Tulisan Berjalan

NIKMATILAH PEKERJAANMU NISCAYA KAMU AKAN MENEMUKAN KEBAHAGIAAN YG TERPENDAM

Selasa, 24 April 2012

IMAN YANG PALING ESENSIAL (Bagian 2 habis)




Ajaran Islam sebenarnya menawarkan kepada penganutnya agar kita selalu membuat renstra (rencana strategis) kehidupan. Inilah makna beriman kepada yang ghaib yang sesungguhnya. Beriman kepada Allah yang memiliki dimensi bathin tidak mungkin dapat dihadirkan dalam fisualisasi apapun, tetapi beriman kepada Allah pada dimensi lahir (dzohir) terbentang di alam jagat raya ini.

Allah (dalam pandangan Islam) diperkenalkan oleh Alqur'an lewat asma-Nya. Lewat asma-asma-Nya itulah orang-orang yang mengimaninya diminta untuk meneladani sifat-sifat Allah. Allah (Al Khaaliq), agar kita meneladani dengan kreatif, berkarya dan berdaya guna. Allah berfirman dalam Alqur'an surat Al-Kahfi (18) ayat 110 menegaskan yang artinya : “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya” Allah Yang Maha Rahman dan Rahim mengharuskan hamba-Nya meneladani sifat itu, sehingga hidup ini terasa nyaman karena ada keramahan, ada kasih sayang yang mendalam antar sesama. Mengapa yang terjadi di dalam hidup ini, justru sebaliknya.

Adakah kaitan dengan rapuhnya keberimanan terhadap yang ghaib. Inilah persoalan-persoalan keberagamaan yang kini kita rasakan bersama untuk dicarikan model pembelajaran yang efektif dan berdaya tangkal yang kokoh. Berkenaan dengan nama Tuhan dalam al-Qur’an diungkap dengan redaksi yang berbeda-beda. Ada kata “Allah”, ada kata “Rabb”, dan kata “Ilah”. Semua kata itu diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai Tuhan. Al-Qur’an menjelaskan tentang Tuhan sama sekali tidak menyinggung zat karena penjelasan tentang Tuhan dari dimensi zat tidak akan terjangkau oleh pikiran manausia. Itu sebabnya Al-Qur’an menjelaskan-Nya dari dimensi sifat. Karena sifat berbicara fungsional seperti “Al Khaaliq” (Maha Pencipta), “Al ‘Aliim” (Maha Mengetahui), “Al Mulk” (Yang Maha Raja), “Al Qadiir” (Maha Kuasa), dan lain-lain.
Pengungkapan sifat-sifat ini sesuai dengan makna beragama yang berarti mencontoh atau meneladani sifat-sifat Tuhan. Manusia memiliki potensi untuk mencontoh sifat-sifat ini. Karena itu manusia dipilih Allah menjadi khalifah-Nya di bumi (khaliifatulllahi fil ardhi). Pada hakikatnya tugas manusia di bumi ada dua yaitu: mengabdi (‘ibaadah) dan tugas merawat kemakmuran bumi. Demi suksesnya tugas yang pertama ia harus berbekal imtaq dan untuk kesuksesan tugas yang kedua harus berbekal iptek. Pendidikan di negeri ini juga mestinya diarahkan untuk kesuksesan menjalankan kedua tugas di atas. Tuhan diperkenalkan al-Qur’an di mulai dengan kata “Allah” yang ini disebut “lafzhul jalaalah". Kata tertinggi baru diiringi dengan kata sifat, “al Rahmaan al Rahiim” seperti di dalam “bismillaahiramanirrahiim” . Lalu manusia diminta untuk memulainya dengan memujinya "al hamdu” segala puji. Kata segala (dalam segala puji) sebenarnya tidak diwakili oleh kata khusus melainkan oleh makna teologis bahwa tidak ada yang berhak mendapat pujian kecuali hanya Allah. Dan pujian terhadap semua makhluk Allah pada hakeketnya memuji yang menciptakannya
Siapa Tuhan yang kita puji itu. Itulah “rabbul ‘Aalamiin” Tuhan penguasa jagad raya. Tuhan yang merawat dan memelihara alam semesta. Tuhan yang memiliki sifat “al Rahmaan al Rahiim”. Jadi, bila “Rabb” yang kita imani, dan dari kata ini pula muncul kata “Tarbiyatun” (pendidikan), maka pendidikan yang dijalankan adalah pendidikan yang juga fungsional memperkenalkan sifat-sifat Tuhan. Perhatikan pengungkapan kata “Rabb” dalam Al-Qur’an “ada rabbin naas, ada rabba hadzal baiti, ada rabbun rahiim”, dan ada “rabbun ghafuur”. Semuanya menunjukkkan kata-kata yang fungsional dan aplikatif agar bumi dan segala isinya yang dalam genggamannya terpelihara. Lalu dimana tugas kekhalifan manusia diperankan agar amanat Allah yang rabbul ‘alamin terjamin, terpelihara dan dipertanggung jawabkan. Al-Qur’an baru menawarkan gagasan ide dalam konsep manusia dalam akalnya dipersilahkan membumikan konsep itu dalam rumusan-rumusan yang aplikatif disesuaikan dengan dunia realitas masing-masing. Tuhan yang merawat (pemilik) rumah ini (negeri ini) yang berusaha mengenyangkan yang lapar dan berusaha menghilangkan rasa takut.
Model pendidikan seperti apa yang diinginkan Al-Qur’an agar kesejahteraan (lapangan kerja) terpenuhi dan rasa aman/hukum, politik dan ekonomi juga terjamin. Manusia hukum, manusia ekonomi dan politik tentu harus memiliki persepsi yang sama tentang tugas-tugasnya di bumi (ber-Tuhan yang universal). Lihat pula kata “Rabb” dalam surat As Syu’aara 77-81 yang artinya berbunyi: “Mereka (penyembah berhala) itu musuh-musuhku kecuali yang menyembah Tuhan alam semesta, yakni yang menciptakan lalu memberi petunjuk. Dialah yang memberi makan dan minum, apabila aku sakit dialah yang memberi kesembuhan dan dialah yang mematikanku lalu menghidupkannya”. Jadi soal makan/minim, hidup, mati, sakit, sehat, ada di tangan kekuasaannya. Lalu bagaimana mewujudkan itu semua agar kita meneladani sifat-sifatnya. Apa mungkin lembaga pendidikan yang terlantar dapat menghasikan lulusan yang handal, konpetitif dan kreatif. Bagaimana muslim berintereaksi dengan ayat-ayat di atas, agar bumi Allah dalam wilayah Indonesia dapat menjamin makan dan minum sehat sejahtera.
Beriman kepada yang ghaib seperti dinyatakan dalam Alqur'an surat Qaaf (?) akan mendekatkan seseorang pada surganya yang telah Allah janjikan. Perhatikan bunyi Alqur'an surat Qaaf ayat 31-33 yang artinya sebagai berikut: “Surga itu akan didekatkan untuk orang-orang yang taqwa dan tidaklah jauh. Itulah yang dijanjikan kepadamu untuk setiap orang yang mau kembali dan menjaga rambu-rambu Ilahi. Orang yang takut kepada Allah yang pengasih (yang maha ghaib) akan datang dengan hati yang taubat.” Pemikiran umat Islam kini, terbalik sehingga tidak bisa membedakan mana kebenaran dan mana kebathilan, adalah lantaran keimanan hanya terpaut kepada yang nyata dan kasyaf mata. Aby (disarikan dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar: