Dalam pengamatan Gabriel, al-Qur’an berisikan sejumlah ayat yang kontradiktif satu sama lain. Ia mencontohkan dengan ayat-ayat yang memuji umat Kristiani, sedangkan di ayat yang lain mengidentikkannya dengan penghuni neraka. Atau sesekali menekankan keharmonisan hubungan dengan umat Kristiani, dan di lain ayat menekankan bahwa mereka mesti di-konversi (masuk) Islam. Terkait kontradiksi tersebut, Gabriel mengajukan pertanyaan ‘mendasar’, Kenapa mesti terjadi kontradiksi di antara ayat-ayat al-Qur’an?, Kenapa pewahyuan berganti seiring bergulirnya waktu?
Salahsatu asas penetapan Islam adalah penahapan dalam menetapkan hukum (al-tadarruj fi al-tasyri’). Jadi yang terjadi sebenarnya adalah penahapan, bukan pergantian wahyu. Pemahaman tentang latar historis turunnya ayat al-Qur’an sangat urgen.
Tak dapat disangkal bahwa terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang menekankan perlunya hubungan harmonis dengan umat Kristiani dan umat lainnya. Al-Qur’an menyebut kaum Kristen dengan kata nashaaraa yang tersebut dalam al-Qur’an sebanyak 14 kali, sedangkan kata nashraaniyyan tersebut sekali. Kesemuanya tidak mengidentikkan mereka sebagai jahat, buruk, apalagi musuh Islam. Tengoklah Q.S. al-Baqarah [2]: 62, Q.S. al-Ma’idah [5]: 69, dan Q.S. al-Hajj [22]: 17. Ketiga ayat tersebut menyetarakan mereka dengan umat Islam dalam hal perolehan (jaminan) balasan yang setimpal. Kata فلهم أجرهم عند ربهم berarti pahala (tsawab) dan kenikmatan akhirat (na’im al-akhirah). Adapun kata ولا خوف عليهم diartikan takut akan hari akhirat (khauf al-akhirah). Namun demikian, mereka yang dijamin tersebut adalah yang beriman kepada Allah dan hari akhirat (man amana billahi wa al-yaum al-akhir) yaitu mereka yang tidak melencengkan ajaran agamanya dengan perilaku kemusyrikan dan tidak mengingkari hari kebangkitan.
Baik Yahudi maupun Kristiani dicela oleh al-Qur’an terkait dengan pelencengan dari akidah mereka yang orisinil seperti menyatakan dirinya sebagai anak-anak Allah swt. (Q.S. al-Ma’idah [5]: 18), menyombongkan diri tidak akan pernah masuk neraka kecuali hanya beberapa hari (Q.S. al-Baqarah [2]: 80), Isa diakui sebagai penebus dosa seluruh umat manusia lewat penyaliban (Q.S. al-Nisa’ [4]: 71, dan beberapa contoh lainnya.
Keharusan meng-Islam-kan umat Kristiani sama sekali tidak disebut oleh al-Qur’an. Sejarah Islam juga mencatat bahwa penaklukan yang dilakukan Imperium Islam di zaman Nabi saw. dan khalifah-khalifah setelahnya tidak bertujuan memaksakan Islam kepada penduduk kawasan yang ditaklukkan. Hal tersebut dibuktikan ketika menaklukkan Spanyol yang berpenduduk mayoritas Kristen beberapa abad silam yang hingga kini komunitas Muslim di negeri Matador ini masih minoritas. Apa yang dituduhkan Gabriel tentang kontradiksi ayat-ayat al-Qur’an tidak terbukti jika menelusuri lebih jauh pemaknaan dan konteks turunnya ayat yang dimaksud. Jika hanya berdasarkan pengamatan sepintas (first glance), maka kesimpulan yang diperoleh pasti akan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Gabriel berpandangan bahwa fokus dari jihad adalah untuk menuntaskan manusia yang tidak menerima Islam. Atas dasar itulah, di zaman Muhammad, praktik jihad adalah memerangi warga Kristen dan Yahudi ataupun orang-orang yang menyembah berhala. Didasarkan pada Q.S. al-Anfal [8]: 39, term “jihad” semakna dengan term “struggle” yang didefinisikan dalam fiqih Islam sebagai berikut:
(Jihad) is fighting anybody who stands in the way of spreading Islam. Or fighting anyone who refuses to enter into Islam.
Ia juga menambahkan bahwa wahyu yang turun kepada Nabi yang menceritakan perihal Yahudi tidak pernah bernilai positif, tetapi setelah Muhammad berhijrah ke Madinah, wahyu al-Qur’an yang menyebut kata “ahl al-kitab” bahkan menjadi sangat dimusuhi. Adapun di antara ayat yang dimaksud adalah ayat al-Anfal di atas.
Pandangan Gabriel ini sangat berlebihan karena doktrin jihad dalam al-Qur’an tidak pernah bersifat pre emptive, mendahului dalam memerangi. Fakta sejarah membuktikan bahwa masyarakat Islam di Madinah tetap bersahabat dengan pemeluk agama lain dari kalangan Yahudi dan Kristen.
Sebenarnya ayat ini menyiratkan dua point yang patut dipahami, yaitu: a) memerangi kaum kafir (qatiluhum), dan b) tidak ada lagi fitnah dan agama hanya bagi Allah semata (la takuna fitnah wa yakuna al-din kulluhu lillah). Jika motif utama sikap kaum Islam (saat itu) terhadap kaum kafir adalah semata memerangi mereka (point a), maka perang adalah pilihan satu-satunya. Itupun bertujuan agar kawasan Mekkah dan sekitarnya terbebas dari kekafiran (wa yakuna al-din kulluhu lillah). Jika memang itu yang dimaksud, maka tujuan tersebut telah tercapai karena sebagaimana tersurat dalam hadits Nabi saw.:
لَا يَجْتَمِعُ دِينَانِ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ
"Tidak berkumpul dua agama di Jazirah Arab"
Pengertian ini tidak boleh digeneralisir untuk selain Mekkah dan sekitarnya karena hingga kini kekafiran masih ada di sana-sini. Adapun jika yang dimaksud adalah point (b), maka perintah berperang adalah untuk mencapai tujuan tersebut (la takuna fitnah wa yakuna al-din kulluhu lillah).
Lagipula, kata fitnah dalam ayat ini memainkan arti penting dalam pemaknaan ayat tersebut. Dapat dipahami bahwa perang yang dimaksud adalah bila ada unsur fitnah yang dilancarkan oleh kaum kafir berupa perang, hilangnya suasana aman dan menyerang dengan senjata. Saat turunnya ayat ini, kafir Quraisy beberapa waktu sebelum hijrah melancarkan paksaan dan siksaan kepada kaum Muslimin agar meninggalkan Islam dan kembali kepada kekafiran. Boleh dikata, upaya perang dari kaum Muslimin hanyalah sebagai counter attack untuk melindungi Islam.
Sungguh tidak berdasar jika menyebut al-Qur’an memusuhi ahl al-kitab. Bukankah al-Qur’an juga menceritakan bahwa di antara ahl al-kitab tersebut terdapat orang yang dapat diamanati harta yang banyak, akan menjaga keutuhannya hingga dikembalikan kepada pemiliknya (Q.S. Ali ’Imran [3]: 75).
Gabriel juga menilai bahwa Allah swt. memerintahkan Nabi Muhammad untuk lebih memprioritaskan membunuh musuh ketimbang menjadikannya tawanan perang. Hal demikian tersebut dalam Q.S. al-Anfal [8]: 67.
Untuk memahami ayat di atas meniscayakan pengetahuan tentang latar historis turunnya. Ayat tersebut terkait musyawarah untuk menyikapi tujuh puluh orang tawanan perang yang terdapat paman Nabi saw. yaitu al-’Abbas serta ’Uqayl ibn Abi Thalib. Pada kesempatan itu, ’Umar ibn Khatthab mengusulkan agar para tawanan tersebut dibunuh saja tanpa pandang bulu karena mereka telah mendustai Nabi saw. dan mereka adalah pemuka kaum kafir. Berbeda dengan ’Umar, sahabat Abu Bakr mengusulkan agar diampuni saja dan diterima tebusan dari mereka. Saat itu, Nabi saw. menyifatkan Abu Bakr serupa dengan Nabi Ibrahim as. (Q.S. Ibrahim [14]: 36) dan seperti sikap Nabi Isa as. (Q.S. al-Ma’idah [5]: 118), sedangkan ’Umar ibn Khatthab diserupakan sikap Nabi Nuh as. (Q.S. Nuh [71]: 26) dan seperti sikap Nabi Musa as. (Q.S. Yunus [10]: 88). Pada akhirnya, Nabi saw. lebih cenderung kepada pandangan Abu Bakr dan tebusan yang dikenakan kepada mereka adalah dua puluh uqiyah sedangkan tebusan buat al-’Abbas empat puluh uqiyah. Ketika pemungutan tebusan itu dilakukan oleh para sahabat, ayat Q.S. al-Anfal [8]: 67 turun dan Nabi saw. (beserta Abu Bakr) menangis seketika terkait dengan pemungutan tebusan tersebut.
