Tulisan Berjalan

SUKSES KOMUNITAS MAJU JOS, AKHIRNYA BIMBINGAN DIGITAL MARKETING SECARA GRATIS TANPA BATAS TELAH MEMBERI MANFAAT BESAR

Kamis, 19 Juli 2012

HISAB DALAM PENENTUAN BULAN QOMARIYAH



   DALIL MENGGUNAKAN HISAB
A.    Al Quran
1.      QS.55:5



5. matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan..

2.        QS.1:189

189. mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji;

3.       QS.Yunus : 5



5. Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak[669]. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.

4.       Qs. Yasin : 38-40

38. dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha mengetahui.


39. dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir) Kembalilah Dia sebagai bentuk tandan yang tua
40. tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.
5.  QS. At-Taubah: 36

Artinya: “Sesungguhnya jumlah bulan-bulan di sisi Allah adalah dua belas yang tertulis dalam kitabullah (Al-Lauh Al-Mahfudz) pada hari ketika Allah menciptakan langit dan bumi yang di antara bulan-bulan tersebut empat bulan haram.”
B. HADITS
1.   Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَةُ لاَنَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ، الْهِلاَلُ هَكَذَا هَكَذَا
            “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummiyah, tidak (bisa) menulis dan tidak (bisa) menghitung, bulan adalah begini dan begini(.kadang 29 kadang 30)’” (HR. Bukhari)
صُوْمُوا لِرُؤيَتِهِ وَافطِرُوا لِرُؤيَتِهِ فَاِنْ غَبِيَ عَلَيكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلآثِينَ  (متفق عليه)
2.      Artinya:           Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal) dan ahirilah shaum bila kalian melihatnya (hilal). Tetapi jika terhalang maka genapkanlah bilangan Sya’ban 30 hari. (HR. Bukhari-Muslim)
صُوْمُوا لِرُؤيَتِهِ وَافطِرُوا لِرُؤيَتِهِ فَاِنْ حَالَ بَبْنَكُمء وَبَيْنَهُ سَحَابٌ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلآثِينَ  (رواه أحمد بن حنبل)
3.      Artinya:           Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal) dan ahirilah shaum bila kalian melihatnya (hilal). Tetapi jika antara kalian dengan hilal terhalang awan, maka genapkanlah bilangan Sya’ban 30 hari. (HR. Ahmad Bin Hanbal)

صُوْمُوا لِرُؤيَتِهِ وَافطِرُوا لِرُؤيَتِهِ فَاِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُم فَاقْدُرُوا لَهُ ثَلآثِينَ  (رواه مسلم)
Artinya:           Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal) dan ahirilah shaum bila kalian melihatnya (hilal). Tetapi jika terhalang maka tetapkanlah (shaum) 30 hari. (HR. Muslim)

اِذَا رَأيْتُمُوا الـهِلاَلَ فَصُومُوا واِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطرُوا فَاِن غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلاَثِينَ (رواه مسلم)
4.       Artinya:          Apabila kalian melihat hilal, maka shaumlah dan jika kalian melihat hilal (kembali) maka ahirilah shaum. Tetapi jika terhalang (sehingga hilal tidak terlihat) shaumlah 30 hari. (HR. Muslim)


عن كريب أنّ أمّ الفضل بنت الحارث بعثه إلى معاوية بالشام قدمت الشام فقضيت حاجتها فاستهل علي رمضان وأنا بالشام فرأيت الهلال ليلة الجمعة ثم قدمت المدينة فى أخر الشهر فسئلنى عبد الله بن عباس ثم ذكر الهلال فقال متى رأيتم الهلال؟ فقلت رأيناه ليلة الجمعة فقال أنت رأيتها؟ فقلت نعم, و رأه الناس و صاموا وصام معاوية فقال لكنّ رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه فقلت أو لا تكتفى برأية معاوية و صامه؟ فقال: هكذا أمرنا رسول الله ص. (رواه مسلم)
5. Artinya: dari Kuraib sesungguhnya Ummul Fadlal binti al-Harits telah mengutusnya ke Mu’awiyah di Syam (Syiria). Ia berkata, saya telah sampai di Syam lalu saya menyelesaikan keperluannya (Ummul Fadlal) dan nampaklah padaku hilal bulan Ramadhan sedangkan saya berada di Syam dan saya melihat hilal pada malam Jum’at, lalu sampai di Madinah akhir bulan (Ramadhan). Saya ditanya oleh Abdullah bin Abbas lalu ia mengatakan tentang hilal, lalu ia bertanya: “Kapan kalian melihat hilal?”, saya menjawab: “Kami melihatnya malam Jum’at?” Ia bertanya: “Engkau melihatnya sendiri?”, saya menjawab: “Ya, bahkan orang-orang juga melihatnya lalu mereka shaum dan Mu’awiyah pun shaum”, Ia berkata: “Akan tetapi kami melihat hilal malam Sabtu, oleh karena itu kami akan terus shaum sampai sempurna tiga puluh hari atau kami melihat hilal”, Saya bertanya: ”Apakah anda tidak merasa cukup dengan  rukyat Mu’awiyah dan shaumnya?”, Ia menjawab: “Demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami”. (H.R. Muslim)

Memahami hadits 
Berpuasalah bila kalian melihatnya (hilal)
Memilki dua makna
1.       Melihat dengan mata sebabnya adalah karena pada waktu itu umat dalam kedaan ummi  (لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ),tidak bisa menulis dan menghitung )
2.      Melihat dengan ilmu yaitu ketika umat islam sudah bisa menulis dan menghitung atau sudah ada diantara mereka yang ahli hisab maka hukumnya berubah artinya bisa dengan hisab. Karena bulan dan matahari memilki qodar yang bisa diukur.

Dalam penetapan puasa Ramadan yang menjadi ilat (sebab wajibnya) bukan ru’yahnya (melihat hilal) tapi masuknya bulan baru yaitu 1 ramadhan penentuan ini dalah dengan adanya hilal (wujudul hilal) pada tanggal 29 syaban. Jadi ru’yah maupun hisab itu hanya wasilah bukan aspek ta’abudi.

فَاِنْ غَبِيَ عَلَيكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلآثِينَ
Tetapi jika terhalang maka genapkanlah bilangan Sya’ban 30 hari

