Sistem Penentuan Awal Bulan Qomariyah
Selanjutnya untuk mengetahui hilal yang merupakan element penting untuk mengetahui penentuan awal bulan Qomariyah di Indonesia secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua sistem yaitu hisab dan rukyat.
Dari dua sistem tersebut, lalu muncullah aliran-aliran yang mengusung berbagai kriteria yang mendampingi sistem Hisab dan Rukyah. Oleh karena itu, sistem penentuan awal bulan qomariyah menjadi sangat bervariasi.[1]
1. HISAB
Hisab adalah kata yang cukup dikenal dan sering di ucapkan. Kata ini sering diucapkan terutama pada saat awal dan akhir bulan ramadhan. Kata hisab berasal dari bahasa arab yang berarti hitungan.[2]Tetapi, dalam al- Qur’an, pengertian hisab atau arithmetic ternyata tidak semata-mata berarti perhitungan namun memiliki makna lain, seperti batas,[3] hari kiamat,[4] dan tanggung jawab. Dari akar kata h-s-b, sebagai kata benda, kata ini disebut dalam al-Qur’an sebanyak 25 kali.Sementara itu, hisab yang menjadi fokus studi ini adalah metode untuk mengetahui hilal. Dalam literatur-literatur klasik ilmu hisab sering disebut ilmu falak[5], miqat, rasd, dan haiah.Bahkan sering pula disamakan dengan astronomi.
Sistem hisab dapat diklasifikasikan pada dua jenis, yaitu :
a. Hisab Urfi
Hisab urfi adalah sistem perhitungan yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional.[6]
Adapun jumlah harinya pada tiap-tiap bulan tetap dan beraturan. Untuk tahun Hijriyah , satu tahun berjumlah 12 bulan. Satu periode (daur) membutuhkan waktu 30 tahun, sementara dalam satu periode terdapat 11 tahun panjang (kabisat) dan 19 tahun basithoh (pendek).
Nama-nama dan Panjang Bulan Hijriyah dalam Hisab ’urfi
No
|
Nama
|
Panjang
|
No
|
Nama
|
Paniang
|
1
|
Muharram
|
30 hari
|
7
|
Rajab
|
30 hari
|
2
|
Safar
|
29 hari
|
8
|
Sya’ban
|
29 hari
|
3
|
Rabiul awal
|
30 hari
|
9
|
Ramadhan
|
30 hari
|
4
|
Rabiul akhir
|
29 hari
|
10
|
Syawal
|
29 hari
|
5
|
Jumadil awal
|
30 hari
|
11
|
Dzulkaidah
|
30 hari
|
6
|
Jumadil Akhir
|
29 hari
|
12
|
Dzulhijjah
|
29/30 hari
|
Patut dicatat hisab ’urfi tidak hanya dipakai di Indonesia melainkan sudah dipakai di seluruh dunia Islam dalam masa yang sangat panjang. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan terbukti bahwa sistem hisab ini kurang akurat untuk digunakan untuk penentuan awal ibadah (awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah). Penyebabnya karena perata-rataan bulan tidaklah sesuai dengan penampakan hilal (newmoon) pada awal bulan.
b. Hisab Haqiqi
Hisab haqiqi adalah perhitungan yang sesungguhnya dan seakurat mungkin terhadap peredaran Bulan dan Bumi, dengan menggunakan kaedah-kaedah ilmu ukur segitiga bola (spherical trigonometri). Jumlah hari dalam tiap bulannya tidak tetap dan tidak beraturan[7].
Sistem hisab haqiqi ini dapat diklasifikasikan kembali menjadi tiga kelompok, yaitu :
1). Hisab Haqiqi Taqribi
Sistem ini bersumber dari data yang diperoleh dari Ulugh Beik al- Samarqandi yang lebih dikenal dengan sebutan ”Zeij Ulugh Beik”, pengamatannya bersumber terhadap teori Ptolomeus, dengan teori geosentrisnya yang menyatakan Bumi sebagai pusat peredaran benda-benda langit. Terdapat beberapa kelebihan didalamnya, yaitu data dan tabel-tabelnya dapat digunakan secara terus-menerus tanpa harus dirubah. Hisab dengan metode ini terdapat dalam kitab-kitab klasik yang dikaji pada pesantren-pesantren salaf, misalnya: Sullam al- Nayyirain, Risalah al- Qomarain, Qowaid al-Falakiyah, dan sebagainya.
Namun, sistem ini belum memberikan informasi tentang azimut bulan maupun matahari dan diperlukan banyak koreksi untuk menghasilkan perhitungan yang lebih akurat. Sehingga metode ini tidak dapat digunakan untuk pelaksanaan Rukyah[8].
2). Hisab Haqiqi Tahqiqi
Hisab ini berdasarkan perhitungan Syaikh Husain Zaid Alauddin Ibnu Syatir, dalam kitabnya al-Mathla’ al-Said fi Hisabah al- Kawakib al-Rusdi al-Jadidi. Adapin pengamatannya didasarkan pada teori Copernicus, dengan teori heliosentrisnya yang menyatakan Matahari sebagai pusat peredaran benda-benda langit. Perhitungannya dilakukan dengan rumus-rumus spherical trigonometri dengan koreksi-koreksi data gerakan matahari yang dilakukan dengan teliti dan melalui berbagai tahapan. Proses perhitungannya membutuhkan alat-alat elektronika, seperti kalkulator, komputer, atau daftar logaritma[9].
3). Hisab Haqiqi Tadzqiqi
Sistem ini biasa disebut juga hisab haqiqi kontemporer, yaitu dengan menggunakan perhitungan yang didasarkan pada data-data astronomi modern. Sistem hisab ini merupakan pengembangan dari sistem Hisab Haqiqi Tahqiqi yang disintesakan dengan ilmu astronomi modern. Dengan memperluas dan menambahkan koreksi-koreksi gerak bulan dan matahari dengan rumus-rumusspherical trigonometri, sehingga didapat data yang sangat teliti dan akurat. Dalam proses perhitungannya juga membutuhkan alat-alat elektronika, seperti kalkulator, komputer, GPS (Geo Positioning System)[10].
2. RUKYAH BIL FI’LI
Dari sudut bahasa Indonesia, kata ”rukyat”, seperti halnya kata observation dalam bahasa inggris, juga berasal dari kata asing dari bahasa arab. Rukyat berasal dari kata raay, yaraa menjadi ra’yan, ru’yatan dan seterusnya. Dalam bahasa Arab raaymenjadi kata kerja sedangkan rukyatan sebagai mana obsevation , berarti juga pengamatan.
Rukyat yang sudah menjadi bahasa Indonesia, bukan hanya sekedar bahasa Arab, tetapi juga tercantum dalam al-Hadist. Dalam bahasa Arab sehari-hari sebelum datangnya islam Rukyat berarti hanya pengamatan biasa.[11]Tetapi melalui hadis-hadis yang disampaikan Rasullullah, kata ini berproses dan membentuk makna dan pengertian sendiri, yang terstruktur. Memang, kata rukyat itu bisa sekedar diartikan pengamatan dengan mata telanjang, tetapi bisa lebih dari itu, tergantung dari pemahaman seseorang dari kata tersebut. Jika pemahaman itu dilakukan dengan cara mempelajari dan mendalami implikasi maknawi yang terkandung dalam berbagai penggunaan kata itu dalam al-Hadis, kata rukyat bisa berkembang menjadi metodologi.