Riwayat ini sama sekali tidak mengindikasikan bahwa Nabi saw. membunuh tawanan tersebut, tetapi menerima tebusan. Adapun tangisan (buka’) Nabi saw. bukanlah karena penetapan tebusan sebagai solusi akhir dari musyawarah di atas, tetapi disebabkan oleh sebagian sahabat telah menyalahi perintah untuk berperang dan hanya menyibukkan diri dengan tebusan sehingga khawatir azab turun kepada mereka lantaran tindakan tersebut.
Beberapa sorotan yang penulis kemukakan di atas hanyalah sekelumit dari gugatan Ibn Warraq dan Gabriel terhadap validitas Al-Qur'an. Terlihat jelas bahwa subjektivitas mengungguli data faktual sehingga acapkali mengetengahkan data terkait yang searah dengan pemikirannya. Beberapa permasalahan hanya disorot secara parsial kemudian digeneralisir dan bermuara pada distorsi objek kajiannya. Keduanya mendudukkan pandangan keagamaan sebagai bahan analisis rasional, penelitian empirik, dan perbandingan sehingga berakhir dengan kesenjangan dan kepalsuan, bukan perluasan pemahaman. Meminjam tamsil Wilfred C. Smith, pemikiran seperti Ibn Warraq dan Gabriel diibaratkan "lalat yang merambah dinding luar toples yang berisi ikan emas; mengamati secara akurat ikan dalam toples, tetapi tidak menanyai diri sendiri dan tidak tahu bagaimana rasanya menjadi ikan emas".
Meskipun begitu, kajian mereka dapat dijadikan 'motivasi' bagi kalangan akademisi Muslim untuk mendalami risalah Islam secara ilmiah dan agar mampu memberi anotasi pemikiran seperti yang dikemukakan Ibn Warraq dan Mark A. Gabriel di atas menurut perspektif yang dapat memuaskan mereka secara ilmiah dan aktual. Wallâhu A'lam
Salahsatu asas penetapan Islam adalah penahapan dalam menetapkan hukum (al-tadarruj fi al-tasyri’). Jadi yang terjadi sebenarnya adalah penahapan, bukan pergantian wahyu. Pemahaman tentang latar historis turunnya ayat al-Qur’an sangat urgen.
Tak dapat disangkal bahwa terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang menekankan perlunya hubungan harmonis dengan umat Kristiani dan umat lainnya. Al-Qur’an menyebut kaum Kristen dengan kata nashaaraa yang tersebut dalam al-Qur’an sebanyak 14 kali, sedangkan kata nashraaniyyan tersebut sekali. Kesemuanya tidak mengidentikkan mereka sebagai jahat, buruk, apalagi musuh Islam. Tengoklah Q.S. al-Baqarah [2]: 62, Q.S. al-Ma’idah [5]: 69, dan Q.S. al-Hajj [22]: 17. Ketiga ayat tersebut menyetarakan mereka dengan umat Islam dalam hal perolehan (jaminan) balasan yang setimpal. Kata فلهم أجرهم عند ربهم berarti pahala (tsawab) dan kenikmatan akhirat (na’im al-akhirah). Adapun kata ولا خوف عليهم diartikan takut akan hari akhirat (khauf al-akhirah). Namun demikian, mereka yang dijamin tersebut adalah yang beriman kepada Allah dan hari akhirat (man amana billahi wa al-yaum al-akhir) yaitu mereka yang tidak melencengkan ajaran agamanya dengan perilaku kemusyrikan dan tidak mengingkari hari kebangkitan.
Baik Yahudi maupun Kristiani dicela oleh al-Qur’an terkait dengan pelencengan dari akidah mereka yang orisinil seperti menyatakan dirinya sebagai anak-anak Allah swt. (Q.S. al-Ma’idah [5]: 18), menyombongkan diri tidak akan pernah masuk neraka kecuali hanya beberapa hari (Q.S. al-Baqarah [2]: 80), Isa diakui sebagai penebus dosa seluruh umat manusia lewat penyaliban (Q.S. al-Nisa’ [4]: 71, dan beberapa contoh lainnya.
Keharusan meng-Islam-kan umat Kristiani sama sekali tidak disebut oleh al-Qur’an. Sejarah Islam juga mencatat bahwa penaklukan yang dilakukan Imperium Islam di zaman Nabi saw. dan khalifah-khalifah setelahnya tidak bertujuan memaksakan Islam kepada penduduk kawasan yang ditaklukkan. Hal tersebut dibuktikan ketika menaklukkan Spanyol yang berpenduduk mayoritas Kristen beberapa abad silam yang hingga kini komunitas Muslim di negeri Matador ini masih minoritas. Apa yang dituduhkan Gabriel tentang kontradiksi ayat-ayat al-Qur’an tidak terbukti jika menelusuri lebih jauh pemaknaan dan konteks turunnya ayat yang dimaksud. Jika hanya berdasarkan pengamatan sepintas (first glance), maka kesimpulan yang diperoleh pasti akan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Gabriel berpandangan bahwa fokus dari jihad adalah untuk menuntaskan manusia yang tidak menerima Islam. Atas dasar itulah, di zaman Muhammad, praktik jihad adalah memerangi warga Kristen dan Yahudi ataupun orang-orang yang menyembah berhala. Didasarkan pada Q.S. al-Anfal [8]: 39, term “jihad” semakna dengan term “struggle” yang didefinisikan dalam fiqih Islam sebagai berikut:
(Jihad) is fighting anybody who stands in the way of spreading Islam. Or fighting anyone who refuses to enter into Islam.
Ia juga menambahkan bahwa wahyu yang turun kepada Nabi yang menceritakan perihal Yahudi tidak pernah bernilai positif, tetapi setelah Muhammad berhijrah ke Madinah, wahyu al-Qur’an yang menyebut kata “ahl al-kitab” bahkan menjadi sangat dimusuhi. Adapun di antara ayat yang dimaksud adalah ayat al-Anfal di atas.
Pandangan Gabriel ini sangat berlebihan karena doktrin jihad dalam al-Qur’an tidak pernah bersifat pre emptive, mendahului dalam memerangi. Fakta sejarah membuktikan bahwa masyarakat Islam di Madinah tetap bersahabat dengan pemeluk agama lain dari kalangan Yahudi dan Kristen.
Sebenarnya ayat ini menyiratkan dua point yang patut dipahami, yaitu: a) memerangi kaum kafir (qatiluhum), dan b) tidak ada lagi fitnah dan agama hanya bagi Allah semata (la takuna fitnah wa yakuna al-din kulluhu lillah). Jika motif utama sikap kaum Islam (saat itu) terhadap kaum kafir adalah semata memerangi mereka (point a), maka perang adalah pilihan satu-satunya. Itupun bertujuan agar kawasan Mekkah dan sekitarnya terbebas dari kekafiran (wa yakuna al-din kulluhu lillah). Jika memang itu yang dimaksud, maka tujuan tersebut telah tercapai karena sebagaimana tersurat dalam hadits Nabi saw.:
لَا يَجْتَمِعُ دِينَانِ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ
"Tidak berkumpul dua agama di Jazirah Arab"
Pengertian ini tidak boleh digeneralisir untuk selain Mekkah dan sekitarnya karena hingga kini kekafiran masih ada di sana-sini. Adapun jika yang dimaksud adalah point (b), maka perintah berperang adalah untuk mencapai tujuan tersebut (la takuna fitnah wa yakuna al-din kulluhu lillah).
Lagipula, kata fitnah dalam ayat ini memainkan arti penting dalam pemaknaan ayat tersebut. Dapat dipahami bahwa perang yang dimaksud adalah bila ada unsur fitnah yang dilancarkan oleh kaum kafir berupa perang, hilangnya suasana aman dan menyerang dengan senjata. Saat turunnya ayat ini, kafir Quraisy beberapa waktu sebelum hijrah melancarkan paksaan dan siksaan kepada kaum Muslimin agar meninggalkan Islam dan kembali kepada kekafiran. Boleh dikata, upaya perang dari kaum Muslimin hanyalah sebagai counter attack untuk melindungi Islam.
Sungguh tidak berdasar jika menyebut al-Qur’an memusuhi ahl al-kitab. Bukankah al-Qur’an juga menceritakan bahwa di antara ahl al-kitab tersebut terdapat orang yang dapat diamanati harta yang banyak, akan menjaga keutuhannya hingga dikembalikan kepada pemiliknya (Q.S. Ali ’Imran [3]: 75).
Gabriel juga menilai bahwa Allah swt. memerintahkan Nabi Muhammad untuk lebih memprioritaskan membunuh musuh ketimbang menjadikannya tawanan perang. Hal demikian tersebut dalam Q.S. al-Anfal [8]: 67.
Untuk memahami ayat di atas meniscayakan pengetahuan tentang latar historis turunnya. Ayat tersebut terkait musyawarah untuk menyikapi tujuh puluh orang tawanan perang yang terdapat paman Nabi saw. yaitu al-’Abbas serta ’Uqayl ibn Abi Thalib. Pada kesempatan itu, ’Umar ibn Khatthab mengusulkan agar para tawanan tersebut dibunuh saja tanpa pandang bulu karena mereka telah mendustai Nabi saw. dan mereka adalah pemuka kaum kafir. Berbeda dengan ’Umar, sahabat Abu Bakr mengusulkan agar diampuni saja dan diterima tebusan dari mereka. Saat itu, Nabi saw. menyifatkan Abu Bakr serupa dengan Nabi Ibrahim as. (Q.S. Ibrahim [14]: 36) dan seperti sikap Nabi Isa as. (Q.S. al-Ma’idah [5]: 118), sedangkan ’Umar ibn Khatthab diserupakan sikap Nabi Nuh as. (Q.S. Nuh [71]: 26) dan seperti sikap Nabi Musa as. (Q.S. Yunus [10]: 88). Pada akhirnya, Nabi saw. lebih cenderung kepada pandangan Abu Bakr dan tebusan yang dikenakan kepada mereka adalah dua puluh uqiyah sedangkan tebusan buat al-’Abbas empat puluh uqiyah. Ketika pemungutan tebusan itu dilakukan oleh para sahabat, ayat Q.S. al-Anfal [8]: 67 turun dan Nabi saw. (beserta Abu Bakr) menangis seketika terkait dengan pemungutan tebusan tersebut.
Riwayat ini sama sekali tidak mengindikasikan bahwa Nabi saw. membunuh tawanan tersebut, tetapi menerima tebusan. Adapun tangisan (buka’) Nabi saw. bukanlah karena penetapan tebusan sebagai solusi akhir dari musyawarah di atas, tetapi disebabkan oleh sebagian sahabat telah menyalahi perintah untuk berperang dan hanya menyibukkan diri dengan tebusan sehingga khawatir azab turun kepada mereka lantaran tindakan tersebut.
Beberapa sorotan yang penulis kemukakan di atas hanyalah sekelumit dari gugatan Ibn Warraq dan Gabriel terhadap validitas Al-Qur'an. Terlihat jelas bahwa subjektivitas mengungguli data faktual sehingga acapkali mengetengahkan data terkait yang searah dengan pemikirannya. Beberapa permasalahan hanya disorot secara parsial kemudian digeneralisir dan bermuara pada distorsi objek kajiannya. Keduanya mendudukkan pandangan keagamaan sebagai bahan analisis rasional, penelitian empirik, dan perbandingan sehingga berakhir dengan kesenjangan dan kepalsuan, bukan perluasan pemahaman. Meminjam tamsil Wilfred C. Smith, pemikiran seperti Ibn Warraq dan Gabriel diibaratkan "lalat yang merambah dinding luar toples yang berisi ikan emas; mengamati secara akurat ikan dalam toples, tetapi tidak menanyai diri sendiri dan tidak tahu bagaimana rasanya menjadi ikan emas".
Meskipun begitu, kajian mereka dapat dijadikan 'motivasi' bagi kalangan akademisi Muslim untuk mendalami risalah Islam secara ilmiah dan agar mampu memberi anotasi pemikiran seperti yang dikemukakan Ibn Warraq dan Mark A. Gabriel di atas menurut perspektif yang dapat memuaskan mereka secara ilmiah dan aktual. Wallâhu A'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar