Oleh Ustadz Hawin Murtadlo
(Arrahmah.com) – Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya menerangkan,
“Orang-orang sebelum kalian telah dibinasakan karena terlalu banyak bertanya dan menyelisihi nabi-nabi mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Ketika turun ayat yang mewajibkan haji, seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?”
Beliau mengabaikan pertanyaan orang itu. Orang itu kembali bertanya dua atau tiga kali.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
“Tidakkah engkau khawatir aku menjawab ya? Demi Allah, andaikata kujawab ya, tentulah menjadi wajib! Dan andaikata telah menjadi wajib, tentulah kalian tidak mampu melaksanakan! Biarkan aku selama aku membiarkan kalian! Sungguh, orang-orang sebelum kalian telah dibinasakan karena terlalu banyak bertanya dan menyelisihi nabi-nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu, lakukanlah semampu kalian, tetapi jika aku melarang kalian maka hindarilah!”
Kemudian, turunlah firman Allah subhanahu wa ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
“Wahai kaum mukmin, janganlah kalian menanyakan suatu hal yang jika jawabannya diberikan kepada kalian, maka kalian merasa berat menerimanya…” (QS. Al-Ma’idah [5]: 101)” (Al Hadits)
Maksud “aku membiarkan kalian” pada perkataan Rasulullah diatas adalah “aku tidak memerintahkan kalian melakukannya.”
Larangan mengajukan banyak pertanyaan sejenis ini, hanya berlaku pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun setelah hukum syariah menjadi baku dan tidak ada kekhawatiran adanya penambahan syariah, larangan ini sudah tidak berlaku karena sebab pelarangannya sudah tidak ada.
Namun, sebagian ulama Salaf melarang bertanya tentang makna ayat-ayat mutasyabih. Imam Malik rahimahullah pernah ditanya tentang firman Allah subhanahu wa ta’ala:
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
“Allah Yang Maha Pemurah bersemayam di atas Arsy.” (QS. Thaha [20]: 5)
Beliau pun menjawab, “Makna bersemayam sudah diketahui, bagaimana bersemayam-Nya itu tidak diketahui, mengimaninya merupakan kewajiban, sedangkan bertanya mengenainya adalah bid’ah. Aku berpendapat bahwa engkau seorang laki-laki jahat. Keluarkan dia dari majelisku!”

Tidak Semua Bertanya Dilarang

Seorang yang bodoh bertanya tentang kewajiban-kewajiban agama, seperti wudhu, shalat, puasa, hukum-hukum muamalat, dan sebagainya. Pertanyaan semacam ini hukumnya wajib.
Ini tercakup dalam kandungan makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Tidak dibolehkan seseorang berdiam diri ketika tidak mengetahui persoalan-persoalan tersebut. Ibarat pepatah, “Malu bertanya sesat di jalan”, tidak bertanya dalam persoalan ini mengakibatkan pemahaman, keyakinan, dan amalan kita menjadi sesat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“…Bertanyalah kepada orang-orang berilmu jika kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 7)
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata tentang dirinya,
إني أعطيت لسانا سئولا و قلبا عقولا
“Aku diberi karunia lidah yang banyak bertanya dan hati yang banyak berfikir.”
Adapun bertanya tentang hal yang tidak terkait langsung dengan amal, tetapi untuk memahami persoalan secara mendalam, misalnya dalam proses hukum atau fatwa, hukumnya fardhu kifayah.
Berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ
“Mengapa tidak ada satu kelompok dari setiap golongan kaum muslimin itu yang belajar untuk memahami din secara mendalam?” (QS. At-Taubah [9]: 122)
Wallahu’alam bish shawab…
(Ukasyah/arrahmah.com)