Al-Qarafi (w. 684/1285), seorang ulama Maliki terkemuka, menjelaskan mengapa dibedakan antara kebolehan menggunakan hisab untuk menentukan waktu-waktu salat dan ketidakbolehan penggunaannya untuk penetapan awal Ramadan dan Syawal. Inti argumen al-Qarafi adalah bahwa sebab syar’i wajibnya mulai mengerjakan salat adalah masuknya waktu secara umum, dan masuknya waktu itu dapat ditentukan dengan metode apa saja baik hisab maupun lainnya. sedangkan sebab syar‘i wajibnya puasa Ramadan dan Idulfitri adalah rukyat sehingga oleh karena itu harus dilakukan rukyat. Namun pendapat Al-Qarafi ini dinilai tidak logis dan karena itu ditolak antara lain oleh Syeikh az-Zarqi (w. 1420/1999). Ia menegaskan bahwa,..... perbedaan yang dijelaskan oleh al-Qarafi antara sebab syar’I salat dan sebab syar’i puasa Ramadan, dan anggapannya bahwa sebab syar’i wajibnya memulai puasa adalah rukyat hilal, bukan masuknya bulan seperti halnya salat yang sebab syar’inya adalah masuknya waktu salat, tidaklah dapat diterima. Tidak ada perbedaan sama sekali antara salat dan puasa; sebab wajibnya melaksanakan keduanya adalah masuknya waktu untuk mengerjakannya, yaitu masuknya waktu salat fardu yang lima dan masuknya bulan Ramadan.Rukyat hilal bukan sebab syar’i bagi puasa atau Idulfitri. Sebab bilamana demikian, maka kewajiban puasa hilang apabila awan menutupi seluruh bagian suatu negeri, sekalipun penduduk negeri itu menggenapkan bulan Syakban tiga puluh hari, karena sebab syar’i untuk wajib memulai puasa belum ada, yaitu terjadinya rukyat hilal. Bagaimana suatu musabab (akibat) timbul sebelum adanya sebab? Sabda Rasul saw, “Jika hilal tertutup oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan (sedang berjalan) tiga puluh hari,” membatalkan pendapat al-Qarafi bahwa sebab wajibnya memulai puasa adalah rukyat hilal. Penegasan wajibnya mulai puasa dengan telah genapnya bilangan bulan berjalan tiga puluh hari dalam hal hilal tertutup awan artinya adalah bahwa yang menjadi patokan adalah  kepastian telah masuknya bulan baru, karena bulan kamariah tidak mungkin lebih dari tiga puluh hari. Jika kita sudah menggenapkan bilangannya tiga puluh hari, kita dapat memastikan bulan baru telah masuk sekalipun kita tidak melihat hilalnya. Jadi bukanlah rukyat yang menjadi sebab syar’i,melainkan masuknya bulan baru. Dengan demikian pembedaan yang dibuat oleh al-Qarafi adalah pembedaan dan analisis yang tidak berdasar.

C. ARGUMEN lain  MENGGUNAKAN HISAB
Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredarmenurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedarmenginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkanbahwa kegunaannya untuk mengetahi bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi,tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskanoleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dantidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yaknikadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari”..Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab,maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahlihisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebutbahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafi murni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat memprediksi tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapatsuatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.  Kawasan bumi di atas lintangutara 60 derajat dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidaknormal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atauterlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelahtimur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknyalebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya.
Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.
II.                BEBERAPA KRITERIA YANG DIGUNAKAN DALAM HISAB
a.      Macam-macam  Hisab

Secara umum hisab  sebagai metode  perhitungan  awal  bulan kamariah  dapat  dibedakan  menjadi  dua  macam,  yaitu  (1)  Hisab Urfi, Dan  (2) Hisab  Hakiki.

1 . Hisab  Urfi

Hisab  urfi, yang  terkadang  dinamakan pula hisab adadi atau

hisab  alamah,  adalah  metode  perhitungan  untuk  penentuan  awal bulan  dengan  berpatokan  tidak  kepada  gerak  hakiki  (sebenarnya) dari  benda  langit  Bulan.  Akan  tetapi  perhitungan  itu  didasarkan kepada  rata-rata  gerak Bulan  dengan mendistribusikan jumlah hari ke dalam bulan secara berselang-seling antara bulan bernomor  urut ganjil  dan  bulan  bernomor  urut  genap  dengan  kaidah-kaidah tertentu.  Dengan  kata  lain  hisab  urfi  adalah  metode  perhitungan bulan  kamariah  dengan  menjumlahkan  seluruh  hari  sejak  tanggal

1  Muharam  1  H  hingga  saat  tanggal  yang  dihitung  berdasarkan kaidah-kaidah  yang  keseluruhannya  adalah  sebagai  berikut:

1. Tahun Hijriah dihitung  mulai 1 Muharam tahun 1 H  yang jatuh bertepatan  dengan  hari  Kamis  15  Juli  622  M atau  hari Jumat 16 Juli 622 M (ada perbedaan  pendapat ahli  hisab urfi tentang ini).

2. Tahun Hijriah  dibedakan menjadi tahun  basitat  (tahun  pendek) dan  tahun  kabisat  (tahun  panjang).

3. Jumlah  hari  dalam  satu  tahun untuk  tahun  basitat adalah  354 hari, dan tahun basitat itu ada  19 tahun selama  satu periode 30 tahun.

4. Jumlah  hari  dalam  satu  tahun  untuk  tahun  kabisat  adalah 355 hari,  dan tahun kabisat  itu ada 11  tahun dalam satu periode  30 tahun.

5. Jumlah  seluruh  hari dalam  satu  periode  30  tahun adalah  10631 hari.

6. Tahun kabisat adalah  tahun-tahun  kelipatan  30 ditambah  2, 5,7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan 29 (namun ada banyak variasi jadwal tahun  kabisat selain  ini).

7. Umur bulan dalam 1 tahun menurut hisab urfi  berselang-seling antara  30  dan  29  hari.

8. Bulan-bulan yang  bernomor urut  ganjil  dipatok usianya 30 hari.

9. Bulan-bulan  bernomor  urut  genap  dipatok  usianya  29  hari,

kecuali  bulan  Zulhijah,  pada  setiap  tahun  kabisat  diberi tambahan  umur  satu  hari  sehingga  menjadi  30  hari.

Konsekuensi  dari  metode  penetapan  bulan  kamariah  seperti

dikemukakan  di  atas  adalah  bahwa  mulainya  bulan  kamariah dalam hisab urfi tidak selalu sejalan  dengan kemunculan Bulan di langit:  bisa  terdahulu  atau  bisa bersamaan atau bisa terlambat dari kemunculan Bulan di langit.  Misalnya bulan Ramadan dalam hisab urfi ditetapkan umurnya 30 hari  karena merupakan bulan bernomor urut  ganjil  (bulan  ke-9),  padahal  bulan  Ramadan  berdasarkan kemunculan  Bulan di  langit  bisa  saja  berumur  29  hari.

Kelemahan  hisab  urfi adalah:

1) Tidak  ada  kepastian  tentang  tanggal  1  Muharam  1  H  apakah bertepatan  dengan  hari  Kamis  15 atau hari Jumat  16 Juli 622 M  dan perbedaan itu  akan  mengakibatkan perbedaan penetapan awal  bulan  baru.

2) Tidak  ada  kesepakatan  tentang  jadwal tahun  kabisat, sehingga perbedaan  itu  akan  berakibat perbedaan  perhitungan  dan  mulai awal  bulan  baru.

3) Hisab  urfi  dapat  mengakibatkan  mulai  bulan  baru  sebelum Bulan  di  langit lahir atau  sebaliknya  bisa terjadi belum masuk bulan baru pada  hal Bulan di  langit sudah terlihat  secara jelas; hal  itu  karena  mulai  dan  berakhirnya  bulan  urfi  tidak  selalu sejalan  dengan gerak faktual Bulan di  langit.

4) Dengan  penggunaan  hisab  urfi  untuk  waktu  2571  tahun, kalender Hijriah urfi  harus  dikoreksi karena  kelebihan satu hari sebagai  akibat  dari  sisa  waktu  2,8  detik  tiap  bulan  belum didistribusikan  ke  dalam  bulan  dan  tahun.  Sisa  waktu  itu terakumulasi  dalam  tempo  tersebut  mencapai  satu  hari.

5) Kurang  sejalan  dengan  sunnah  Nabi  saw  tentang  Ramadan, karena hisab urfi  mematok usia  Ramadan  30  hari secara  tetap, sementara  Rasulullah  saw  sendiri  Ramadannya  terkadang  30 hari  dan  terkadang  29  hari  sesuai  dengan  gerak  sebenarnya Bulan  di  langit,  dan  bahkan  Ramadan  beliau  lebih  banyak  29 hari [menurut Ibn ¦ajar (w. 852 H / 1449 M) dari sembilan kali Ramadan  yang  dialaminya,  hanya  dua  kali  beliau  puasa Ramadan  30  hari,  selebihnya  29  hari].
Sebagian kecil penganut aliran seperti  Jamaah An Nadzir Gowa, Naqsabandiyah Padang, Naqsyabandiyah Khalidiyah Jombang Jatim,  dan Sattariyah Medan. serta beberapa kelompok masyarakat yang menggunakan hisab urfi kemungkinan dapat berbeda dengan penetapan pemerintah


2 . Hisab  Hakiki

Hisab  hakiki adalah metode  penentuan awal  bulan  kamariah

yang dilakukan dengan  menghitung  gerak  faktual  (sesungguhnya) Bulan  di langit  sehingga bermula dan berakhirnya bulan kamariah mengacu  pada  kedudukan  atau  perjalanan  Bulan  benda  langit tersebut.  Hanya  saja  untuk  menentukan  pada  saat  mana  dari perjalanan  Bulan  itu  dapat  dinyatakan  sebagai  awal  bulan  baru terdapat  berbagai  kriteria  dalam  hisab  hakiki  untuk menentukannya.  Atas  dasar  itu  terdapat  beberapa  macam  hisab hakiki  sesuai dengan kriteria yang diterapkan masing-masing untuk menentukan  awal  bulan  kamariah.  Berbagai  kriteria  dimaksud adalah:
Berbagai Kriteria








1. Menurut Kriteria Rukyat Hilal ( Limit Danjon )
Visibilitas pada hari rukyat (6/12/10) memungkinkan hilal dapat disaksikan walaupun dibutuhkan peralatan optik berupa teleskop yang dilengkapi dengan pemandu posisi Bulan. Menurut Kriteria Danjon hilal baru dapat disaksikan jika sudut elongasi Bulan terhadap Matahari minimal sebesar 7° sementara pada hari rukyat tersebut elongasi Bulan terhadap Matahari mencapai 8° sehingga sudah di atas Limit Danjon. Berdasarkan kriteria ini maka awal bulan Muharram 1432 H akan jatuh pada: Selasa, 7 Desember 2010.













2. Menurut Kriteria Hisab Imkanur Rukyat 
Pemerintah RI melalui pertemuan Menteri-menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) menetapkan kriteria yang disebut Imkanur Rukyah yang dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan bulan pada  Kalender Islam negara-negara tersebut yang menyatakan :
Hilal dianggap terlihat  dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut: 
(1)· Ketika Matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas horison tidak kurang dari 2° dan 
(2). Jarak lengkung Bulan-Matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3°. Atau  
(3)· Ketika Bulan terbenam, umur Bulan tidak kurang dari 8 jam selepas konjungsi/ijtimak berlaku.  

Menurut Peta Ketinggian Hilal di atas pada hari pertama ijtimak semua syarat Imkanurrukyat MABIMS sudah terpenuhi. Dengan demikian  awal bulan jatuh pada : Selasa, 7 Desember 2010.














3. Menurut Kriteria Hisab Wujudul Hilal
Kriteria Wujudul Hilal dalam penentuan awal bulan Hijriyah  menyatakan  bahwa : "Jika setelah terjadi ijtimak, bulan terbenam setelah terbenamnya matahari maka malam itu  ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian bulan saat matahari terbenam". Berdasarkan posisi hilal saat matahari terbenam di beberapa bagian wilayah Indonesia maka syarat wujudul hilal baru terpenuhi pada hari Senin, 6 Desember 2010, sehingga awal bulan akan jatuh pada : Selasa, 7 Desember 2010.











4. Menurut Kriteria Kalender Hijriyah Global
Universal Hejri Calendar (UHC) merupakan Kalender Hijriyah Global usulan dari Komite Mawaqit dari Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS) berdasarkan hasil Konferensi Ke-2 Atronomi Islam di Amman Jordania pada tahun 2001. Kalender universal ini membagi wilayah dunia menjadi 2 region sehingga sering disebut Bizonal Hejri Calendar. Zona Timur meliputi  180° BT ~ 20° BB sedangkan Zona Barat meliputi 20° BB ~ Benua Amerika. Adapun kriteria yang digunakan tetap mengacu pada visibilitas hilal (Limit Danjon).

Pada hari pertama ijtimak zone Timur dan Barat belum masuk dalam kriteria Limit Danjon. Dengan demikian awal bulan di masing-masing zona akan jatuh pada :
Zona Timur :  Selasa, 7 Desember 2010
Zona Barat :  Selasa, 7 Desember 2010

5. Menurut Kriteria Rukyat Hilal Saudi
Kurangnya pemahaman terhadap perkembangan dan modernisasi ilmu falak yang dimiliki oleh para perukyat sering menyebabkan terjadinya kesalahan identifikasi terhadap obyek yang disebut "Hilal" baik yang "sengaja salah" maupun yang tidak disengaja. Klaim terhadap kenampakan hilal oleh seeorang atau kelompok perukyat pada saat hilal masih berada di bawah "limit visibilitas" atau bahkan saat hilal sudah di bawah ufuk sering terjadi.  Sudah bukan berita baru lagi bahwa Saudi kerap kali melakukan istbat terhadap laporan rukyat yang "kontroversi".
Kalender resmi Saudi yang dinamakan "Ummul Qura" yang telah berkali-kali mengganti kriterianya hanya diperuntukkan sebagai kalender untuk kepentingan non ibadah. Sementara untuk ibadah Saudi tetap menggunakan rukyat hilal sebagai dasar penetapannya. Sayangnya penetapan ini sering hanya  berdasarkan pada laporan rukyat dari seseorang "awam" tanpa terlebih dahulu melakukan klarifikasi dan konfirmasi terhadap kebenaran laporan tersebut apakah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah sains astronomi modern yang diketahui memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi.


























Diagram ketinggian Hilal di Mekkah pada hari ijtimak dan H+1.

Menurut Kalender Ummul Qura' :
Kalender ini digunakan Saudi bagi kepentingan publik non ibadah. Kriteria yang digunakan adalah "Telah terjadi ijtimak dan bulan terbenam setelah matahari terbenam di Makkah" maka sore itu dinyatakan sebagai awal bulan baru. Pada hari pertama ijtimak/konjungsi kondisinya sudah memenuhi syarat. Dengan demikian awal bulan Muharram 1432 H akan jatuh pada : Selasa, 7 Desember 2010.

Menurut Kriteria Rukyatul Hilal Saudi :
Rukyatul hilal digunakan Saudi khusus untuk penentuan bulan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah. Kaidahnya sederhana "Jika ada laporan rukyat dari seorang atau lebih pengamat/saksi yang dianggap jujur dan bersedia disumpah maka sudah cukup sebagai dasar untuk menentukan awal bulan tanpa perlu perlu dilakukan uji sains terhadap kebenaran laporan tersebut". Belakangan wacana ini akhirnya dinamakan "hilal syar'i" artinya sah secara Hukum Syariah walaupun secara sains mustahil.
Pada hari ijtimak di Makkah (5/12/10) mustahil hial dapat disaksikan di Makkah, maka awal bulan Muharram  1432 H. jatuh pada: Selasa, 7 Desember 2010.
6. Kriteria Awal Bulan Negara-negara Lain
Seperti kita ketahui secara resmi Indonesia bersama Malaysia, Brunei dan Singapura lewat pertemuan Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) telah menyepakati sebuah kriteria bagi penetapan awal bulan Komariyahnya yang dikenal dengan "Kriteria Imkanurrukyat MABIMS" yaitu umur bulan > 8 jam, tinggi bulan > 2° dan elongasi > 3°.
Menurut catatan Moonsighting Committee Worldwide ternyata penetapan awal bulan ini berbeda-beda di tiap-tiap negara. Ada yang masih teguh mempertahankan rukyat bil fi'li ada pula yang mulai beralih menggunakan hisab atau kalkulasi. Berikut ini beberapa gambaran penetapan awal bulan Komariyah yang resmi digunakan di beberapa negara :
·   Rukyatul Hilal berdasarkan kesaksian Perukyat/Qadi serta pengkajian ulang terhadap hasil rukyat.     Antara lain masih diakukan oleh negara : Banglades, India, Pakistan, Oman, Maroko dan Trinidad.
·   Hisab dengan kriteria bulan terbenam setelah Matahari dengan  diawali ijtimak terlebih dahulu (moonset after sunset). Kriteria ini digunakan oleh  Saudi Arabia pada kalender Ummul Qura namun khusus untuk Ramadhan, Syawwal dan Zulhijjah menggunakan pedoman rukyat.
·   Mengikuti Saudi Arabia misalnya negara : Qatar, Kuwait, Emirat Arab, Bahrain, Yaman dan Turki, Iraq, Yordania, Palestina, Libanon dan Sudan.
·   Hisab bulan terbenam minimal 5 menit setelah matahari terbenam dan terjadi setelah ijtimak  digunakan oleh Mesir.
·   Menunggu berita dari negeri tetangga --> diadopsi oleh Selandia Baru  mengikuti  Australia dan Suriname mengikuti negara Guyana.
·   Mengikuti negara Muslim yang pertama kali berhasil rukyat  --> Kepulauan Karibia
·   Hisab dengan kriteria umur bulan, ketinggian bulan atau selisih waktu terbenamnya bulan dan matahari --> diadopsi oleh Algeria, Tuki dan Tunisia.
·   Ijtimak Qablal Fajr atau terjadinya ijtimak sebelum fajar  diadopsi oleh negara Libya.
·   Ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam di Makkah dan bulan terbenam sesudah matahari terbenam di Makkah --> diadopsi oleh komunitas muslim di Amerika Utara dan Eropa
·   Nigeria dan beberapa negara lain tidak tetap menggunakan satu kriteria dan berganti dari tahun ke tahun
·   Menggunakan Rukyat : Namibia, Angola, Zimbabwe, Zambia, Mozambique, Botswana, Swaziland dan Lesotho.
·   Jamaah Ahmadiyah, Bohra, Ismailiyah serta beberapa jamaah lainnya masih menggunakan hisab urfi.
.(sumber : rukyathilal.org )




HISAB YANG DI GUNAKAN MUHAMMADIYAH
 Hisab hakiki dengan  kriteria wujudul hilal.  Menurut  kriteria ini bulan  kamariah  baru  dimulai  apabila  pada  hari  ke-29  bulan kamariah berjalan saat  matahari  terbenam  terpenuhi tiga  syarat berikut secara kumulatif, yaitu

(1) telah terjadi ijtimak,
(2) ijtimak terjadi sebelum  matahari  terbenam, dan
(3)  pada saat matahari terbenam Bulan  (piringan atasnya) masih di atas  ufuk.













Apabila salah  satu  dari  kriteria  tersebut  tidak  dipenuhi,  maka  bulan berjalan  digenapkan  tiga  puluh  hari  dan  bulan  baru  dimulai lusa.  Kriteria  ini  digunakan  oleh  Muhammadiyah.  Kriteria  ini juga  digunakan  oleh  kalender  Ummul  Qura  sekarang,  hanya marjaknya  adalah  kota  Mekah.  Dalam  konteks  pembuatan kalender  Islam  internasional,  kalender  Ummul  Qura  dengan kriteria seperti ini diusulkan dalam sidang “Temu Pakar II untuk Pengkajian  Perumusan Kalender  Islam” tanggal 15-16 Oktober 2008  sebagai  salah  satu  nominasi  kalender  yang  akan  dipilih dari  empat  usulan  kalender  yang  diajukan  untuk  menjadi kalender  Hijriah  internasional.

Apa yang dikemukakan di atas memperlihatkan bahwa hanya dua kriteria terakhir  (nomor  4 dan  5) yang menjadikan keberadaan Bulan di atas ufuk sebagai  syarat untuk memasuki bulan  kamariah baru  di  samping  kriteria ijtimak  sebelum  magrib.  Sedangkan tiga kriteria  penentuan  awal  bulan  pertama  tidak  mensyaratkan keberadaan Bulan di  atas  ufuk  saat  matahari  terbenam  pada hari konjungsi. Keberadaan Bulan di atas ufuk itu penting mengingat ia adalah  inti  makna  yang  dapat  disarikan  dari  perintah  Nabi  saw melakukan rukyat dan menggenapkan bulan 30 hari bila tidak dapat dilakukan  rukyat.  Bulan  yang  terlihat  pastilah  di  atas  ufuk  saat matahari  terbenam  dan  Bulan  pasti  berada  di  atas  ufuk  saat matahari  terbenam  apabila  bulan  kamariah  berjalan  digenapkan 30  hari.

Hanya  saja  dalam  hisab  imkan  rukyat  yang  menuntut keberadaan  Bulan  harus  pada  posisi  yang  bisa  dirukyat menimbulkan  kesukaran  untuk  menentukan  apa  parameternya untuk  dapat  dirukyat,  sehingga terdapat  banyak  sekali  pendapat mengenai ini. Untuk itu hisab hakiki wujudul hilal lebih memberikan kepastian  dibandingkan  dengan  hisab  imkan  rukyat.




MENYIKAPI PERBEDAAN
Bagaimanpun perbedaan adalah sunnatullah kalau kita cermati perbedaan ini sudah terjadi sejak jaman sahabat yaitu yang tergambar dalam hadis ke 5 diatas. Abdullah bin Abbas dengan Mu’awiyah.
Semestinya ditengah perbedaan yang terjadi kita bisa bersikap sedewasa mungkin dan sebijak mungkin apapun dan siapaun go;ongan kita “nata’awabu fima ittifaqna way a ta’zdzaru ba’dhuna ba’dha fima ikhtilafna fihi” (kita saling tolong menolong dalam hal yang kita sepakati dan saling toleran dalam hal yang kita perselisihi)
Oleh sebab itu, yang tepat berkaitan dengan masalah itu selama belum dicapai titik temu adalah toleransi atas perbedaan. Pemerintah meskipun menetapkan juga awal bulan sesuai kriteria yang dibangunnya, haruslah memfasilitasi perbedaan itu serta memberikan kesempatan kepada penganutnya untuk menjalankan keyakinannya.

Sistem Penentuan Awal Bulan Qomariyah



Sistem Penentuan Awal Bulan Qomariyah
Selanjutnya untuk mengetahui hilal yang merupakan element penting untuk mengetahui penentuan awal bulan Qomariyah di Indonesia secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua sistem yaitu hisab dan rukyat.
Dari dua sistem tersebut, lalu muncullah aliran-aliran yang mengusung berbagai kriteria yang mendampingi sistem Hisab dan Rukyah.  Oleh karena itu, sistem penentuan awal bulan qomariyah menjadi sangat bervariasi.[1]




1. HISAB
Hisab adalah kata yang cukup dikenal dan sering di ucapkan. Kata ini sering diucapkan terutama pada saat awal dan akhir bulan ramadhan. Kata hisab berasal dari bahasa arab yang berarti hitungan.[2]Tetapi, dalam al- Qur’an, pengertian hisab atau arithmetic ternyata tidak semata-mata berarti perhitungan namun memiliki makna lain, seperti batas,[3] hari kiamat,[4] dan tanggung jawab. Dari akar kata h-s-b, sebagai kata benda, kata ini disebut dalam al-Qur’an sebanyak 25 kali.Sementara itu, hisab yang menjadi fokus studi ini adalah metode untuk mengetahui hilal. Dalam literatur-literatur klasik ilmu hisab sering disebut ilmu falak[5], miqat, rasd, dan haiah.Bahkan sering pula disamakan dengan astronomi.
Sistem hisab dapat diklasifikasikan pada dua jenis, yaitu :
a. Hisab Urfi
Hisab urfi adalah sistem perhitungan yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional.[6]
Adapun jumlah harinya pada tiap-tiap bulan tetap dan beraturan. Untuk tahun Hijriyah , satu tahun berjumlah 12 bulan. Satu periode (daur) membutuhkan waktu 30 tahun, sementara dalam satu periode terdapat 11 tahun panjang (kabisat) dan 19 tahun basithoh (pendek).
Nama-nama dan Panjang Bulan Hijriyah dalam Hisab ’urfi
No
Nama
Panjang
No
Nama
Paniang
1
Muharram
30 hari
7
Rajab
30 hari
2
Safar
29 hari
8
Sya’ban
29 hari
3
Rabiul awal
30 hari
9
Ramadhan
30 hari
4
Rabiul akhir
29 hari
10
Syawal
29 hari
5
Jumadil awal
30 hari
11
Dzulkaidah
30 hari
6
Jumadil Akhir
29 hari
12
Dzulhijjah
29/30 hari

Patut dicatat hisab ’urfi tidak hanya dipakai di Indonesia melainkan sudah dipakai di seluruh dunia Islam dalam masa yang sangat panjang. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan terbukti bahwa sistem hisab ini kurang akurat untuk digunakan untuk penentuan awal ibadah (awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah). Penyebabnya karena perata-rataan bulan tidaklah sesuai dengan penampakan hilal (newmoon) pada awal bulan.

b. Hisab Haqiqi
Hisab haqiqi adalah perhitungan yang sesungguhnya dan seakurat mungkin terhadap peredaran Bulan dan Bumi, dengan menggunakan kaedah-kaedah ilmu ukur segitiga bola (spherical trigonometri). Jumlah hari dalam tiap bulannya tidak tetap dan tidak beraturan[7].
Sistem hisab haqiqi ini dapat diklasifikasikan kembali menjadi tiga kelompok, yaitu :
1). Hisab Haqiqi Taqribi
Sistem ini bersumber dari data yang diperoleh dari Ulugh Beik al- Samarqandi yang lebih dikenal dengan sebutan ”Zeij Ulugh Beik”, pengamatannya bersumber terhadap teori Ptolomeus, dengan teori geosentrisnya yang menyatakan Bumi sebagai pusat peredaran benda-benda langit. Terdapat beberapa kelebihan didalamnya, yaitu data dan tabel-tabelnya dapat digunakan secara terus-menerus tanpa harus dirubah. Hisab dengan metode ini terdapat dalam kitab-kitab klasik yang dikaji pada pesantren-pesantren salaf, misalnya: Sullam al- Nayyirain, Risalah al- Qomarain, Qowaid al-Falakiyah, dan sebagainya.
Namun, sistem ini belum memberikan informasi tentang azimut bulan maupun matahari dan diperlukan banyak koreksi untuk menghasilkan perhitungan yang lebih akurat. Sehingga metode ini tidak dapat digunakan untuk pelaksanaan Rukyah[8].

2). Hisab Haqiqi Tahqiqi
Hisab ini berdasarkan perhitungan Syaikh Husain Zaid Alauddin Ibnu Syatir, dalam kitabnya al-Mathla’ al-Said fi Hisabah al- Kawakib al-Rusdi al-Jadidi. Adapin pengamatannya didasarkan pada teori Copernicus, dengan teori heliosentrisnya yang menyatakan Matahari sebagai pusat peredaran benda-benda langit. Perhitungannya dilakukan dengan rumus-rumus spherical trigonometri dengan koreksi-koreksi data gerakan matahari yang dilakukan dengan teliti dan melalui berbagai tahapan. Proses perhitungannya membutuhkan alat-alat elektronika, seperti kalkulator, komputer, atau daftar logaritma[9].

3). Hisab Haqiqi Tadzqiqi
Sistem ini biasa disebut juga hisab haqiqi kontemporer, yaitu dengan menggunakan perhitungan yang didasarkan pada data-data astronomi modern. Sistem hisab ini merupakan pengembangan dari sistem Hisab Haqiqi Tahqiqi yang disintesakan dengan ilmu astronomi modern. Dengan memperluas dan menambahkan koreksi-koreksi gerak bulan dan matahari dengan rumus-rumusspherical trigonometri, sehingga didapat data yang sangat teliti dan akurat. Dalam proses perhitungannya juga membutuhkan alat-alat elektronika, seperti kalkulator, komputer, GPS (Geo Positioning System)[10].

2. RUKYAH BIL FI’LI
Dari sudut bahasa Indonesia, kata ”rukyat”, seperti halnya kata observation dalam bahasa inggris, juga berasal dari kata asing dari bahasa arab. Rukyat berasal dari kata raay, yaraa menjadi ra’yan, ru’yatan dan seterusnya. Dalam bahasa Arab raaymenjadi kata kerja sedangkan rukyatan sebagai mana obsevation , berarti juga pengamatan.
Rukyat yang sudah menjadi bahasa Indonesia, bukan hanya sekedar bahasa Arab, tetapi juga tercantum dalam al-Hadist. Dalam bahasa Arab sehari-hari sebelum datangnya islam Rukyat berarti hanya pengamatan biasa.[11]Tetapi melalui hadis-hadis yang disampaikan Rasullullah, kata ini berproses dan membentuk makna dan pengertian sendiri, yang terstruktur. Memang, kata rukyat itu bisa sekedar diartikan pengamatan dengan mata telanjang, tetapi bisa lebih dari itu, tergantung dari pemahaman seseorang dari kata tersebut. Jika pemahaman itu dilakukan dengan cara mempelajari dan mendalami implikasi maknawi yang terkandung dalam berbagai penggunaan kata itu dalam al-Hadis, kata rukyat bisa berkembang menjadi metodologi.
Dalam al-Hadist kata rukyat yang bersangkutan dengan kalender qomariyah disebutkan sebanyak 49 kali.[12]Kata ruyat yang terdapat pada hadis-hadis itu secara garis besar dibagi menjadi tiga. Pertama adalah melihat dengan mata. Ini dapat oleh siapa saja.Kedua adalah melihat melalui kalbu (intuisi). Ada hal-hal yang manusia hanya bisa mengatakan ”tentang hal itu Allahlah yang lebih mengetahui” (Allahu a’lam). Ketiga adalah melihat dengan ilmu pengetahuan. Ini dapat dijangkau hanya oleh manusia yang memiliki bekal ilmu pengetahuan.[13]
Sistem ini adalah usaha untuk melihat atau mengamati hilal dengan mata ataupun dengan teleskop pada saat matahari terbenam menjelang bulan baru qomariyah[14]. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem rukyat dalam ru;yah al-hilal, yaitu melihat hilal dengan mata bugil (langsung) atau menggunakan alat yang dilakukan setiap akhir bulan (tanggal 29 bulan qamariyah) pada saat matahari tenggelam. Jika hilal berhasil dirukyat, maka sejak malam itu sudah dihitung tanggal satu bulan baru. Tetapi, jika tidak berhasil dirukyat, maka malam itu dan keesokan harinya masih merupakan bulan yang sedang berjalan sehingga umur bulan tersebut disempurnakan menjadi 30 hari, atau dalam istilah yang biasa digunakan ialahistikmal.
Sehingga dari beberapa ketentuan diatas dapat diketahui kriteria dalam menetapkan awal bulan dapat ditetapkan dengan salah satu dari tiga cara, yaiturukyah al-hilal, menyempurnakan Sya’ban 30 hari, dan memperkirakan hilal.

KESIMPULAN
Upaya mempersatukan sistem hisab dan rukyah
Dari uraian beberapa sistem yang telah dipaparkan, dalam praktek pun masih banyak problem yang  menjumpainya, sehingga tampaklah bahwa diantara para penganut hisab maupun rukyah inipun masih terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat mendasar. Jadi dikalangan hisab harus diupayakan terjadinya kesepakatan teknik hisab dan landasan perhitungan yang satu namun komprehensif. Setelah itu tentu problem yang lebih besar lagi tentu saja dalam mengkompromikan antara pendapat rukyat dan hisab dalam penentuan awal bula qamariyah , khususnya bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.
Sayangnya, tidak ada komunikasi yang baik antara kedua group diatas dalam memperjuangkan cara-cara yang dapat mengkompromikan pendukung hisab dan rukyat untuk penentuan awal bulan qomartiyah (terutama Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah). Dengan penjelasan diatas semoga para ulama pendukung rukyat dapat menangkap pentingnya rukyat bil’ ilmi . Bagi para ulama pendukung hisab harus segera menyeragamkan kaidah-kaidah hisabnya sehingga tidak lagi terdapat perbedaan penafsiran cara-cara hitungan dan landasan astronomisnya.

Peranan Penting Ilmu Falak
Melihat pembahasan diatas maka dapat disimpulkan betapa pentingnya pengetahuan tentang ilmu falak dalam menentukan awal bulan qomariyah. Mempelajari pengetahuan tentang benda-benda langit serta mengadakan perhitungan berdasarkan pada peredaran bumi, bulan dan matahari, jelas kita telah bertindak sesuai dengan apa yang telah di firman kan oleh Allah, diantaranya: “ Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu tahu bilangan tahun dan perhitungan waktu….” (Yunus : 5). Juga seperti di dalam ayat “ Matahari dan Bulan (beredar) menurut perhitungan” (Ar. Rahman 5).
Dalam hal penentuan awal waktu shalat, arah qiblat dan gerhana, nampaknya semua orang sudah sepakat dengan panggunaan perhitungan hisab dan pengamatan rukyah, bahkan lebih dari itu mereka juga sudah menggunakannya. Namun dalam hal penentuan awal bulan, orang masih selisih paham. Karena untuk mengetahui penentuan awal bulan Qomariyah di Indonesia secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua sistem yaitu hisab dan rukyat. Lalu dari dua sistem tersebut, muncullah aliran-aliran yang dikembangkan dari sistem hisab dan rukyah.  Oleh karena itu, sistem penentuan awal bulan qomariyah menjadi sangat bervariasi.
Kemudian setelah kita lihat pembahasan diatas hisab sebagaimana rukyat bukanlah salah satu-satunya alat untuk menentukan awal bulan, namun keduanya sama-sama merupakan cara yang di dalam nya masih memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing, dimana kalau kita saling gabung kan keduanya akan saling menguatkan satu sama lain dan saling membantu untuk mencapai kesempurnaan. Tugas kita adalah meningkatkan kualitas ilmu hisab yang telah kita miliki dan menggunakan metode rukyat yang sudah jelas banyak sekali manfaatnya baik dari segi hukum maupun ilmu pengetahuan. Wallahu A’lam

PENUTUP
      Alhamdulillah tugas pembuatan makalah yang sangat sederhana ini telah kami susun. Dan kami menyadari bahwa didalamnya masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu apabila terdapat kesalahan baik dalam tulisan, komentar, atau referensinya yang kurang sesuai kami sangat mengharapkan kebesaran hati para pembaca, dosen pembimbing, teman-teman seperjuangan untuk menyampaikan kritik, saran, dan komentar yang bersifat konstruktif positif demi kesempurnaan makalah ini. Semoga melalui media ini, mudah-mudahan Allah memberikan manfaat, taufik, dan hidayah Nya kepada kita semua. Amin



DAFTAR PUSTAKA
» Saksono, Tono, Mengkompromikan Rukyah dan Hisab, Jakarta : Amythas Publicita, 2007
» Yunus, Mahmud Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : Yayasan Penyelenggara penterjemah, 1973, cet. I
» Murtadlo, Muhammad, Ilmu Falak Praktis,  Malang : UIN Malang Press, 2007
» Muhammad Ismail Ibrahim. Mu’jam al-Alfadz wa al-A’lam al-Qur’aniyah,Mesir : Dar al-Fikra_’Arabiy,1968
» Azhari, Susiknan, Ilmu Falak: Perjumpaan Khazanah Islam Dan Sains Modern,Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2007
»                            Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, , 2005, cet II

»  Departeman Agama RI,. Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qomariyah, cet. 11,  Jakarta: Ditbinbapera, 1995

» Fakhrudin ar-Razi, al-Tafsir al-Kabir, Beirut : Dar El-fikr, 1398 H, juz 9.
» Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Madinah : Mujamma’ Khodim Al Haromain Al Syarifain, 1411 H





[1] Muhammad Murtadlo, Ilmu Falak Praktis,  Malang : UIN Malang Press, 2007, h. 223
[2] Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia,  Jakarta : Yayasan Penyelenggara penterjemah, 1973, cet. I h. 102.
[3] Depag RI. Al-Qur’an Dan Terjemahnya, h. 51,79,550,dan 747.
[4] Ibid, h. 386, 734, 736, 739, dan763.
[5] Fakhrudin ar-Razi, al-Tafsir al-Kabir, Beirut : Dar El-fikr, 1398 H, juz 9, h. 166.
[6]  Depag RI. Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qomariyah, cet. 11,  Jakarta: Ditbinbapera, 1995, h. 7.
[7] Op.Cit. h. 225
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Muhammad Ismail Ibrahim. Mu’jam al-Alfadz wa al-A’lam al-Qur’aniyah, Mesir : Dar al-Fikra_’Arabiy,1968,h. 190.
[12] Raaytu (1), raaitum (13), taraw (10), dan rukyat (25). Dengan rincian sebagai berikut: al-Bukhari 4 hadis, Muslim 12 hadis, at-Turmudzi 3 hadis, an-Nasay 17 hadis, Ibn Majah 4 hadis, dan Imam Ahmad 9 hadis. Selengkapnya lihat lampiran hadis-hadis tentang ruyat.
[13] Susiknan azhari.Ilmu Falak: Perjumpaan Khazanah Islam Dan Sains Modern,Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2007, h. 98-117.
[14] Susuknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet II, 2005, h. 183

Senin, 16 Juli 2012

Komisi VIII Upayakan Ada Badan Pengelola Haji



Bandung – Komisi VIII DPR RI sedang mengupayakan membuat badan pengelolaan haji untuk pengelolaan ibadah haji. Namun institusi tersebut masih dalam perdebatan karena mencari cantolan hukumnya.

“Kalau pengelolaan uang jamaah haji bagus, ada pemikiran Komisi VIII apa tidak baik kita bikin badan. Walaupun ini masih berdebat belum clear. Kan haji ini dari APBN-nya sedikit, paling banyak itu uang jamaah yang disetor,” kata Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Jazuli Juwaini kepada wartawan usai audiensi dengan Sekretaris Daerah (Sekda) Pemprov Jabar Lex Laksamana di Ruang Sanggabuana Gedung Sate Jalan Diponegoro Kota Bandung, Senin (16/7/2012).

Namun saat ini, lanjut Jazuli, lebih komprehensif lagi sedang mengusulkan perubahan Undang-undang No 13 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Dalam aturan itu, dewan berharap pengelolaan ibadah haji lebih jelas, termasuk keuangannya.

“Sekarang kita minta rincian-rinciannya. Kalau detilnya silahkan tanya ke Kemenag, khususnya Dirjen Haji dan Umroh. Saya berharap Dirjen baru ini bisa lebih transparan,” ucapnya. (inilah.com)

Pendidikan Agama



PDFCetakSurel
Ditulis oleh Abujamin Roham   
Senin, 11 Juni 2012 22:43
Bagi Muslim, menerapkan pokok-pokok pendidikan agama itu ada tiga. Tiga dimaksud, ialah AKIDAH TAUHID, SYARIAT  DAN AKHLAKUL KARIMAH. * Seperti masa-masa awal  kenabian Muhammad saw., wahyu lebih banyak turun mengenai masalah Akidah dan pembentukan karakter yang istiqamah bagi  Muslim-Muslimat Muda.
Pendidikan agama di Pesantren
Kini, secara merata, pendidikan agama di Nusantara kita masih memerlukan perhatian  serius. Masa lalu, cara Pesanteren-Pesanteren menerapkan Pendidikan Agama jauh berbeda dengan cara Sekolah Umum.  Secara   lahiriah pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah Umum masih lebih “asing” pelaksanaannya; pelajaran agama terkesan “tegang”, walau di sana-sini ia dinyatakan sebagai pelajaran pokok dan penting; sama pentingnya dengan pelajaran-pelajaran utama lainnya.
Pelajaran agama di Pesanteren, mulai dari menulis, membaca dan menghapal diamalkan bersama.. Pada dasarnya pelajaran Agama di Pesanteren lebih men “dasar” termasuk  kewajiban  meng-”hapal”.
Wajib dalam hukum
Penulis tidak menyaksikan sendiri, tetapi masa-masa lalu, sejumlah murid  pada sekolah-sekolah tertentu, mereka diberikan  mata pelajaran agama  tepat pada waktu-waktu sholat berlangsung; akibatnya praktek shalat tergeser, kecuali wajibnya  dalam hukum.
Islam di Andalusia
Ketika kita amati sejarah Islam di Cordova/ Andalusia, bahwa walau Islam di sana pernah ber ”muqim” selama 700 tahun, namun kini seakan tak berbekas; tak satu masjid pun yang masih tersisa; semuanya telah berobah menjadi Gereja. *Dipertanyakan: Mengapa terjadi demikian rapuh? Jawaban dari pengamat sejarah pasti beragam.
Ilustrasi
Ketika Nabi Yusuf menjadi penguasa di Mesir, Nabi Yakub tengah membutuhkan  bantuan kepada penguasa Mesir, Yakub memerintahkan anak-anaknya memasuki Mesir dengan pintu masuk yang berbeda-beda....... Di Mesir, Yusuf diam-diam menerima saudara-saudaranya; mereka sempat mendapat tempat yang layak...........; namun  karena kelengahan dan lupa diri; setelah zaman Yusuf berlalu mereka  bergeser menjadi budak; hal demikian berlangsung lama, hingga sampai  pada saatnya Nabi Musa menyelamatkan mereka.
Islam di Nusantara
Dalam upaya mensyi’arkan Islam di Nusantara Indonesia yang warganya demikian pluralis, sebaiknya para Ulama, Da’i, Cendekiawan dan Aktivis Muslim  tidak  hanya terfokus  pada bidang  birokratif (eksekutif, legislatif dan Judikatif) yang ”harfiah” saja, tetapi  mengabaikan sisi-sisi pesan-pesan moral dan filosofis  Islam (seperti bidang: pendidikan, ekonomi dan bidang-bidang sosial kemanusiaan) lainnya yang begitu kaya.  Hendaknya, muslim di Nusantara ini tidak mencederai kesempatan emas dengan berlengah dan berfoya-foya.
Jangan terulang  hilangnya kepercayaan Mesir pada keturunan Bani Isral; dan Muslim di Indonesia pun jangan menganggap ringan akan tragedi  Muslim di Cordova, Andalusia. Muslim dan Nusantara Indonesia. tengah di “lirik” oleh kelompok-kelompok Islamaphobia. dari berbagai Negara yang sekuler. Wallahu a’lam.

Adzan Panggilan Shalat Disunnahkan Harus Keras



PDFCetakSurel
Manajemen Masjid
Ditulis oleh Administrator   
Rabu, 30 May 2012 09:40
Adzan dari segi bahasa berarti pengumuman, permakluman atau pemberitahuan. Selain itu, adzan juga bermakna seruan atau panggilan. Makna ini digunakan ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diperintahkan untuk memberitahukan kepada manusia untuk melakukan ibadah haji.
Secara syariat, definisi adzan adalah perkataan tertentu yang bergun memberitahukan masuknya waktu shalat yang fardhu. Dalam kitab Nailul Authar disebutkan definisi adzan yaitu pengumuman atas waktu shalat dengan lafaz-lafaz tertentu.
Adzan disyariatkan dalam Islam atas dasar dalil dari Al-Quran, As-sunnah dan ijma` para ulama.  Dari Malik bin Huwairits radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada kami,"Bila waktu shalat telah tiba, hendaklah ada dari kamu yang beradzan".(HR. Bukhari dan Muslim)
Adzan memiliki keutamaan yang besar sehingga andai saja orang-orang tahu keutamaan pahala yang didapat dari mengumandangkan Adzan, pastilah orang-orang akan berebutan. Bahkan kalau perlu mereka melakukan undian untuk sekedar bisa mendapatkan kemuliaan itu. Hal itu atas dasar hadits nabi SAW :  Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Seandainya orang-orang tahu keutamaan adzan dan berdiri di barisan pertama shalat (shaff), dimana mereka tidak bisa mendapatkannya kecuali harus mengundi, pastilah mereka mengundinya di antara mereka.."(HR. Bukhari)
Selain itu, ada keterangan yang menyebutkan bahwa nanti di akhirat, orang yang mengumandang-kan adzan adalah orang yang mendapatkan keutamaan dan kelebihan. Di dalam hadits lainnya disebutkan : Dari Muawiyah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Orang yang adzan (muazzin) adalah orang yang paling panjang lehernya di hari kiamat". (HR. Muslim, Ahmad dan Ibnu Majah)
Bahkan menurut Asy-syafi`iyah dan Al-Hanabilah, menjadi muadzdzin (orang yang mengumandangkan adzan) lebih tinggi kedudukannya dari pada imam shalat. Dalilnya adalah ayat Quran berikut ini : Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?"(QS. Fushshilat : 33)
Menurut mereka, makna dari menyeru kepada Allah di dalam ayat ini adalah mengumandangkan adzan. Berarti kedudukan mereka paling tinggi dibandingkan yang lain. Namun pendapat sebaliknya datang dari Al-Hanafiyah, dimana mereka mengatakan bahwa kedudukan imam shalat lebih utama dari pada kedudukan orang yang mengumandangkan Adzan. Alasannya, Nabi Muhammad SAW dan para khulafaur-rasyidin dahulu adalah imam shalat dan bukan orang yang mengumandangkan adzan (muadzdzin). Jadi masuk akal bila kedudukan seorang imam shalat lebih tinggi dari kedudukan seorang muadzdzin.
Sejarah Adzan
Adzan mulai disyariatkan pada tahun kedua Hijriah. Mulanya, pada suatu hari Nabi Muhammad SAW mengumpulkan para sahabat untuk memusyawarahkan bagaimana cara memberitahu masuknya waktu salat dam mengajak orang ramai agar berkumpul ke masjid untuk melakukan salat berjamaah. Di dalam musyawarah itu ada beberapa usulan. Ada yang mengusulkan supaya dikibarkan bendera sebagai tanda waktu salat telah masuk. Apabila benderanya telah berkibar, hendaklah orang yang melihatnya memberitahu kepada umum. Ada juga yang mengusulkan supaya ditiup trompet seperti yang biasa dilakukan oleh pemeluk agama Yahudi. Ada lagi yang mengusulkan supaya dibunyikan lonceng seperti yang biasa dilakukan oleh orang Nasrani. ada seorang sahabat yang menyarankan bahwa manakala waktu salat tiba, maka segera dinyalakan api pada tempat yang tinggi dimana orang-orang bisa dengan mudah melihat ketempat itu, atau setidak-tidaknya asapnya bisa dilihat orang walaupun ia berada ditempat yang jauh. Yang melihat api itu dinyalakan hendaklah datang menghadiri salat berjamaah. Semua usulan yang diajukan itu ditolak oleh Nabi, tetapi beliau menukar lafal itu dengan assalatu jami’ah (marilah salat berjamaah).  Lantas, ada usul dari Umar bin Khattab jikalau ditunjuk seseorang yang bertindak sebagai pemanggil kaum Muslim untuk salat pada setiap masuknya waktu salat. Kemudian saran ini agaknya bisa diterima oleh semua orang dan Nabi Muhammad SAW juga menyetujuinya.
Abu Dawud mengisahkan bahwa Abdullah bin Zaid berkata sebagai berikut: "Ketika cara memanggil kaum muslimin untuk salat dimusyawarahkan, suatu malam dalam tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang menenteng sebuah lonceng. Aku dekati orang itu dan bertanya kepadanya apakah ia ada maksud hendak menjual lonceng itu. Jika memang begitu aku memintanya untuk menjual kepadaku saja. Orang tersebut malah bertanya," Untuk apa? Aku menjawabnya, "Bahwa dengan membunyikan lonceng itu, kami dapat memanggil kaum muslim untuk menunaikan salat." Orang itu berkata lagi, "Maukah kau kuajari cara yang lebih baik?" Dan aku menjawab "Ya!" Lalu dia berkata lagi dan kali ini dengan suara yang amat lantang: Allahu Akbar Allahu Akbar ; Asyhadu alla ilaha illallah; Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah; Hayya 'alash sholah (2 kali); Hayya 'alal falah (2 kali); Allahu Akbar Allahu Akbar; La ilaha illallah.
Ketika esoknya aku bangun, aku menemui Nabi Muhammad.SAW, dan menceritakan perihal mimpi itu kepadanya, kemudian Nabi Muhammad. SAW, berkata, "Itu mimpi yang sebetulnya nyata. Berdirilah disamping Bilal dan ajarilah dia bagaimana mengucapkan kalimat itu. Dia harus mengumandangkan adzan seperti itu dan dia memiliki suara yang amat lantang." Lalu akupun melakukan hal itu bersama Bilal." Rupanya, mimpi serupa dialami pula oleh Umar ia juga menceritakannya kepada Nabi Muhammad, SAW.
Disunnahkan Mengeraskan Suara Azan
Adzan adalah ibadah dan termasuk syi'ar Islam yang masyhur dan teragung. Amalan ini terus dilaksanakan semenjak disyariatkannya sampai wafatnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Baik ketika malam maupun siang. Baik ketika bepergian maupaun bermukim. Tidak pernah terdengar bahwa beliau pernah meninggalkannya atau memberikan dispensasi untuk tidak mengerjakannya.
Disunnahkan mengeraskan suara adzan sehingga sampai ketelinga manusia yang belum hadir di masjid. Baik dengan meninggikan suara atau dengan menggunakan pengeras. Agar maksud adzan yang sebagai panggilan shalat tercapai. Inilah madhab Syafi'i, Hambali, dan satu pendapat dari Hanafi. (Lihat: Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal: I/378)
Adab adzan
Adapun adab melaksanakan azan menurut jumhur ulama ialah: muazin hendaknya tidak menerima upah dalam melakukan tugasnya, muazin harus suci dari hadas besar, hadas kecil, dan najis, muazin menghadap ke arah kiblat ketika mengumandangkan azan, ketika membaca hayya ‘ala as-salah muazin menghadapkan muka dan dadanya ke sebelah kanan dan ketika membaca hayya ‘ala al-falah menghadapkan muka dan dadanya ke sebelah kiri, muazin memasukkan dua anak jarinya ke dalam kedua telinganya, suara muazin hendaknya nyaring, muazin tidak boleh berbicara ketika mengumandangkan azan, orang-orang yang mendengar azan hendaklah menyahutnya secara perlahan dengan lafal-lafal yang diucapkan oleh muazin, kecuali pada kalimathayya ‘ala as-salah dan hayya ‘ala al-falah yang keduanya disahut dengan la haula wa la quwwata illa bi Allah (tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah), setelah selesai azan, muazin dan yang mendengar azan hendaklah berdoa: Allahumma rabba hazihi ad-da’wah at-tammah wa as-salati al-qa’imah, ati Muhammadan al-wasilah wa al-fadilah wab’ashu maqaman mahmuda allazi wa’adtahu (Wahai Allah, Tuhan yang menguasai seruan yang sempurna ini, dan salat yang sedang didirikan, berikanlah kepada Muhammad karunia dan keutamaan serta kedudukan yang terpuji, yang telah Engkau janjikan untuknya [HR. Bukhari]).
Menjawab azan
Apabila kita mendengar suara azan, kita disunnahkan untuk menjawab azan tersebut sebagaimana yang diucapkan oleh muazin, kecuali apabila muazin mengucapkan "Hayya alash shalah", "Hayya alal falah", dan "Ashsalatu khairum minan naum" {dalam azan Subuh).
Bila muazin mengucapkan "Hayya alash shalah" atau "Hayya alal falah", disunnahkan menjawabnya dengan lafazh "La haula wa la quwwata illa billahil 'aliyyil 'azhim" yang artinya "Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah".
Dan bila muazin mengucapkan "Ashsalatu khairum minan naum" dalam azan Subuh, disunnahkan menjawabnya dengan lafazh "Shadaqta wa bararta wa ana 'ala dzalika minasy syahidin" yang artinya "Benarlah engkau dan baguslah ucapanmu dan saya termasuk orang-orang yang menyaksikan kebenaran itu"