Tulisan Berjalan

SUKSES KOMUNITAS MAJU JOS, AKHIRNYA BIMBINGAN DIGITAL MARKETING SECARA GRATIS TANPA BATAS TELAH MEMBERI MANFAAT BESAR

Rabu, 02 Mei 2012

Islam Ahli Sunah Wal-Jama’ah




Sebagaimana aliran lain yang lahir pada abad pertengahan, Ahlussunnah waljama'ah merupakan aliran yang holistik (menyeluruh), Aswaja mencakup pandangan tentang realitas (ontology), pandangan tentang pengetahuan dan pandangan tentang tata nilai (aksiologi), kemudian masih dilengkapi lagi pandangan mengenai masa depan yang dijanjikan (eskatologi). Pandangan holistik, berasumsi bahwa sebuah aliran mampu menjawab dan mengatur segala aktivitas manusia di segala bidang, pandangan itu memang merupakan ciri khas dari pemikiran skolastik. Sementara pandangan holistik tentang Aswaja itu oleh kalangan NU dirumuskan, sebagai landasan berpikir, bersikap dan bertindak, Sedangkan kalangan Islam revivalis merumuskan Aswaja sebagai teori dan praktek yang menyangkut dimensi lahir dan batin. Pandangan yang serba meliputi itu dirinci dalam berbagai disiplin keilmuan dan agenda kegiatan sosial. Oleh kanem itu dalam pengertian kontemporer Aswaja tidak hanya meliputi doktrin teologi (akidah). tetapi telah dikembangkan sebagai ideologi pembaruan social.

Walaupun Aswaja mengklaim sebagai system yang menyeluruh. tetapi sulit sekali menemukan kitab atau literatur, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab yang membahas atau memaparkan pandangan Aswaja yang menyeluruh seperti yang mereka klaim selama ini. Aswaja yang dirutuskan KH. Hasyim Asy'ari(1)  misalnya, walaupun telah mencakup bidang akidah, fikih dan tasawuf, tetapi tidak mencakup bidang filsafat dan politik, walaupun bidang politik ini juga dibahas di lain kesempatan, dalam Resolusi Jihad misalnya, bisa dimasukkan dalarn sistem Aswaja yang ia bangun. Kemudian kalangan NU sebagaimana lazimnya melihat bahwa filsafat NU adalah Ghazalian sementara politiknya Mawardian dan sebagainya. Semuanya itu lebih banyak dipraktekkan ketimbang dirumuskan secara konseptual.

Upaya menyusun Aswaja secara sistematis sebagai sebuah aliran pemikiran dan gerakan yang holistik telah banyak diupayakan, seperti yang digagas oleh Lakpesdam Yogyakarta dengan bukunya Teologi Pembangunan (1988)(2). Kritik serius yang diarahkan pada Aswaja konvensional itu akhirnya juga direspon oleh para ulama NU yang berusaha mendefinisikan kembali Aswaja secara lebih mencakup. Tetapi usaha ini banyak mendapat sandungan karena para ulama masih belum beranjak dari konsep lama yang melihat Aswaja hanya sebatas akidah.(3) Kemudian juga dalam buku yang ditulis oleh PBPMII, (1997)(4) yang hampir mencakup seluruh aspek kehidupan, hanya sayangnya karena lemahnya kerangka filosofis, maka berbagai aspek yang diuraikan antara pandangan Aswaja di bidang keilmuan, social, politik dan ekonomi tidak saling berkaitan, secara logis, karena lebih menekankan segi-segi aktivismenya. Dalam karya Syeikh Abdul Hadi al Misri,(5) sebenarnya berpretensi menampilkan Aswaja yang utuh, tetapi sekali lagi ia gagal menjelaskan relasi Aswaja dengan perkembangan masyarakat kontemporer, akhirnya kembali pada tradisi lama, yang hanya berputar di sekitar pembahasan akidah. Sementara Karya Ali Asghar lebih menekankan dimensi aktivismenya, maka ia hanya mengekspos segi-segi pembebasan dari doktrin Islam. Sebenarnya yang cukup lengkap adalah yang dirumuskan oleh Hassan Hanafi, hanya saja tersebar di berbagai kitab sehingga perlu  perhatian khusus untuk memahaminya.

Uraian di atas menunjukkan bahwa sebagai upaya untuk mewujudkan klaim bahwa aswaja merupakan ajaran yang holistik. masih merupakan agenda dan masih perlu digarap serius. Pandangan semacam itu diperlukan agar Aswaja peduli dengan perkembangan masyarakat kontemporer, baik dari segi pemikiran keilmuan hingga ke masalah pergerakan sosial politik, untuk menegakkan keadilan dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu Aswaja tidak lagi bisa diterima apa adanya, sebagaimana ketika diwariskan oleh para leluhur kepada kita, melainkan diperlukan reformulasi dan terobosan baru, sesuai dengan perkembangan aspirasi umat manusia dewasa ini.

Gerakan Aswaja kontemporer bukan lahir dari persoalan pemahaman terhadap doktrin, tetapi lebih didorong oleh terjadinya pergumulan sosial yang terjadi di Dunia Ketiga pada umumnya dalam menghadapi represi dari negara otoriter dan eksploitasi dari kapitalisme dunia atas nama pembangunan dan kemajuan. Maka di situlah gerakan teologi kontemporer merumuskan agenda emansipasi social, dan berusaha menciptakan persaudaraan kemanusiaan universal (ukhuwah insaniyah) sementara Aswaja klasik sangat menekankan doktrin najiyah-, sehingga tanpa disadari menjadikan Aswaja sebagai doktrin yang eksklusif, yang menuduh aliran lain sebagai sesat, bahkan kafir, padahal aliran ini megklaim diri bersikap kejamaahan (inklusif), rnaka sikap najiah bertentangan dengan prisip jamaah. Maka gerakan baru ini mempertegas Aswaja dengan prinsip kejamaahan serta menolak doktrin najiah yang mengeksklusi pihak lain di luar kelompoknya secara semena-mena. Dengan berpegang pada prinsip jamaah tidak berarti mengikuti ajaran mereka, melainkan menjadikan mereka yang berbeda sebagai mitra dialog dalam mencari kebenaran.

Selanjutnya juga terjadi perubahan yang mendasar dengan penegasan bahwa kalau selama ini ham  menekankan pada prinsip harmoni. maka Aswaja lebih pro kekuaan termasuk kekuasaan represif. seperti kata sebuah doktrin bahwa barang siapa yang menyaksikan  penyirnpangan pemerintahan, hendaklah bersabar sebab seseorang yang sejengkal saja memisahkan diri dari Jam'iah (lingkungan) pemeritahan tersebut, maka ia tergolong orang jahiliyah dan banyak ajaran serupa.

Sementara gerakan Aswaja sekarang ini lebih menekankan pada prinsip keadilan, sejalan dengan problem yang dihadapai masyarakat saat ini, karena itu Aswaja lebih diorientasikan pada penderitaan masyarakat tertindas. Dari situ kemudian Aswaja di break down menjadi ideologi emansipasi, bagi rakyat tertindas dan terperas. Kemudian sebagai kepedulian terhadap persaudaraaan manusia universal, maka menolak doktrin najiyah yang aksklusif, kemudian mengembangkan doktrin jamaah yang inklusif. Dengan demikian Aswaja menjadi ideologi yang toleran dan benar-benar
menghargai pluralitas yang hidup di lingkungan masyarakat dewasa ini.

Elaborasi konsep jamaah ini merupakan tindakan revolusioner karena yang dimaksud jamaah tidak hanya sawadil a'dlham (mayoritas urnat) terutama elite ulama atau intelektualnya yang ada seperti Syafi'i, Maliki, Hanafi, Hambali dan sebaginya. Jamaah yang dikembangkan dalam pengertian baru ini mencakup keseluruhan pemikiran kontemporer yang dipandang maslahah (relevan) dengan gerakan penegakan keadilan dan emansiapasi sosial. Maka untuk membongkar stuktur penindasan dan pola eksploitasi yang berkembang dewasa ini, maka Aswaja menggunakan teori sosial yang ada baik teori strukturalisme, teori kritis dan sebagainya. Kalau teori modernisasi bermotif untuk mendominasi, maka teori kritis ini bertujuan melakukan emansipasi, karena itu teori yang belakangan ini banyak digunakan kalangan NU dalam menjalankan aktivitas pemikiran dan sebagai sarana gerakan pembaruan sosial.

Perubahan orientasi bagi suatu mazhab atau aliran itu sangat wajar, di tengah perubahan zaman, hampir semua mazhab, aliran pemikiran mengalaminya. Hal itu ditempuh agar pemikiran tersebut terus relevan dan semakin besar. Mungkin bagi kelompok tekstualis hal itu dianggap bid'ah karena harrifunal kalima 'an ina,radhi 'ihi mengubah format ajaran dianggap sesat dan kesalahan besar. Tetapi perubahan ini oleh kalangan pembaru termasuk pembaru Aswaja dianggap sebagai keharusan agar Aswaja tidak kehilangan relevansi dap mampu mengemban tugas profetiknya, untuk mengemansipasi rakyat dari berbagai macam kesulitan, agar hidup mereka sejahtera, dengan demikian Aswaja menjadi ajaran yang hidup, bukan sekadar warisan sejarah.

Tafsiran atas setiap ajaran, mazhab dan aliran, bukanlah monopoli generasi pendirinya, melainkan milik generasi di masing-masing zaman, karena itu setiap generasi berhak memformat gagasan yang mereka peroleh dari generasi sebelumnya. Maka bisa kita rumuskan bahawa Aswaja sekarang ini adalah apa yang sudah kita rumuskan dan praktekkan selama ini (ma ana `alaihi wa ash-habi) artinya tidak hanya apa yangdilakukan nabi dan sahabat, tetapi termasuk apa yang kita upayakan bersama, hanya saja masih butuh reformulasi lebih matang dan butuh artikulasi lebih mendalam, agar sosoknya semakin kelihatan. Prinsip ini juga mengandaikan adanya reformulasi yang terus menerus, pada setiap generasi.

Karena Aswaja lahir dari pergumulan sosial, maka sikap kerakyatan menjadi orientasi gerakan pemikiran dan gerakan sosial yang mereka jalankan. Situasi politik dan sosial sejak zaman orde baru hingga masa reformasi ini banyak mengalami perubahan, tetapi tidak mengarah pada perbaikan yang membawa keuntungan bagi rakyat, baik bidang politik apalagi dalam bidang ekonomi yang semakin melemah. Reformasi hanya membawa perubahan artifisial, hanya mengganti aktor, tetapi tidak mengubah struktur politik lama, banya perbaikan secara tambal sulam, itupun dilakukan kelmpok lama yang ingin melindungi keselamatan dirinya. Format negara juga belum diubah, sehingga power relation (relasi kuasa) yang lama masih terus berjalan, yang menempatkan pernerintah atau negara sebagai peneritu segala kebijakan, sementara rakyat sebagai pemilik sah kedaulatan tiidak mendapatkan akses kekuasaan. Sementara kalangan elite masih mendminasi kekuasaan baik dalam membuat peraturan dan menentukan arah kebijakan poltik dan ekonomi. Persentuhan dengan persoalan nil itulah sang mendorong kalangan NU merumuskan Aswaja yang selarna ini dihayati sebagai landasan Akidah itu. menjadi ideologi perjuangan untuk memperbaiki struktur sosial. Gerakan ini semakin menemukan relevansinya ketika ekspansi kapitalisme global semakin agresif, sehingga menggasak sumber-sumber kemakmuran rakyat kecil hingga ke pelosok desa, ini yang dialami oleh pengerak Aswaja yang mendampingi rakyat di desa-desa.

