|
Rabu, 06 Juni 2012
BER’WUQUF’ SEPANJANG WAKTU
Selasa, 05 Juni 2012
Istriku Bukan Bidadari, Tapi Aku Pun Bukan Malaikat
Alhamdulillah, salawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan sahabatnya.
Anda telah berkeluarga? Bagaimana pengalaman Anda selama mengarungi bahtera rumah tangga? Semulus dan seindah yang Anda bayangkan dahulu? Mungkin saja Anda menjawab, “Tidak.” Akan tetapi, izinkan saya berbeda dengan Anda: “Ya,” bahkan lebih indah daripada yang saya bayangkan sebelumnya.
Saudaraku, kehidupan rumah tangga memang penuh dengan dinamika, lika-liku, dan pasang surut. Kadang Anda senang, dan kadang Anda bersedih. Tidak jarang, Anda tersenyum di hadapan pasangan Anda, dan kadang kala Anda cemberut dan bermasam muka.
Bukankah demikian, Saudaraku?
Berbagai tantangan dan tanggung jawab dalam rumah tangga senantiasa menghiasi hari-hari Anda. Semakin lama umur pernikahan Anda, maka semakin berat dan bertambah banyak perjuangan yang harus Anda tunaikan. Tanggung jawab terhadap putra-putri, pekerjaan, karib kerabat, masyarakat, dan lain sebagainya. Di antara tanggung jawab yang tidak akan pernah lepas dari kehidupan Anda ialah tanggung jawab terhadap pasangan hidup Anda.
Sebelum menikah, sah-sah saja Anda sebagai calon suami membayangkan bahwa pasangan hidup Anda cantik rupawan, bangsawan, kaya raya, patuh, pandai mengurus rumah, penyayang, tanggap, sabar, dan berbagai gambaran indah. Bukankah demikian, Saudaraku?
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Biasanya, seorang wanita dinikahi karena empat pertimbangan: harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka, hendaknya engkau lebih memilih wanita yang beragama, niscaya engkau beruntung.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan makna hadits ini dengan berkata, “Empat pertimbangan inilah yang biasanya mendorong seorang lelaki untuk menikahi seorang wanita. Dengan demikian, hadits ini sebatas kabar tentang fakta yang terjadi di masyarakat, dan bukan perintah untuk menjadikannya sebagai pertimbangan. Secara tekstual pun, hadits ini menunjukkan bahwa dibolehkan menikahi seorang wanita dengan keempat pertimbangan itu. Akan tetapi, hendaknya pertimbangan agama lebih didahulukan.”
Keterangan al-Qurthubi ini semakna dengan hadits yang diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin Amr al-’Ash radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزَوَّجُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ فَعَسَى حُسْنُهُنَّ أَنْ يُرْدِيَهُنَّ وَلاَ تَزَوَّجُوهُنَّ لِأَمْوَالِهِنَّ فَعَسَى أَمْوَالُهُنَّ أَنْ تُطْغِيَهُنَّ وَلَكِنْ تَزَوَّجُوهُنَّ عَلَى الدِّينِ وَلَأَمَةٌ خَرْمَاءُ سَوْدَاءُ ذَاتُ دِينٍ أَفْضَلُ
‘Janganlah engkau menikahi wanita hanya karena kecantikan parasnya, karena bisa saja parasnya yang cantik menjadikannya sengsara. Jangan pula engkau menikahinya karena harta kekayaannya, karena bisa saja harta kekayaan yang ia miliki menjadikan lupa daratan. Akan tetapi, hendaklah engkau menikahinya karena pertimbangan agamanya. Sungguh, seorang budak wanita berhidung pesek dan berkulit hitam, tetapi ia patuh beragama, lebih utama dibanding mereka semua.’” (HR. Ibnu Majah; oleh al-Albani dinyatakan sebagai hadits yang lemah)
Akan tetapi, sekarang, setelah Anda menikah, terwujudkah seluruh impian dan gambaran yang dahulu terlukis dalam lamunan Anda?
Bila benar-benar seluruh impian Anda terwujud pada pasangan hidup Anda, maka saya turut mengucapkan selamat berbahagia di dunia dan akhirat. Bila tidak, maka tidak perlu berkecil hati atau kecewa.
Saudaraku, besarkan hati Anda, karena nasib serupa tidak hanya menimpa Anda seorang, tetapi juga menimpa kebanyakan umat manusia.
عَنْ أَبِى مُوسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَمُلَ مِنَ الرِّجَالِ كَثِيرٌ، وَلَمْ يَكْمُلْ مِنَ النِّسَاءِ إِلاَّ آسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ، وَمَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ، وَإِنَّ فَضْلَ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ
Abu Musa radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Banyak lelaki yang berhasil menggapai kesempurnaan, sedangkan tidaklah ada dari wanita yang berhasil menggapainya kecuali Asiyah istri Fir’aun dan Maryam binti Imran. Sesungguhnya, kelebihan Aisyah dibanding wanita lainnya bagaikan kelebihan bubur daging [1] dibanding makanan lainnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Saudaraku, berbahagia dan berbanggalah dengan pasangan hidup Anda, karena pasangan hidup Anda adalah wanita terbaik untuk Anda!
Anda tidak percaya? Silakan Anda membuktikannya. Bacalah sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini, lalu terapkanlah pada istri Anda.
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Tidak pantas bagi lelaki yang beriman untuk meremehkan wanita yang beriman. Bila ia tidak menyukai satu perangai darinya, pasti ia puas dengan perangainya yang lain.” (HR. Muslim)
Saudaraku, Anda kecewa karena istri Anda kurang pandai memasak? Tidak perlu khawatir, karena ternyata istri Anda adalah penyayang.
Anda kurang puas dengan istri Anda yang kurang pandai mengurus rumah dan kurang sabar? Tidak usah berkecil hati, karena ia begitu cantik rupawan. Anda berkecil hati karena istri Anda kurang cantik? Segera besarkan hati Anda, karena ternyata istri Anda subur sehingga Anda mendapatkan karunia keturunan yang shalih dan shalihah. Coba Anda bayangkan, betapa besar penderitaan Anda bila Anda menikahi wanita cantik akan tetapi mandul. Demikianlah seterusnya.
Tidak etis dan tidak manusiawi bila Anda hanya pandai mengorek kekurangan istri, namun Anda tidak mahir dalam menemukan kelebihan-kelebihannya. Buktikan Saudaraku, bahwa Anda benar-benar seorang suami yang berjiwa besar, sehingga Anda peka dan lihai dalam membaca kelebihan pasangan Anda. Dahulu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu peka dan mahir dalam membaca segala hal, termasuk suasana hati istrinya. Aisyah mengisahkan,
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِنِّي لَأَعْلَمُ إِذَا كُنْتِ عَنِّي رَاضِيَةً، وَإِذَا كُنْتِ عَلَيَّ غَضْبَى . قَالَتْ: فَقُلْتُ مِنْ أَيْنَ تَعْرِفُ ذَلِكَ، فَقَالَ: أَمَّا إِذَا كُنْتِ عَنِّي رَاضِيَةً فَإِنَّكِ تَقُولِيْنَ لاَ وَرَبِّ مُحَمَّدٍ، وَإِذَا كُنْتِ غَضْبَى قُلْتِ لاَ وَرَبِّ إِبْرَاهِيمَ. قَالَتْ: قُلْتُ أَجَلْ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا أَهْجُرُ إِلاَّ اسْمَكَ
“Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Sungguh, aku mengetahui bila engkau ridha kepadaku, demikian pula bila engkau sedang marah kepadaku.’ Spontan, Aisyah bertanya, ‘Darimana engkau dapat mengetahui hal itu?’ Rasulullah menjawab, ‘Bila engkau sedang ridha kepadaku, maka ketika engkau bersumpah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Muhammad. Adapun bila engkau sedang dirundung amarah, maka ketika engkau bersumpah, engkau berkata, ‘Tidak, demi Tuhan Ibrahim.’’ Mendengar penjelasan ini, Aisyah menimpalinya dan berkata, ‘Benar, sungguh demi Allah, wahai Rasulullah, ketika aku marah, tiada yang aku tinggalkan, kecuali namamu saja.’” (Muttafaqun ‘alaihi)
Demikianlah teladan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau begitu peka dengan suasana hati istrinya, sehingga beliau bisa membaca isi hati istrinya dari ucapan sumpahnya. Walaupun Aisyah berusaha untuk menyembunyikan isi hatinya, tetap bermanis muka, senantiasa berada di sanding Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berbicara seperti biasa, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat menebak suasana hatinya dari perubahan cara bersumpahnya. Luar biasa, perhatian, kejelian, dan kepekaan yang tidak ada bandingnya. Tidak mengherankan, bila beliau shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Orang terbaik di antara kalian ialah orang yang terbaik dalam memperlakukan istrinya, dan aku adalah orang terbaik di antara kalian dalam memperlakukan istriku.” (HR. At-Tirmidzi)
Bagaimana dengan Anda, Saudaraku? Dengan apa Anda dapat mengenali dan meraba suasana hati pasangan Anda?
Saudaraku, tidak ada salahnya bila sejenak Anda kembali memutar lamunan dan gambaran tentang istri ideal dan idaman yang pernah singgah dalam benak Anda. Selanjutnya, bandingkan gambaran istri idaman Anda dengan gambaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kaum wanita berikut ini,
الْمَرْأَةُ كَالضِّلَعِ ، إِنْ أَقَمْتَهَا كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيهَا عِوَجٌ
“Wanita itu bagaikan tulang rusuk. Bila engkau ingin meluruskannya, niscaya engkau menjadikannya patah, dan bila engkau bersenang-senang dengannya, niscaya engkau dapat bersenang-senang dengannya, sedangkan ia adalah bengkok.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Pada riwayat lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَسْتَقِيمُ لَكَ الْمَرْأَةُ عَلَى خَلِيقَةٍ وَاحِدَةٍ وَإِنَّمَا هِيَ كَالضِّلَعُ إِنْ تُقِمْهَا تَكْسِرْهَا وَإِنْ تَتْرُكْهَا تَسْتَمْتِعْ بِهَا وَفِيهَا عِوَجٌ
“Tidak mungkin istrimu kuasa bertahan dalam satu keadaan. Sesungguhnya, wanita itu bak tulang rusuk. Bila engkau ingin meluruskannya, niscaya engkau menjadikannya patah. Adapun bila engkau biarkan begitu saja, maka engkau dapat bersenang-senang dengannya, (tetapi hendaklah engkau ingat) ia adalah bengkok.” (HR. Ahmad)
Nah, sekarang, silakan Anda mengorek memori Anda tentang wanita pendamping hidup Anda. Temukan berbagai kelebihan padanya, dan selanjutnya tersenyumlah, karena ternyata istri Anda memiliki banyak kelebihan. Lalu, bila pada suatu hari Anda merasa tergoda oleh kecantikan wanita lain, maka ketahuilah bahwa sesuatu yang dimiliki oleh wanita itu ternyata juga telah dimiliki oleh istri Anda. Maka, bergegaslah untuk membuktikan hal ini pada istri Anda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
إِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا
“Bila engkau melihat seorang wanita, lalu ia memikat hatimu, maka segeralah datangi istrimu! Sesungguhnya, istrimu memiliki seluruh hal yang dimiliki oleh wanita yang engkau lihat itu.” (HR. At-Tirmidzi)
Demikianlah caranya agar Anda dapat senantiasa puas dan bangga dengan pasangan hidup Anda. Anda selalu dapat merasa bahwa ladang Anda tampak hijau, sehijau ladang tetangga, dan bahkan lebih hijau. Selamat berbahagia dengan pasangan hidup yang telah Allah karuniakan kepada Anda. Semoga Allah memberkahi bahtera rumah tangga Anda. Sebaliknya, sebagai calon istri, Anda juga berhak untuk mendambakan pasangan hidup yang tampan, gagah, kaya raya, pandai, berkedudukan tinggi, penuh perhatian, setia, penyantun, dermawan, dan lain sebagainya. Betapa indahnya gambaran rumah tangga Anda, dan betapa istimewanya pasangan hidup Anda, andai gambaran Anda ini dapat terwujud. Bukankah demikian, Saudariku?
Saudariku, setelah Anda menikah, benarkah seluruh kriteria suami ideal yang pernah menghiasi lamunan Anda ini terwujud pada pasangan hidup Anda?
Bila benar terwujud, maka saya ucapkan selamat berbahagia di dunia dan akhirat, dan bila tidak, maka tidak perlu berkecil hati. Besarkan hatimu, wahai Saudariku! Percayalah, bahwa pada pasangan hidup Anda ternyata terdapat banyak kelebihan. Bila selama ini, Saudari ciut hati karena suami Anda miskin harta, maka tidak perlu khawatir, karena ia penuh dengan perhatian dan tanggung jawab. Bila selama ini, Saudari kecewa karena suami Anda ternyata kurang tampan, maka percayalah bahwa ia setia dan bertanggung jawab. Andai selama ini, Saudari kurang puas karena suami Anda kurang perhatian dengan urusan dalam rumah, tetapi ia begitu membanggakan dalam urusan luar rumah. Juga, andai selama ini, sikap suami Anda terhadap Anda kurang simpatik, maka tidak perlu hanyut dalam duka dan kekecawaan, karena ia masih punya jasa baik yang tidak ternilai dengan harta. Ternyata, selama ini, suami Anda telah menjaga kehormatan Anda, menjadi penyebab Anda merasakan kebahagiaan menimang putra-putri Anda.
Saudariku, Anda tidak perlu hanyut dalam kekecewaan karena suatu hal yang ada pada diri suami Anda. Betapa banyak kelebihan-kelebihan yang ada padanya. Berbahagia dan nikmatilah kedamaian hidup rumah tangga bersamanya. Berlarut-larut dalam kekecewaan terhadap suatu perangai suami Anda dapat menghancurkan segala keindahan dalam rumah tangga Anda. Bukan hanya hancur di dunia, bahkan berkelanjutan hingga di akhirat kelak.
Saudariku, simaklah peringatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini. Agar anda dapat menjadikan bahtera rumah tangga Anda seindah dambaan Anda.
أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ، قِيلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
“Aku diberi kesempatan untuk menengok ke dalam neraka, dan ternyata kebanyakan penghuninya ialah para wanita, akibat ulah mereka yang selalu kufur/ingkar.” Spontan, para shahabat bertanya, “Apakah yang engkau maksud adalah mereka kufur/ingkar kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka terbiasa ingkar terhadap perilaku baik, dan ingkar terhadap jasa baik. Andai engkau berbuat baik kepada mereka seumur hidupmu, lalu ia mendapatkan suatu hal padamu, niscaya mereka begitu mudah berkata, ‘Aku tidak pernah mendapatkan kebaikan sedikit pun darimu.’” (Muttafaqun ‘alaihi)
Anda mendambakan kebahagian dalam rumah tangga?
Temukanlah bahwa kebahagian hidup dan berumah tangga terletak pada genggaman tangan suami Anda. Pandai-pandailah membawa diri, sehingga suami Anda rela membentangkan kedua telapak tangannya, dan memberikan kebahagian berumah tangga kepada Anda.
Percayalah Saudariku, suami Anda adalah pasangan terbaik untuk Anda.
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا اُدْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Bila seorang istri telah mendirikan shalat lima waktu, berpuasa bulan Ramadan, menjaga kesucian dirinya, dan taat kepada suaminya, niscaya kelak akan dikatakan kepadanya, ‘Silakan engkau masuk ke surga dari pintu mana pun yang engkau suka.’” (HR. Ahmad dan lainnya)
Tidakkah Anda mendambakan termasuk orang-orang mukminah yang mendapatkan kebebasan masuk surga dari pintu yang mana pun?
Kunci Keberhasilan Rumah Tangga
Saudaraku, mungkin selama ini Anda bersama pasangan hidup Anda, terus berusaha mencari pola rumah tangga yang dapat mendatangkan kebahagiaan untuk Anda berdua.
Anda berhasil menemukannya?
Bila Anda berhasil, maka saya ucapkan selamat berbahagia. Adapun bila belum, maka segera temukan kunci keberhasilan rumah tangga Anda pada firman Allah berikut,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan satu tingkat daripada istrinya.” (QS. al-Baqarah: 228)
Hak pasangan Anda setimpal dengan kewajiban yang ia tunaikan kepada Anda. Semakin banyak Anda menuntut hak Anda, maka semakin banyak pula kewajiban yang harus Anda tunaikan untuknya.
Sahabat Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma memberikan contoh nyata dari aplikasi ayat ini dalam rumah tangganya. Pada suatu hari, beliau berkata, “Sesungguhnya, aku senang untuk berdandan demi istriku, sebagaimana aku pun senang bila istriku berdandan demiku, karena Allah Ta’ala telah berfirman,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.’
Aku pun tidak ingin menuntut seluruh hakku atas istriku, karena Allah juga telah berfirman,
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
‘Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan satu tingkat daripada istrinya.’” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan ath-Thabari)
Bagaimana dengan dirimu, wahai saudara dan saudariku? Kapankah Anda berdandan? Ketika sedang berada di rumah atau ketika hendak keluar rumah? Selama ini, sejatinya, untuk siapa Anda berdandan? Benarkah Anda berdandan untuk pasangan Anda, ataukah Anda berdandan dan tampil menawan untuk orang lain?
Saudaraku, bahu-membahu, saling melengkapi kekurangan, dan saling pengertian adalah salah satu prinsip dasar dalam membangun rumah tangga. Tidak layak bagi Anda untuk berperan sebagai penonton setia ketika pasangan Anda sedang mengerjakan pekerjaannya. Usahakan sebisa Anda untuk turut menyelesaikan pekerjaannya. Demikianlah, dahulu Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dalam rumah tangga beliau.
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan,
كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ، فَإِذَا سَمِعَ الأَذَانَ خَرَجَ
“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan sebagian pekerjaan istrinya, dan bila beliau mendengar suara azan dikumandangkan, maka beliau bergegas menuju ke mesjid.” (HR. Bukhari)
Constance Gager, ketua studi sekaligus asisten profesor di Montclair State University, Montclair, New Jersey, mengadakan penelitian tentang hubungan perilaku suami-istri dengan keromantisan dalam bercinta. Ia mengelompokkan para suami yang menjadi objek penelitiannya ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah suami-suami yang tidak peduli dan jarang membantu pekerjaan istri. Kelompok kedua adalah suami-suami yang sering turut serta dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga istri.
Hasilnya luar biasa! Suami di kelompok kedua, yaitu yang sering membantu pekerjaan istrinya, terbukti lebih romantis dan lebih sering memadu cinta dengan pasangannya. Hubungan yang harmonis dan indah, begitu kental dalam rumah tangga mereka.
Sejatinya, penemuan ini bukanlah hal baru, karena secara logika, suami yang dengan rendah hati membantu pekerjaan istrinya pastilah lebih dicintai oleh istrinya. Tentunya, ini memiliki hubungan erat dengan keromantisan suami-istri dalam bercinta. Sebaliknya, istri yang peduli dengan pekerjaan suami, pun akan mengalami hal yang sama.
Nah, bagaimana dengan diri Anda, wahai Saudaraku?
