Tulisan Berjalan

NIKMATILAH PEKERJAANMU NISCAYA KAMU AKAN MENEMUKAN KEBAHAGIAAN YG TERPENDAM
Tampilkan postingan dengan label Tasauf. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tasauf. Tampilkan semua postingan

Minggu, 29 April 2012

Makna Al-Masyriq dan Al-Maghrib (1)



Senin, 30 April 2012, 06:37 WIB


Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Dalam pandangan sufistik, al-masyriq (timur) dan al-maghrib (barat) ternyata bukan hanya menunjukkan tempat atau wilayah geografis, melainkan juga banyak makna dan pesan. 

Termasuk di dalamnya adalah pesan kosmologi, teologi, mitologi, antropologi, sosiologi, dan metodologi. Tidak kurang dari 13 kali kata al-masyriq dan al-maghrib terulang di dalam Alquran.
 
Ada dalam bentuk mufrad (al-masyriq/al-maghrib) seperti dalam QS Al-Baqarah [2]: 115, bentukmutsanna (al-masyriqain/al-maghribain) seperti dalam QS Al-Rahman [55]: 17, dan ada dalam bentuk jama' (al-masyariq/al-magharib), misalnya, pada QS Al-Ma'arij [70]: 40.
Al-masyriq berasal dari akar kata syaraqa-yasyruq berarti terbit, bersinar, kemudian membentuk kata al-masyriq (timur, sinar yang masuk di celah-celah lubang), al-musytasyriq (orientalis). 

Lalu, kata gharaba-yaghrubu berarti pergi menjauh, terbenam, asing, beracun, lalu membentuk kata al-maghrib (barat, tempat/waktu terbenam matahari), al-musytaghrib (oksidentalis).

Dalam kitab-kitab tafsir klasik, kata al-masyriq dan al-maghrib lebih banyak diartikan dengan kata timur dan barat dalam arti geografis, yakni timur dan barat tempat, waktu terbit, serta tenggelamnya matahari, seperti dijelaskan dalam QS Al-baqarah [2]: 115, "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya), lagi Maha Mengetahui.''

Kata al-masyriq dan al-maghrib dihubungkan dengan tempat yang menjadi kiblat shalat umat Islam di Madinah, yang tadinya menghadap ke barat, yaitu ke Baitul Maqdis, dan ke timur, yaitu ke Ka'bah, Kota Suci Makkah. Demikian pula ulama-ulama tafsir mu'tabarah lainnya di kalangan Sunni. Dalam pandangan ulama tasawuf, timur dan barat lebih banyak menekankan makna kosmologis dan hermeneutiknya.

Kata al-masyriq (timur) dihubungkan dengan sebuah dunia yang lebih menekankan arti penting nilai-nilai spiritual-psikologis, sedangkan kata al-maghrib (barat) dikaitkan dengan sebuah dunia yang lebih menekankan aspek filsafat dan logika.


Selasa, 10 April 2012

Garis Pemisah antara Khalik dan Makhluk (1)




Wordpress.com
  
Garis Pemisah antara Khalik dan Makhluk (1)
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
"Jika dari dirimu tidak lahir amal perbuatan yang di situ ada noda dan dosa, Allah SWT akan menciptakan manusia yang berbuat salah agar mereka bisa berdosa dan melakukan kesalahan. Dan lantas memohon ampun atas dosa itu, menjadikan sifat dari Zat Yang Maha Pemaaf termanifestasikan.”(Hadis yang dikutip oleh Abdurrrahman Jami’ dalam Naqd An-Nushuh hal 71-72).

Dalam artikel-artikel terdahulu dijelaskan apa itu potensi wujud yang biasa disebut Entitas Tetap (Al-A’yan ats-Tsabitah) dengan tingkatan-tingkatannya dari martabat Ahadiyyah sampai Wahidiyyah. 

Dari uraian-uraian tersebut dapat dikesankan semakin tinggi level wujud, semakin rumit untuk dipahami. Dan semakin rendah level itu, semakin mudah dipahami. 

Namun, sulit kita membayangkan adanya pemahaman utuh terhadap Sang Khalik dan makhluk-Nya tanpa memahami level-level tersebut. Bahkan, menurut kalangan arifin, memahami level-level ini salah satu inti dari makrifat.

Tidak gampang memahami garis pemisah antara Sang Khalik dan makhluk-Nya. Ibaratnya kita akan membedakan antara sumber cahaya dan cahayanya atau antara laut dan ombaknya serta antara wujud dalam cermin dengan objek di depan cermin. Mungkin inilah sebabnya mengapa Ibnu Arabi enggan menggunakan istilah Khalik dan makhluk.

Sebaliknya, dia lebih memilih menggunakan istilah Al-Haq untuk Allah SWT dan al-khalq untuk hamba dan makhluk-Nya. Berawal dari Zat Yang Maha Agung yang biasa disebut Gaib al-Guyub atau Haqiqat al-Haqiqah, yang bermanifestasi melalui proses al-faiddh al-muqaddas maka terwujudlah Al-A’yan ats-Tsabitah.

Di sana dikenal adanya wujud potensial berupa nama-nama (al-Asma’) dan sifat-sifat (al-Aushaf), kemudian bermanifestasi menjadi wujud konkret atau wujud aktual (al-A’yan al-kharijiyyah). Disebut al-A’yan al-kharijiyyah karena sudah keluar dari level al-A’yan ats-Tsabitah dan sudah menjadi awal dari makhluk yang diistilahkan oleh Ibnu Arabi dengan al-khalq.

Perbedaan antara al-shifat dan al-ism yang ada dalam level Al-A’yan ats-Tsabitah tidak begitu jelas karena keduanya masih merupakan satu kesatuan utuh. Al-Shifat lebih merupakan bentuk dan kualitas manifestasi, sedangkan al-Ism menjadi substansi dari bentuk manifestasi itu.

Sebagai contoh, sifat kekuasaan (al-qudrah) menjadi Al-Qadir, yaitu nama Tuhan yang terhimpun di dalam Al-Asma’ Al-Husna. Contoh lain sifat kasih sayang (al-Rahmah) menjadi Al-Rahman dan Al-Rahim, yaitu nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang juga menjadi bagian dari Al-Asma’ Al-Husna.

Nama (al-Isma) identik dan representasi dari yang diberi nama (al-Musamma). Di mana ada nama, di situ ada yang dinamai. Nama-nama Tuhan dalam al-Asma’ al-Husna tentu bukan hanya sebutan, melainkan sekaligus manifestasi dari yang dinamai. Nama-nama itu adalah refleksi dari objek yang dinamai atau diberi nama.

Garis Pemisah antara Khalik dan Makhluk (2)




Wordpress.com
  
Garis Pemisah antara Khalik dan Makhluk (2)
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Ibnu Arabi mengumpamakan seperti ada sebuah cermin yang merefleksikan semua objek yang ada di hadapannya.
Ibarat bunga yang berwarna-warni maka berbagai bunga dan warna-warni itu direfleksikan secara persis di dalam cermin itu. Namun, kembang warna-warni di dalam cermin tidak sama dengan asli kembang warna-warni di depan cermin.

Yang di dalam cermin adalah wujud kamuflase dan yang di depan cermin itulah wujud hakiki. Entitas-entitas (al-a’yan) yang mempunyai potensi untuk bermanifestasi dikenal mempunyai dua macam. Ada yang mungkin bermanifestasi ke dalam wujud kharijiyyah, yaitu aspek batin yang tidak bertentangan dengan aspek lahiriyah disebut aspek al-Mumkinat.

Sementara itu, yang tidak termanifestasi ke dalam wujud kharijiyyah itulah yang disebut dengan aspek al-Mumtani’at. Contoh entitas yang masuk kategori al-Mumkinat ialah sifat rahmah kemudian diberi nama Al-Rahman atau Al-Rahim (Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyayang), sedangkan contoh yang termasuk al-Mumtani’at ialah Dia Yang Pertama (Al-Awwal) dan Dia juga Yang Terakhir (Al-Akhir), Dia Yang Maha Dhahir (al-Dhahir), dan Dia juga Yang Maha Bathin (Al-Bathin).

Yang terakhir ini disebut al-Mumtani’at karena merupakan forms Al-Asma’ Al-Gaibiyyah yang ekslusif di dalam Haqiqat Ilahiyyah (Divine Realities) dan tidak bisa bermanifestasi ke dalam dunia lahiriyah (al-wujud al-khariji). Semua Hakikat Ilahiyyah tidak akan pernah bakal berwujud konkret selama-lamanya. Namun, dari segi madzahirnya dapat berwujud (maujud) di level aktual (khariji).

Oleh karena setiap al-Shifat dan al-Ism masing-masing menuntut manifestasi, tak terhindarkan lahirnya berbagai manifestasi (al-katsrah/multiplicity). Dari sinilah wujud potensial bermanifestasi menjadi wujud aktual atau wujud konkret, seperti berbagai lapisan alam yang dikenal dengan alam Jabarut, Malakut, Barzakh, Syahadah, atau alam Mulk.

Dari sini juga dipahami bahwa batas dan jarak antara Tuhan dan alam dalam arti apa-apa selain Allah (ma siwa Allah) teramat dekat, bahkan Alquran sendiri menyebutnya dengan wa Nahnu aqrabu ilaihi min habl al-warid (Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya) (QS. Qaf: 16).

Garis Pemisah antara Khalik dan Makhluk (3-habis)




Wordpress.com
  
Garis Pemisah antara Khalik dan Makhluk (3-habis)

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Pertanyaan lebih mendasar dan sering diperdebatkan para teolog, yaitu bagaimana posisi Alquran? 

Apakah Alquran sebagai wahyu tetap sebagai bagian dari atau dalam lingkup al-A’yan ats-Tsabitah atau bagian dari al-A’yan al-Kharijiyyah, atau dimensi al-Kalam al-Dzati masuk di dalam al-A’yan ats-Tsabitah dan dimensi al-Kalam al-Lafdzi-nya masuk ke dalam al-A’yan al-Kharijiyyah?

Kalangan Mu’tazilah beranggapan Alquran itu baharu dalam pengertian mungkin memasukkannya di dalam al-A’yan al-Kharijiyyah. Seperti kita ketahui, kaum Mu’tazilah sangat konsisten mempertahankan keabadian tunggal Allah.

Mereka tidak mau mengakui adanya keabadian ganda (al-ta’addud al-qudama) karena hal itu bertentangan dengan Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa (Allahu Ahad), bukannya Allahu Wahid yang masih membuka adanya peluang kedua (itsnan), ketiga (tsalatsah), dan seterusnya.

Berbeda dengan ulama Sunni lainnya, khususnya ulama tasawuf, yang masih menganggap adanya al-A’yan ats-Tsabitah yang di dalamnya ada Ism dan Shifat, termasuk Alquran sebagai Kalam Allah, yang bisa dipahami adanya keabadian ganda menurut kaum Mu’tazilah. Pembahasan posisi wahyu Alquran nanti dibahas ketika kita membicarakan Maqam Nubuwwah dan Risalah.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa batas antara Khalik dan makhluk atau Al-Haq dan al-khalq ialah di luar garis batas al-A’yan ats-Tsabitah. Sekalipun al-A’yan al-Kharijiyyah masih sangat tipis jaraknya dengan Al-A’yan ats-Tsabitah, tetapi ia sudah masuk di level alam atau makhluk.

Senin, 09 April 2012

Apa Itu Insan Kamil? (3-habis)




indonesiaoptimis.com
  
Apa Itu Insan Kamil? (3-habis)
Insan kamil (ilustrasi).

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Banyak contoh alam membangkang kepada manusia sebagaimana diperlihatkan di dalam kisah-kisah umat terdahulu di dalam Alquran. 

Umat Nuh yang keras kepala (QS. 53: 52) ditimpa bencana banjir (QS. 11: 40). Umat Syu’aib yang korup (QS. 7: 85, 11: 84-85) ditimpa gempa mematikan (QS 11: 94).

Umat Saleh yang hedonistik (QS. 26: 146-149) ditimpa keganasan virus dan gempa bumi (QS. 11: 67-68). Umat Luth yang dilanda penyimpangan seksual (QS. 11: 78-79) ditimpa gempa dahsyat (QS. 11: 82). Penguasa Yaman, Raja Abrahah, yang ambisius ingin mengambil alih Ka’bah dihancurkan oleh burung/virus (QS. 105: 1-5).

Hujan tadinya menjadi sumber air bersih dan pembawa rahmat (QS. 6: 99), tiba-tiba menjadi sumber malapetaka. Banjir memusnahkan areal kehidupan manusia (QS. 2: 59). Gunung-gunung tadinya sebagai patok bumi (QS. 30: 7) tiba-tiba memuntahkan lahar panas dan gas beracun (QS. 77: 10).

Angin yang tadinya berfungsi dalam proses penyerbukan tumbuh-tumbuhan (QS. 18: 45) dan mendistribusikan awan (QS. 2: 164) tiba-tiba tampil ganas meluluhlantakkan segala sesuatu yang dilewatinya (QS. 41: 16). Lautan tadinya jinak melayani mobilitas manusia (QS. 22: 65) tiba-tiba mengamuk dan menggulung apa saja yang dilaluinya (QS. 81: 6).

Tadinya, malam membawa kesejukan dan ketenangan (QS. 27: 86) tiba-tiba menampilkan ketakutan yang mencekam dan mematikan (QS. 11: 81). Siang tadinya menjadi hari-hari menjanjikan (QS. 73: 7) seketika berubah menjadi hari-hari menyesakkan dan menyedot energi positif (QS. 46: 35).

Kilat dan guntur sebelumnya menjalankan fungsi positifnya dalam proses nitrifikasi untuk kehidupan makhluk biologis di bumi (QS. 13: 12) tiba-tiba menonjolkan fungsi negatifnya, menetaskan larva-larva (telur hama) betina, yang memusnahkan berbagai tanaman para petani (QS. 13: 12).

Disparitas flora dan fauna tadinya tumbuh seimbang mengikuti hukum-hukum ekosistem (QS. 13: 4) tiba-tiba berkembang menyalahi pertumbuhan deret ukur kebutuhan manusia sehingga kesulitan memenuhi komposisi kebutuhan karbohidrat dan proteinnya secara seimbang (QS. 7: 132).

Manakala manusia kehilangan jati dirinya sebagai insan kamil, pertanda berbagai krisis akan muncul. Sebaliknya, selama masih ditemukan kualitas insan kamil di muka bumi, sepanjang itu kiamat belum akan terjadi.

Apa Itu Insan Kamil? (2)




indonesiaoptimis.com
  
Apa Itu Insan Kamil? (2)
Insan kamil (ilustrasi).


Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Kesempurnaan lain manusia menurut Ibnu Arabi adalah diri manusia mempunyai perpaduan dua unsur penting, yaitu aspek lahir dan batin. 

Aspek lahir baharu (hadis) dan aspek batin yang tidak baharu. Seperti disimpulkan Dr Kautsar Azhari Noer dalam disertasinya, “Aspek lahir manusia adalah makhluk dan aspek batinnya adalah Tuhan.”

Kepaduan dan kesempurnaan manusia inilah yang melahirkan konsep khalifah dan ketundukan alam semesta (taskhir). Atas dasar ini maka dapat dipahami mengapa para malaikat sujud kepada Adam dan alam semesta tunduk kepada anak manusia.

Namun, perlu diketahui, konsep insan kamil menurut Ibnu Arabi maupun Al-Jili menyatakan tidak semua manusia berhak menyandang gelar ini. Manusia yang tidak mencapai tingkat kesejatiannya seperti manusia yang didikte hawa nafsunya sehingga meninggalkan keluhuran dirinya, kata Ibnu Arabi, tidak layak disebut insan kamil.

Hanyalah mereka yang telah menyempurnakan syariat dan makrifatnya benar yang layak disebut insan kamil. Manusia yang tidak mencapai tingkat kesempurnaan lebih tepat disebut binatang menyerupai manusia dan tidak layak memperoleh tugas kekhalifahan.

Perlu ditegaskan kembali, kesempurnaan manusia bukan terletak pada kekuatan akal dan pikiran (an-nuthq) yang dimilikinya, melainkan pada kesempurnaan dirinya sebagai lokus penjelmaan diri (tajalli) Tuhan. Manusia menjadi khalifah bukan karena kapasitas akal dan pikiran yang dimilikinya.

Alam raya tunduk kepada manusia bukan pula karena kehebatan akal pikirannya, tetapi lebih pada kemampuan manusia mengaktualisasikan dirinya sebagai insan kamil. Kemampuan aktualisasi diri ini bukan kerja akal, melainkan kerja batin, yakni kemampuan intuitif manusia menyingkap tabir yang menutupi dirinya dari Tuhan.

Kekuatan intuitif (kasyf) dan rasa (dzauq) jauh lebih dahsyat daripada akal pikiran. Tidak semua manusia secara otomatis mampu menjadi insan kamil. Ia memerlukan perjuangan dan mungkin perjalanan panjang. Tidak cukup bermodal kecerdasan logika dan intelektual. Yang lebih penting adalah kecerdasan emosional-spiritual.

Modal utama menjadi khalifah di bumi pun tidak cukup dengan kecerdasan logika dan intelektual, tetapi diperlukan juga kualitas insan kamil. Saat alam dikelola manusia yang tidak berkualitas insan kamil, selain menimbulkan ancaman yang dikhawatirkan malaikat, yaitu kerusakan alam dan pertumpahan darah (QS. Al-Baqarah: 30), alam juga belum tentu mau tunduk kepada manusia.

Apa Itu Insan Kamil? (1)




indonesiaoptimis.com
  
Apa Itu Insan Kamil? (1)
Insan kamil (ilustrasi)
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

Insan kamil atau manusia paripurna dibahas secara khusus oleh para sufi, khususnya Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al-Jili. Pengertian insan kamil tidak sesederhana seperti yang selama ini dipahami kalangan ulama, yaitu manusia teladan dengan menunjuk pada figur Nabi Muhammad SAW.

Bagi para sufi, insan kamil adalah lokus penampakan (madzhar) diri Tuhan paling sempurna, meliputi nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah SWT memilih manusia sebagai makhluk yang memiliki keunggulan (tafadhul) atau ahsani taqwim (ciptaan paling sempurna) menurut istilah Alquran. 

Disebut demikian karena di antara seluruh makhluk Tuhan manusialah yang paling siap menerima nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Makhluk lainnya hanya bisa menampakkan bagian-bagian tertentu. Bandingkan dengan mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan malaikat tidak mampu mewadahi semua nama dan sifat-Nya.

Itulah sebabnya mengapa manusia oleh Seyyed Hossein Nasr disebut sebagai satu-satunya makhluk teomorfis dan eksistensialis, seperti dijelaskan pada artikel yang lalu. Lagi pula, unsur semua makhluk makrokosmos dan makhluk spiritual tersimpul dalam diri manusia. Ada unsur mineral, tumbuh-tumbuhan, dan binatang sebagai makhluk fisik.

Ada juga unsur spiritualnya yang non-fisik, yakni roh. Tegasnya, manusia sempurna secara kosmik-universal dan sempurna pula pada tingkat lokal-individual. Itu pula sebabnya manusia sering disebut miniatur makhluk makrokosmos (mukhtasar al-‘alam) atau mikrokosmos (al-insan al-kabir).

Keparipurnaan manusia diungkapkan pula dalam ayat dan hadis. Dalam Alquran disebutkan, manusia diciptakan paling sempurna (QS. At-Tin: 4) dan satu-satunya makhluk yang diciptakan dengan “dua tangan” Tuhan (QS. Shad: 75), dan diajari langsung oleh Allah semua nama-nama (QS. Al-Baqarah: 31).

Dalam hadis-hadis tasawuf, banyak dijelaskan keunggulan manusia, seperti,Innallaha khalaqa ‘Adam ‘ala shuratih (Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya). Oleh kalangan sufi, ayat dan hadis itu dinilai bukan saja menunjukkan manusia sebagai lokus penjelmaan (tajalli) Tuhan paling sempurna, melainkan juga seolah menjadi nuskhah atau salinan. Menurut istilah Ibnu Arabi disebut as-shurah al-kamilah.

Manusialah satu-satunya makhluk yang mampu mengejawantahkan nama dan sifat Allah baik dalam bentuk keagungan maupun keindahan Allah. Malaikat tidak mungkin mengejawantahkan sifat Allah Yang Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan Maha Penerima Taubat karena malaikat tidak pernah berdosa.

Tuhan tidak bisa disebut Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan Maha Penerima Taubat tanpa ada makhluk dan hambanya yang berdosa, sementara malaikat tidak pernah berdosa. Demikian pula makhluk-makhluk Allah lain yang hanya mampu mengejawantahkan sebagian nama dan sifat Allah. Dari sinilah sesungguhnya manusia disebut insan kamil.

Apa Itu Nur Muhammad? (3-habis)




Blogspot.com
  
Apa Itu Nur Muhammad? (3-habis)
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar

"Sampai hari ini, ujung qalam itu tetap terbelah dua dan tersumbat sehingga dia tidak menulis, sebagai tanda dari rahasia Ilahi." 

"Oleh karena itu, jangan ada seorang pun gagal dalam memuliakan dan menghormati nabinya atau menjadi lalai dalam meneladaninya. Selanjutnya, Allah memerintahkan qalam untuk menulis."

"Qalam bertanya, Apa yang harus saya tulis, ya Allah? Dijawab oleh Allah, Tulislah semua yang akan terjadi sampai hari pengadilan. Qalam pun kembali bertanya tentang apa yang harus ia mulia tuliskan. Allah menegaskan, agar qalam memulai dengan kata-kata, Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahim."

"Dengan rasa hormat dan takut yang sempurna, kemudian qalam bersiap menulis kata-kata itu pada Lauh Al-Mahfudz dan menyelesaikan tulisan itu dalam kurun waktu 700 tahun. Saat qalam telah menulis kata itu, Allah menyatakan bahwa qalam telah menghabiskan 700 tahun menulis tiga nama-Nya."

Ketiga nama itu adalah nama keagungan-Nya, kasih sayang-Nya, dan empati-Nya. Tiga kata-kata yang penuh barakah ini dibuat sebagai hadiah bagi umat kekasih-Nya, yaitu Muhammad. Di samping ayat dan hadis tersebut di atas juga masih ada nasihat atau perkataan yang menarik untuk dikaji bersama.

Antara lain, ungkapan yang disampaikan Al-Khallaj sebagai berikut, "Maha Suci (dzat) yang nasut-Nya telah melahirkan rahasia cahaya lahut-Nya yang cemerlang; kemudian ia kelihatan bagi makhluk-Nya secara nyata dan dalam bentuk (manusia) yang makan dan minum."

Mungkin inilah sebabnya mengapa Nabi Muhammad memiliki berbagai keutamaan, seperti satu-satunya yang bisa mengakses langsung Sidrah Al-Muntaha, maqam paling puncak, diberi Lailah Al-Qadr, diberi hak memberi syafaat di hari kiamat, umatnya paling pertama dihisab, paling pertama masuk surga, dan paling berhasil misinya.

Dalam kitab Fushush Al-Hikam karya Ibnu Arabi, dibahas lebih mendalam hakikat Nur Muhammad (Haqiqah Al-Muhammadiyyah). Yang menarik di dalam pembahasan itu, kita semua umat manusia mempunyai  unsur-unsur kemuhammadan (Muhammadiyyah) seperti halnya di dalam diri manusia terdapat unsur-unsur keadaman (Adamiyyah).

Muhammadiyyah, Adamiyyah, dan sejumlah manusia suci lainnya, ternyata bermakna fisik dan simbolis, atau makna esoteris di samping eksoteris. Uraian tentang Nabi Muhammad, kemuhammadan, dan Nur Muhammad serta relasinya dengan kita sebagai sebagai makhluk mikrokosmos sangat menarik disimak.

Terlepas apakah nanti setuju atau tidak setuju keseluruhannya, itu wilayah otonomi intelektualitas kita masing-masing. Wallahua’lam.

Apa Itu Nur Muhammad? (2)




Blogspot.com
  
Apa Itu Nur Muhammad? (2)
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Ia disebut sebagai nabi pertama dalam arti bapaknya para ruh (abu al-warh al-wahidah), nabi terakhir karena memang ia sebagai khatam an-nubuwwah wa al-mursalin. 

Sedangkan, Nabi Adam hanya dikenang sebagai bapak biologis (abu al-jasad). Jika dikatakan Muhammad SAW nabi pertama dan terakhir bagi Allah SWT, tidak ada masalah.

Nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang kelihatannya paradoks, seperti al-awwal wa al-akhir, al-dhahir wa al-bathin, al-jalal wa al-jamal, juga tidak ada masalah bagi-Nya, karena itu semua hanya di level puncak (al-a’yan ats-tsabitah) atau wujud potensial, tidak dalam wujud aktual (wujud al-kharij).

Dasar keberadaan Nur Muhammad dihubungkan dengan sejumlah ayat dan hadits. Di antaranya, "Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya (Nur) dari Allah dan kitab yang menerangkan." (QS. Al-Maidah 15).

Ayat lainnya, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu), bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab: 21). Ada pula hadits, "Saya adalah penghulu keturunan Adam pada hari kiamat."

Hadits riwayat Bukhari menjadi dasar lainnya, yaitu "Aku telah menjadi nabi, sementara Adam masih berada di antara air dan tanah berlumpur." Ada lagi suatu riwayat panjang yang banyak ditemukan dalam literatur tasawuf dan literatur-literatur Syiah adalah pertanyaan Sayyidina Ali RA kepada Rasulullah.

"Wahai Rasulullah, mohon dijelaskan apa yang diciptakan Allah sebelum semua makhluk diciptakan?" 

Rasul menjawab, "Sebelum Allah menciptakan yang lain, terlebih dahulu Ia menciptakan nur nabimu (Nur Muhammad). Waktu itu belum ada lauh al-mahfuz, pena (qalam), neraka, malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, bintang, jin, dan manusia.

Kemudian dengan iradat-Nya, Dia menghendaki adanya ciptaan. Ia membagi Nur itu menjadi empat bagian. Dari bagian pertama, Ia menciptakan qalam, lauh al-mahfuz, dan Arasy. Ketika Ia menciptakan lauh al-mahfuz dan qalam, pada qalam itu terdapat seratus simpul.

Jarak antar simpul sejauh dua tahun perjalanan. Lalu, Allah memerintahkan qalam menulis dan qalam bertanya, 'Ya Allah, apa yang harus saya tulis?' Allah menjawab, 'Tulis La Ilaha illa Allah, Muhammadan Rasul Allah.' Qalam menjawab, 'Alangkah agung dan indahnya nama itu, ia disebut bersama asma-Mu Yang Maha Suci.'

Allah kemudian berkata agar qalam menjaga perilakunya. Menurut Allah, nama tersebut adalah nama kekasih-Nya. Dari nur-Nya, Allah menciptakan Arasy, qalam, dan lauh al-mahfuz. Jika bukan karena dia, ujar Allah, dirinya tak akan menciptakan apa pun. Saat Allah menyatakan hal itu, qalam terbelah dua karena takutnya kepada Allah."