Ketika politik tidak lagi beorientasi kerakyatan, seperti sekarang ini, maka dengan sendirinya seluruh kebijakan, terutama kebijakan ekonomi dan politik yang dihasilkan tidak memihak pada kepentingan rakyat. Ketika harus merespon kebijakan free market (pasar bebas) yang dipropagandakan kapitalisme global melalui World Bank, IMF dalam bentuk WTO, Apec dan sebagainya, maka dengan mudah politik yang elitis ini merespon gagasan liberalisme yang lagi trendy itu agar dianggap sebagai negara modern. Padahal kebijakan tersebut secara total membabat potensi ekonomi rakyat. Terbukti saat ini ekonomi rakyat baik di sektor pertanian, perdagangan dan kerajinan, disapu bersih oleh produk asing yang mulai dipasarkan secara bebas, sementara rakyat tidak mendapatkan perlindungan dari negara dari ancaman yang mematikan itu.

Pola-pola pendampingan rakyat yang dilakukan oleh kalangan Aswaja yang berorientasi kerakyatan seperti yang banyak dilakukan oleh aktivis sosial NU, baik yang bergerak dalam bidang pemikiran maupun pengembangan masyarakat, walaupun belum mampu menandingi gencarnya ekspansi kapitalisme neo liberal yang difasilitasi oleh rezim yang berkuasa. kalangan akademisi di kampus dan didukung beberapa kelompok studi ini. tetapi pendampingan rakyat semacam itu sementara mampu melindungi rakyat dari eksploitasi dan intervensi yang lebih parah dari kapitalisme global. Dengan advokasi yang gigih itu setidaknya rakyat mampu mernbela diri dan rnemperjuangkan hak-hak minimal mereka. Maka diperlukan sistem politik dan ekonomi yang memberikan akses bagi kemakmuran rakyat.


Bila prinsip dan langkah tersebut dijalankan maka Aswaja akan menjadi ajaran Islam semakin meyakinkan, tetapi sekaligus menjadi ideologi pergerakan yang relevan, yang tidak hanva menangani bidang kerohanian kehidupan manusia tetapi juga peduli terhadap persoalan kultural yang dihadapi rakvat dan juga peduli terhadap perluma penguatan basis material masvarakat Dengan demikian aswaja bukan hanya menjadi perbincangan akademis, tetapi bisa dijadikan pegangan kalangan aktivis pergerakan vang hidup di tengah masyarakat. Formulasi Aswaja seperti ini yang memungkinkan Aswaja bisa berjalan seiring dengan ideologi gerakan yang lain, tanpa harus saling mengekslusif, sebaliknya saling menginklusi, karena orientasi dan kepeduliannya sama yaitu melakukan emansipasi sosial.


Lahirnya Teologi Pembebasan, selain digodok dalam perjuangan sosial, dan refleksi dari doktrin agama, juga didukung berbagai teori ilmiah, baik teori kritis, teori ketergantungan dan teori sistem kapitalisme dunia. Lihat Gustavo Gutierrez, A Theology af'Liberation, Orbis Book, New York 1973.
Pada dekade 50-60-an kalangan Jesuit dengan berani membalik orientasi Katolisisme yang selama ini pro negara dan pro imperialis, kapitalis, menjadi doktrin yang concern pada perjuangan rakyat, yang sama sekali bertolak belakang dengan doktrin Katolik Roma. Lihat Malachi Martin, The Jesuits, Simon & Schuster. New York. 1987. Demkian juga ajaran Marxisme berkembang pesat justeru setelah dibongkar secara mendasar oleh kalangan Neo Marxis dan New Left.

Tidak ada komentar: