Tulisan Berjalan

SUKSES KOMUNITAS MAJU JOS, AKHIRNYA BIMBINGAN DIGITAL MARKETING SECARA GRATIS TANPA BATAS TELAH MEMBERI MANFAAT BESAR

Kamis, 03 Mei 2012

Kontradiksi dalam al-Qur’an



Dalam pengamatan Gabriel, al-Qur’an berisikan sejumlah ayat yang kontradiktif satu sama lain. Ia mencontohkan dengan ayat-ayat yang memuji umat Kristiani, sedangkan di ayat yang lain mengidentikkannya dengan penghuni neraka. Atau sesekali menekankan keharmonisan hubungan dengan umat Kristiani, dan di lain ayat menekankan bahwa mereka mesti di-konversi (masuk) Islam. Terkait kontradiksi tersebut, Gabriel mengajukan pertanyaan ‘mendasar’, Kenapa mesti terjadi kontradiksi di antara ayat-ayat al-Qur’an?, Kenapa pewahyuan berganti seiring bergulirnya waktu?
Salahsatu asas penetapan Islam adalah penahapan dalam menetapkan hukum (al-tadarruj fi al-tasyri’). Jadi yang terjadi sebenarnya adalah penahapan, bukan pergantian wahyu. Pemahaman tentang latar historis turunnya ayat al-Qur’an sangat urgen.

Tak dapat disangkal bahwa terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang menekankan perlunya hubungan harmonis dengan umat Kristiani dan umat lainnya. Al-Qur’an menyebut kaum Kristen dengan kata nashaaraa yang tersebut dalam al-Qur’an sebanyak 14 kali, sedangkan kata nashraaniyyan tersebut sekali. Kesemuanya tidak mengidentikkan mereka sebagai jahat, buruk, apalagi musuh Islam. Tengoklah Q.S. al-Baqarah [2]: 62, Q.S. al-Ma’idah [5]: 69, dan Q.S. al-Hajj [22]: 17. Ketiga ayat tersebut menyetarakan mereka dengan umat Islam dalam hal perolehan (jaminan) balasan yang setimpal. Kata فلهم أجرهم عند ربهم berarti pahala (tsawab) dan kenikmatan akhirat (na’im al-akhirah). Adapun kata ولا خوف عليهم diartikan takut akan hari akhirat (khauf al-akhirah). Namun demikian, mereka yang dijamin tersebut adalah yang beriman kepada Allah dan hari akhirat (man amana billahi wa al-yaum al-akhir) yaitu mereka yang tidak melencengkan ajaran agamanya dengan perilaku kemusyrikan dan tidak mengingkari hari kebangkitan.
Baik Yahudi maupun Kristiani dicela oleh al-Qur’an terkait dengan pelencengan dari akidah mereka yang orisinil seperti menyatakan dirinya sebagai anak-anak Allah swt. (Q.S. al-Ma’idah [5]: 18), menyombongkan diri tidak akan pernah masuk neraka kecuali hanya beberapa hari (Q.S. al-Baqarah [2]: 80), Isa diakui sebagai penebus dosa seluruh umat manusia lewat penyaliban (Q.S. al-Nisa’ [4]: 71, dan beberapa contoh lainnya.  
Keharusan meng-Islam-kan umat Kristiani sama sekali tidak disebut oleh al-Qur’an. Sejarah Islam juga mencatat bahwa penaklukan yang dilakukan Imperium Islam di zaman Nabi saw. dan khalifah-khalifah setelahnya tidak bertujuan memaksakan Islam kepada penduduk kawasan yang ditaklukkan. Hal tersebut dibuktikan ketika menaklukkan Spanyol yang berpenduduk mayoritas Kristen beberapa abad silam yang hingga kini komunitas Muslim di negeri Matador ini masih minoritas. Apa yang dituduhkan Gabriel tentang kontradiksi ayat-ayat al-Qur’an tidak terbukti jika menelusuri lebih jauh pemaknaan dan konteks turunnya ayat yang dimaksud. Jika hanya berdasarkan pengamatan sepintas (first glance), maka kesimpulan yang diperoleh pasti akan tidak dapat dipertanggungjawabkan.  

     Gabriel berpandangan bahwa fokus dari jihad adalah untuk menuntaskan manusia yang tidak menerima Islam. Atas dasar itulah, di zaman Muhammad, praktik jihad adalah memerangi warga Kristen dan Yahudi ataupun orang-orang yang menyembah berhala. Didasarkan pada Q.S. al-Anfal [8]: 39, term “jihad” semakna dengan term “struggle” yang didefinisikan dalam fiqih Islam sebagai berikut:

(Jihad) is fighting anybody who stands in the way of spreading Islam. Or fighting anyone who refuses to enter into Islam.

Ia juga menambahkan bahwa wahyu yang turun kepada Nabi yang menceritakan perihal Yahudi tidak pernah bernilai positif, tetapi setelah Muhammad berhijrah ke Madinah, wahyu al-Qur’an yang menyebut kata “ahl al-kitab” bahkan menjadi sangat dimusuhi. Adapun di antara ayat yang dimaksud adalah ayat al-Anfal di atas.
Pandangan Gabriel ini sangat berlebihan karena doktrin jihad dalam al-Qur’an tidak pernah bersifat pre emptive, mendahului dalam memerangi. Fakta sejarah membuktikan bahwa masyarakat Islam di Madinah tetap bersahabat dengan pemeluk agama lain dari kalangan Yahudi dan Kristen.
Sebenarnya ayat ini menyiratkan dua point yang patut dipahami, yaitu: a) memerangi kaum kafir (qatiluhum), dan b) tidak ada lagi fitnah dan agama hanya bagi Allah semata (la takuna fitnah wa yakuna al-din kulluhu lillah). Jika motif utama sikap kaum Islam (saat itu) terhadap kaum kafir adalah semata memerangi mereka (point a), maka perang adalah pilihan satu-satunya. Itupun bertujuan agar kawasan Mekkah dan sekitarnya terbebas dari kekafiran (wa yakuna al-din kulluhu lillah). Jika memang itu yang dimaksud, maka tujuan tersebut telah tercapai karena sebagaimana tersurat dalam hadits Nabi saw.:
لَا يَجْتَمِعُ دِينَانِ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ 
"Tidak berkumpul dua agama di Jazirah Arab"
Pengertian ini tidak boleh digeneralisir untuk selain Mekkah dan sekitarnya karena hingga kini kekafiran masih ada di sana-sini. Adapun jika yang dimaksud adalah point (b), maka perintah berperang adalah untuk mencapai tujuan tersebut (la takuna fitnah wa yakuna al-din kulluhu lillah). 
Lagipula, kata fitnah dalam ayat ini memainkan arti penting dalam pemaknaan ayat tersebut. Dapat dipahami bahwa perang yang dimaksud adalah bila ada unsur fitnah yang dilancarkan oleh kaum kafir berupa perang, hilangnya suasana aman dan menyerang dengan senjata. Saat turunnya ayat ini, kafir Quraisy beberapa waktu sebelum hijrah melancarkan paksaan dan siksaan kepada kaum Muslimin agar meninggalkan Islam dan kembali kepada kekafiran. Boleh dikata, upaya perang dari kaum Muslimin hanyalah sebagai counter attack untuk melindungi Islam.
Sungguh tidak berdasar jika menyebut al-Qur’an memusuhi ahl al-kitab. Bukankah al-Qur’an juga menceritakan bahwa di antara ahl al-kitab tersebut terdapat orang yang dapat diamanati harta yang banyak, akan menjaga keutuhannya hingga dikembalikan kepada pemiliknya (Q.S. Ali ’Imran [3]: 75).

Gabriel juga menilai bahwa Allah swt. memerintahkan Nabi Muhammad untuk lebih memprioritaskan membunuh musuh ketimbang menjadikannya tawanan perang. Hal demikian tersebut dalam Q.S. al-Anfal [8]: 67.
Untuk memahami ayat di atas meniscayakan pengetahuan tentang latar historis turunnya. Ayat tersebut terkait musyawarah untuk menyikapi tujuh puluh orang tawanan perang yang terdapat paman Nabi saw. yaitu al-’Abbas serta ’Uqayl ibn Abi Thalib. Pada kesempatan itu, ’Umar ibn Khatthab mengusulkan agar para tawanan tersebut dibunuh saja tanpa pandang bulu karena mereka telah mendustai Nabi saw. dan mereka adalah pemuka kaum kafir. Berbeda dengan ’Umar, sahabat Abu Bakr mengusulkan agar diampuni saja dan diterima tebusan dari mereka. Saat itu, Nabi saw. menyifatkan Abu Bakr serupa dengan Nabi Ibrahim as. (Q.S. Ibrahim [14]: 36) dan seperti sikap Nabi Isa as. (Q.S. al-Ma’idah [5]: 118), sedangkan ’Umar ibn Khatthab diserupakan sikap Nabi Nuh as. (Q.S. Nuh [71]: 26) dan seperti sikap Nabi Musa as. (Q.S. Yunus [10]: 88). Pada akhirnya, Nabi saw. lebih cenderung kepada pandangan Abu Bakr dan tebusan yang dikenakan kepada mereka adalah dua puluh uqiyah sedangkan tebusan buat al-’Abbas empat puluh uqiyah. Ketika pemungutan tebusan itu dilakukan oleh para sahabat, ayat Q.S. al-Anfal [8]: 67 turun dan Nabi saw. (beserta Abu Bakr) menangis seketika terkait dengan pemungutan tebusan tersebut.
Riwayat ini sama sekali tidak mengindikasikan bahwa Nabi saw. membunuh tawanan tersebut, tetapi menerima tebusan. Adapun tangisan (buka’) Nabi saw. bukanlah karena penetapan tebusan sebagai solusi akhir dari musyawarah di atas, tetapi disebabkan oleh sebagian sahabat telah menyalahi perintah untuk berperang dan hanya menyibukkan diri dengan tebusan sehingga khawatir azab turun kepada mereka lantaran tindakan tersebut.      

    Beberapa sorotan yang penulis kemukakan di atas hanyalah sekelumit dari gugatan Ibn Warraq dan Gabriel terhadap validitas Al-Qur'an. Terlihat jelas bahwa subjektivitas mengungguli data faktual sehingga acapkali mengetengahkan data terkait yang searah dengan pemikirannya. Beberapa permasalahan hanya disorot secara parsial kemudian digeneralisir dan bermuara pada distorsi objek kajiannya. Keduanya mendudukkan pandangan keagamaan sebagai bahan analisis rasional, penelitian empirik, dan perbandingan sehingga berakhir dengan kesenjangan dan kepalsuan, bukan perluasan pemahaman. Meminjam tamsil Wilfred C. Smith, pemikiran seperti Ibn Warraq dan Gabriel diibaratkan "lalat yang merambah dinding luar toples yang berisi ikan emas; mengamati secara akurat ikan dalam toples, tetapi tidak menanyai diri sendiri dan tidak tahu bagaimana rasanya menjadi ikan emas".
    Meskipun begitu, kajian mereka dapat dijadikan 'motivasi' bagi kalangan akademisi Muslim untuk mendalami risalah Islam secara ilmiah dan agar mampu memberi anotasi pemikiran seperti yang dikemukakan Ibn Warraq dan Mark A. Gabriel di atas menurut perspektif yang dapat memuaskan mereka secara ilmiah dan aktual. Wallâhu A'lam 

Dengan Takwa Kita Gapai Masadepan Yang Gemilang Serta Kehidupan Yang Hakiki




Pada hakekatnya tak ada penyejuk yang benar-benar menyegarkan, dan tak ada obat yang paling mujarab selain taqwa kepada Allah.

 
Hanya taqwa kepadaNyalah satu-satunya jalan keluar dari berbagai problem kehidupan, yang mendatangkan keberkahan hidup, serta menyelamatkan dari adzabNya di dunia maupun di akhirat nanti, karena taqwa jualah seseorang akan mewarisi Surga Allah Subhannahu wa Ta'ala.

Pengertian taqwa itu sendiri mengandung makna yang bervariasi di kalangan ulama. Namun semuanya bermuara kepada satu pengertian yaitu seorang hamba meminta perlindungan kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dari adzabNya, hal ini dapat terwujud dengan melaksanakan apa yang di perintahkan-Nya dan menjauhi apa yang di larang-Nya.


Bila kata taqwa disandarkan kepada Allah maka artinya takutlah kepada kemurkaanNya, dan ini merupakan perkara yang besar yang mesti ditakuti oleh setiap hamba. Imam Ahmad bin Hambal Radhiallaahu anhu berkata, “Taqwa adalah meninggalkan apa-apa yang dimaui oleh hawa nafsumu, karena engkau takut (kepada Dzat yang engkau takuti)”. Lebih lanjut ia mengatakan, “Takut kepada Allah, ridha dengan ketentuanNya dan mempersiapkan diri untuk menghadapi hari kiamat nanti.”


Pada hakekatnya Allah Subhannahu wa Ta'ala mewasiatkan taqwa ini, bukan hanya pada umat Nabi Muhammad, melainkan Dia mewasiatkan kepada umat-umat terdahulu juga, dan dari sini kita bisa melihat bahwa taqwa merupakan satu-satunya yang diinginkan Allah.
Allah Subhannahu wa Ta'ala menghimpun seluruh nasihat dan dalil-dalil, petunjuk-petunjuk, peringatan-peringatan, didikan serta ajaran dalam satu wasiat yaitu Taqwa.


Pernah suatu ketika Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam berwasiat mengenai taqwa, dan kisah ini diriwayatkan oleh Irbadh bin Sariyah bahwa Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam shalat subuh bersama kami, kemudian memberi nasihat dengan nasihat yang baik yang dapat meneteskan air mata serta menggetarkan hati yang mendengarnya. Lalu berkatalah salah seorang sahabat, “Ya Rasulullah, sepertinya ini nasihat terakhir oleh karena itu nasihatilah kami”. Lalu Nabi bersabda:


 “Aku wasiatkan kepadamu agar kamu bertaqwa kepada Allah, mendengar dan mentaati, sekalipun kepada budak keturunan Habsyi. Maka sesungguhnya barangsiapa di antara kamu hidup (pada saat itu), maka dia akan menyaksikan banyak perbedaan pendapat. Oleh karena itu hendaklah kamu mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah kuat-kuat dengan gigi gerahammu (peganglah sunnah ini erat-erat). Dan berwaspadalah kamu terhadap perkara yang diada-adakan (bid’ah) karena setiap bid’ah itu sesat”. (HR. Ahmad IV:126-127; Abu Dawud, 4583; Tarmidzi, 2676, Ibnu Majah, 43; Ad-Darimi 1:44-45; Al-Baghawi, 1-205, syarah dan As Sunnah, dan Tarmidzi berkata, hadits ini hasan shahih, dan shahih menurut Syaikh Al-Albani).

Tentang sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam: “Aku wasiatkan kepadamu agar kamu bertaqwa kepada Allah, mendengar dan mentaati”, tersebut di atas, Ibnu Rajab berkata, bahwa kedua kata itu yaitu mendengar dan mentaati, mempersatukan kebahagiaan dunia dan akhirat. Adapun taqwa merupakan penjamin kebahagiaan di dunia dan akhirat.


Di samping itu taqwa juga merupakan sebaik-baiknya pakaian dan bekal orang mu’min, hal ini seperti yang digambarkan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala dalam firmanNya surat Al-A’raaf ayat 26 dan Al-Baqarah ayat 197. Allah berfirman:


Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang terbaik. (Al-A’raaf: 26).


Allah Ta'ala menganugerahkan kepada hamba-hambaNya pakaian penutup aurat (al-libas) dan pakaian indah (ar-risy), maka al-libas merupakan kebutuhan yang harus, sedangkan ar-risy sebagai tambahan dan penyempurna, artinya Allah menunjuki kepada manusia bahwa sebaik-baik pakaian yaitu pakaian yang bisa menutupi aurat yang lahir maupun batin, dan sekaligus memper-indahnya, yaitu pakaian at-taqwa.
Qasim bin Malik meriwayatkan dari ‘Auf dari Ma’bad Al-Juhani berkata, maksud pakaian taqwa adalah al-hayaa’ (malu). Sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa pakaian taqwa adalah amal shalih, wajah yang simpatik, dan bisa juga bermakna segala sesuatu yang Allah ajarkan dan tunjukkan.
Adapun taqwa sebagai sebaik-baiknya bekal sebagaimana tertuang dalam firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 197:


“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepadaKu, hai orang-orang yang berakal”


Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat tersebut, dengan menyatakan bahwa kalimat “sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa”, menunjukkan bahwa tatkala Allah memerintahkan kepada hambaNya untuk mengambil bekal dunia, maka Allah menunjuki kepadanya tentang bekal menuju akhirat (yaitu taqwa).


Seandainya kita mampu mengaplikasikan atau merealisasikan, kedua ayat di atas bukanlah suatu hal yang mustahil, dan itu merupakan modal utama bagi kita untuk bersua kepada Sang Pencipta.
Saudara-saudara yang berbahagia, banyak sekali faktor-faktor penunjang agar kita bisa merasakan ketaqwaan tersebut, di antaranya:

1. Mahabbatullah
2. Muraqabatullah (merasakan adanya pengawasan Allah)
3. Menjauhi penyakit hati
4. Menundukkan hawa nafsu
5. Mewaspadai tipu daya syaitan

1.   Mahabbatullah
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata:
“Mahabbah itu ibarat pohon (kecintaan) dalam hati, akarnya adalah merendahkan diri di hadapan Dzat yang dicintainya, batangnya adalah ma’rifah kepadaNya, rantingnya adalah rasa takut kepada (siksa)Nya, daunnya adalah rasa malu terhadapNya, buah yang dihasilkan adalah taat kepadaNya, bahan penyiramnya adalah dzikir kepadaNya, kapan saja, jika amalan-amalan tersebut berkurang maka berkurang pulalah mahabbahnya kepada Allah”. (Raudlatul Muhibin, 409, Darush Shofa).
2.   Merasakan adanya pengawasan Allah.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
“Dan Dia bersamamu di mana saja kamu berada. Dan Allah melihat apa-apa yang kamu kerjakan”. (Al-Hadid: 4).
Makna ayat ini, bahwa Allah mengawasi dan menyaksikan perbuatanmu kapan saja dan di mana saja kamu berada. Di darat ataupun di laut, pada waktu malam maupun siang. Di rumah kediamanmu maupun di ruang terbuka. Segala sesuatu berada dalam ilmuNya, Dia dengarkan perkataanmu, melihat tempat tinggalmu, di mana saja adanya dan Dia mengetahui apa yang kamu sembunyikan serta yang kamu fikirkan”. (Tafsir Al-Qur’anul Adzim, IV/304).
3.   Menjauhi penyakit hati
Para hadirin.
Di dunia ini tidak ada yang namanya kejahatan dan bencana besar, kecuali penyebabnya adalah perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat. Adapun penyebab dosa itu teramat banyak sekali, di antaranya penyakit hati, penyakit yang cukup kronis, yang menimpa banyak manusia, seperti dengki, yang tidak senang kebahagiaan menghinggap kepada orang lain, atau ghibah yang selalu membicarakan aib orang lain, dan satu penyakit yang tidak akan diampuni oleh Allah yaitu Syirik. Oleh karena itu mari kita berlindung kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dari penyakit itu semua.
4.   Menundukkan hawa nafsu
Apabila kita mampu menahan dan menundukkan hawa nafsu, maka kita akan mendapatkan kebahagiaan dan tanda adanya nilai takwa dalam pribadi kita serta di akhirat mendapat balasan Surga. Seperti firman Allah yang artinya:
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada Tuhannya dan menahan diri dari keinginan nafsunya, maka sesungguhnya Surgalah tempat tinggalnya.” (An-Nazi’at: 40-41)
5.   Mewaspadai tipu daya syaithan
Para hadirin yang berbahagia.
Seperti kita ketahui bersama bahwasanya syaithan menghalangi orang-orang mu’min dengan beberapa penghalang, yang pertama adalah kufur, jikalau seseorang selamat dari kekufuran, maka syaithan menggunakan caranya yang kedua yaitu berupa bid’ah, jika selamat pula maka ia menggunakan cara yang ketiga yaitu dengan dosa-dosa besar, jika masih tak berhasil dengan cara ini ia menggoda dengan perbuatan mubah, sehingga manusia menyibukkan dirinya dalam perkara ini, jika tidak mampu juga maka syaithan akan menyerahkan bala tentaranya untuk menimbulkan berbagai macam gangguan dan cobaan silih berganti.
 Maka tidak diragukan lagi, bahwa mengetahui rintangan-rintangan yang dibuat syaithan dan mengetahui tempat-tempat masuknya ke hati anak Adam dari bujuk rayu syaithan merupakan poin tersendiri bagi kita.
 Marilah kita berharap kepada Allah semoga kita termasuk orang-orang yang Muttaqin yang selalu istiqomah pada jalanNya.

Tiga Amalan Baik



Bumi yang kita tempati adalah planet yang selalu berputar, ada siang dan ada malam. Roda kehidupan dunia juga tidak pernah berhenti. Kadang naik kadang turun. Ada suka ada duka. Ada senyum ada tangis. Kadangkala dipuji tapi pada suatu saat kita dicaci. Jangan harapkan ada keabadian perjalanan hidup.
Oleh sebab itu, agar tidak terombang-ambing dan tetap tegar dalam menghadapi segala kemungkinan tantangan hidup kita harus memiliki pegangan dan amalan dalam hidup. Tiga amalan baik tersebut adalahIstiqomah, Istikharah dan Istighfar yang kita singkat TIGA IS.


                   
1.   Istiqomah. yaitu kokoh dalam aqidah dan konsisten dalam beribadah.

Begitu pentingnya istiqomah ini sampai Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam berpesan kepada seseorang seperti dalam Al-Hadits berikut:
“Dari Abi Sufyan bin Abdullah Radhiallaahu anhu berkata: Aku telah berkata, “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku pesan dalam Islam sehingga aku tidak perlu bertanya kepada orang lain selain engkau. Nabi menjawab, ‘Katakanlah aku telah beriman kepada Allah kemudian beristiqamahlah’.” (HR. Muslim).

Orang yang istiqamah selalu kokoh dalam aqidah dan tidak goyang keimanan bersama dalam tantangan hidup. Sekalipun dihadapkan pada persoalan hidup, ibadah tidak ikut redup, kantong kering atau tebal, tetap memperhatikan haram halal, dicaci dipuji, sujud pantang berhenti, sekalipun ia memiliki fasilitas kenikmatan, ia tidak tergoda melakukan kemaksiatan.

Orang seperti itulah yang dipuji Allah Subhannahu wa Ta'ala dalam Al-Qur-an surat Fushshilat ayat 30:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatahkan):
“Janganlah kamu merasa takut, dan janganlah kamu merasa sedih, dan bergembiralah dengan syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (Qs. Fushshilat: 30)


2.   Istikharah, selalu mohon petunjuk Allah dalam setiap langkah dan penuh pertimbangan dalam setiap keputusan.
Setiap orang mempunyai kebebasan untuk berbicara dan melakukan suatu perbuatan. Akan tetapi menurut Islam, tidak ada kebebasan yang tanpa batas, dan batas-batas tersebut adalah aturan-aturan agama. Maka seorang muslim yang benar, selalu berfikir berkali-kali sebelum melakukan tindakan atau mengucapkan sebuah ucapan serta ia selalu mohon petunjuk kepada Allah.
Nabi Shalallaahu alaihi wasalam pernah bersabda:

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diamlah. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Orang bijak berkata “Think today and speak tomorrow” (berfikirlah hari ini dan bicaralah esok hari).
Kalau ucapan itu tidak baik apalagi sampai menyakitkan orang lain maka tahanlah, jangan diucapkan, sekalipun menahan ucapan tersebut terasa sakit. Tapi ucapan itu benar dan baik maka katakanlah jangan ditahan sebab lidah kita menjadi lemas untuk bisa meneriakkan kebenaran dan keadilan serta menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.

Mengenai kebebasan ini, malaikat Jibril pernah datang kepada Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam untuk memberikan rambu-rambu kehidupan, beliau bersabda:

Jibril telah datang kepadaku dan berkata: Hai Muhammad hiduplah sesukamu, tapi sesungguhnya engkau suatu saat akan mati, cintailah apa yang engkau sukai tapi engkau suatu saat pasti berpisah juga dan lakukanlah apa yang engkau inginkan sesungguhnya semua itu ada balasannya. (HR.Baihaqi dari Jabir).

Sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ini semakin penting untuk diresapi ketika akhir-akhir ini dengan dalih kebebasan, banyak orang berbicara tanpa logika dan data yang benar dan bertindak sekehendakya tanpa mengindahkan etika agama . Para pakar barang kali untuk saat-saat ini, lebih bijaksana untuk banyak mendengar daripada berbicara yang kadang-kadang justru membingungkan masyarakat.

Kita memasyarakatkan istikharah dalam segala langkah kita, agar kita benar-benar bertindak secara benar dan tidak menimbulkan kekecewaan di kemudian hari.
Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:

Tidak akan rugi orang yang beristikharah, tidak akan kecewa orang yang bermusyawarah dan tidak akan miskin orang yang hidupnya hemat. (HR. Thabrani dari Anas)


3.   Istighfar, yaitu selalu instropeksi diri dan mohon ampunan kepada Allah Rabbul Izati.
Setiap orang pernah melakukan kesalahan baik sebagai individu maupun kesalahan sebagai sebuah bangsa. Setiap kesalahan dan dosa itu sebenarnya penyakit yang merusak kehidupan kita. Oleh karena ia harus diobati.

Tidak sedikit persoalan besar yang kita hadapi akhir-akhir ini yang diakibatkan kesalahan kita sendiri. Saatnya kita instropeksi masa lalu, memohon ampun kepada Allah, melakukan koreksi untuk menyongsong masa depan yang lebih cerah dengan penuh keridloan Allah.

Dalam persoalan ekonomi, jika rizki Allah tidak sampai kepada kita disebabkan karena kemalasan kita, maka yang diobati adalah sifat malas itu. Kita tidak boleh menjadi umat pemalas. Malas adalah bagian dari musuh kita. Jika kesulitan ekonomi tersebut, karena kita kurang bisa melakukan terobosan-teroboan yang produktif, maka kreatifitas dan etos kerja umat yang harus kita tumbuhkan.

Akan tetapi adakalanya kehidupan sosial ekonomi sebuah bangsa mengalami kesulitan. Kesulitan itu disebabkan karena dosa-dosa masa lalu yang menumpuk yang belum bertaubat darinya secara massal. Jika itu penyebabnya, maka obat satu-satunya adalah beristighfar dan bertobat.

Allah berfirman yang mengisahkan seruan Nabi Hud Alaihissalam, kepada kaumnya:

“Dan (Hud) berkata, hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepadaNya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa” (QS. Hud:52).

Sekali lagi, tiada kehidupan yang sepi dari tantangan dan godaan. Agar kita tetap tegar dan selamat dalam berbagai gelombang kehidupan, tidak bisa tidak kita harus memiliki dan melakukan TIGA IS di atas yaitu Istiqomah, Istikharah dan Istighfar.
Mudah-mudahan Allah memberi kekuatan kepada kita untuk menatap masa depan dengan keimanan dan rahmatNya yang melimpah. Amin 

Rabu, 02 Mei 2012

Gaya Hidup Islami Dan Gaya Hidup Jahili



Ada dua hal yang umumnya dicari oleh manusia dalam hidup ini. Yang pertama ialah kebaikan (al-khair), dan yang kedua ialah kebahagiaan (as-sa’adah). Hanya saja masing-masing orang mempunyai pandangan yang berbeda ketika memahami hakikat keduanya. Perbedaan inilah yang mendasari munculnya bermacam ragam gaya hidup manusia.

        Dalam pandangan Islam gaya hidup tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu:
1) gaya hidup Islami, dan
2) gaya hidup jahili.

        Gaya hidup Islami mempunyai landasan yang mutlak dan kuat, yaitu Tauhid. Inilah gaya hidup orang yang beriman. Adapun gaya hidup jahili, landasannya bersifat relatif dan rapuh, yaitu syirik. Inilah gaya hidup orang kafir.

        Setiap Muslim sudah menjadi keharusan baginya untuk memilih gaya hidup Islami dalam menjalani hidup dan kehidupan-nya. Hal ini sejalan dengan firman Allah berikut ini:
Katakanlah:
“Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Yusuf: 108).
           

 Berdasarkan ayat tersebut jelaslah bahwa bergaya hidup Islami hukumnya wajib atas setiap Muslim, dan gaya hidup jahili adalah haram baginya. Hanya saja dalam kenyataan justru membuat kita sangat prihatin dan sangat menyesal, sebab justru gaya hidup jahili (yang diharamkan) itulah yang melingkupi sebagian besar umat Islam. Fenomena ini persis seperti yang pernah disinyalir oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam . Beliau bersabda:
        “Tidak akan terjadi kiamat sebelum umatku mengikuti jejak umat beberapa abad sebelumnya, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta”. Ada orang yang bertanya, “Ya Rasulullah, mengikuti orang Persia dan Romawi?” Jawab Beliau, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah z, shahih).
        “Sesungguhnya kamu akan mengikuti jejak orang-orang yang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, bahkan kalau mereka masuk ke lubang biawak, niscaya kamu mengikuti mereka”. Kami bertanya,”Ya Rasulullah, orang Yahudi dan Nasrani?” Jawab Nabi, “Siapa lagi?” (HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri z, shahih).


    Hadits tersebut menggambarkan suatu zaman di mana sebagian besar umat Islam telah kehilangan kepribadian Islamnya karena jiwa mere-ka telah terisi oleh jenis kepribadian yang lain. Mereka kehilangan gaya hidup yang hakiki karena telah mengadopsi gaya hidup jenis lain. Kiranya tak ada kehilangan yang patut ditangisi selain dari kehilangan kepribadian dan gaya hidup Islami. Sebab apalah artinya mengaku sebagai orang Islam kalau gaya hidup tak lagi Islami malah persis seperti orang kafir? Inilah bencana kepribadian yang paling besar.

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
 “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, dari Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu hasan).
           
 Menurut hadits tersebut orang yang gaya hidupnya menyerupai umat yang lain (tasyabbuh) hakikatnya telah menjadi seperti mereka. Lalu dalam hal apakah tasyabbuh itu?

        Al-Munawi berkata:
“Menyerupai suatu kaum artinya secara lahir berpakaian seperti pakaian mereka, berlaku/ berbuat mengikuti gaya mereka dalam pakaian dan adat istiadat mereka”.
        Tentu saja lingkup pembicaraan tentang tasyabbuh itu masih cukup luas, namun dalam kesempatan yang singkat ini, tetap mewajibkan diri kita agar memprihatinkan kondisi umat kita saat ini.

            Satu di antara berbagai bentuk tasyabbuh yang sudah membudaya dan mengakar di masyarakat kita adalah pakaian Muslimah. Mungkin kita boleh bersenang hati bila melihat berbagai mode busana Muslimah telah mulai bersaing dengan mode-mode busana jahiliyah. Hanya saja masih sering kita menjumpai busana Muslimah yang tidak memenuhi standar seperti yang dikehendaki syari’at. Busana-busana itu masih mengadopsi mode ekspose aurat sebagai ciri pakaian jahiliyah. Adapun yang lebih memprihatinkan lagi adalah busana wanita kita pada umumnya, yang mayoritas beragama Islam ini, nyaris tak kita jumpai mode pakaian umum tersebut yang tidak mengekspose aurat. Kalau tidak memper-tontonkan aurat karena terbuka, maka ekspose itu dengan menonjolkan keketatan pakaian. Bahkan malah ada yang lengkap dengan dua bentuk itu; mempertontonkan dan menonjolkan aurat. Belum lagi kejahilan ini secara otomatis dilengkapi dengan tingkah laku yang -kata mereka- selaras dengan mode pakaian itu. Na’udzubillahi min dzalik.
       Marilah kita takut pada ancaman akhirat dalam masalah ini. Tentu kita tidak ingin ada dari keluarga kita yang disiksa di Neraka. Ingatlah, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam pernah bersabda:
 “Dua golongan ahli Neraka yang aku belum melihat mereka (di masaku ini) yaitu suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi, mereka memukuli manusia dengan cambuk itu. (Yang kedua ialah) kaum wanita yang berpakaian (tapi kenyataan-nya) telanjang (karena mengekspose aurat), jalannya berlenggak-lenggok (berpenampilan menggoda), kepala mereka seolah-olah punuk unta yang bergoyang. Mereka itu tak akan masuk Surga bahkan tak mendapatkan baunya, padahal baunya Surga itu tercium dari jarak sedemikian jauh”. (HR. Muslim, dari Abu Hurairah z, shahih).

            Jika tasyabbuh dari aspek busana wanita saja sudah sangat memporak-porandakan kepribadian umat, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tinggal diam. Sebab di luar sana sudah nyaris seluruh aspek kehidupan umat bertasyabbuh kepada orang-orang kafir yang jelas-jelas bergaya hidup jahili.

Celana Panjang Untuk Wanita



Para ulama berbeda pendapat tentang hukum wanita memakai celana panjang. Sebagian ada yang membolehkan dan sebagain lain mengharamkan. Dan ada juga yang memberikan syarat tertentu.
Umumnya para ulama yang mengahramkan wanita memakai celana panjang berangkat dari masalah tasyabbuh (kesamaan) dengan pakaian laki-laki. Dalam banyak hadits Rasulullah SAW banyak disebutkan bahwa Allah SWT telah melaknat laki-laki yang berdandan menyerupai wanita dan juga sebaliknya. 
Rasulullah SAW bersabda," Allah SWT telah melaknat laki-laki yang berdandan menyerupai wanita dan wanita yang berdandan menyerupai laki-laki".
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda,"Allah melaknat wanita yang memakai pakaian laki-laki dan laki-laki yang memakai pakaian wanita".


Celana panjang secara `urf yang dikenal di tengah masyarakat adalah pakaian khas laki-laki. Sedangkan bila banyak wanita yang mengenakannya, tidak berarti `urf-nya telah berubah. Tapi apa yang dilakukan oleh para wanita untuk mengenakan celana panjang itu merupakan bentuk penyimpangan dalam berpakaian. Karena sejak awal, celana panjang adalah pakaian khas laki-laki. 
Sedangkan pendapat para ulama yang membolehkan dengan syarat, umumnya apabila celana panjang itu dipakaia namun tidak sampai terjadi tasyabbuh. Para ulama itu mengatakan bahwa bila di atas celana panjang yang dipakai itu dikenakan pakaian lainnya yang khas pakaian wanita seperti rok panjang, jilbab atau abaya, maka unsur penyerupaan penampilan yang menyamai laki-laki menjadi hilang, sehingga larangannya pun menjadi tidak ada lagi. 
Dengan dasar itulah mereka memfatwakan bahwa wanita boleh memakai celana panjang asalkan menjadi semacam pakaian bagian dalam. Di atas celana itu harus dikenakan pakaian luar yang menampakkan ciri khas pakaian wanita. Dan tentu saja harus celana panjang yang besar, luas (tidak ketat) dan menutupi seluruh tubuh sebagaimana ketentuan umum pakaian wanita muslimah. 
Sedangkan bila hanya semata-mata bercelana panjang saja tanpa ditutupi dengan pakaian lain di atasnya meski bentuknya lebar dan longgar, para ulama masih banyak yang berkeberatan dengan celana model itu (seperti kulot). Karena pada hakikatnya tetap celana panjang dan hanya modelnya saja yang sedikit berbeda. 
Meski demikian, memang ada juga diantara para ulama yang memperluas batasannya sehingga bila celana panjang itu lebar seperti kulot, mereka membolehkannya meski dengan beberapa catatan seperti menjaga adab, sopan santun dan juga modelnya.
Namun untuk keluar dari khilaf, memang sebaiknya jangan sampai seorang wanita itu memakai celana panjang laki-laki seperti jeans dan T-Shirt saja, dimana hampir tidak bisa dibedakan antara pakaian wanita dan pakaian laki-laki. 
Wallahu A`lam Bish-Showab,

Islam Ahli Sunah Wal-Jama’ah




Sebagaimana aliran lain yang lahir pada abad pertengahan, Ahlussunnah waljama'ah merupakan aliran yang holistik (menyeluruh), Aswaja mencakup pandangan tentang realitas (ontology), pandangan tentang pengetahuan dan pandangan tentang tata nilai (aksiologi), kemudian masih dilengkapi lagi pandangan mengenai masa depan yang dijanjikan (eskatologi). Pandangan holistik, berasumsi bahwa sebuah aliran mampu menjawab dan mengatur segala aktivitas manusia di segala bidang, pandangan itu memang merupakan ciri khas dari pemikiran skolastik. Sementara pandangan holistik tentang Aswaja itu oleh kalangan NU dirumuskan, sebagai landasan berpikir, bersikap dan bertindak, Sedangkan kalangan Islam revivalis merumuskan Aswaja sebagai teori dan praktek yang menyangkut dimensi lahir dan batin. Pandangan yang serba meliputi itu dirinci dalam berbagai disiplin keilmuan dan agenda kegiatan sosial. Oleh kanem itu dalam pengertian kontemporer Aswaja tidak hanya meliputi doktrin teologi (akidah). tetapi telah dikembangkan sebagai ideologi pembaruan social.

Walaupun Aswaja mengklaim sebagai system yang menyeluruh. tetapi sulit sekali menemukan kitab atau literatur, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab yang membahas atau memaparkan pandangan Aswaja yang menyeluruh seperti yang mereka klaim selama ini. Aswaja yang dirutuskan KH. Hasyim Asy'ari(1)  misalnya, walaupun telah mencakup bidang akidah, fikih dan tasawuf, tetapi tidak mencakup bidang filsafat dan politik, walaupun bidang politik ini juga dibahas di lain kesempatan, dalam Resolusi Jihad misalnya, bisa dimasukkan dalarn sistem Aswaja yang ia bangun. Kemudian kalangan NU sebagaimana lazimnya melihat bahwa filsafat NU adalah Ghazalian sementara politiknya Mawardian dan sebagainya. Semuanya itu lebih banyak dipraktekkan ketimbang dirumuskan secara konseptual.

Upaya menyusun Aswaja secara sistematis sebagai sebuah aliran pemikiran dan gerakan yang holistik telah banyak diupayakan, seperti yang digagas oleh Lakpesdam Yogyakarta dengan bukunya Teologi Pembangunan (1988)(2). Kritik serius yang diarahkan pada Aswaja konvensional itu akhirnya juga direspon oleh para ulama NU yang berusaha mendefinisikan kembali Aswaja secara lebih mencakup. Tetapi usaha ini banyak mendapat sandungan karena para ulama masih belum beranjak dari konsep lama yang melihat Aswaja hanya sebatas akidah.(3) Kemudian juga dalam buku yang ditulis oleh PBPMII, (1997)(4) yang hampir mencakup seluruh aspek kehidupan, hanya sayangnya karena lemahnya kerangka filosofis, maka berbagai aspek yang diuraikan antara pandangan Aswaja di bidang keilmuan, social, politik dan ekonomi tidak saling berkaitan, secara logis, karena lebih menekankan segi-segi aktivismenya. Dalam karya Syeikh Abdul Hadi al Misri,(5) sebenarnya berpretensi menampilkan Aswaja yang utuh, tetapi sekali lagi ia gagal menjelaskan relasi Aswaja dengan perkembangan masyarakat kontemporer, akhirnya kembali pada tradisi lama, yang hanya berputar di sekitar pembahasan akidah. Sementara Karya Ali Asghar lebih menekankan dimensi aktivismenya, maka ia hanya mengekspos segi-segi pembebasan dari doktrin Islam. Sebenarnya yang cukup lengkap adalah yang dirumuskan oleh Hassan Hanafi, hanya saja tersebar di berbagai kitab sehingga perlu  perhatian khusus untuk memahaminya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa sebagai upaya untuk mewujudkan klaim bahwa aswaja merupakan ajaran yang holistik. masih merupakan agenda dan masih perlu digarap serius. Pandangan semacam itu diperlukan agar Aswaja peduli dengan perkembangan masyarakat kontemporer, baik dari segi pemikiran keilmuan hingga ke masalah pergerakan sosial politik, untuk menegakkan keadilan dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu Aswaja tidak lagi bisa diterima apa adanya, sebagaimana ketika diwariskan oleh para leluhur kepada kita, melainkan diperlukan reformulasi dan terobosan baru, sesuai dengan perkembangan aspirasi umat manusia dewasa ini.

Gerakan Aswaja kontemporer bukan lahir dari persoalan pemahaman terhadap doktrin, tetapi lebih didorong oleh terjadinya pergumulan sosial yang terjadi di Dunia Ketiga pada umumnya dalam menghadapi represi dari negara otoriter dan eksploitasi dari kapitalisme dunia atas nama pembangunan dan kemajuan. Maka di situlah gerakan teologi kontemporer merumuskan agenda emansipasi social, dan berusaha menciptakan persaudaraan kemanusiaan universal (ukhuwah insaniyah) sementara Aswaja klasik sangat menekankan doktrin najiyah-, sehingga tanpa disadari menjadikan Aswaja sebagai doktrin yang eksklusif, yang menuduh aliran lain sebagai sesat, bahkan kafir, padahal aliran ini megklaim diri bersikap kejamaahan (inklusif), rnaka sikap najiah bertentangan dengan prisip jamaah. Maka gerakan baru ini mempertegas Aswaja dengan prinsip kejamaahan serta menolak doktrin najiah yang mengeksklusi pihak lain di luar kelompoknya secara semena-mena. Dengan berpegang pada prinsip jamaah tidak berarti mengikuti ajaran mereka, melainkan menjadikan mereka yang berbeda sebagai mitra dialog dalam mencari kebenaran.

Selanjutnya juga terjadi perubahan yang mendasar dengan penegasan bahwa kalau selama ini ham  menekankan pada prinsip harmoni. maka Aswaja lebih pro kekuaan termasuk kekuasaan represif. seperti kata sebuah doktrin bahwa barang siapa yang menyaksikan  penyirnpangan pemerintahan, hendaklah bersabar sebab seseorang yang sejengkal saja memisahkan diri dari Jam'iah (lingkungan) pemeritahan tersebut, maka ia tergolong orang jahiliyah dan banyak ajaran serupa.

Sementara gerakan Aswaja sekarang ini lebih menekankan pada prinsip keadilan, sejalan dengan problem yang dihadapai masyarakat saat ini, karena itu Aswaja lebih diorientasikan pada penderitaan masyarakat tertindas. Dari situ kemudian Aswaja di break down menjadi ideologi emansipasi, bagi rakyat tertindas dan terperas. Kemudian sebagai kepedulian terhadap persaudaraaan manusia universal, maka menolak doktrin najiyah yang aksklusif, kemudian mengembangkan doktrin jamaah yang inklusif. Dengan demikian Aswaja menjadi ideologi yang toleran dan benar-benar
menghargai pluralitas yang hidup di lingkungan masyarakat dewasa ini.

Elaborasi konsep jamaah ini merupakan tindakan revolusioner karena yang dimaksud jamaah tidak hanya sawadil a'dlham (mayoritas urnat) terutama elite ulama atau intelektualnya yang ada seperti Syafi'i, Maliki, Hanafi, Hambali dan sebaginya. Jamaah yang dikembangkan dalam pengertian baru ini mencakup keseluruhan pemikiran kontemporer yang dipandang maslahah (relevan) dengan gerakan penegakan keadilan dan emansiapasi sosial. Maka untuk membongkar stuktur penindasan dan pola eksploitasi yang berkembang dewasa ini, maka Aswaja menggunakan teori sosial yang ada baik teori strukturalisme, teori kritis dan sebagainya. Kalau teori modernisasi bermotif untuk mendominasi, maka teori kritis ini bertujuan melakukan emansipasi, karena itu teori yang belakangan ini banyak digunakan kalangan NU dalam menjalankan aktivitas pemikiran dan sebagai sarana gerakan pembaruan sosial.

Perubahan orientasi bagi suatu mazhab atau aliran itu sangat wajar, di tengah perubahan zaman, hampir semua mazhab, aliran pemikiran mengalaminya. Hal itu ditempuh agar pemikiran tersebut terus relevan dan semakin besar. Mungkin bagi kelompok tekstualis hal itu dianggap bid'ah karena harrifunal kalima 'an ina,radhi 'ihi mengubah format ajaran dianggap sesat dan kesalahan besar. Tetapi perubahan ini oleh kalangan pembaru termasuk pembaru Aswaja dianggap sebagai keharusan agar Aswaja tidak kehilangan relevansi dap mampu mengemban tugas profetiknya, untuk mengemansipasi rakyat dari berbagai macam kesulitan, agar hidup mereka sejahtera, dengan demikian Aswaja menjadi ajaran yang hidup, bukan sekadar warisan sejarah.

Tafsiran atas setiap ajaran, mazhab dan aliran, bukanlah monopoli generasi pendirinya, melainkan milik generasi di masing-masing zaman, karena itu setiap generasi berhak memformat gagasan yang mereka peroleh dari generasi sebelumnya. Maka bisa kita rumuskan bahawa Aswaja sekarang ini adalah apa yang sudah kita rumuskan dan praktekkan selama ini (ma ana `alaihi wa ash-habi) artinya tidak hanya apa yangdilakukan nabi dan sahabat, tetapi termasuk apa yang kita upayakan bersama, hanya saja masih butuh reformulasi lebih matang dan butuh artikulasi lebih mendalam, agar sosoknya semakin kelihatan. Prinsip ini juga mengandaikan adanya reformulasi yang terus menerus, pada setiap generasi.

Karena Aswaja lahir dari pergumulan sosial, maka sikap kerakyatan menjadi orientasi gerakan pemikiran dan gerakan sosial yang mereka jalankan. Situasi politik dan sosial sejak zaman orde baru hingga masa reformasi ini banyak mengalami perubahan, tetapi tidak mengarah pada perbaikan yang membawa keuntungan bagi rakyat, baik bidang politik apalagi dalam bidang ekonomi yang semakin melemah. Reformasi hanya membawa perubahan artifisial, hanya mengganti aktor, tetapi tidak mengubah struktur politik lama, banya perbaikan secara tambal sulam, itupun dilakukan kelmpok lama yang ingin melindungi keselamatan dirinya. Format negara juga belum diubah, sehingga power relation (relasi kuasa) yang lama masih terus berjalan, yang menempatkan pernerintah atau negara sebagai peneritu segala kebijakan, sementara rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan tiidak mendapatkan akses kekuasaan. Sementara kalangan elite masih mendminasi kekuasaan baik dalam membuat peraturan dan menentukan arah kebijakan poltik dan ekonomi. Persentuhan dengan persoalan nil itulah sang mendorong kalangan NU merumuskan Aswaja yang selarna ini dihayati sebagai landasan Akidah itu. menjadi ideologi perjuangan untuk memperbaiki struktur sosial. Gerakan ini semakin menemukan relevansinya ketika ekspansi kapitalisme global semakin agresif, sehingga menggasak sumber-sumber kemakmuran rakyat kecil hingga ke pelosok desa, ini yang dialami oleh pengerak Aswaja yang mendampingi rakyat di desa-desa.

Ketika politik tidak lagi beorientasi kerakyatan, seperti sekarang ini, maka dengan sendirinya seluruh kebijakan, terutama kebijakan ekonomi dan politik yang dihasilkan tidak memihak pada kepentingan rakyat. Ketika harus merespon kebijakan free market (pasar bebas) yang dipropagandakan kapitalisme global melalui World Bank, IMF dalam bentuk WTO, Apec dan sebagainya, maka dengan mudah politik yang elitis ini merespon gagasan liberalisme yang lagi trendy itu agar dianggap sebagai negara modern. Padahal kebijakan tersebut secara total membabat potensi ekonomi rakyat. Terbukti saat ini ekonomi rakyat baik di sektor pertanian, perdagangan dan kerajinan, disapu bersih oleh produk asing yang mulai dipasarkan secara bebas, sementara rakyat tidak mendapatkan perlindungan dari negara dari ancaman yang mematikan itu.

Pola-pola pendampingan rakyat yang dilakukan oleh kalangan Aswaja yang berorientasi kerakyatan seperti yang banyak dilakukan oleh aktivis sosial NU, baik yang bergerak dalam bidang pemikiran maupun pengembangan masyarakat, walaupun belum mampu menandingi gencarnya ekspansi kapitalisme neo liberal yang difasilitasi oleh rezim yang berkuasa. kalangan akademisi di kampus dan didukung beberapa kelompok studi ini. tetapi pendampingan rakyat semacam itu sementara mampu melindungi rakyat dari eksploitasi dan intervensi yang lebih parah dari kapitalisme global. Dengan advokasi yang gigih itu setidaknya rakyat mampu mernbela diri dan rnemperjuangkan hak-hak minimal mereka. Maka diperlukan sistem politik dan ekonomi yang memberikan akses bagi kemakmuran rakyat.


Bila prinsip dan langkah tersebut dijalankan maka Aswaja akan menjadi ajaran Islam semakin meyakinkan, tetapi sekaligus menjadi ideologi pergerakan yang relevan, yang tidak hanva menangani bidang kerohanian kehidupan manusia tetapi juga peduli terhadap persoalan kultural yang dihadapi rakvat dan juga peduli terhadap perluma penguatan basis material masvarakat Dengan demikian aswaja bukan hanya menjadi perbincangan akademis, tetapi bisa dijadikan pegangan kalangan aktivis pergerakan vang hidup di tengah masyarakat. Formulasi Aswaja seperti ini yang memungkinkan Aswaja bisa berjalan seiring dengan ideologi gerakan yang lain, tanpa harus saling mengekslusif, sebaliknya saling menginklusi, karena orientasi dan kepeduliannya sama yaitu melakukan emansipasi sosial.


Lahirnya Teologi Pembebasan, selain digodok dalam perjuangan sosial, dan refleksi dari doktrin agama, juga didukung berbagai teori ilmiah, baik teori kritis, teori ketergantungan dan teori sistem kapitalisme dunia. Lihat Gustavo Gutierrez, A Theology af'Liberation, Orbis Book, New York 1973.
Pada dekade 50-60-an kalangan Jesuit dengan berani membalik orientasi Katolisisme yang selama ini pro negara dan pro imperialis, kapitalis, menjadi doktrin yang concern pada perjuangan rakyat, yang sama sekali bertolak belakang dengan doktrin Katolik Roma. Lihat Malachi Martin, The Jesuits, Simon & Schuster. New York. 1987. Demkian juga ajaran Marxisme berkembang pesat justeru setelah dibongkar secara mendasar oleh kalangan Neo Marxis dan New Left.

Jumlah Muslim di AS Meningkat Tajam




H. Syamsuddin Merauke                   Jumlah penduduk Muslim di Amerika Serikat meningkat tajam dalam satu dekade tarakhir. Jumlah umat Muslim di negeri Paman Sam itu mengalahkan jumlah warga Yahudi untuk kali pertama di sebagian besar Midwest dan bagian.
Dalam sebuah sensus agama di AS yang digelar Asosiasi Statistik dari Badan Keagamaan Amerika, Selasa (1/5) waktu setempat, imbas dari meroketnya populasi warga Muslim AS membuat gereja-gereja di AS kehilangan jamaahnya dan sering kosong saat kegiatan agama.
Umat Muslim di AS naik menjadi 2,6 juta orang pada 2010, bertambah dua kali lipat lebih dari satu juta orang pada 2000 lalu. “Kenaikan tersebut karena derasnya arus imigrasi dan jumlah penduduk yang menjadi mualaf,” kata Dale Jones, peneliti yang terlibat dalam sensus asosiasi statistik untuk badan-badan agama di Amerika (ASARB) itu.
Selain Muslim, jumlah pemeluk Mormon atau The Church of Jesus Christ of Latter-day Saints juga meningkat sebesar 45 persen, menjadi 6,1 persen pada 2010. “Di setiap negara bagian Kristen tetap menjadi kelompok agama yang paling tinggi di negeri itu. Tapi kami menemukan sejumlah hal menarik, yakni pertumbuhan pemeluk Mormon, yang tercatat di 26 negara bagian,” kata Jones dalam sebuah konfrensi di Chicago, AS.
Dalam sensus itu, para peneliti mendata jumlah pemeluk dari 236 agama di negeri adidaya tersebut. Anggota keluarga dari pemeluk agama juga termasuk dalam data yang dihitung. Secara umum 55 persen warga AS masih beribadah secara teratur. Meski demikian, sebagian besar survey yang pernah dilakukan menyebut sekitar 85 persen penduduk AS yang mengaku beragama, tidak beribadah secara teratur. Sementara 158 juta orang As mengaku tidak memeluk agama apa pun alias ateis.
Dari sejumlah agama besar, Katolik menjadi agama yang kehilangan pemeluk terbanyak, berkurang sebanyak lima persen menjadi 58,9 juta jiwa selama satu dekade terakhir.
“Katolik mengalami pengurangan jumlah pemeluk paling banyak,” ujar Jones sembari menyebut Maine, tempat terjadinya kasus pelecehan anak oleh pastor.
Di wilayah New England, upacara pemakaman pemeluk Katolik melebihi jumlah pemakaman pemeluk Kristen Baptis. Sedankan jumlah pemeluk Gereja Southern Baptist Convention mempunyai jumlah pemeluk yang stabil, yakni 19,9 juta jiwa selama satu dekade terakhir.
Gereja Metodist kehilangan pemeluk sebanyak empat persen menjadi 9,9 juta jiwa, Gereja Luteran Evangelis kehilangan 18 persen pemeluk menjadi 4,2 juta jiwa, dan Gereja Episkopal kehilangan 15 persen mejadi hanya 1,95 jiwa.
Meski pelan, pemeluk kongregasi-kongregasi protestan Evangelis terus bertumbuh, menjadi 50 juta pemeluk. Uniknya, peningkatan itu terjadi di daerah perkotaan dan hanya terdiri dari komunitas-komunitas yang terdiri dari hanya 100 orang.
Pemeluk Agama Budha juga meningkat drastis di negara-negara bagian di sekitar Rocky Montain, tempat jumlah kuil dan kongregasinya semakin meningkat. Jumlah pemeluk Budha di AS kini tercatat hampir satu juta jiwa. (Karta Raharja Ucu/Reuters/ROL)


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/05/20260/jumlah-muslim-di-as-meningkat-tajam/#ixzz1tn0lTqab