapatkannya. Karena sesungguhnya merasa cukup (dalam hal ini, pen.) adalah kondisi orang-orang yang rendah. Maka jadilah dirimu seorang yang kedua kakinya berpijak di atas tanah, akan tetapi cita-citanya berada pada bintang Tsurayya.
Jika engkau mampu untuk melampaui seluruh ulama dan orang-orang yang zuhud, maka lakukanlah. Karena sesungguhnya mereka adalah lelaki dan engkau pun juga lelaki, dan tidaklah pemalas itu bermalas-malasan melainkan karena rendahnya keinginan dan hinanya cita-citanya.
Ketahuilah, sungguh engkau berada pada medan pertempuran, sedangkan waktu itu akan berlalu dengan cepat. Maka janganlah engkau kekal dalam kemalasan. Tidaklah sesuatu itu dapat terluput melainkan karena kemalasan, dan tidaklah seseorang dapat meraih apa yang dicapainya melainkan karena kesungguhan dan tekadnya yang bulat.”



Para Ulama Dalam Berjihad Fiisabillillah



ari 


Hammad bin Salamah diriwayatkan bahwa ia berkata: “Ali bin Zaid telah menceritakan kepada kami, dari Ibnul Musayyab bahwa ia berkata: “ketika Shuhaib pergi berhijrah. Ternyata ia diikuti oleh sekelompok orang. Maka beliau langsung turun dari kendaraannya dan menyiapkan anak panahnya seraya berkata: “Kamu sekalian pasti tahu bahwa aku adalah orang yang paling mahir memanah di antara kita. Demi Allah, kalau kalian mencoba mendekat, pasti akan aku panah dengan seluruh anak panahku, kemudian kutebas dengan pedangku. Kalau kalian suka, akan kutunjukkan dimana harta bendaku (kuberikan kepada kalian), tapi kalian biarkan aku meneruskan perjalanan ini.” Mereka menjawab: “Kami mau.” Tatkala beliau berjumpa dengan Nabi Shallallahu’alaihi wasallam, Nabi bersabda: “Perniagaan itu telah menguntunkan Abu Yahya”. Setelah itu turunlah firman Allah: “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah” (Al-Baqarah:207) (“Siyaaru A’laamin Nubalaa’ II/23)

Al-Waqidi berkata: “Abdullah bin Nafie’ telah menceritakan kepada kami, dari ayahandanya, dari Ibnu Umar bahwa beliau berkata: “Aku pernah melihat Ammar pada hari peperangan Yamamah berada di atas sebuah batu besar, dan berteriak: “Wahai kaum muslimin, apakah kamu sekalian akan lari dari Jannah? Saya Ammar bin Yasir, kemarilah kalian semua! Aku melihat kupingnya telah terpotong, namun masih tergantung-gantung. Meski demikian, beliau tetap berperang dengan ganas sekali.” (Siyaaru A’laamin Nubalaa’ I:422)
Hammad bin Salamah berkata: “Tsabit telah mengabarkan kepada kami, bahwa Shilah pernah mengikuti peperangan bersama dengan anaknya. Ia berkata: “wahai anakku, majulah dan berperanglah hingga aku dapat pahala Allah dari kesabaranku atas kehilanganmu. Maka sang anakpun maju berperang hingga mati terbunuh. Kemudian Shilah sendiri juga maju berperang dan terbunuh. Maka kaum wanitapun berkumpul di sisi istrinya yaitu Mu’adzah. Namun si istri justru berkata: “Selamat datang kuucapkan kepadamu, bila kalian datang untuk memberi selamat kepadaku. Tapi kalau kalian datang untuk tujuan lain (berbelasungkawa), maka pulanglah kalian semua.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ III:498)
Dari Ibu Uyainah, dari Ibnu Abi Khalid, dari bekas budak Khalid bin Al-Walid diriwayatkan, bahwa Khalid pernah berkata: “Tidak ada malam di mana aku (seolah-olah) dianugerahi “bulan madu” yang aku sukai, lebih daripada malam yang dingin membeku dan penuh salju, di tengah laskar yang menunggu pagi untuk menyerang musuh.” (Siyaaru A’laamin Nubalaa’ I:375)
Dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit, dari ayahandanya diriwayatkan bahwa ia berkata: “Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah mengutusku pada peperangan Uhud untuk mencari Sa’ad bin Rabie’. Beliau Shallallahu’alaihi wasallam berpesan : “Kalau engkau melihatnya, sampaikan salamku kepadanya dan tanyakan kepadanya: “Apakah yang engkau rasakan?” Maka akupun mengelilingi mayat-mayat yang bergelimpangan disana, dan kudapatkan dirinya. Ia berada pada akhir kehidupannya. Sekujur tubuhnya dipenuhi tujuh puluh sabetan pedang. Akupun mengabarkan kepadanya apa yang disabdakan Nabi. Ia berkata: “Semoga keselamatan atas dir Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan atas diri kamu juga. Katakanlah kepada beliau: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mencium bau jannah. Dan katakan juga kepada kaumku, Al-Anshar:”Tak ada alasan lagi bagi kalian untuk pulang dengan selamat kepada Rasulullah, sementara kamu masih memiliki pedang yang tajam. “Perawi berkata: “Setelah itu, beliau -Rahimahullah-pun wafat.” (Siyaaru A’laamin Nubalaa’ I:319)
Dari Abdullah bin Muawiyyah Al-Jumahi diriwayatkan bahwa ia berkata: “Dhiraar bin Amru telah menceritakan kepada kami, dari Abu Raafie’ bahwa ia berkata:”Umar pernah mengerahkan pasukan menuju Romawi. Namun pasukan Romawi berhasil menawan Abdullah bin Hudzafah dan memboyongnya kepada raja mereka. Mereka berkata: “Ini adalah salah seorang sahabat Muhammad (Shallallahu’alaihi wasallam).” Sang raja pun bertanya: “Maukah engkau masuk agama Nashrani, nanti kuberikan kepadamu setengah kerajaanku?” Beliau menjawab: “Tidak. Meskipun engkau memberikan seluruh kerajaanmu (yang lain) dan bahkan seluruh kerajaan Arab, aku tak akan bergeming sedikitpun dari agama Muhammad (Islam) ini.” Sang Raja mengancam:”Kalau begitu, kamu akan saya bunuh.” Beliau menanggapi: “itu terserah kamu saja.” Maka sang rajapun menyuruh beliau untuk disalib. Lalu ia memerintahkan para pemanah: “Tembakkan anak panah kalian ke dekat badannya.” Itu dikatakan sambil terus memerintahkan beliau masuk Nashrani. Namun beliau tetap menolak. Maka beliaupun diturunkan. Kemudiansang raja menyuruh diambilkan panci untuk diisi air panas yang mendidih. Lalu diperintahkan dua orang tawanan dari kalangan muslimin untuk didatangkan ke situ. Setelah itu salah seorang di antaranya diperintahkan untuk dicemplungkan ke dalam air panas tersebut sambil terus menawarkan kepada beliau masuk agama Nashrani, namun beliau tetap menolak. Tetapi kemudian beliau menangis. Segera dikhabarkan kepada si raja: “Dia sekarang menangis.” Mereka mengira ia sudah ketakutan, sehingga sang raja langsung memerintahkan: “Kembalikan ia ke hadapanku.” Lalu ia bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Beliau menjawab: “Nyawaku yang cuma satu ini, yang apabila dimasukkan ke dalam api tersebut akan terbakas habis. Aku menginginkan agar aku memiliki nyawa sebanyak rambut di kepalaku, untuk kukorbankan di jalan Allah dengan dimasukkan ke dalam api itu. “Sang thagut itu pun langsung berkata:”Maukah engkau mencium kepalaku, agar engkau saya bebaskan?” Beliau menjawab: “Bagaimana bila sekalian dengan seluruh tawanan?” Sang raja menjawab: “Boleh juga.” Maka beliaupun mencium kepala raja tersebut dan berhasil membawa kembali para tawanan menghadap Umar. Umar lalu berkata: “Sudah keharusan bagi setiap muslim untuk mencium kepala Ibnu Hudzafah, dan saya yang akan memulainya. Maka beliaupun mencium kepala Ibnu Hudzafah.” (Siyaaru A’laamin Nubalaa’ II:14)
Dari Hammad bin Salamah, dari Tsabit bin Ali bin Zaid, dari Anas diriwayatkan bahwa ia berkata: “Abu Thalhah pernah membaca firman Allah :
Dan berperanglah dengan rasa berat maupun ringan. “(At-Taubah : 42) 
Beliau berkomentar: “Allah telah memerintahkan kita untuk berperang, baik yang tua maupun yang muda, maka siapkanlah perbekalanku.” Anak-anak beliau menanggapi: “Tetapi engkau telah ikut berperang dimasa hidup Rasulullah shallallahu’laihi wasallam, Abu Bakar dan Umar, sekarang biar kami saja yang berperang menggantikan engkau?” Perawi menuturkan: “Maka beliaupun ikut dalam peperangan bahari (laut) hingga terbunuh. Namun mereka baru mendapatkan pulau untuk menguburkan jasad beliau setelah tujuh hari. Namun demikian,jasad beliau belum berubah membau.” (Siyaru A’laamin Nubalaa’ II:34)
Sumber : Aina Nahnu Min Akhlaaqis Salaf, Abdul Azis bin Nashir Al-Jalil Baha’uddien ‘Aqiel, Edisi  Indonesia “Panduan Akhlak Salaf” alih bahasa : Abu Umar Basyir Al-Medani



Hafalan Al-Qur’an Terlebih Dahulu!



Abu Umar bin Abdil Barr rahimahullah berkata:
“Menuntut ilmu itu ada tahapan-tahapannya. Ada marhalah-marhalah dan tingkatan-tingkatannya. Tidak sepantasnya bagi penuntut ilmu untuk melanggar/melampaui urutan-urutan tersebut. Barangsiapa secara sekaligus melanggarnya, berarti telah melanggar jalan yang telah ditempuh oleh as-salafus shalih rahimahumullah. Dan barangsiapa yang melanggar jalan yang mereka tempuh secara sengaja, maka dia telah salah jalan, dan siapa saja yang melanggarnya karena sebab ijtihad maka dia telah tergelincir. Ilmu yang pertama kali dipelajari adalah menghafal Kitabullah Azza wa Jalla serta berusaha memahaminya. Segala hal yang dapat membantu dalam memahaminya juga merupakan suatu kewajiban untuk dipelajari bersamaan dengannya. Saya tidak mengatakan bahwa wajib untuk menghafal keseluruhannya. Namun saya katakan bahwasanya hal itu adalah kewajiban yang mesti bagi orang yang ingin menjadi seorang yang alim, dan bukan termasuk dari bab kewajiban yang diharuskan.”
Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah berkata:
“Semestinya seorang penuntut ilmu memulai dengan menghafal Kitabullah Azza wa Jalla, di mana itu merupakan ilmu yang paling mulia dan yang paling utama untuk didahulukan & dikedepankan.”
Al-Hafidz An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Yang pertama kali dimulai adalah menghafal Al-Qur’an yang mulia, di mana itu adalah ilmu yang terpenting di antara ilmu-ilmu yang ada. Adalah para salaf dahulu tidak mengajarkan ilmu-ilmu hadits dan fiqih kecuali kepada orang yang telah menghafal Al-Qur’an. Apabila telah menghafalnya, hendaklah waspada dari menyibukkan diri dengan ilmu hadits dan fiqih serta selain keduanya dengan kesibukan yang dapat menyebabkan lupa terhadap sesuatu dari Al-Qur’an tersebut, atau waspadalah dari hal-hal yang dapat menyeret pada kelalaian terhadapnya (Al-Qur’an).”
(An-Nubadz fi Adabi Thalabil ‘Ilmi hal. 60-64)
Sumber: Majalah Asy Syari’ah, no.51/IV/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.


Bersabar Mencari Ilmu & Menjaga Kehormatan











Berpisah dengan kampung halaman sungguh berat rasanya, hati pun seakan merintih kesakitan. Tatkala Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa ‘ala aalihi wasallam terpaksa meninggalkan kota makkah, beliau pun menatapnya sambil berkata (yg artinya),

“Demi Alloh, aku benar-benar akan meninggalkanmu sedang aku tahu pasti bahwa engkau adalah bumi yang paling dicintai Alloh dan paling mulia disisiNya…Kalaulah bukan karena pendudukmu yang mengusirku maka aku tidak akan keluar darimu.”
Para Ulama pun telah menghadapi segalanya selama di perantauan, dan itu semua tidak mematahkan semangat mereka dalam mendari ilmu. Umpamanya Imam Ahmad, ketika beliau pergi mengunjungi ‘Abdurrozzaq Ash-Shon’ani di yaman (padahal beliau Imam Ahmad berdiam di Baghdad), beliau pun kehabisan bekal di tengah jalan, beliau memperkerjakan dirinya (padahal beliau adalah seorang ‘alim besar yang disegani) pada orang-orang yang bisa mengantarkannya hingga beliau tiba di kota shon’a. Sudah berulang kali beliau ditawari bantuan materi oleh sahabat-sahabatnya, namun beliau tidak mau mengambilnya sedikitpun.{Manaqib Imam Ahmad, Ibnul Jauzy hal.226}
Suatu ketika Imam Ahmad menggadaikan terompahnya pada seorang tukang roti demi mendapatkan makanan darinya sewaktu beliau keluar meninggalkan negeri yaman. Ketika menuturkan tentang berbagai cobaan berat yang dialami Imam Ahmad selama perjalanannya ke yaman hingga menetap di sana beberapa waktu untuk mencari ilmu dan mencatat hadits, Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata,”Suatu ketika pakaian beliau dicuri orang sedangkan beliau ketika itu berada di yaman. Maka beliau pun duduk termangu di dalam rumah dan menutup pintunya. Para sahabat beliau pun merasa kehilangan, lalu mereka mendatangi beliau dan menanyakan kabar beliau. Maka beliau pun menceritakan apa yang beliau alami, serta-merta mereka menyodorkan emas kepada beliau namun beliau menolaknya, dan hanya mengambil sekeping uang dinar dari mereka sebagai imbalan atas kitab yang beliau tulis untuk mereka. Jadi satu dinar tersebut beliau terima sebagai upah menyalin kitab untuk mereka. Semoga Alloh ‘Azza wa Jalla merahmati beliau dengan rahmat yang seluas-luasnya.
Sumber: Buku “Langkah Pasti Menuju Bahagia”, DR. Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qosim (khothib dan Imam Masjid Nabawi), pustaka At-Tibyan.



Mengamalkan Ilmu









Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Engkau tidak akan menjadi seorang alim hingga engkau menjadi orang yang belajar. Dan engkau tidak dianggap alim tentang suatu ilmu, sampai engkau mengamalkannya.”
Ali radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Ilmu membisikkan untuk diamalkan, kalau seseorang menyambut (maka ilmu tersebut akan bertahan bersama dirinya). Bila tidak demikian, maka ilmu itu akan pergi.”
Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:
“Seorang alim senantiasa dalam keadaan bodoh hingga dia mengamalkan ilmunya. Bila dia sudah mengamalkannya, barulah dia menjadi alim.”
(Diambil dari ‘Awa’iq Ath-Thalab, hal. 17-18)
Sumber: Majalah Asy Syari’ah, no.45/IV/1429 H/2008, rubrik Permata Salaf.


Perkataan Hikmah Ali bin Abi Thalib




Dari Abdu Khair dari Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kebaikan itu bukan dengan bertambahnya harta dan anak tetapi kebaikan itu adalah bertambah banyaknya amal dan besarnya belas kasih. Tidak ada kebaikan di dunia kecuali milik salah satu dari dua orang, yaitu orang yang berbuat dosa lalu dia mengiringinya dengan taubat, atau orang yang bersegera dalam kebaikan-kebaikan. Amal yang disertai takwa tidaklah (berpahala) sedikit, bagaimana mungkin amalan yang pasti diterima itu (berpahala) sedikit?.” (Shifatush Shafwah, I/321).


Dari Muhajir bin Umair berkata, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takuti adalah mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Mengikuti hawa nafsu bisa menghalangi kebenaran, sedangkan panjang angan-angan bisa melupakan seseorang dari akhirat. Ketahuilah bahwa dunia berpaling menjauh dan akhirat kian mendekat, dan masing-masing memiliki pengikut maka jadilah kalian pengikut akhirat, dan jangan menjadi pengikut dunia. Sesungguhnya hari ini adalah waktu untuk beramal tanpa ada hisab, dan esok (di akhirat) adalah waktu hisab bukan waktu untuk beramal.” (Shifatush Shafwah , I/321-322).

Dari Ashim bin Dhamrah, dari Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketahuilah, Sesungguhnya orang fakih adalah orang yang tidak membuat manusia putus asa dari rahmat Allah, tidak membuat mereka merasa aman dari adzab-Nya dan tidak terlalu memudahkan mereka untuk bermaksiat kepada-Nya serta tidak meninggalkan al Qur’an karena benci dengan mencari selain al Qur’an. Tidak ada kebaikan di dalam ibadah yang tidak disertai dengan ilmu. Tidak ada kebaikan pada ilmu yang tidak disertai dengan pemahaman dan tidak ada kebaikan di dalam membaca yang tidak disertai dengan tadabbur.” [Shifatush Shafwah, I/325-326]



Perkataan Hikmah Ali bin Abi Thalib



Dari Abdu Khair dari Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kebaikan itu bukan dengan bertambahnya harta dan anak tetapi kebaikan itu adalah bertambah banyaknya amal dan besarnya belas kasih. Tidak ada kebaikan di dunia kecuali milik salah satu dari dua orang, yaitu orang yang berbuat dosa lalu dia mengiringinya dengan taubat, atau orang yang bersegera dalam kebaikan-kebaikan. Amal yang disertai takwa tidaklah (berpahala) sedikit, bagaimana mungkin amalan yang pasti diterima itu (berpahala) sedikit?.” (Shifatush Shafwah, I/321).
Dari Muhajir bin Umair berkata, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takuti adalah mengikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Mengikuti hawa nafsu bisa menghalangi kebenaran, sedangkan panjang angan-angan bisa melupakan seseorang dari akhirat. Ketahuilah bahwa dunia berpaling menjauh dan akhirat kian mendekat, dan masing-masing memiliki pengikut maka jadilah kalian pengikut akhirat, dan jangan menjadi pengikut dunia. Sesungguhnya hari ini adalah waktu untuk beramal tanpa ada hisab, dan esok (di akhirat) adalah waktu hisab bukan waktu untuk beramal.” (Shifatush Shafwah , I/321-322).
Dari Ashim bin Dhamrah, dari Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketahuilah, Sesungguhnya orang fakih adalah orang yang tidak membuat manusia putus asa dari rahmat Allah, tidak membuat mereka merasa aman dari adzab-Nya dan tidak terlalu memudahkan mereka untuk bermaksiat kepada-Nya serta tidak meninggalkan al Qur’an karena benci dengan mencari selain al Qur’an. Tidak ada kebaikan di dalam ibadah yang tidak disertai dengan ilmu. Tidak ada kebaikan pada ilmu yang tidak disertai dengan pemahaman dan tidak ada kebaikan di dalam membaca yang tidak disertai dengan tadabbur.” [Shifatush Shafwah, I/325-326]

Bayangkan Tempat Pemberhentianmu




“Bayangkan kala Anda berdiri tanpa busana kala amal diperlihatkan…
Merasa terasing, resah dan bimbang…
Saat neraka menyala-nyala karena murka dan marah…
Kepada para pendosa, dan Robb Pemilik ‘Arsy juga murka…
‘Bacalah catatan amalmu wahai hambaKu dengan perlahan,
Apakah kau melihat adanya satu huruf pun yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya?’
Kala kau baca, kau tidak akan mengingkari bacaan itu…
Laksana pengakuan orang yang tahu segala sesuatu dengan sebenarnya…
Sang Maha Mulia menyerukan: ‘Ambil orang itu wahai para malaikatKu…
Bawalah dia ke neraka dengan kehausan…
Kelak mereka akan bersama-sama berada dalam neraka yang berkobar…’
Sementara orang-orang mukmin menempati negeri keabadian…”
{At-Tadzkiroh, Al-Imam Al-Qurthubi, hal. 206-207}
*Dikutip dari Buku “Prahara Padang Mahsyar” Dr. Ahmad Musthofa Mutawalli, Darul Ilmi Publishing, hal.64-65



Keutamaan Berjabat Tangan karena Allah















Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, “Berjabat tangan itu dapat menambah kecintaan.”

Al-Imam Mujahid rahimahullah berkata, “Telah sampai kepadaku bahwasanya apabila dua orang yang saling mencintai (karena Aklah Subhanahu wa Ta’ala) saling melihat, kemudian salah satunya tertawa kepada sahabatnya dan keduanya saling berjabat tangan, maka berguguranlah kesalahan-kesalahan keduanya sebagaimana gugurnya daun-daun dari pepohonan.”
Seseorang berkata kepada beliau, “Sungguh ini merupakan amalan yang ringan sekali.” Beliau pun menyahut, “Kamu katakan ringan?! Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.” (Al-Anfal: 63)
[Jami'ul 'Ulum wal Hikam, hal. 291]
Sumber: Majalah Asy Syariah, No. 60/V/1431 H/2010, rubrik Permata Salaf.


MUTIARA KATA, 27 JUNI 2012


Wahai anakku! Jagalah ucapanmu! Sesungguhnya diantara perkataan itu ada yang lebih tajam daripada sabetan pedang, lebih berat daripada batu besar, lebih pahit daripada empedu dan lebih dalam menusuk hati daripada tusukan jarum yang sangat halus sekalipun.


(Salah seorang ahli hikmah berwasiat kepada salah seorang anaknya)

Tidak ada komentar: