Tulisan Berjalan

SUKSES KOMUNITAS MAJU JOS, AKHIRNYA BIMBINGAN DIGITAL MARKETING SECARA GRATIS TANPA BATAS TELAH MEMBERI MANFAAT BESAR
Tampilkan postingan dengan label Hati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hati. Tampilkan semua postingan

Minggu, 24 Juni 2012

HATI


KH. Anwar Sanusi *

Hati adalah sebuah kata yang hanya terdiri dari empat huruf. Namun apabila kita menyebutnya, akan menimbulkan kekaguman yang luar biasa. Hati adalah khalifah Allah dalam diri manusia. Hati selalu benar, hati tidak pernah berbohong, hati tidak mengenal kalimat-kalimat dusta, hati akan selalu memancarkan cahaya keindahan. Namun pada saat nafsu-nafsu syaitaniyah merajalela, hati kita akan terkontaminasi oleh hal-hal yang tidak baik. Cahaya hati yang sering kali disebut dengan kata-kata NURANI tidak akan terpancar dari orang-orang yang hatinya kelabu. Pancaran nurani hanya akan lahir dari orang-orang yang menumbuhkan sifat-sifat Allah dalam dirinya.

Islam tidak pernah mengajarkan kita membuang hawa nafsu jauh-jauh. Islam mengajarkan agar hawa nafsu yang timbul harus kita arahkan kepada al-muthmai’nnah. Karena nafsu inilah yang dapat menanggalkan jubah-jubah ketakaburan, sifat-sifat keakuan, sifat hasad dan segala sifat yang menjadikan dirinya su’u al-adab dan kalau sudah demikian, masyarakat akan membenci kepribadiannya.

Apabila kita melakukan perbuatan maksiat, percayalah hidup kita tidak akan tenang. Karena sebenarnya hati tidak akan mungkin dapat menerima kemaksiatan. apabila kita berbuat maksiat, berarti kita sedang mengikuti setan-setan yang sedang menari dihati kita.

Siapa saja diantara kita yang bermandi ambisi, yang politiknya ditutupi oleh kain-kain busuk, yang akhlaqnya membangunkan bulu roma orang, yang hartanya diperoleh dengan cara-cara curang. Hentikanlah sampai disini. Karena perbuatan itu akan menyebabkan hati kehilangan nurani. Hati akan menjadi hitam pekat, tidak mengerti lagi kemana tujuan hidup yang harus ditempuh. Simak QS Al-An`am ayat 116 :

" Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang dimuka bumi, niscaya akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Mereka hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka hanya berdusta (terhadap Allah SWT) ".

Baginda Rasulullah SAW selalu berpesan agar umatnya selalu menjaga kebersihan hati. Menjauhkan diri dari sifat-sifat muzabzab (oportunis). Rasulullah bersabda :

" Janganlah kamu menjadi orang Imma’ah, apakah imma’ah itu ya Rasulullah ? Rasul menjawab : " Saya pokoknya mengikuti banyak orang, jika mereka berbuat baik, maka saya akan berbuat baik, jika mereka berbuat jahat, saya ikuti pula perbuatan itu ". Selanjutnya pesan Rasul : " Mantapkanlah dirimu, jika orang berbuat baik, hendaklah turut kebaikan mereka, tetapi jika mereka berbuat jahat, hendaklah menjauhi kejahatan mereka ".

Mari kita simak salah satu surat cinta dari Allah yang telah menuntun kita dengan cara yang amat sangat bijaksana (QS Al-Isra’ ayat 36 ) :

" Dan janganlah mengikuti apa-apa yang tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban-Nya ".

Wajah dan perbuatan manusia adalah gubahan dari hatinya. Kalau hati baik akan baik pulalah segala amalnya. Sebaliknya apabila hati buruk, akan buruk pulalah segala tindak tanduknya.

" Ya Allah yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami bersama agama-Mu yang Agung ". Demikianlah Rasulullah mengajarkan salah satu do’anya kepada kita. Wallahu A`lam. 


*) Pimpinan Pesantren Lembah Arafah.

Rabu, 06 Juni 2012

Hajikan Hati




Hajikan Hati

Labbaika Allahumma Labbaika
Labbaika La Syariika Laka Labbaika
Innal Hamda Wanni’mata Laka Wal Mulka
Laa Syariika Laka…

Kupenuhi panggilan-Mu Ya Rabb…
Kupenuhi panggilan-Mu dan tiada sekutu bagi-Mu Ya Rabb…
Sungguh… Segala Puji, kenikmatan dan kejayaan hanya milik-Mu…
Tiada sekutu bagi-Mu…

Adalah sebuah keniscayaan bagi manusia untuk khilaf dan lakukan kesalahan ataupun kekeliruan dalam berinteraksi dengan sang Khaliq dan sesama Makhluq, kecenderungan untuk lepas kendali dari norma-norma religius bukanlah sesuatu yang absurd pada setiap manusia , karena manusia didesign sedemikian rupa sarat dengan nafsu dan akal serta suara nurani.
Manusia bukanlah malaikat yang selalu beribadah tanpa sedikitpun membuat maksiat, Manusia juga bukan dari golongan iblis yang senantiasa membangkang perintah-perintah Ilahiyyah dan menyebarkan virus kesesatan , manusia adalah perpaduan dari ketaatan dan pembangkangan dalam menyikapi setiap wahyu yang telah Allah turunkan melalui seorang nabi pilihan yaitu Muhammad saw., karenanya sangat wajar bila kita banyak menyaksikan orang-orang yang senantiasa bersujud dan totalitas mengabdi kepada Allah ‘Azza wa Jalla, disisi lain, dalam jumlah yang juga sangat signifikan tampak pemandangan kesombongan serta segala ketidaktaatan dari manusia yang seakan tidak menyadari bahwa ada kehidupan yang abadi setelah kematian, bahwa ada pertanggungjawaban dari semua perbuatan semasa hidup, bahwa ada janji syurga dan ancaman neraka.
Islam adalah agama yang sangat memahami psikologis setiap penganutnya, Islam menawarkan solusi kongkrit kepada manusia untuk bisa kembali suci bagaikan bayi yang baru terlahir dipermukaan bumi. Sebesar apapun dosa yang diperbuat atau kesalahan yang pernah dilakukan - selain syirik kepada Allah – selama hidup, maka akan dihapus serta mendapat ampunan dari Allah swt., karena Allah adalah Dzat yang Maha Pengampun atas segala dosa.
Haji dan Umrah merupakan sebuah formula khusus dari rentetan formula yang disediakan dalam Islam, sebagai antisipasi keputusasaan dari seorang hamba untuk memperbaiki sikap dan akhlak kepada Robbul ‘Izzati, sesuai dengan pernyataan dari Nabi :
“ Dari satu Umrah kepada Umrah yang lainnya akan menjadi penghapus dosa diantara keduanya dan Haji yang ‘Mabrur’ tidak ada balasan yang paling pantas melainkan syurga”.
Garansi yang disampaikan oleh nabi Muhammad menjadi penawar dari pengorbanan yang dilakukan oleh para jama’ah haji dan umrah dalam melaksanakan ritual manasik, Betapa tidak…? Haji bukan sekedar ibadah yang stressing-nya pada hati, tetapi kesiapan fisik dan kemampuan dalam hal pembiayaan menjadi bagian yang terpenting lainnya.
Ibadah haji dan umrah menjadi salahsatu pilihan yang paling tepat untuk kembali pada kebenaran yang hakiki, karena didalam melaksanakan ibadah tersebut manusia mau tidak mau, suka tidak suka diajarkan dan diingatkan bahwa ada kekuatan supra natural maha dahsyat, yang seluruh alam semesta beserta isinya berada dibawah kendali dan genggaman-Nya, manusia adalah bagian kecil dari makhluk Allah yang harus tunduk dan patuh terhadap semua ketentuan dan perintah-Nya. Dengan Haji dan Umrah seorang hamba akan lebih mendalami dan menyelami esensi dari penciptaan yang telah dirancang sedemikian rupa oleh Allah, ‘pakaian’ keangkuhan yang sering melekat bergantikan dua lembar ihram sederhana penuh makna, semua dikondisikan untuk berada pada level paling rendah dihadapan Tuhannya, semangat kesetaraan, kebersamaan dan kesamaan serta kepedulian harus dimiliki pada setiap hamba.
Akhlak sebagai apresiasi dan refleksi dari hati, ia sebagai ‘kiblat’ bagi manusia untuk dapat dikatakan hamba yang berbakti atau sebaliknya. Nabi Muhammad dengan jelas-jelas menjadikan suasana hati sebagai barometer terhadap seorang muslim dan pada akhirnya menjadi standar kualitas ketaqwaan kepada Allah swt.
Pasca haji dan umrah, akan lahir kembali kefitrahan pada setiap hati, yang selama melaksanakan ibadah telah ditempa dengan makna ketauhidan dan makna pasrah kepada Dia secara kaaffah. Hati akan lebih tertata, akhlak menjadi semakin terarah, empati kepada sesama akan selalu dengan serta merta menjadi alasan dalam setiap langkah dan aktifitas keseharian. Semangat dari haji dan umrah akan senantiasa menjadikan setiap manusia yang pernah melakukannya lebih hati-hati, pada akhirnya keyakinan akan adanya kehidupan setelah kematian, adanya pertanggung jawaban dari seluruh amal selama didunia dan ada yang melihat seluruh aktifitas tanpa ada yang luput sedikitpun dari pengawasan-Nya. ( wallahu a’lam )

Selasa, 05 Juni 2012

Jangan Biarkan Hati Anda Menderita Karena Hasad


Hasad (dengki) merupakan penyakit hati yang berbahaya bagi manusia, karena penyakit ini menyerang si penderita dan meracuninya; membuat dia benci terhadap kenikmatan yang diperoleh saudaranya, dan merasa senang jika kenikmatan tersebut musnah dari tangan saudaranya.
Pada hakikatnya penyakit ini mengakibatkan si penderita tidak ridha dengan qadha dan qadar AllahSubhanahu wa Ta’ala, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah: “Sesungguhnya hakikat hasad adalah bagian dari sikap menentang Allah ‘Azza wa Jalla, karena ia membuat si penderita benci kepada nikmat AllahSubhanahu wa Ta’ala atas hambanya; padahal Allah Subhanahu wa Ta’alamenginginkan nikmat tersebut untuknya. Hasad juga membuatnya senang dengan hilangnya nikmat tersebut dari saudaranya, padahal Allah ‘Azza wa Jalla benci jika nikmat itu hilang dari saudaranya. Jadi, hasad itu hakikatnya menentang qadha dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Lihat Al-Fawaaidhal.157, cetakan Darul Fikr – Beirut)
Penyakit ini sering dijumpai di antara sesama teman sejabatan, seprofesi, seperjuangan, atau sederajat. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai ada pegawai kantor yang hasad kepada teman sekantornya. Tukang bakso hasad kepada tukang bakso lainnya, guru hasad kepada guru, orang ahli ibadah atau Ustadz atau Kyai hasad kepada yang sederajat dengannya. Jarang dijumpai hasad tersebut pada orang yang beda kedudukan dan derajatnya, seperti tukang bakso hasad kepada Kyai, atau tukang becak hasad kepada Ustadz, meskipun tidak menafikan kemungkinan terjadinya.
Penyakit hasad hendaknya dijauhi oleh setiap Muslim, karena mudharat-nya sangat besar, terutama bagi si penderita, baik mudharat dari sisi  agama maupun dunianya. Tidakkah kita ingat, kenapa Iblis dilaknat Allah ‘Azza wa Jalla? Tidak lain karena sikap hasad  dan sombongnya kepada Adam ‘alaihis salam yang sama-sama makhluk Allah Ta’ala.
Dari sisi lain, hasad merupakan sifat sebagian besar Yahudi dan Nasrani, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَىٰ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Ataukah mereka (orang Yahudi) dengki kepada manusia (Muhammad dan orang-orang Mukmin) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?”(QS. An-Nisaa’ [4] : 54)
Allah Ta’ala juga berfirman tentang hasad mereka:
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS. Al-Baqarah [2] : 109)
Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang Muslim dari sifat hasad tersebut, beliau bersabda:
لَا تَقَاطَعُوا وَ لَا تَدَابَرُوا وَ لَا تَبَاغَضُوا وَ لَا تَحَاسَدُوا وَ كُوْنُوا إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ
“Janganlah kalian memutuskan tali persaudaraan, saling berpaling ketika bertemu dan saling membenci serta saling dengki. Jadilah kalian bersaudara sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah.” (HR. Muslim, lihat Shahih Muslim juz 8 hal. 10)
Sebab-sebab Hasad
Sumber dari penyakit hasad adalah cinta dunia, baik cinta harta benda, kedudukan, jabatan, maupun pujian manusia.
Dunia memang sempit, sering menyempitkan mereka yang memburu dan mencintainya, sehingga tak jarang mereka berjatuhan pada lembah hasad, karena takut kekayaan dunia tidak akan bisa dimiliki kecuali ia berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya dan berkurang jika dibelanjakan berbeda dengan akhirat yang sangat luas, seperti langit yang tak berujung dan seperti lautan yang tidak bertepi. Karena sangat luasnya, sehingga tidak menyempitkan orang yang memburu dan mencintainya, sebagaimana kita tidak menjumpai orang tidak berjejal-jejal untuk melihat keindahan langit di waktu malam, karena luasnya dan cakupannya terhadap setiap mata yang memandang.
Ibnu Sirin rahimahullah berkata: “Aku tidak pernah hasad pada seorangpun dalam masalah dunia, karena jika dia termasuk ahli surga, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam masalah dunia, padahal dia akan masuk surga. Dan jika termasuk ahli neraka, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam hal dunia, padahal dia akan masuk neraka.” (Raudhatul Uqala Wanuzhatul Fudhala hal.119, Cet. Maktabah Ashriyah – Beirut)
Jika tujuan seseorang adalah akhirat, maka hatinya bersih dari hasad, tenang, jernih, seperti air yang memancar dari mata air pegunungan, lembut bagaikan sutera, tidak ada tempat bagi hasad di dalamnya. Akan tetapi, jika tujuannya adalah dunia, maka hati sangat rawan terjangkit hasad, mudah ternoda dan keruh. Oleh sebab itu, bagi mereka yang mempunyai belas-kasihan terhadap hatinya, hendaknya ia meninggalkan cinta dunia dan menggantinya dengan cinta akhirat. Karena kenikmatan akhirat tidaklah menyempitkan orang yang memburunya. Ia adalah kenikmatan yang sesungguhnya, kenikmatan yang luar biasa, tidak sebanding dengan kenikmatan-kenikmatan dunia. Kenikmatan tersebut bisa dirasakan oleh orang yang sangat mencintainya, mencari, dan memburunya di dunia ini. Jika seseorang tidak ingin memburu kenikmatan hakiki tersebut, atau lemah keinginannya, maka dia bukanlah ksatria, karena yang memburu kenikmatan yang hakiki tersebut adalah ksatria. (Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal.188-189, cet. Maktabah Darul Bayan – Damaskus. -Bittasharruf)
Obat Hasad
Setelah kita mengetahui bahwa hasad adalah penyakit hati yang berbahaya, maka tentunya kita ingin mengetahui obat dan terapi hasad tersebut.
Sebenarnya, penyakit hati yang satu ini tidaklah dapat diobati dengan pil atau kapsul dari Apotik atau dengan suntik, herbal, atau pijat urat, akan tetapi penyakit hati ini hanya dapat diobati dengan ilmu dan amal.
Adapun obat yang pertama adalah ilmu. Ilmu yang bermanfaat untuk mengobati hasad adalah pengetahuan tentang hakikat hasad itu sendiri. Diantaranya mengetahui bahwa hasad itu berbahaya bagi si penderita, baik bagi agamanya atau dunianya. Di dunia, hatinya selalu menderita dan tersayat-sayat, boleh jadi dia mati karenanya. Bagaimana tidak? Dia membenci orang lain yang mendapat kenikmatan dan mengharap nikmat tersebut musnah darinya. Padahal, hal itu telah ditakdirkan oleh AllahSubhanahu wa Ta’ala dan tidak akan musnah sampai saat yang telah ditentukan.
Orang yang hasad ibarat orang yang melempar bumerang kepada musuh. Bumerangnya tidak mengenai sasaran, tetapi bumerang itu kembali kepadanya, sehingga mengenai mata kanannya dan mengeluarkan bola matanya. Lalu dia bertambah marah dan kembali melempar kedua kalinya dengan lebih kuat. Akan tetapi, bumerang itu masih seperti semula, tidak menemui sasaran dan kembali mengenai mata sebelah kirinya sehingga dia buta. Kemarahannya pun tambah menyala-nyala, kemudian dia melempar ketiga kalinya denga sekuat tenaga, akan tetapi bumerang tersebut kembali mengenai kepalanya sampai hancur, sedangkan musuhnya selamat dan menertawakan dia, karena dia mati atas perbuatannya sendiri. Sedangkan di akhirat nanti, dia akan mendapat adzab dari Allah Ta’ala, jika hasad tersebut melahirkan perkataan dan perbuatan, karena statusnya adalah orang yang telah menzhalimi orang lain ketika di dunia.
Perlu diketahui pula bahwa hasad juga tidak berbahaya bagi orang yang dihasad, baik agama dan dunianya. Dia tidak berdosa dengan hasad orang lain kepadanya. Bahkan, dia mendapatkan pahala jika hasad terebut keluar berwujud perkataan dan perbuatan, sebab dia termasuk orang yang dizhalimi. Kenikmatan yang ada padanya juga tidak akan musnah karena hasad irang lain kepadanya, sebab kenikmatan tersebut telah ditakdirkan untuknya
Adapun obat kedua adalah amal perbuatan. Amal perbuatan yang manjur untuk mengobati hasad adalah melakukan perbuatan yang berlawanan dengan perbuatan yang ditimbulkan oleh hasad. Misalnya; gara-gara hasad, seseorang ingin mencela dan meremehkan orang yang dihasad. Jika seperti ini, hendaknya dia melakukan hal yang berbeda yaitu memuji orang yang dihasad tersebut. Kemudian jika hasad itu membuatnya sombong kepada orang yang dihasad, maka hendaknya tawadhu kepadanya. Jika hasad membuatnya tidak berbuat baik atau tidak memberi hadiah kepada orang yang dihasad, maka hendaknya ia melakukan sebaliknya, yaitu berbuat baik dan memberikan kepadanya hadiah. Dengan seperti ini, insyaAllah hasad di hati akan segera lenyap dan hati kembali sehat dan normal. (Mukhtashar Minhajul Qashisin hal.189-190, cet.Maktabah Darul Bayan, Damaskus. -Bittasharruf)
Adakah Hasad yang Diperbolehkan?
Mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya. Apakah benar hasad itu ada yang diperbolehkan? Jawabannya, marilah kita simak sabda Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ حَسَدَ إِلَّا فِيْ اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَا لَا فَسَلَّطَهُ عَلَي هَلَكَتِهِ فِي الحَقِّ وَ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَ يُعَلِّمُهَا
“Tidak ada hasad kecuali kepada dua orang. Yang pertama; kepada seseorang yang telah diberi harta kekayaan oleh Allah dan ia habiskan di jalan yang benar. Yang kedua; kepada sesorang yang telah diberi hikmah (ilmu) oleh Allah dan ia memutuskan perkara dengannya serta mengajarkannya.” (Muttafaq ‘alaih. Lihat Shahih al-Bukhari no. 6886, cet. Dar Ibnu Katsir – Beirut, dan juga Shahih Muslim no. 1933, cet. Darul Jiel dan Darul Auqaf al-Jadidah –  Beirut)
Akan tetapi, hasad dalam hadits ini berbeda pengertiannya dengan hasad yang telah disebutkan di atas. Hasad yang ini disebut oleh para ulama denganGhibtah, yaitu menginginkan kenikamatan seperti yang telah diperoleh oleh orang lain dengan tanpa membenci orang tersebut, serta dengan tidak mengharapkan kenikmatan itu musnah darinya.
Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad hafizhahullah dalam menjelaskan hadits di atas berkata: “Yang dimaksud hasad di sini adalah ghibtah.” (Syarah Sunan Abu Dawud hadits “iyyakum wa hasad”)
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ghibtah adalah ingin mendapatkan kenikmatan sebagaimana yang diperoleh oleh orang lain dengan tanpa mengharapkan nikmat tersebut musnah darinya. Jika perkara yang di-ghibtah tersebut adalah perkara dunia, maka hukumnya adalah mubah (boleh). Jika perkara tersebut termasuk perkara akhirat, maka hukumnya adalah mustahab (disukai), dan makna hadits di atas adalah tidak ada ghibtah yang dicintai (oleh Allah Ta’ala) kecuali pada dua perkara (yang tersebut di atas) dan yang semakna dengannya. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim Ibnul Hajjaj, juz 6 hal. 97, cet.2, Dar Ihya Turats al Arabi – Beirut)
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Artikel ini diambil dari Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (No. 06-07)/Tahun XIII/Ramadhan-Syawwal 1430 H/September-Oktober 2009M.
Penulis: Ustadz Nur Kholis bin Kurdian
@2010. Artikel http://ummushofiyya.wordpress.com