Selamat membuktikan resep manjur ini! Semoga berbahagia, dan hubungan Anda berdua semakin romantis dan harmonis. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi Anda. Mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan. Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis: Ust. Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel: www.pengusahamuslim.com
Jangan Biarkan Hati Anda Menderita Karena Hasad
Hasad (dengki) merupakan penyakit hati yang berbahaya bagi manusia, karena penyakit ini menyerang si penderita dan meracuninya; membuat dia benci terhadap kenikmatan yang diperoleh saudaranya, dan merasa senang jika kenikmatan tersebut musnah dari tangan saudaranya.
Pada hakikatnya penyakit ini mengakibatkan si penderita tidak ridha dengan qadha dan qadar AllahSubhanahu wa Ta’ala, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah: “Sesungguhnya hakikat hasad adalah bagian dari sikap menentang Allah ‘Azza wa Jalla, karena ia membuat si penderita benci kepada nikmat AllahSubhanahu wa Ta’ala atas hambanya; padahal Allah Subhanahu wa Ta’alamenginginkan nikmat tersebut untuknya. Hasad juga membuatnya senang dengan hilangnya nikmat tersebut dari saudaranya, padahal Allah ‘Azza wa Jalla benci jika nikmat itu hilang dari saudaranya. Jadi, hasad itu hakikatnya menentang qadha dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Lihat Al-Fawaaidhal.157, cetakan Darul Fikr – Beirut)
Penyakit ini sering dijumpai di antara sesama teman sejabatan, seprofesi, seperjuangan, atau sederajat. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai ada pegawai kantor yang hasad kepada teman sekantornya. Tukang bakso hasad kepada tukang bakso lainnya, guru hasad kepada guru, orang ahli ibadah atau Ustadz atau Kyai hasad kepada yang sederajat dengannya. Jarang dijumpai hasad tersebut pada orang yang beda kedudukan dan derajatnya, seperti tukang bakso hasad kepada Kyai, atau tukang becak hasad kepada Ustadz, meskipun tidak menafikan kemungkinan terjadinya.
Penyakit hasad hendaknya dijauhi oleh setiap Muslim, karena mudharat-nya sangat besar, terutama bagi si penderita, baik mudharat dari sisi agama maupun dunianya. Tidakkah kita ingat, kenapa Iblis dilaknat Allah ‘Azza wa Jalla? Tidak lain karena sikap hasad dan sombongnya kepada Adam ‘alaihis salam yang sama-sama makhluk Allah Ta’ala.
Dari sisi lain, hasad merupakan sifat sebagian besar Yahudi dan Nasrani, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَىٰ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Ataukah mereka (orang Yahudi) dengki kepada manusia (Muhammad dan orang-orang Mukmin) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?”(QS. An-Nisaa’ [4] : 54)
Allah Ta’ala juga berfirman tentang hasad mereka:
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS. Al-Baqarah [2] : 109)
Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang Muslim dari sifat hasad tersebut, beliau bersabda:
لَا تَقَاطَعُوا وَ لَا تَدَابَرُوا وَ لَا تَبَاغَضُوا وَ لَا تَحَاسَدُوا وَ كُوْنُوا إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ
“Janganlah kalian memutuskan tali persaudaraan, saling berpaling ketika bertemu dan saling membenci serta saling dengki. Jadilah kalian bersaudara sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah.” (HR. Muslim, lihat Shahih Muslim juz 8 hal. 10)
Sebab-sebab Hasad
Sumber dari penyakit hasad adalah cinta dunia, baik cinta harta benda, kedudukan, jabatan, maupun pujian manusia.
Dunia memang sempit, sering menyempitkan mereka yang memburu dan mencintainya, sehingga tak jarang mereka berjatuhan pada lembah hasad, karena takut kekayaan dunia tidak akan bisa dimiliki kecuali ia berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya dan berkurang jika dibelanjakan berbeda dengan akhirat yang sangat luas, seperti langit yang tak berujung dan seperti lautan yang tidak bertepi. Karena sangat luasnya, sehingga tidak menyempitkan orang yang memburu dan mencintainya, sebagaimana kita tidak menjumpai orang tidak berjejal-jejal untuk melihat keindahan langit di waktu malam, karena luasnya dan cakupannya terhadap setiap mata yang memandang.
Ibnu Sirin rahimahullah berkata: “Aku tidak pernah hasad pada seorangpun dalam masalah dunia, karena jika dia termasuk ahli surga, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam masalah dunia, padahal dia akan masuk surga. Dan jika termasuk ahli neraka, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam hal dunia, padahal dia akan masuk neraka.” (Raudhatul Uqala Wanuzhatul Fudhala hal.119, Cet. Maktabah Ashriyah – Beirut)
Jika tujuan seseorang adalah akhirat, maka hatinya bersih dari hasad, tenang, jernih, seperti air yang memancar dari mata air pegunungan, lembut bagaikan sutera, tidak ada tempat bagi hasad di dalamnya. Akan tetapi, jika tujuannya adalah dunia, maka hati sangat rawan terjangkit hasad, mudah ternoda dan keruh. Oleh sebab itu, bagi mereka yang mempunyai belas-kasihan terhadap hatinya, hendaknya ia meninggalkan cinta dunia dan menggantinya dengan cinta akhirat. Karena kenikmatan akhirat tidaklah menyempitkan orang yang memburunya. Ia adalah kenikmatan yang sesungguhnya, kenikmatan yang luar biasa, tidak sebanding dengan kenikmatan-kenikmatan dunia. Kenikmatan tersebut bisa dirasakan oleh orang yang sangat mencintainya, mencari, dan memburunya di dunia ini. Jika seseorang tidak ingin memburu kenikmatan hakiki tersebut, atau lemah keinginannya, maka dia bukanlah ksatria, karena yang memburu kenikmatan yang hakiki tersebut adalah ksatria. (Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal.188-189, cet. Maktabah Darul Bayan – Damaskus. -Bittasharruf)
Obat Hasad
Setelah kita mengetahui bahwa hasad adalah penyakit hati yang berbahaya, maka tentunya kita ingin mengetahui obat dan terapi hasad tersebut.
Sebenarnya, penyakit hati yang satu ini tidaklah dapat diobati dengan pil atau kapsul dari Apotik atau dengan suntik, herbal, atau pijat urat, akan tetapi penyakit hati ini hanya dapat diobati dengan ilmu dan amal.
Adapun obat yang pertama adalah ilmu. Ilmu yang bermanfaat untuk mengobati hasad adalah pengetahuan tentang hakikat hasad itu sendiri. Diantaranya mengetahui bahwa hasad itu berbahaya bagi si penderita, baik bagi agamanya atau dunianya. Di dunia, hatinya selalu menderita dan tersayat-sayat, boleh jadi dia mati karenanya. Bagaimana tidak? Dia membenci orang lain yang mendapat kenikmatan dan mengharap nikmat tersebut musnah darinya. Padahal, hal itu telah ditakdirkan oleh AllahSubhanahu wa Ta’ala dan tidak akan musnah sampai saat yang telah ditentukan.
Orang yang hasad ibarat orang yang melempar bumerang kepada musuh. Bumerangnya tidak mengenai sasaran, tetapi bumerang itu kembali kepadanya, sehingga mengenai mata kanannya dan mengeluarkan bola matanya. Lalu dia bertambah marah dan kembali melempar kedua kalinya dengan lebih kuat. Akan tetapi, bumerang itu masih seperti semula, tidak menemui sasaran dan kembali mengenai mata sebelah kirinya sehingga dia buta. Kemarahannya pun tambah menyala-nyala, kemudian dia melempar ketiga kalinya denga sekuat tenaga, akan tetapi bumerang tersebut kembali mengenai kepalanya sampai hancur, sedangkan musuhnya selamat dan menertawakan dia, karena dia mati atas perbuatannya sendiri. Sedangkan di akhirat nanti, dia akan mendapat adzab dari Allah Ta’ala, jika hasad tersebut melahirkan perkataan dan perbuatan, karena statusnya adalah orang yang telah menzhalimi orang lain ketika di dunia.
Perlu diketahui pula bahwa hasad juga tidak berbahaya bagi orang yang dihasad, baik agama dan dunianya. Dia tidak berdosa dengan hasad orang lain kepadanya. Bahkan, dia mendapatkan pahala jika hasad terebut keluar berwujud perkataan dan perbuatan, sebab dia termasuk orang yang dizhalimi. Kenikmatan yang ada padanya juga tidak akan musnah karena hasad irang lain kepadanya, sebab kenikmatan tersebut telah ditakdirkan untuknya
Adapun obat kedua adalah amal perbuatan. Amal perbuatan yang manjur untuk mengobati hasad adalah melakukan perbuatan yang berlawanan dengan perbuatan yang ditimbulkan oleh hasad. Misalnya; gara-gara hasad, seseorang ingin mencela dan meremehkan orang yang dihasad. Jika seperti ini, hendaknya dia melakukan hal yang berbeda yaitu memuji orang yang dihasad tersebut. Kemudian jika hasad itu membuatnya sombong kepada orang yang dihasad, maka hendaknya tawadhu kepadanya. Jika hasad membuatnya tidak berbuat baik atau tidak memberi hadiah kepada orang yang dihasad, maka hendaknya ia melakukan sebaliknya, yaitu berbuat baik dan memberikan kepadanya hadiah. Dengan seperti ini, insyaAllah hasad di hati akan segera lenyap dan hati kembali sehat dan normal. (Mukhtashar Minhajul Qashisin hal.189-190, cet.Maktabah Darul Bayan, Damaskus. -Bittasharruf)
Adakah Hasad yang Diperbolehkan?
Mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya. Apakah benar hasad itu ada yang diperbolehkan? Jawabannya, marilah kita simak sabda Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ حَسَدَ إِلَّا فِيْ اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَا لَا فَسَلَّطَهُ عَلَي هَلَكَتِهِ فِي الحَقِّ وَ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَ يُعَلِّمُهَا
“Tidak ada hasad kecuali kepada dua orang. Yang pertama; kepada seseorang yang telah diberi harta kekayaan oleh Allah dan ia habiskan di jalan yang benar. Yang kedua; kepada sesorang yang telah diberi hikmah (ilmu) oleh Allah dan ia memutuskan perkara dengannya serta mengajarkannya.” (Muttafaq ‘alaih. Lihat Shahih al-Bukhari no. 6886, cet. Dar Ibnu Katsir – Beirut, dan juga Shahih Muslim no. 1933, cet. Darul Jiel dan Darul Auqaf al-Jadidah – Beirut)
Akan tetapi, hasad dalam hadits ini berbeda pengertiannya dengan hasad yang telah disebutkan di atas. Hasad yang ini disebut oleh para ulama denganGhibtah, yaitu menginginkan kenikamatan seperti yang telah diperoleh oleh orang lain dengan tanpa membenci orang tersebut, serta dengan tidak mengharapkan kenikmatan itu musnah darinya.
Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad hafizhahullah dalam menjelaskan hadits di atas berkata: “Yang dimaksud hasad di sini adalah ghibtah.” (Syarah Sunan Abu Dawud hadits “iyyakum wa hasad”)
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ghibtah adalah ingin mendapatkan kenikmatan sebagaimana yang diperoleh oleh orang lain dengan tanpa mengharapkan nikmat tersebut musnah darinya. Jika perkara yang di-ghibtah tersebut adalah perkara dunia, maka hukumnya adalah mubah (boleh). Jika perkara tersebut termasuk perkara akhirat, maka hukumnya adalah mustahab (disukai), dan makna hadits di atas adalah tidak ada ghibtah yang dicintai (oleh Allah Ta’ala) kecuali pada dua perkara (yang tersebut di atas) dan yang semakna dengannya. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim Ibnul Hajjaj, juz 6 hal. 97, cet.2, Dar Ihya Turats al Arabi – Beirut)
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Artikel ini diambil dari Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (No. 06-07)/Tahun XIII/Ramadhan-Syawwal 1430 H/September-Oktober 2009M.
Penulis: Ustadz Nur Kholis bin Kurdian
@2010. Artikel http://ummushofiyya.wordpress.com
Sabtu, 02 Juni 2012
Pembangunan Pusat Bisnis Islam Ditargetkan Rampung 2014
Bekasi-Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia Jawa Barat menargetkan pembangunan “Grand Wakaf Menara Haji” sebagai pusat bisnis Islam di Jalan Simatupang, Jakarta, rampung pada 2014.
“Pembangunannya sudah dimulai dan ditargetkan akan selesai pada 2014 mendatang,” kata Ketua IPHI, Mayjen TNI (Purn) H. Kurdi Mustofa dalam silaturahim akbar se-Karesidenan Purwakarta di Asrama Haji Kota Bekasi, Sabtu malam.
Bangunan yang direncanakan memiliki 33 lantai ini membutuhkan dana pembangunan lebih dari Rp1 triliun yang diambil dari wakaf haji yang akan dikumpulkan oleh Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) di tingkat daerah (kabupaten/kota) dan wilayah (provinsi).
Menara Haji Indonesia dirancang sebagai kondominium dan hotel di puncaknya serta pusat bisnis syariah yang terdiri atas mal, perkantoran, ruang pertemuan, ruang pameran, ruang serbaguna, masjid, dan tempat manasik haji, juga ruang klub eksekutif.
Menurut dia, sosialisasi pembangunan tersebut sudah dilakukan di enam kota besar di Indonesia dengan prioritas jamaah haji yang ingin berwakaf. “Di Jabar kami targetkan 26 unit bangunan terjual, ditambah dua unit apartemen yang telah diambil pemerintah Jabar,” katanya.
Meski masih dalam proses pembangunan, kata dia, hingga saat ini sekitar 120 unit di antaranya telah terjual dengan jumlah unit yang tersedia sekitar 400 unit bangunan.
Sementara itu, angkatan muda IPHI, Mulyanto, menargetkan Kota Bekasi akan mengambil lebih dari 10 unit selama dua tahun dengan cara menyebarkan sertifikat Grand Wakaf Menara Haji Indonesia kepada jamaah haji kota itu yang per tahun mencapai 37 ribu lebih.
“Kita akan terus lakukan sosialisasi kepada masyarakat Kota Bekasi, agar bisa ikut mengambil unit di gedung tersebut,” katanya.(metronews)
“Pembangunannya sudah dimulai dan ditargetkan akan selesai pada 2014 mendatang,” kata Ketua IPHI, Mayjen TNI (Purn) H. Kurdi Mustofa dalam silaturahim akbar se-Karesidenan Purwakarta di Asrama Haji Kota Bekasi, Sabtu malam.
Bangunan yang direncanakan memiliki 33 lantai ini membutuhkan dana pembangunan lebih dari Rp1 triliun yang diambil dari wakaf haji yang akan dikumpulkan oleh Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) di tingkat daerah (kabupaten/kota) dan wilayah (provinsi).
Menara Haji Indonesia dirancang sebagai kondominium dan hotel di puncaknya serta pusat bisnis syariah yang terdiri atas mal, perkantoran, ruang pertemuan, ruang pameran, ruang serbaguna, masjid, dan tempat manasik haji, juga ruang klub eksekutif.
Menurut dia, sosialisasi pembangunan tersebut sudah dilakukan di enam kota besar di Indonesia dengan prioritas jamaah haji yang ingin berwakaf. “Di Jabar kami targetkan 26 unit bangunan terjual, ditambah dua unit apartemen yang telah diambil pemerintah Jabar,” katanya.
Meski masih dalam proses pembangunan, kata dia, hingga saat ini sekitar 120 unit di antaranya telah terjual dengan jumlah unit yang tersedia sekitar 400 unit bangunan.
Sementara itu, angkatan muda IPHI, Mulyanto, menargetkan Kota Bekasi akan mengambil lebih dari 10 unit selama dua tahun dengan cara menyebarkan sertifikat Grand Wakaf Menara Haji Indonesia kepada jamaah haji kota itu yang per tahun mencapai 37 ribu lebih.
“Kita akan terus lakukan sosialisasi kepada masyarakat Kota Bekasi, agar bisa ikut mengambil unit di gedung tersebut,” katanya.(metronews)
11 Kanwil Kemenag, Siap Layani Pendataran Haji Khusus
Jakarta-Direktur Pelayanan Haji Kementerian a (Kemenag) Sri Ilham Lubis mengatakan, sampai saat ini, 11 Kanwil Kemenag bisa melayani proses pendaftaran haji khusus, yaitu Kanwil Kemenag Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, Riau, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Sumatera Utara.
Hal itu diungkapkan Sri Ilham Lubis saat meresmikan Ruang Pelayanan Pendaftaran Haji Khusus, di Kantor Wilayah Kanwil) Kemenag DKI, Jumat (1/6), yang dihadiri Ka.Kanwil Kemenag DKI Jakarta Muhimin Luthfie dan pejabat lainnya.
“Secara bertahap akan kita kembangkan dan targetnya seluruh provinsi bisa menerima pendaftaran haji khusus. Kita juga akan menerapkan pendaftarannya dengan sistem online,” tutur Sri Ilham.
Menurut Sri Ilham, sesuai dengan peraturan Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 1 Tahun 2011, pelayanan haji khusus dilaksanakan di Kanwil Kemenag provinsi yang sebelumnya pendaftaran dilaksanakan di Kantor Kemenag Pusat.
“Ini untuk memberikan kemudahan pelayanan, efisiensi waktu dan biaya kepada jemaah haji khusus, sehingga mereka saat mengambil SPPH (Surat Permohonan Perjalanan Haji) tidak perlu datang jauh-jauh ke Kantor Kemenag Pusat tapi cukup di Kanwil provinsi masing-masing,” kata Sri Ilham.
Pemberian pelayanan ini kepada jemaah haji khusus ini di Kanwil provinsi, kata Sri Ilham, masih sebatas proses pendaftaran saja, tapi ke depan kita akan tingkatkan pelayanannya.
Sedangkan Kepala Kanwil Kemenag DKI Jakarta Muhimin Luthfie mengingatkan jajaran untuk memberikan pelayanan kepada calon jemaah haji khususnya DKI Jakarta.
“Kita dalam memberikan pelayanan tidak hanya dapat melayani mereka dengan rasa nyaman, tapi juga dapat memberikan kepuasan sehingga tidak ada komplain dari mereka,” tutur Muhaimin.(suaramerdeka)
Adab Menasihati (bagian ke-2)
Menasihati Secara Rahasia
Untuk menjaga hati dan perasaan, banyak orang menyampaikan nasihat dengan cara langsung ke personal orangnya ataupun dengan cara sembunyi-sembunyi. Sejatinya, nasihat dan celaan itu bedanya sangat tipis. Nasihat diberikan secara rahasia, sedangkan celaan disampaikan secara terang-terangan. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahumullah berkata: “Seorang mukmin menjaga rahasia dan memberi nasihat. Seorang fajir membongkar rahasia dan mencela”.(Al Farqu Baynan Nashiah Wat Ta’yir)
Perkataan Fudhail bin Iyad dibenarkan dan diperkuat oleh perkataan Ibnu Rajab:
“Apa yang diucapkan oleh Fudhail ini merupakan tanda-tanda nasihat. Sesungguhnya nasihat digandeng dengan rahasia. Sedangkan celaan digandeng dengan terang-terangan.” (Al Farqu Baynan Nashiah Wat Ta’yir)
Al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah (wafat tahun 354 H) berkata: “Nasihat itu merupakan kewajiban manusia semuanya, sebagaimana telah kami sebutkan sebelum ini, tetapi dalam teknik penyampaiannya haruslah dengan secara rahasia, tidak boleh tidak, karena barangsiapa yang menasihati saudaranya di hadapan orang lain, maka berarti dia telah mencelanya, dan barangsiapa yang menasihatinya secara rahasia, maka berarti dia telah memperbaikinya. Sesungguhnya penyampaian dengan penuh perhatian kepada saudaranya sesama muslim adalah kritik yang membangun, lebih besar kemungkinannya untuk diterima dibandingkan penyampaian dengan maksud mencelanya.”
Dari pendapat di atas jelaslah hendaknya kritik atau nasihat disampaikan dengan cara yang baik dan tidak melukai perasaan dengan cara mengungkapkannya langsung secara personal tidak di hadapan forum atau untuk kehati-hatian hendaknya dilakukan dengan secara sembunyi-sembunyi.
Kemudian Al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah menyebutkan dengan sanadnya sampai kepada Sufyan, ia berkata: “Saya berkata kepada Mis’ar, “Apakah engkau suka apabila ada orang lain memberitahumu akan kekurangan-kekuranganmu?” Maka ia berkata, “Apabila yang datang adalah orang yang memberitahukan kekurangan-kekuranganku dengan cara menjelek-jelekkanku, maka saya tidak senang, tetapi apabila yang datang kepadaku adalah seorang pemberi nasihat, maka saya senang.”
Kemudian Imam Ibnu Hibban berkata bahwa Muhammad bin Said Al-Qazzaz telah memberitahukan kepada kami, Muhammad bin Manshur telah menceritakan kepada kami, Ali Ibnul Madini telah menceritakan kepadaku, dari Sufyan, ia berkata: Thalhah datang menemui Abdul Jabbar bin Wail, dan di situ banyak terdapat orang, maka ia berbicara dengan Abdul Jabbar menyampaikan sesuatu dengan rahasia, kemudian setelah itu beliau pergi. Maka Abdul Jabbar bin Wail berkata, “Apakah kalian tahu apa yang ia katakan tadi kepadaku? Ia berkata, ‘Saya melihatmu ketika engkau sedang shalat kemarin sempat melirik ke arah lain’.”
Abu Hatim (Imam Ibnu Hibban) rahimahullah berkata:”Nasihat apabila dilaksanakan seperti apa yang telah kami sebutkan, akan melanggengkan kasih sayang, dan menyebabkan terealisasinya hak ukhuwah.” (Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala, hal. 328-329)
Al Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said Ibnu Hazm rahimahullah (wafat tahun 456 H) berkata:”Maka wajib atas seseorang untuk selalu memberi nasihat, baik yang diberi nasihat itu suka ataupun benci, tersinggung atau tidak tersinggung. Apabila engkau memberi nasihat, maka nasihatilah secara rahasia, jangan di hadapan orang lain, dan cukup dengan memberi isyarat tanpa terus terang secara langsung, kecuali apabila orang yang dinasihati tidak memahami isyaratmu, maka harus secara terus terang. jika engkau melampaui adab-adab tadi, maka engkau orang yang zhalim, bukan pemberi nasihat, dan gila ketaatan serta gila kekuasaan, bukan pemberi amanat dan pelaksana hak ukhuwah. Ini bukanlah termasuk hukum akal dan hukum persahabatan, melainkan hukum rimba, seperti seorang penguasa dengan rakyatnya, dan tuan dengan hamba sahayanya.” (Al Akhlak wa As Siyar fi Mudaawaati An Nufus, hal. 45)
Dan orang-orang salaf membenci amar ma’ruf nahi munkar secara terang-terangan, mereka suka kalau dilakukan secara rahasia antara yang menasihati dengan yang dinasihati, dan ini merupakan ciri nasihat yang murni dan ikhlas karena si penasehat tidak mempunyai tujuan untuk menyebarluaskan aib-aib orang yang dinasihatinya, ia hanya mempunyai tujuan menghilangkan kesalahan yang dilakukannya. Sedangkan menyebarluaskan dan menampakkan aib-aib orang lain, maka hal tersebut termasuk yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.” (Surat An-Nuur: 19)
Ada sebuah syair yang dinisbahkan kepada Imam Syafi’i rahimahullah (204 H), syair itu berbunyi:
“Perlu diketahui bahwa nasihat itu adalah pembicaraan yang dilakukan secara rahasia antaramu dengannya, karena apabila engkau menasihatinya secara rahasia dengan empat mata, maka sangat membekas pada dirinya, dan dia tahu bahwa engkau pemberi nasihat, tetapi apabila engkau bicarakan dia di hadapan orang banyak, maka besar kemungkinan bangkit kesombongannya yang menyebabkan ia berbuat dosa dengan tidak menerima nasihat, dan mungkin pula ia menyangka bahwa engkau hanya ingin balas dendam dan mendiskreditkannya serta untuk menjatuhkan kedudukannya di mata manusia sehingga ia tidak menerima isi nasihat tersebut. Tetapi apabila dilakukan secara rahasia antara kamu dan dia berdua, maka nasihatmu itu amat berarti baginya, dan dia akan menerima darimu.” (Syarah Riyadhus Shalihin, juz 4 hal. 483)
Seorang pemberi nasihat wajib menunaikan hak saudaranya seiman yang memang wajib untuk ia tunaikan. Sehingga ia mendapatkan pahala dari nasihat yang ia berikan untuk saudaranya. Adapun celaan, mengoyak hak-hak hamba Allah, memecah belah persatuan serta merusak agama mereka. Lebih jauh lagi dia berdosa di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai balasan atas perbuatannya yang menyakiti hamba-hamba Allah dengan cara menyebarkan gangguan dan kekejian di tengah mereka. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nuur: 19)
Allahu’alam bisshawab.
Untuk menjaga hati dan perasaan, banyak orang menyampaikan nasihat dengan cara langsung ke personal orangnya ataupun dengan cara sembunyi-sembunyi. Sejatinya, nasihat dan celaan itu bedanya sangat tipis. Nasihat diberikan secara rahasia, sedangkan celaan disampaikan secara terang-terangan. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahumullah berkata: “Seorang mukmin menjaga rahasia dan memberi nasihat. Seorang fajir membongkar rahasia dan mencela”.(Al Farqu Baynan Nashiah Wat Ta’yir)
Perkataan Fudhail bin Iyad dibenarkan dan diperkuat oleh perkataan Ibnu Rajab:
“Apa yang diucapkan oleh Fudhail ini merupakan tanda-tanda nasihat. Sesungguhnya nasihat digandeng dengan rahasia. Sedangkan celaan digandeng dengan terang-terangan.” (Al Farqu Baynan Nashiah Wat Ta’yir)
Al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah (wafat tahun 354 H) berkata: “Nasihat itu merupakan kewajiban manusia semuanya, sebagaimana telah kami sebutkan sebelum ini, tetapi dalam teknik penyampaiannya haruslah dengan secara rahasia, tidak boleh tidak, karena barangsiapa yang menasihati saudaranya di hadapan orang lain, maka berarti dia telah mencelanya, dan barangsiapa yang menasihatinya secara rahasia, maka berarti dia telah memperbaikinya. Sesungguhnya penyampaian dengan penuh perhatian kepada saudaranya sesama muslim adalah kritik yang membangun, lebih besar kemungkinannya untuk diterima dibandingkan penyampaian dengan maksud mencelanya.”
Dari pendapat di atas jelaslah hendaknya kritik atau nasihat disampaikan dengan cara yang baik dan tidak melukai perasaan dengan cara mengungkapkannya langsung secara personal tidak di hadapan forum atau untuk kehati-hatian hendaknya dilakukan dengan secara sembunyi-sembunyi.
Kemudian Al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah menyebutkan dengan sanadnya sampai kepada Sufyan, ia berkata: “Saya berkata kepada Mis’ar, “Apakah engkau suka apabila ada orang lain memberitahumu akan kekurangan-kekuranganmu?” Maka ia berkata, “Apabila yang datang adalah orang yang memberitahukan kekurangan-kekuranganku dengan cara menjelek-jelekkanku, maka saya tidak senang, tetapi apabila yang datang kepadaku adalah seorang pemberi nasihat, maka saya senang.”
Kemudian Imam Ibnu Hibban berkata bahwa Muhammad bin Said Al-Qazzaz telah memberitahukan kepada kami, Muhammad bin Manshur telah menceritakan kepada kami, Ali Ibnul Madini telah menceritakan kepadaku, dari Sufyan, ia berkata: Thalhah datang menemui Abdul Jabbar bin Wail, dan di situ banyak terdapat orang, maka ia berbicara dengan Abdul Jabbar menyampaikan sesuatu dengan rahasia, kemudian setelah itu beliau pergi. Maka Abdul Jabbar bin Wail berkata, “Apakah kalian tahu apa yang ia katakan tadi kepadaku? Ia berkata, ‘Saya melihatmu ketika engkau sedang shalat kemarin sempat melirik ke arah lain’.”
Abu Hatim (Imam Ibnu Hibban) rahimahullah berkata:”Nasihat apabila dilaksanakan seperti apa yang telah kami sebutkan, akan melanggengkan kasih sayang, dan menyebabkan terealisasinya hak ukhuwah.” (Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala, hal. 328-329)
Al Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said Ibnu Hazm rahimahullah (wafat tahun 456 H) berkata:”Maka wajib atas seseorang untuk selalu memberi nasihat, baik yang diberi nasihat itu suka ataupun benci, tersinggung atau tidak tersinggung. Apabila engkau memberi nasihat, maka nasihatilah secara rahasia, jangan di hadapan orang lain, dan cukup dengan memberi isyarat tanpa terus terang secara langsung, kecuali apabila orang yang dinasihati tidak memahami isyaratmu, maka harus secara terus terang. jika engkau melampaui adab-adab tadi, maka engkau orang yang zhalim, bukan pemberi nasihat, dan gila ketaatan serta gila kekuasaan, bukan pemberi amanat dan pelaksana hak ukhuwah. Ini bukanlah termasuk hukum akal dan hukum persahabatan, melainkan hukum rimba, seperti seorang penguasa dengan rakyatnya, dan tuan dengan hamba sahayanya.” (Al Akhlak wa As Siyar fi Mudaawaati An Nufus, hal. 45)
Dan orang-orang salaf membenci amar ma’ruf nahi munkar secara terang-terangan, mereka suka kalau dilakukan secara rahasia antara yang menasihati dengan yang dinasihati, dan ini merupakan ciri nasihat yang murni dan ikhlas karena si penasehat tidak mempunyai tujuan untuk menyebarluaskan aib-aib orang yang dinasihatinya, ia hanya mempunyai tujuan menghilangkan kesalahan yang dilakukannya. Sedangkan menyebarluaskan dan menampakkan aib-aib orang lain, maka hal tersebut termasuk yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Allah berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui.” (Surat An-Nuur: 19)
Ada sebuah syair yang dinisbahkan kepada Imam Syafi’i rahimahullah (204 H), syair itu berbunyi:
“Hendaklah engkau sengaja mendatangiku untuk memberi nasihat ketika aku sendirianSyeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin hafizhahullah berkata:
Hindarilah memberikan nasihat kepadaku di tengah khalayak ramai
Karena sesungguhnya memberi nasihat di hadapan banyak orang
Sama saja dengan memburuk-burukkan, saya tidak suka mendengarnya
Jika engkau menyalahi saya dan tidak mengikuti ucapanku
Maka janganlah engkau kaget apabila nasihatmu tidak ditaati.” (Diwan Asy Syafi’i, hal. 56)
“Perlu diketahui bahwa nasihat itu adalah pembicaraan yang dilakukan secara rahasia antaramu dengannya, karena apabila engkau menasihatinya secara rahasia dengan empat mata, maka sangat membekas pada dirinya, dan dia tahu bahwa engkau pemberi nasihat, tetapi apabila engkau bicarakan dia di hadapan orang banyak, maka besar kemungkinan bangkit kesombongannya yang menyebabkan ia berbuat dosa dengan tidak menerima nasihat, dan mungkin pula ia menyangka bahwa engkau hanya ingin balas dendam dan mendiskreditkannya serta untuk menjatuhkan kedudukannya di mata manusia sehingga ia tidak menerima isi nasihat tersebut. Tetapi apabila dilakukan secara rahasia antara kamu dan dia berdua, maka nasihatmu itu amat berarti baginya, dan dia akan menerima darimu.” (Syarah Riyadhus Shalihin, juz 4 hal. 483)
Seorang pemberi nasihat wajib menunaikan hak saudaranya seiman yang memang wajib untuk ia tunaikan. Sehingga ia mendapatkan pahala dari nasihat yang ia berikan untuk saudaranya. Adapun celaan, mengoyak hak-hak hamba Allah, memecah belah persatuan serta merusak agama mereka. Lebih jauh lagi dia berdosa di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai balasan atas perbuatannya yang menyakiti hamba-hamba Allah dengan cara menyebarkan gangguan dan kekejian di tengah mereka. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nuur: 19)
Allahu’alam bisshawab.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/06/20840/adab-menasihati-bagian-ke-2/#ixzz1wczbWWI4
Langganan:
Postingan (Atom)