Tulisan Berjalan

NIKMATILAH PEKERJAANMU NISCAYA KAMU AKAN MENEMUKAN KEBAHAGIAAN YG TERPENDAM

Senin, 25 Juni 2012

Ilmu Falak : Sejarah, Perkembangan dan Peranannya dalam Islam



Oleh : Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, M.A

Ilmu falak (astronomi) terhitung sebagai cabang ilmu eksak tertua yang banyak mendapat perhatian manusia sepanjang sejarah. Kegiatan ilmu falak sudah berkembang sejak jauh sebelum Islam datang. Pengetahuan manusia terhadap ilmu falak pada awalnya hanya sebatas pengamatan alami yang bersifat praktis-pragmatis yaitu mengamati terbit dan tenggelam benda-benda langit untuk kepentingan perjalanan, perdagangan, pertanian, menetapkan ritual-ritual agama & sosial, dan lainnya. Aktifitas praktis-pragmatis ini tak jarang juga dikaitkan dengan menelaah situasi alam dalam perspektif yang berbeda yaitu menghubungkannya dengan hal-hal yang bersifat abstrak-pragmatis seperti untuk meramal karakter & nasib seseorang atau sekelompok orang di masa depan yang dikenal dengan nujum atau astrologi.
Ilmu falak seperti dituturkan banyak praktisi merupakan cabang keilmuan Islam yang memiliki posisi istimewa. Ilmu ini adalah cabang ilmu yang tidak banyak mendapat penentangan dari umat muslim karena peranannya yang demikian signifikan dalam penentuan waktu ibadah. Sejak dahulu dan hingga kini, ilmu falak mendapat tempat terhormat dan dihargai oleh para ahli agama (fukaha) yang terus bertahan hingga era modern.
Di zaman tengah, selain disebut ilmu 'falak' dan 'haiah', ilmu ini di sebut juga ilmu observasi (ar-rashd) yang merupakan bagian integral dalam ilmu falak. Selain itu ilmu ini disebut juga ilmu waktu (miqat) karena ia berkaitan dengan penentuan waktu (khususnya waktu salat dan arah kiblat).
Secara umum, ilmu falak dibagi menjadi dua, yaitu (1) ilmu falak teoritis (falak 'ilmiy nazhary, theoritical astronomy) dan (2) ilmu falak praktis atau terapan (falak tathbiqi 'amaly, practical astronomy). Dalam penggunaaan sehari-hari ilmu falak praktis-terapan ('amaly) inilah yang oleh masyarakat disebut sebagai ilmu falak, dan di Indonesia dikenal dengan ilmu hisab, yaitu hisab (perhitungan) yang berkaitan dengan penentuan dan pelaksanaan ibadah.

Sejarah & Perkembangan Ilmu Falak dalam Islam Islam
Sejak silam, kajian ilmu falak banyak mendapat perhatian dari para peneliti dan sejarawan. Regis Morlan (seorang orientalis Prancis, peneliti sejarah ilmu falak klasik) mengemukakan beberapa faktor: (1) banyaknya ulama yang berkecimpung di bidang ini sepanjang sejarah, (2) banyaknya karya-karya yang dihasilkan, (3) banyaknya observatorium astronomi yang berdiri sebagai akses dari banyaknya astronom serta karya-karya mereka, (4) banyaknya data observasi (pengamatan alami) yang terdokumentasikan. Sementara itu Prof. Dr. Muhammad Ahmad Sulaiman (guru besar ilmu falak di Institut Nasional Penelitian Astronomi dan Geofisika, Helwan - Mesir) mengatakan “astronomi adalah miniatur terhadap majunya peradaban sebuah bangsa”.
Dalam perjalanan mulanya, peradaban India, Persia dan Yunani adalah peradaban yang punya kedudukan istimewa. Dari tiga peradaban inilah secara khusus muncul dan lahirnya peradaban falak Arab (Islam), disamping peradaban lainnya. Peradaban India adalah yang terkuat dalam pengaruhnya terhadap Islam (Arab). Buku astronomi ‘Sindhind’ punya pengaruh besar dalam perkembangan astronomi Arab (Islam), dengan puncaknya pada dinasti Abbasiah masa pemerintahan Al-Manshur, buku ini diringkas dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ibrahim al-Fazzârî adalah orang yang mendapat amanah untuk mengerjakan proyek ini, sekaligus juga ia melahirkan buku penjelas yang berjudul “as-Sind Hind al-Kabîr”.
Peradaban Persia memberi pengaruh signifikan dalam peradaban ilmu falak Islam, ditemukan cukup banyak istilah-istilah falak Persia yang terus dipakai dalam Islam hingga saat ini, seperti zij (epemiris) dan auj (aphelion). Buku astronomi berbahasa Persia yang banyak mendapat perhatian Arab (Islam) adalah 'Zij Syah' atau ‘Zij Syahryaran’ yang merupakan ephemiris (zij) yang masyhur di zamannya.
Sementara dari peradaban Yunani puncaknya dimotori oleh Cladius Ptolemaus (w. ± 160 M) yang dikenal dengan sistem "geosentris"nya. Gagasan astronomi Ptolemaus terekam dalam maha karyanya yang berjudul ‘Almagest’ atau ‘Tata Agung’ yang menjadi buku pedoman astronomi hingga berabad-abad sebelum runtuh oleh teori tata surya Ibn Syathir (w. 777 H) dan Copernicus.

Peran Ilmu Falak dalam Islam
Dalam penggunaan praktis, ilmu falak merupakan ilmu yang mempelajari tata lintas pergerakan bulan dan matahari dalam orbitnya secara sistematis dan ilmiah demi kepentingan manusia. Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam “Muqaddimah”nya mendefinisikan ilmu ini sebagai ilmu yang membahas tentang pergerakan bintang-bintang (planet-planet) yang tetap, bergerak dan gumpalan-gumpalan awan yang berhamburan. Makna yang hampir sama juga dikemukakan al-Khawarizmi (w. 387 H) dalam ‘Mafatih al-‘Ulmu’nya.
Ilmu falak sebagai ilmu yang mempelajari benda-benda angkasa selalu dibutuhkan oleh manusia. Dari penelaahan berbagai benda-benda angkasa ini manusia dapat mengetahui dan memanfaatkan banyak hal. Ilmu ini selalu ada dan dibutuhkan dalam kehidupan manusia dan selalu dibicarakan orang disetiap waktu dan zaman. Hal demikian mengingat betapa penting dan menariknya ilmu ini. Mengamati langit, yang merupakan kegiatan utama ilmu falak adalah aktifitas pengamatan benda-benda angkasa alamiah ciptaan Allah Swt yang selalu berubah dan bergerak serta menawarkan berbagai tantangan bagi para pengamatnya. Dahulu, dan hingga kini, langit atau angkasa merupakan obyek wisata yang menarik dan banyak digemari manusia.
Obyek pembahasan utama ilmu falak syar'i dalam Islam adalah fenomena bulan dan matahari. Fenomena alamiah dari dua benda angkasa ini menjadi wasilah kebolehan dan batas waktu ibadah seorang muslim seperti batas waktu salat, puasa dan kiblat yang diperkuat oleh berbagai nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Pembahasan falak syar’î secara garis besar meliputi empat hal: (1) penetapan awal-awal bulan kamariah, (2) penetapan waktu-waktu salat, (3) penentuan arah dan bayang kiblat, dan (4) penentuan terjadinya gerhana (baik gerhana matahari maupun gerhana bulan).

(1) Penentuan Awal Bulan (Kalender)
Menentukan awal bulan, khususnya menetapkan puasa & hari raya, dalam Islam adalah berdasarkan sistem bulan (qamarî) yaitu peredaran bulan mengelilingi bumi dalam porosnya yang dalam aplikasi bulanannya ditetapkan dengan berganti-ganti antara 30 dan 29 hari. Hal ini diperkuat dengan sabda Nabi Saw; “… as syahru hakadzâ wa hakadzâ wa hakadzâ” (… bulan itu adakalanya begini dan begini (adakalanya 30 hari dan adakalanya 29 hari) [HR. Muslim]. Khusus dalam menetapkan awal puasa dan hari raya, Rasulullah Saw menyatakan untuk melihat hilal (rukyat). Nabi Saw menegaskan: “shumû liru’yatihi wa afthirû liru’yatihi…” (puasalah kamu karena melihat hilal, dan berbuka (berhari raya) lah karena melihat hilal) [HR. Muslim]. Dengan berbagai data, fakta dan perdebatan, perintah melihat yang disabdakan baginda Nabi Saw ini berganti dan dapat difahami dengan melihat secara rasional (hisab). Melalui pemahaman yang baik terhadap pergerakan fenomena bulan dan matahari, hadis-hadis tersebut terfahami dan teraplikasikan secara teoritis matematis tanpa perlu rukyat secara faktual (ru’yah bashariyah), namun perdebatan dalam masalah ini senantiasa ramai dibicarakan di Indonesia maupun di negara-negara muslim lainnya.
(2) Menentukan Waktu-Waktu Salat
Penentuan waktu salat dalam Islam ditetapkan berdasarkan fenomena alamiah matahari, seperti terangkum dalam makna ayat “aqimish shalah liduluk as syams…” (dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir…) [QS. Al-Isra’ : 78], serta sabda panjang Nabi Saw terkait teknis pelaksanaan waktu salat fardu yang lima yang dikaitkan dengan fenomena matahari (HR. Muslim) Rumitnya, baik nash al-Qur’an maupun al-Hadits tidak memuat rincian pasti tentang penentuan waktu-waktu tersebut, yang pasti hanyalah “kitâban mawqûta” (waktu yang sudah ditentukan), tidak ada kepastian tata cara yang akan digunakan. Namun demikian ilmu falak mampu menyelesaikan ‘ketidak rincian nash’ tersebut melalui berbagai pengamatan dan penelaahan teks dan konteks fenomena matahari. Dalam kenyataannya, secara umum masyarakat telah sepakat menerima data hisab penentuan kapan seorang muazin akan mengumandangkan azan atau kapan seorang muslim akan salat tanpa ada perdebatan berarti, meski berbagai persoalan tetap menyelip dalam data hisab waktu-waktu salat, seperti halnya dalam menetapkan awal waktu puasa dan hari raya.

(3) Menentukan Arah Kiblat
Menghadap kiblat adalah satu keharusan (syarat) dalam salat. Salat dinyatakan tidak sah jika tidak menghadap Kakbah, karena menghadapnya adalah kemestian untuk sah dan berkualitasnya salat seorang muslim. Al-Qur’an hanya menyatakan “wa min haytsu kharajta fa walli wajhaka syathral masjidil haram wa haytsu ma kuntum fa wallu wujuhaum syathrah” (Dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram. Dan dari mana saja kamu berada, maka palingkanlah wajahmu kearahnya) [QS. Al-Baqarah (02): 150] tanpa ada penjelasan rinci tentang menghadap yang dimaksud. Dimaklumi, bagi penduduk Mekah dan sekitarnya, menghadap dan mengarah Kakbah dapat diusahakan meski secara alamiah dengan serta merta menghadap, dan ini masih dalam koridor ‘zhan’ yang dilegalkan. Berpaling kurang beberapa derajat dari bangunan Kakbah dapat ditolerir karena masih dalam teritorial kota Mekah. Namun bagaimana halnya jika berada jauh dari Kakbah atau kota Mekah, Indonesia misalnya? Serta merta atau asal menghadap tidaklah dibenarkan, meski dilandasi dengan ‘zhan’ namun tetap saja tidak realistis dan logis, karena ‘zhan’ dalam syariat akan selalu bersesuaian dengan realitas empirik (mashlahat-waqi’iyat). Dalam konteks Indonesia, berpaling beberapa derajat dari bangunan Kakbah akan berpaling jauh dari bangunan Kakbah bahkan kota Mekah. Ini tentunya tidak realistis, dan tidak bisa disebut 'zhan'. Untuk mengatasi hal ini, fikih an sich tidak memadai. Nah, ilmu falak berperan memersiskan atau setidak-tidaknya meminimalisir perpalingan arah yang begitu mencolok tersebut. Dan dalam penentuan arah kiblat inipun masyarakat dapat menerima tanpa perdebatan, seoarang mushallî (orang yang akan menunaikan shalat) merasa ithmi’nan (tenang) dengan arah sajadah yang terhampar di mushallâ atau mesjid tanpa ambil pusing tepat atau melesetkah arah sajadah tersebut. Padahal banyak mushallâ dan mesjid yang kadang serampangan menentukan arah kiblat. Ilmu falak lagi-lagi berperan dalam menetapkan arah kiblat ini.

(4) Menentukan terjadinya Gerhana
Gerhana matahari maupun gerhana bulan adalah fenomena alamiah ‘luar biasa’ yang dapat disaksikan dengan mata, meski jarang dan tidak semua orang dapat menyaksikan dan tidak disemua tempat dapat disaksikan. Salat gerhana dalam fikih Islam adalah ibadah anjuran yang sangat dianjurkan (sunnah mu’akadah). Namun, kapan salat itu dilakukan ? fenomena alamiah ini jarang terjadi, pula tidak banyak manusia yang perhatian terhadap fenomena ini, hingga terkadang ia dilupakan atau terlupakan. Namun ilmu falak selalu dan senantiasa dapat mengingatkan dan mendeteksi fenomena ini, kapan dan dimana peristiwa alamiah ini akan terjadi. Dengan demikian dari peranan ilmu falak ini seorang muslim dapat menunaikan anjuran yang sangat dianjurkan tersebut dengan yakin dan nyaman.
Dari uraian diatas jelas bahwa peranan ilmu falak sangatlah nyata dan signifikan. Artikel ini hanyalah ‘pengantar’, paling tidak pengantar bahwa ilmu falak itu berguna dan berperan dalam ibadah utama umat Islam. Betapapun lihai dan piawainya seorang muslim memahami teks nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah, namun jika tidak memahami konteks (aplikasi) nash tersebut, nash-nash tersebut tetaplah ‘tidak tanggap’. Karena itu “fikih tidak sempurna tanpa peranan ilmu falak”. Wallahu a’lam.
***

* Program S-3 penelitian Filologi Astronomi Islam era klasik di "Institute of Arab Research & Studies" The Arab League ALECSO Cairo - Egypt

Visibilitas Hilal



Kalender Islam ditentukan berdasarkan penampakan hilal (bulan sabit pertama) sesaat sesudah matahari terbenam. Alasan utama dipilihnya kalender bulan (komariyah) -- walau tidak dijelaskan di dalam Hadits maupun Al-Qur'an -- nampaknya karena alasan kemudahan dalam menentukan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan. Ini berbeda dari kalender syamsiah (kalender matahari) yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya. Karena kemudahan itu -- orang awam pun bisa menentukan kapan pergantian bulan -- sistem kalender tradisional banyak yang bertumpu pada kalender bulan. Pada masyarakat yang menghendaki adanya penyesuaian dengan musim, diadakan sistem kalender gabungan: qamari-syamsiah (luni-solar calendar), seperti kalender Yahudi dan kalender Arab sebelum masa kerasulan Muhammad SAW. Pada sistem gabungan ini ada bulan ketiga belas setiap 3 tahun agar kalender qamariah tetap sesuai dengan musim. Nama bulan pun disesuaikan dengan nama musimnya, seperti Ramadan yang semula berarti bulan musim panas terik. Dalam ajaran Islam penambahan bulan itu (disebut nasi) dilarang karena biasanya bulan ke-13 itu diisi dengan upacara atau pesta yang dipandang sesat (Al-Qur'an S. 9:37).

Karena waktu ibadah sifatnya lokal, penentuannya yang berdasarkan penampakan hilal memang merupakan cara yang termudah. Masyarakat di suatu tempat cukup memperhatikan kapan hilal teramati untuk menentukan saat ibadah puasa Ramadan, beridul fitri, beridul adha, atau saat berhaji (khusus di daerah sekitar Mekkah). Seandainya cuaca buruk, Nabi Muhammad SAW memberikan petunjuk praktis: genapkan bulan sekarang menjadi 30 hari, karena tidak mungkin bulan qamariyah lebih dari 30 hari. Tentunya ini menuntut pengamatan hilal yang lalu. Karena sifatnya lokal, apapun keputusan di suatu daerah sah berlaku untuk daerah itu. Daerah lain mungkin saja berbeda.

Visibilitas (rukyat) hilal merupakan sebagian permasalahan yang mendapat perhatian serius dari astronom Muslim abad pertengahan. Hal ini disebabkan kalender yang digunakan sehari-hari didasarkan pada Bulan dan awal bulan ditandai dengan penampakan hilal. Beragam kriteria visibilitas dihasilkan ketika itu.

Kemajuan ilmu astronomi dan pengetahuan astronom terhadap pergerakan dan posisi Bulan menjadikan kriteria posisi hilal untuk dapat dilihat semakin kecil. Terlebih dengan diketemukannya alat bantu observasi, seperti teleskop, membuat kriteria posisi hilal menjadi lebih kecil lagi.

Fotheringham (1910), Bruin (1977), Yallop (1997), Ilyas (1990-an), Schaefer (1988), The Royal Greenwich Observatory (RGO), dan South African Astronomical Observatory (SAAO) mengeluarkan kriteria visibilitas hilal dengan S $< 12 deg. Kriteria Danjon bahkan mensyaratkan elongasi Bulan-Matahari sebesar 7 derajat pada saat Matahari tenggelam.

Saat ini beragam kriteria visibilitas dikeluarkan oleh astronom, baik Muslim maupun non-Muslim. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa penampakan sabit bulan pertama atau hilal bukan permasalahan umat Islam semata.

Jika Rasulullah SAW mengawali dan mengakhiri puasanya didasarkan pada rukyat (visibilitas) hilal yang mudah dilihat dan dikenali oleh orang yang ummi, tentunya seperti itulah umat Islam ingin melaksanakannya. "Bukankah Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (2:185)."

Ada tiga cara menentukan awal bulan Ramadhan, yaitu :

* Rukyat hilal (melihat bulan sabit).
* Persaksian atau kabar tentang rukyat hilal.
* Menyempurnakan bilangan hari Sya'ban.

Hilal berarti bulan baru, atau bulan sabit dalam sistem kalender Islam yang didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi (lunar calender). Sistem penanggalan lainnya yaitu sistem penanggalan Masehi, didasarkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari.

Minggu, 24 Juni 2012

HATI


KH. Anwar Sanusi *

Hati adalah sebuah kata yang hanya terdiri dari empat huruf. Namun apabila kita menyebutnya, akan menimbulkan kekaguman yang luar biasa. Hati adalah khalifah Allah dalam diri manusia. Hati selalu benar, hati tidak pernah berbohong, hati tidak mengenal kalimat-kalimat dusta, hati akan selalu memancarkan cahaya keindahan. Namun pada saat nafsu-nafsu syaitaniyah merajalela, hati kita akan terkontaminasi oleh hal-hal yang tidak baik. Cahaya hati yang sering kali disebut dengan kata-kata NURANI tidak akan terpancar dari orang-orang yang hatinya kelabu. Pancaran nurani hanya akan lahir dari orang-orang yang menumbuhkan sifat-sifat Allah dalam dirinya.

Islam tidak pernah mengajarkan kita membuang hawa nafsu jauh-jauh. Islam mengajarkan agar hawa nafsu yang timbul harus kita arahkan kepada al-muthmai’nnah. Karena nafsu inilah yang dapat menanggalkan jubah-jubah ketakaburan, sifat-sifat keakuan, sifat hasad dan segala sifat yang menjadikan dirinya su’u al-adab dan kalau sudah demikian, masyarakat akan membenci kepribadiannya.

Apabila kita melakukan perbuatan maksiat, percayalah hidup kita tidak akan tenang. Karena sebenarnya hati tidak akan mungkin dapat menerima kemaksiatan. apabila kita berbuat maksiat, berarti kita sedang mengikuti setan-setan yang sedang menari dihati kita.

Siapa saja diantara kita yang bermandi ambisi, yang politiknya ditutupi oleh kain-kain busuk, yang akhlaqnya membangunkan bulu roma orang, yang hartanya diperoleh dengan cara-cara curang. Hentikanlah sampai disini. Karena perbuatan itu akan menyebabkan hati kehilangan nurani. Hati akan menjadi hitam pekat, tidak mengerti lagi kemana tujuan hidup yang harus ditempuh. Simak QS Al-An`am ayat 116 :

" Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang dimuka bumi, niscaya akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Mereka hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka hanya berdusta (terhadap Allah SWT) ".

Baginda Rasulullah SAW selalu berpesan agar umatnya selalu menjaga kebersihan hati. Menjauhkan diri dari sifat-sifat muzabzab (oportunis). Rasulullah bersabda :

" Janganlah kamu menjadi orang Imma’ah, apakah imma’ah itu ya Rasulullah ? Rasul menjawab : " Saya pokoknya mengikuti banyak orang, jika mereka berbuat baik, maka saya akan berbuat baik, jika mereka berbuat jahat, saya ikuti pula perbuatan itu ". Selanjutnya pesan Rasul : " Mantapkanlah dirimu, jika orang berbuat baik, hendaklah turut kebaikan mereka, tetapi jika mereka berbuat jahat, hendaklah menjauhi kejahatan mereka ".

Mari kita simak salah satu surat cinta dari Allah yang telah menuntun kita dengan cara yang amat sangat bijaksana (QS Al-Isra’ ayat 36 ) :

" Dan janganlah mengikuti apa-apa yang tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban-Nya ".

Wajah dan perbuatan manusia adalah gubahan dari hatinya. Kalau hati baik akan baik pulalah segala amalnya. Sebaliknya apabila hati buruk, akan buruk pulalah segala tindak tanduknya.

" Ya Allah yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami bersama agama-Mu yang Agung ". Demikianlah Rasulullah mengajarkan salah satu do’anya kepada kita. Wallahu A`lam. 


*) Pimpinan Pesantren Lembah Arafah.

ADAB-ADAB BERPUASA


Al-Ustadz Abu Abdirrahman Al-Bugisi

A. Makan Sahur
Orang yang berpuasa sangat dianjurkan untuk makan sahur. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Amru bin Al-‘Ash radiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ “Perbedaan antara puasa kami dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim) Dari Salman radiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: الْبَرَكَةُ فِيْ ثَلاَثَةٍ: الْجَمَاعَةِ وَالثَّرِيْدِ وَالسَّحُوْرِ “Berkah ada pada 3 hal: berjamaah, tsarid (roti remas yang direndam dalam kuah), dan makan sahur.” (HR. Ath-Thabrani, 6/251, dengan sanad yang hasan dengan penguatnya, lihat Shifat Shaum An-Nabi oleh Ali Al-Halabi, hal. 44) Disukai untuk mengakhirkan makan sahur berdasarkan hadits Anas dari Zaid bin Tsabit radiyallahu 'anhu, ia berkata: Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian beliau bangkit menuju shalat. Aku (Anas) bertanya: “Berapa jarak antara adzan [1] dan sahur?” Beliau menjawab: “Kadarnya (seperti orang membaca) 50 ayat.” (Muttafaqun ‘alaih) Namun apa yang diistilahkan oleh kebanyakan kaum muslimin dengan istilah imsak, yaitu menahan (tidak makan) beberapa saat sebelum adzan Shubuh adalah perbuatan bid’ah karena dalam ajaran nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak ada imsak (menahan diri) kecuali bila adzan fajar dikumandangkan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: إِذَا أَذَّنَ بِلاَلٌ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍِ “Apabila Bilal mengumandangkan adzan (pertama), maka (tetap) makan dan minumlah hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan.” (Muttafaqun ‘alaih) Bahkan bagi orang yang ketika adzan dikumandangkan masih memegang gelas dan semisalnya untuk minum, diberikan rukhshah (keringanan) khusus baginya sehingga dia boleh meminumnya. Abu Hurairah radiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: إِذَ سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءُ وَاْلإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ “Jika salah seorang kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya) ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkannya hingga menunaikan keinginannya dari bejana (tersebut).” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dan dihasankan oleh Syaikhuna Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah dalam Al-Jami’ Ash-Shahih, 2/418-419)
Hukum makan sahur adalah sunnah muakkadah. Berkata Ibnul Mundzir: “Umat ini telah bersepakat bahwa makan sahur hukumnya sunnah dan tidak ada dosa bagi yang tidak melakukannya berdasarkan hadits Anas bin Malik radiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً

“Makan sahurlah, karena sesungguhnya pada makan sahur itu ada barakahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dianjurkan makan sahur dengan buah kurma jika ada, dan boleh dengan yang lain berdasarkan hadits Abu Hurairah radiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

نِعْمَ السَّحُوْرِ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ

“Sebaik-baik sahur seorang mukmin adalah buah kurma.” (HR. Abu Dawud, 2/2345, dan Ibnu Hibban, 8/3475, Al-Baihaqi, 4/236, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)

Jika seseorang ragu apakah fajar telah terbit atau belum, maka boleh dia makan dan minum sampai dia yakin bahwa fajar telah terbit.
Firman Allah Ta'ala :

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar ….” (Al-Baqarah: 187)
Berkata As-Sa’di rahimahullah: “Padanya terdapat (dalil) bahwa jika (seseorang) makan dan semisalnya dalam keadaan ragu akan terbitnya fajar maka (yang demikian) tidak mengapa.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman hal. 87)

B. Berbuka Puasa
Orang yang berpuasa dianjurkan untuk mempercepat berbuka jika memang telah masuk waktu berbuka. Tidak boleh menundanya meski ia merasa masih kuat untuk berpuasa. ‘Amr bin Maimun Al-Audi meriwayatkan:

كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْجَلَ النَّاسِ إِفْطًارًا وَأَبْطَأَهُمْ سُحُوْرًا

“Para shahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam adalah orang yang paling cepat berbukanya dan paling lambat sahurnya.” (HR. Al-Baihaqi, 4/238, dan Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menshahihkan sanadnya)
Berkata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah:
“Cepat-cepat berbuka puasa (dianjurkan) bila telah terbenam matahari, bukan karena adzan. Namun di waktu sekarang (banyak) manusia menyesuaikan adzan dengan jam-jam mereka. Maka bila matahari telah terbenam boleh bagi kalian berbuka walaupun muadzdzin belum mengumandangkan adzan.” (Asy-Syarh Al-Mumti’)

Buka puasa dilakukan dalam keadaan ia mengetahui dengan yakin bahwa matahari telah terbenam. Hal ini bisa dilakukan dengan melihat di lautan dan semisalnya. Adapun hanya sekedar menduga dengan kegelapan dan semisalnya, maka bukan dalil atas terbenamnya matahari. Wallahu a’lam.
Mempercepat buka puasa adalah mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Sahl bin Sa’ad radiyallahu 'anhu meriwayatkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لاَ تَزَالُ أُمَّتِيْ عَلَى سُنَّتِيْ مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُّجُوْمَ

“Senantiasa umatku berada di atas Sunnahku selama mereka tidak menunggu (munculnya) bintang ketika hendak berbuka.” (HR. Al-Hakim, 1/599, Ibnu Hibban, 8/3510, dengan sanad yang shahih. Lihat Shifat Shaum An-Nabi hal. 63)

Mempercepat berbuka puasa akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya. Seperti yang diriwayatkan Sahl bin Sa’ad radiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِّطْرَ

“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasa.” (HR. Al-Bukhari, 2/1856, dan Muslim, 2/1098)
Mempercepat berbuka puasa adalah perbuatan menyelisihi Yahudi dan Nashara. Abu Hurairah radiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَزَالُ هَذَا الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ

“Senantiasa agama ini nampak jelas selama manusia mempercepat buka puasa karena Yahudi dan Nashara mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud, 2/2353, Ibnu Majah, 1/1698, An-Nasai dalam Al-Kubra, 2/253, dan Ibnu Hibban, 8/3503, dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t)
Selain itu, mempercepat buka puasa termasuk akhlak kenabian. Sebagaimana dikatakan ‘Aisyah radiyallahu 'anha :

ثَلاَثٌ مِنْ أَخْلاَقِ النُّبُوَّةِ: تَعْجِيْلُ اْلإِفْطَارِ وَالتَّأْخِيْرُ السُّحُوْرِ وَوَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلاَةِ

“Tiga hal dari akhlak kenabian: mempercepat berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. Ad-Daruquthni, 1/284, dan Al-Baihaqi, 2/29)

Orang harus berbuka puasa lebih dahulu sebelum shalat Maghrib, berdasarkan hadits Anas radiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berbuka puasa sebelum shalat (Maghrib) dan makanan yang paling dianjurkan untuk berbuka puasa adalah kurma. Anas bin Malik radiyallahu 'anhu berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَى رُطَبَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٍ فَتُمَيْرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تُمَيْرَاتٍ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

“Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berbuka dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat (Maghrib), bila tidak ada ruthab maka dengan tamr (kurma yang matang), bila tidak ada maka dengan beberapa teguk air.” (HR. Abu Dawud, 2/2356, dan At-Tirmidzi, 3/696, Ad-Daruquthni, 2/185, dengan sanad yang shahih, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)
Jangan lupa, berdoa sebelum berbuka puasa dengan doa:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى

“Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat dan telah tetap pahala insya Allah k.” (HR. Abu Dawud, 2/306 no. 2357, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, 2/255, Ad-Daruquthni, 2/185, Al-Baihaqi, 4/239, dari hadits Ibnu ‘Umar radiyallahu 'anhuma dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah)
Orang yang menjalankan ibadah puasa diharuskan menjauhkan perkataan dusta sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah radiyallahu 'anhu , bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, maka tidak ada keinginan Allah pada puasanya” (HR. Bukhari no. 1804)

1 Yang dimaksud adalah iqomah, karena terkadang iqomah disebut adzan, wallahu a’lam. Yang dimaksud dengan sahur adalah akhir waktu sahur yaitu ketika masuk waktu shubuh, sebagaimana akan lebih jelas pada artikel 'Sahur dan Berbuka', -red.


Pembatal Puasa

a. Makan dan minum dengan sengaja
Allah k berfirman:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam dari fajar kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam.” (Al-Baqarah: 187)
Namun jika seseorang lupa maka puasanya tidak batal, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

“Jika ia lupa lalu makan dan minum maka hendaklah dia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari no. 1831 dan Muslim no. 1155)

b. Keluar darah haidh dan nifas
Hal ini sebagaimana dikatakan ‘Aisyah radiyallahu 'anha :
“Adalah kami mengalami (haidh), maka kami diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Para ulama telah sepakat dalam perkara ini.

c. Melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan
Hal ini berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah, dan kesepakatan para ulama. Bagi yang melakukannya diharuskan membayar kaffarah yaitu membebaskan budak, bila tidak mampu maka berpuasa dua bulan secara terus-menerus, dan bila tidak mampu juga maka memberi makan 60 orang miskin. Tidak ada qadha baginya menurut pendapat yang kuat. Hukum ini berlaku secara umum baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Adapun bila seseorang melakukan hubungan suami istri karena lupa bahwa dia sedang berpuasa, maka pendapat yang kuat dari para ulama adalah puasanya tidak batal, tidak ada qadha dan tidak pula kaffarah. Hal ini sebagaimana hadits Abu Hurairah radiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلاَ كَفَّارَةَ

“Barangsiapa yang berbuka sehari di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada qadha atasnya dan tidak ada kaffarah (baginya).” (HR. Al-Baihaqi, 4/229, Ibnu Khuzaimah, 3/1990, Ad-Daruquthni, 2/178, Ibnu Hibban, 8/3521, dan Al-Hakim, 1/595, dengan sanad yang shahih)
Kata ifthar mencakup makan, minum dan bersetubuh. Inilah pendapat jumhur ulama dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaukani rahimahumallah.

d. Berbekam
Ini termasuk perkara yang membatalkan puasa menurut pendapat yang rajih, berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :

أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ

“Telah berbuka (batal puasa) orang yang berbekam dan yang dibekam.” (HR. At-Tirmidzi, 3/774, Abu Dawud, 2/2367;2370;2371, An-Nasai, 2/228, Ibnu

Sabtu, 23 Juni 2012

PHBI Merauke Wajah Baru


Setelah 3 tahun telah merakhir masa jabatan Pengurus PHBI Merauke yang seharusnya hanya memangku jabatan 2005-2009 namun tidak juga ada tanda-tanda adanya inisiatif dari kepengurusan yg ada untuk melakukan penataan ulang pengurus baru, akhirny pada tanggal 20 Juni 2012 atas desakan dari bawah untuk mendesak Pihak Kementerian Agama Kab Merauke untuk memfasilitasi pelaksanaan  Pemilihan Pengurus Baru. Drs. Abu Bakar Akhyar yang meminpin selama 7 tahun akhirnya merelakan tampuk Pimpinan PHBI baru kepada Drs. H. Hari Sugiarto yang mengumpulkan suara terbanyak dari 3 nominasi lainnya. Sementara Ketua lama tdk masuk dalam penjaringan ketua. Gambar diatas Penyerahan Berkas  dari Ketua lama  (pakai Peci) kepada Ketua terpilih.

Kepengurusan PHBI yang baru ini hanya untuk 2 tahun yaitu 2012-2014, hal itu diharapkan agar saudara-saudara lain juga bisa merasakan bagaimana rasanya berada dalam kepengurusan.

Mengingat ada sebagian saudara-saudara yang dewasa ini masih monopoli jabatan, memegang jabatan ketua berbagai ormas Islam, sedikit demi sedikit dipangkas setiap ada ormas penggantian Pengurus dari Ormas Islam bahwa syarat untuk dicalonkan menjadi ketua tdk boleh sebagai ketua ormas politik atau ketua ormas Islam lainnya. Hal ini dilakukan karena generasi baru ummat Islam sekarang tdk lgi seperti 10 atau 20 thn yang lalu yang sulit mencari figur.

Dana Setoran Awal Haji Bisa Diinvestasikan


Jakarta-Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, saat ini tengah membahas rencana revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji. Dalam revisi tersebut, DPR ingin membentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang bisa mengelola dana setoran awal sehingga bisa berkembang lebih banyak.


Anggota Komisi VIII DPR RI, Amran, Jumat, 22 Juni, mengatakan, tahun ini jumlah calon jemaah haji Indonesia ada 1,7 juta lebih. Dana setoran awalnya sekitar Rp40 triliun. Jika dana setoran awal ini kata Amran diinvestasikan, maka akan menjadi pengurang biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH).

Amran mencontohkan di Malaysia, di mana pihak penyelenggara ibadah haji di sana, saat ini memiliki kebun kelapa sawit di Sumatera, dan punya saham di bandara internasional Kuala Lumpur. “Saya kira, kalau dana setoran awal itu bisa diinvestasikan, bisa menjadi pengurang untuk BPIH kita,” jelasnya.

Selama ini lanjut Amran, fungsi operator, regulator, dan evaluator penyelenggaraan ibadah haji ada dalam satu atap di Kemenag. Sehingga sebut dia, ini menjadi pemicu tidak maksimalnya pelayanan. “Misalnya transportasi, pemondokan, dan katering haji, itu menjadi masalah rutin setiap tahun. Itu karena semua dikelola dalam satu atap, kita rencana adakan pemisahan,” katanya.

Karenanya, lanjut Amran, DPR berencana merevisi agar dibentuk BLU. Menurutnya, BLU bukan berarti dipihakketigakan di swasta. “Saya orang yang paling pertama menolak kalau dipihakketigakan, karena swasta itu biasanya identik dengan profit, nanti tambah mahal BPIH,” ujarnya.

BLU ini nantinya, sebut dia, bisa diisi dari kalangan masyarakat yang profesional, kemudian pihak pemerintah yang sudah berpengalaman. BLU haji ini juga akan difit and propert test oleh DPR.

“Tapi ini beda dengan lembaga lain yang dibentuk pemerintah. Ini ada dana yang bisa mereka kelola, tapi harus hati-hati juga pengelolaannya. Karena jangan sampai diinvestasikan tapi merugi. Makanya, orang-orang yang duduk di sini nantinya, betul-betul berpengalaman,” beber anggota Fraksi Partai Amanat Nasional DPR RI asal Sulsel ini.(fajar)

Kemenag Permudah Lansia Naik Haji



Kendari-Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) memberikan kemudahan kepada calon jamaah haji yang sudah lanjut usia dalam melaksanakan ibadah haji. Pasalnya, pelayanan yang diberikan kepada lansia memang harus lebih diprioritaskan.
Kepala Bidang (Kabid) Penyelenggara Haji, Zakat dan Wakaf (Hazawa) Kanwil Kemenag Sultra, H.Thamrin, mengatakan bahwa pemerintah telah memberikan batasan umur kepada lansia untuk melakukan perjalanan haji.
“Kalau tahun lalu diprioritaskan itu usia 60 tahun ke atas, tetapi karena banyak lansia yang lebih tua dari 60 tahun, maka harus diurut dari yang tertua, kalau tahun ini usianya 80 tahun ke atas, tetapi setelah kami lihat data kami justru ada yang berusia 92 tahun,” jelas Thamrin, Jumat (22/6).
Meskipun pemerintah telah menetapkan batasan usia bagi lansia, tetapi pemerintah juga tetap akan memprioritaskan bagi lansia yang sudah berusia lebih tua.
“Kuotanya itu untuk 200 orang, tetapi kalau kita lihat jumlah daftar tunggu untuk lansia kita tahun ini sekitar 600 orang, itu pun akan kita urut dari yang usianya tertinggi yakni 92 tahun, mungkin yang 80 tahun tidak akan masuk kalau kuota sudah mencukupi,” tukasnya.
Namun demikian, bukan berarti pemerintah pasrah dengan keadaan tersebut, sebab pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Agama terus berupaya agar kuota untuk jamaah Indonesia bisa bertambah.
“Kita tunggu saja keputusan dari pemerintah, kalau memang ada penambahan kuota, tetapi untuk sementara jumlah kuotanya masih sama dengan tahun lalu yakni 1.668 orang ditambah TPHD sebanyak 15 orang. Jadi dalam setahun untuk Sultra hanya mendapatkan 1.683 orang,” terang Thamrin. (Kendari_News)