Dalam al-Hadist kata rukyat yang bersangkutan dengan kalender qomariyah disebutkan sebanyak 49 kali.[12]Kata ruyat yang terdapat pada hadis-hadis itu secara garis besar dibagi menjadi tiga. Pertama adalah melihat dengan mata. Ini dapat oleh siapa saja.Kedua adalah melihat melalui kalbu (intuisi). Ada hal-hal yang manusia hanya bisa mengatakan ”tentang hal itu Allahlah yang lebih mengetahui” (Allahu a’lam). Ketiga adalah melihat dengan ilmu pengetahuan. Ini dapat dijangkau hanya oleh manusia yang memiliki bekal ilmu pengetahuan.[13]
Sistem ini adalah usaha untuk melihat atau mengamati hilal dengan mata ataupun dengan teleskop pada saat matahari terbenam menjelang bulan baru qomariyah[14]. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem rukyat dalam ru;yah al-hilal, yaitu melihat hilal dengan mata bugil (langsung) atau menggunakan alat yang dilakukan setiap akhir bulan (tanggal 29 bulan qamariyah) pada saat matahari tenggelam. Jika hilal berhasil dirukyat, maka sejak malam itu sudah dihitung tanggal satu bulan baru. Tetapi, jika tidak berhasil dirukyat, maka malam itu dan keesokan harinya masih merupakan bulan yang sedang berjalan sehingga umur bulan tersebut disempurnakan menjadi 30 hari, atau dalam istilah yang biasa digunakan ialahistikmal.
Sehingga dari beberapa ketentuan diatas dapat diketahui kriteria dalam menetapkan awal bulan dapat ditetapkan dengan salah satu dari tiga cara, yaiturukyah al-hilal, menyempurnakan Sya’ban 30 hari, dan memperkirakan hilal.
KESIMPULAN
Upaya mempersatukan sistem hisab dan rukyah
Dari uraian beberapa sistem yang telah dipaparkan, dalam praktek pun masih banyak problem yang menjumpainya, sehingga tampaklah bahwa diantara para penganut hisab maupun rukyah inipun masih terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat mendasar. Jadi dikalangan hisab harus diupayakan terjadinya kesepakatan teknik hisab dan landasan perhitungan yang satu namun komprehensif. Setelah itu tentu problem yang lebih besar lagi tentu saja dalam mengkompromikan antara pendapat rukyat dan hisab dalam penentuan awal bula qamariyah , khususnya bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.
Sayangnya, tidak ada komunikasi yang baik antara kedua group diatas dalam memperjuangkan cara-cara yang dapat mengkompromikan pendukung hisab dan rukyat untuk penentuan awal bulan qomartiyah (terutama Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah). Dengan penjelasan diatas semoga para ulama pendukung rukyat dapat menangkap pentingnya rukyat bil’ ilmi . Bagi para ulama pendukung hisab harus segera menyeragamkan kaidah-kaidah hisabnya sehingga tidak lagi terdapat perbedaan penafsiran cara-cara hitungan dan landasan astronomisnya.
Peranan Penting Ilmu Falak
Melihat pembahasan diatas maka dapat disimpulkan betapa pentingnya pengetahuan tentang ilmu falak dalam menentukan awal bulan qomariyah. Mempelajari pengetahuan tentang benda-benda langit serta mengadakan perhitungan berdasarkan pada peredaran bumi, bulan dan matahari, jelas kita telah bertindak sesuai dengan apa yang telah di firman kan oleh Allah, diantaranya: “ Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu tahu bilangan tahun dan perhitungan waktu….” (Yunus : 5). Juga seperti di dalam ayat “ Matahari dan Bulan (beredar) menurut perhitungan” (Ar. Rahman 5).
Dalam hal penentuan awal waktu shalat, arah qiblat dan gerhana, nampaknya semua orang sudah sepakat dengan panggunaan perhitungan hisab dan pengamatan rukyah, bahkan lebih dari itu mereka juga sudah menggunakannya. Namun dalam hal penentuan awal bulan, orang masih selisih paham. Karena untuk mengetahui penentuan awal bulan Qomariyah di Indonesia secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua sistem yaitu hisab dan rukyat. Lalu dari dua sistem tersebut, muncullah aliran-aliran yang dikembangkan dari sistem hisab dan rukyah. Oleh karena itu, sistem penentuan awal bulan qomariyah menjadi sangat bervariasi.
Kemudian setelah kita lihat pembahasan diatas hisab sebagaimana rukyat bukanlah salah satu-satunya alat untuk menentukan awal bulan, namun keduanya sama-sama merupakan cara yang di dalam nya masih memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing, dimana kalau kita saling gabung kan keduanya akan saling menguatkan satu sama lain dan saling membantu untuk mencapai kesempurnaan. Tugas kita adalah meningkatkan kualitas ilmu hisab yang telah kita miliki dan menggunakan metode rukyat yang sudah jelas banyak sekali manfaatnya baik dari segi hukum maupun ilmu pengetahuan. Wallahu A’lam
PENUTUP
Alhamdulillah tugas pembuatan makalah yang sangat sederhana ini telah kami susun. Dan kami menyadari bahwa didalamnya masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu apabila terdapat kesalahan baik dalam tulisan, komentar, atau referensinya yang kurang sesuai kami sangat mengharapkan kebesaran hati para pembaca, dosen pembimbing, teman-teman seperjuangan untuk menyampaikan kritik, saran, dan komentar yang bersifat konstruktif positif demi kesempurnaan makalah ini. Semoga melalui media ini, mudah-mudahan Allah memberikan manfaat, taufik, dan hidayah Nya kepada kita semua. Amin
DAFTAR PUSTAKA
» Saksono, Tono, Mengkompromikan Rukyah dan Hisab, Jakarta : Amythas Publicita, 2007
» Yunus, Mahmud Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : Yayasan Penyelenggara penterjemah, 1973, cet. I
» Murtadlo, Muhammad, Ilmu Falak Praktis, Malang : UIN Malang Press, 2007
» Muhammad Ismail Ibrahim. Mu’jam al-Alfadz wa al-A’lam al-Qur’aniyah,Mesir : Dar al-Fikra_’Arabiy,1968
» Azhari, Susiknan, Ilmu Falak: Perjumpaan Khazanah Islam Dan Sains Modern,Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2007
» , Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, , 2005, cet II
» Departeman Agama RI,. Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qomariyah, cet. 11, Jakarta: Ditbinbapera, 1995
» Fakhrudin ar-Razi, al-Tafsir al-Kabir, Beirut : Dar El-fikr, 1398 H, juz 9.
» Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Madinah : Mujamma’ Khodim Al Haromain Al Syarifain, 1411 H
[1] Muhammad Murtadlo, Ilmu Falak Praktis, Malang : UIN Malang Press, 2007, h. 223
[2] Mahmud Yunus. Kamus Arab-Indonesia, Jakarta : Yayasan Penyelenggara penterjemah, 1973, cet. I h. 102.
[5] Fakhrudin ar-Razi, al-Tafsir al-Kabir, Beirut : Dar El-fikr, 1398 H, juz 9, h. 166.
[7] Op.Cit. h. 225
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Muhammad Ismail Ibrahim. Mu’jam al-Alfadz wa al-A’lam al-Qur’aniyah, Mesir : Dar al-Fikra_’Arabiy,1968,h. 190.
[12] Raaytu (1), raaitum (13), taraw (10), dan rukyat (25). Dengan rincian sebagai berikut: al-Bukhari 4 hadis, Muslim 12 hadis, at-Turmudzi 3 hadis, an-Nasay 17 hadis, Ibn Majah 4 hadis, dan Imam Ahmad 9 hadis. Selengkapnya lihat lampiran hadis-hadis tentang ruyat.
[13] Susiknan azhari.Ilmu Falak: Perjumpaan Khazanah Islam Dan Sains Modern,Yogyakarta : Suara Muhammadiyah, 2007, h. 98-117.
[14] Susuknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, cet II, 2005, h. 183
Tidak ada komentar:
Posting Komentar