Tulisan Berjalan

SUKSES KOMUNITAS MAJU JOS, AKHIRNYA BIMBINGAN DIGITAL MARKETING SECARA GRATIS TANPA BATAS TELAH MEMBERI MANFAAT BESAR
Tampilkan postingan dengan label Zakat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Zakat. Tampilkan semua postingan

Jumat, 13 Juli 2012

Membangun Komunitas Zakat Untuk Kesejahteraan Masyarakat




Sejak beberapa tahun terakhir, kesadaran masyarakat untuk berzakat di tanah air kita cukup tinggi. Hal itu antara lain ditunjukkan dengan meningkatnya penerimaan dana zakat, infaq dan shadaqah yang dihimpun dari masyarakat pada hampir semua lembaga zakat. Jika kesadaran tersebut, baik di level perorangan maupun institusi/perusahaan (korporasi) terus tumbuh untuk menunaikan zakat, maka output yang dicapai insya Allah akan lebih signifikan. Artinya, kontribusi zakat dalam mengatasi masalah kemiskinan dan problema sosial lainnya di negara kita, seperti sering terungkap melalui berbagai hasil penelitian dan kajian, akan terwujud sebagaimana diharapkan.
Dalam rangka penguatan dan pembinaan kesadaran berzakat yang bersifat masif, konsisten dan total, perlu membangun apa yang disebut sebagai “komunitas zakat”. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Badudu-Zain (Pustaka Sinar Harapan, 1994), komunitas diartikan “sebagai kesatuan yang terdiri atas individu-individu; (dan) masyarakat.”Sesuai pengertian menurut bahasa, maka yang dimaksud dengan istilah komunitas zakat disini adalah kesatuan yang terdiri atas individu-individu dan masyarakat yang sadar, peduli, bertanggung jawab, dan memiliki keterlibatan secara moral, pemikiran dan operasional dalam perzakatan, baik selaku muzaki, amil, mustahik, pemerintah, media massa, dan seterusnya.
Untuk membangun komunitas zakat sebagaimana dimaksud di atas, amil merupakan salah satu komponen yang memiliki peranan dan tanggung jawab strategis. Oleh karena itu, perekrutan amil tidak boleh dilakukan secara sembarangan dan tanpa kriteria yang jelas, tetapi amil harus memenuhi syarat memiliki dasar agama yang kuat, akhlakul karimah, kompetensi pengetahuan tentang fiqih zakat dan tata kelolanya, memiliki kecerdasan secara intelektual, emosional, sosial dan spiritual, dan memiliki kemauan untuk terus belajar dalam rangka penunjang tugas keamilan. Di samping itu, amil juga harus pandai memanfaatkan media, seperti media cetak, elektronik maupun “jejaring sosial” dalam rangka sosialisasi dan edukasi zakat.
Di samping itu, hubungan dan pola komunikasi yang harus terbina antara amil dengan muzakki maupun mustahik, bukan hanya hubungan transaksional, yakni menerima pembayaran zakat, mengadministrasikan dan menyalurannya, akan tetapi amil sekaligus harus mampu berperan sebagai “sahabat spiritual”(meminjam istilah Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Wakil Menteri Agama) bagi para muzakki dan mustahik yang dilayaninya.
Selanjutnya untuk menggali potensi zakat yang besar di negara kita, menurut penelitan tahun 2011 mencapai Rp 217 triliun per tahun, paling tidak diperlukan empat langkah yang harus dilakukan secara simultan.
Pertama, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait dengan hukum dan hikmah zakat, harta objek zakat sekaligus tata cara perhitungannya, serta kaitan zakat dengan pajak.
Kedua, penguatan keamilan, sebagaimana telah dijelaskan dimuka, karena amil adalah “tulang punggung” dalam pengelolaan zakat. Kinerja amil akan menjadi cerminan keberhasilan pengelolaan zakat. Untuk itu, amil perlu memiliki data base mustahik dan muzaki yang akurat dan up to date sehingga pengumpulan dan penyaluran zakat dapat dipetakan dengan baik.
Ketiga, penyaluran zakat yang tepat sasaran sesuai dengan ketentuan syariah dan memperhatikan aspek-aspek manajemen yang transparan. Misalnya, zakat di samping diberikan secara konsumtif untuk memenuhi kebutuhan primer secara langsung (QS Al-Baqarah : 273), juga diberikan untuk meningkatkan kegiatan usaha dan kerja mustahik/zakat produktif (al-hadist).
Keempat, sinergi dan koordinasi atau
taawun baik antarsesama amil zakat (tingkat daerah, nasional, regional, dan internasional) maupun dengan komponen umat yang lain seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), lembaga-lembaga pemerintah, organisasi-organisasi Islam, lembaga pendidikan Islam, perguruan tinggi, media massa, dan lain-lain.
Keempat langkah di atas merupakan agenda utama dan agenda bersama yang tidak dapat dipisahkan dari upaya membangun komunitas zakat di tanah air kita.
Wallahu a’lam bishawab.
Ditulis oleh Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc (Ketua Umum BAZNAS)

Rabu, 11 Juli 2012

Berikan Yang Terbaik




sumber: internet
“Kamu sekali-kali tidak sam­pai kepada kebajikan, sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS.Ali Imran [3] :92)
Islam memberikan koridor dalam penggunaan, mem­belanjakan atau mengin­faqkan harta yang dimiliki setiap orang beriman. Harta yang kita miliki harus dimaknai se­bagai harta yang dititipkan kepada kita agar mampu hidup di dunia se­bagai fasilitas manusia yang menjadi Khalifah di muka bumi ini.
Bila kita pelajari ayat yang tersebut di atas, maka kita mendapatkan bebera­pa pelajaran; Pertama: al-Birru (kebajikan); dalam tafsir Al Qurthubi dikatakan bahwa al-Birru itu bermakna beberapa hal. Yang pertama bermakna Surga, kedua yang menurut Ibnu Ma’ud dan Ibnu Abbas kata yang sebenarnya adalah “Kalian tidak akan memperoleh ganjaran/pahala kebajikan hingga ka­lian menginfaqkan apa yang kalian cintai”. Sehingga maknanya adalah: Kalian tidak akan sampai ke Surga dan memperolehnya hingga kalian menginfaqkan apa yang kalian cintai. Yang ketiga bermakna Amal Shalih. Dalam sebuah had­ist yang diriwayatkan oleh Muslim, “Hendaklah kalian berkata jujur karena ke­jujuran akan membawa kepada kebajikan. Dan sesungguhnya kebajikan akan membawa menuju surga.”
Dalam konteks ayat ini belum dikatakan sebagai sebuah amal/perbuatan itu dikatagorikan al-birru (kebajikan) sehingga perbuatan/amal itu menuntut pengorbanan. Tidak hanya sekadar kata-kata saja atau slogan-slogan namun harus sampai kepada aksi yang berimplikasi kepada pengorbanan, tidak hanya pikiran, tenaga, jiwa namun juga sampai harta yang paling kita cintai.
Pelajaran yang kedua; menafkahkan, membelanjakan atau menginfaqkan harta dijalan Allah dengan harta yang terbaik atau barang-barang/harta yang paling dicintai oleh kita bersama. Bukan memberikan sesuatu yang kita sendiri sudah tidak kita pakai dan sudah tidak kita sukai karena barang tersebut sudah lama, rusak dan sudah tak berharga lagi bila dijual.
Pemahaman para sahabat dan para shalafusshalih yang mendalam terha­dap ayat tersebut di atas bisa kita perhatikan riwayat di bawah ini dalam tafsir Al Qurthubi.
1. Abu Thalhah
Beliau ini adalah sahabat Anshar yang paling banyak hartanya dan harta beliau yang sangat dicintai adalah kebun kurma Bi’run haa yang menghadap kearah masjid Nabi. Rasulullah sendiri juga sering masuk ke kebun terse­but dan meminum air dari mata air di dalam kebun tersebut. Juga menik­mati rimbunnya kebun dan semilirnya angin sehingga sangat nikmat sebagai tempat istirahat. Setelah mendengar ayat ini beliau menghadap Rasulullah dan berkata, “Sesungguhnya Allah meminta kepada harta-harta kita. Aku bersaksi kepadamu wahai Rasulullah bahwa aku menjadikan keridhaanku untuk Allah. Aku serahkan kebun ini ya Rasulullah. Kemudian Rasulullah bersabda,.”Bagus,bagus. Itu harta yang menguntungkan/berharga, itu adalah harta yang menguntungkan/berharga. Jadikanlah keridhaanmu itu untuk kerabatmu, yaitu Hasan bin Tsabit dan Ubay bin Ka’ab. Lalu Abu Thalhah membagi-bagikan hartanya kepada itu kepada sanak kerabatnya dan anak-anak pamannya.”
2. Zaid bin Haritsah
Begitu mendengar ayat tersebut maka beliau menyerahkan atau mengin­faqkan hartanya yang paling dicintainya yaitu seekor kuda yang beliau sebut dengan panggilan “sabal”. Beliau berkata, “Ya Allah, Engkau Maha Menge­tahui bahwa aku tidak memiliki harta yang lebih aku cintai dari kudaku ini”. Dia pun lalu mendatangi Rasulullah dan berkata, “Kuda ini aku shadaqahkan di jalan Allah”. Rasulullah pun berkata kepada Usamah bin Zaid, ikatlah kuda itu. Zaid melakukan itu atas kesadaran dirinya sendiri. Rasulullah bersabda,”Sesungguhnya Allah telah menerima infaq dari kamu itu.”
3. Ibnu Umar
Beliau menginfaqkan harta paling dicintainya saat itu yaitu seorang budak yang sangat cantik yang beliau sangat sayangi bernama Nafi’, namun karena mendengar ayat tersebut di atas serta merta beliau segera merdekakan budak tersebut, walau secara manusiawi beliau sangat berat namun karena perintah Allah sehingga mengalahkan segala keinginan pribadi.
4. Umar bin Abdul Azis
Beliau membeli beberapa gula dan beliau infaqkan gula tersebut. Lalu di­katakan kepadanya, “Apakah kamu berinfaq dengan harga gula itu?”. Beliau menjawab, “Karena gula adalah makanan yang paling aku sukai dan aku sangat ingin berinfaq dengan apa yang aku sukai.”
Pemahaman yang mendalam terhadap ayat-ayat Al Quran sebagai per­intah Allah dan disiplin dalam menjalan perintah Allah itulah yang membuat generasi sahabat dan para shalafusshalih berbeda dengan kita bersama saat ini. Namun, itu bukan menjadi alasan bahwa kita tidak mampu melaksanakan perintah Allah dalam QS. Ali Imran [3]: 92 itu dalam kehidupan nyata saat ini. Untuk itu dibutuhkan pemahaman, keikhlasan dan kesungguhan dalam men­jalan perintah Allah agar mampu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana Rasulullah dan para sahabatnya menerapkan.
Riwayat tersebut di atas menggambarkan bagaimana sahabat menjalankan perintah Allah yang bersifat sunnah. Kita bisa bayangkan bagaimana mereka menjalankan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah, tentunya sangat lebih bersemangat dan disiplin. Dan kita bisa bayangkan bagaimana mereka menjalan kewajiban zakat, tentunya sangat semangat dan semarak. Semoga kita mampu mengikuti para sahabat dan para salafusshalih dalam menjalan perintah Allah yang bersifat sunnah maupun wajib, terutama dalam menun­aikan kewajiban zakat karena sebagai instrument kesejahteraan sosial dalam Islam yang sangat strategis peranannya. Wallahu a’lam bisshawab.
Ditulis Oleh : dr. Naharus Surur, M.Kes (Ketua Bidang Jaringan BAZNAS)

Realisasi Zakat Pengurang Penghasilan Kena Pajak di Daerah




Tanda Terima Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajakbagi wajib pajak. Sumber: internet.
Dalam sistem pengelolaan zakat di negara kita, tugas pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat dilakukan sesuai ketentuan agama serta memperhatikan prinsip kewilayahan. Badan amil zakat di semua wilayah memiliki ruang lingkup kewenangan pengumpulan zakat sesuai tingkatannya dan tidak tersentralisasi. Tetapi dari segi kekuatan hukum sebagai organisasi pengelola zakat maupun bukti setor zakat yang dikeluarkannya, tidak ada perbedaan antara badan amil zakat di pusat dan di daerah. Badan amil zakat di semua tingkatan memiliki kekuatan hukum yang sama.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999, BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional. BAZNAS yang dimaksudkan bukan hanya BAZNAS yang dibentuk di tingkat pusat, melainkan juga BAZNAS yang dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia dengan keputusan Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 mempertegas asas pengelolaan zakat, salah satunya ialah asas “terintegrasi”.
Dalam kaitan zakat dan pajak, sesuai perundang-undangan yang berlaku, pembayaran zakat yang  diperhitungkan sebagai komponen pengurang penghasilan kena pajak atau dalam peraturan perpajakan disebut “pengurang penghasilan bruto” berlaku secara nasional. Namun dalam realisasinya saat ini masih terdapat persepsi yang berbeda, seolah itu hanya berlaku terhadap pembayaran zakat dan bukti setor zakat yang dikeluarkan oleh BAZNAS pusat saja. Kami banyak mendapat laporan bahwa di daerah-daerah, bukti setor zakat yang dikeluarkan oleh BAZDA Provinsi atau BAZDA Kabupaten/Kota (sekarang namanya masih BAZDA) belum diterima sebagai bukti pengurang penghasilan kena pajak dalam pengisian SPT Tahunan Wajib Pajak orang pribadi.
Oleh karena itu, diperlukan kesepahaman yang sama pada semua Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dalam penerapan ketentuan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Pada sisi lain Badan amil zakat di daerah juga harus memperhatikan bukti setor zakat yang dikeluarkan haruslah sesuai dengan standar sebagai bukti pengurang penghasilan kena pajak dalam lampiran SPT Tahunan  sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Penting diketahui oleh setiap muzaki bahwa sesuai pemberitahuan dari Direktur Jenderal Pajak bahwa tidak ada pemeriksaan terhadap muzaki (pembayar zakat) jika mendapat pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Direktorat Jenderal Pajak menegaskan bahwa terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang ketika penyampaian SPT Tahunan PPh yang menyatakan kelebihan bayar (termasuk lebih bayar karena pemotongan zakat), niscaya akan dilakukan pengembalian kelebihan pembayaran pajaknya tanpa melalui pemeriksaan, tetapi cukup dengan penelitian oleh pegawai pajak.
Memang harus diakui, sosialisasi dan penyuluhan zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak (pengurang penghasilan bruto) masih belum optimal. Hal itu bukan hanya tugas Kementerian Agama dan BAZNAS, tapi juga tugas Direktorat Jenderal Pajak di seluruh Indonesia.
Sebagaimana ditulis dalam rubrik ini pekan lalu bahwa bagi umat Islam, zakat dan pajak merupakan dua kewajiban yang paralel. Kami sering mengatakan dalam berbagai kesempatan sosialisasi zakat, sebetulnya menghitung zakat itu mudah dan tidak sulit, yang sulit ialah mengeluarkan zakat. Pajak juga sama halnya, yang berat ialah membayar pajak secara jujur dan benar. Dalam hubungan ini, kejujuran merupakan prasyarat  utama, tapi kejujuran bukan hanya dituntut dari muzaki dan Wajib Pajak ketika menghitung sendiri kewajiban zakat dan penghasilan yang dilaporkan selaku Wajib Pajak. Kejujuran juga harus membudaya sebagai karakter seluruh petugas zakat (amilin) dan petugas pajak dalam menjalankan tugasnya. Dengan modal kejujuranlah kita bisa mengoptimalkan peran dan kontribusi zakat dan pajak untuk membangun kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
 Wallahu a’lam bisshawab.     
Ditulis oleh: Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc

Program Lembaga Zakat Untuk Proteksi Penduduk Miskin




Anak-anak yatim peserta didik Rumah Pintar BAZNAS Ciapus, Bogor sedang mendapat pelatihan keterampilan oleh pembimbing. Program ini merupakan wujud komitmen BAZNAS untuk menyalurkan dana zakat pada delapan asnaf, termasuk menyiapkan masa depan anak-anak dari kalangan kurang mampu.
Mengikuti perkembangan yang terjadi di tanah air dan berkaca dari pengalaman setiap muncul rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu menimbulkan efek domino berupa gejolak harga kebutuhan dan biaya hidup yang menimbulkan himpitan ekonomi pada golongan masyarakat menengah ke bawah. Penundaan keputusan kenaikan harga BBM bersubsidi patut disambut dengan perasaan lega, namun diharapkan mampu memberi tekanan terhadap penurunan harga barang kebutuhan masyarakat yang terlanjur merambat naik.
Dalam situasi seperti ini rakyat kecil tidak punya pilihan lain, kecuali  “pasrah” dengan apapun keputusan Pemerintah dan DPR-RI. Namun yang harus diperhitungkan secara matang dari segala sudut pandang, termasuk sudut pandang hati nurani, adalah dampak inflasi menjadi berlipat dan menambah jumlah penduduk miskin, karena menurunnya daya beli, naiknya tarif pelayanan transportasi terpukulnya dunia usaha serta potensi munculnya pengangguran baru. Kompensasi pemerintah atas kenaikan harga BBM tidak dipungkiri merupakan kebijakan yang pro-rakyat. Namun kompensasi yang diberikan pemerintah memiliki keterbatasan dalam memproteksi penduduk miskin atau berpenghasilan menengah ke bawah ketika harus menerima dampak apabila harga BBM tetap dinaikkan.
Salah satu ulama terkemuka Dunia Islam, Dr. Yusuf Qaradhawi dalam buku Musykilah Al Faqr Wakaifa ‘Aalajaha al Islam menjelaskan enam sarana dalam Islam yang berfungsi untuk mengatasi masalah kemiskinan kapan dan dimanapun, yaitu: Pertama, bekerja. Kedua, jaminan keluarga/kerabat yang berkelapangan. Ketiga, zakat. Keempat, jaminan Baitulmal dari negara dengan segala sumbernya. Kelima,berbagai kewajiban di luar zakat, dan Keenam, sedekah sukarela. Menurut Qaradhawi, zakat sebagai sistem jaminan sosial dalam pengentasan kemiskinan mengisi posisi yang sangat penting karena dalam pandangan Islam, setiap individu seharusnya dapat hidup secara layak di tengah masyarakat sebagai manusia. Sekurang-kurangnya dapat memenuhi kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan memperoleh pekerjaan.
Dalam kondisi masyarakat yang rawan atau tercancam kemiskinan, peran lembaga zakat tentu diharapkan harus lebih aktif menggulirkan program-program yang responsif terhadap  kebutuhan para mustahik. Alokasi penyaluran dana zakat, infaq dan sedekah untuk bantuan bersifat karitas dalam situasi sekarang ini perlu diperbesar dan diperluas sasarannya dalam rangka proteksi penduduk miskin.
Harapan yang tinggi kepada lembaga zakat sebagai pemberi solusi bagi masyarakat yang membutuhkan proteksi selaku mustahik harus kita respon dengan peningkatan pelayanan. Pelayanan lembaga zakat harus memudahkan akses para mustahik untuk memperoleh hak-haknya dari dana zakat. Sekaligus juga dibutuhkan dukungan dari para muzaki, baik perorangan maupun lembaga/badan usaha agar menyalurkan zakat, infaq dan sedekah yang lebih besar guna mendukung program-program lembaga zakat.
Dalam kaitan ini BAZNAS mengajak BAZ di daerah dan LAZ untuk bisa memberikan solusi membantu masyarakat yang terkena dampak psikologis dan ekonomis dari isu kenaikan harga BBM. Sewaktu-waktu harga BBM masih diperkirakan bisa naik jika harga minyak dunia melebihi harga tertentu. Pemberian dana zakat konsumtif bisa menjadi solusi jangka pendek untuk membantu masyarakat miskin. Untuk memaksimalkan pendistribusian zakat, lembaga zakat dapat bekerjasama dengan masjid di wilayah masing-masing.
Potensi zakat yang cukup besar dan kesadaran berzakat yang semakin meningkat di negara kita merupakan sumber harapan dan optimisme kita semua yang dapat “membantu” menyantuni dan memberdayakan masyarakat miskin di tengah gejolak perekonomian nasional dan ketidakstabilan pasar disebabkan lemahnya peran negara.
Wallahu a’lam  bisshawab.  
Ditulis oleh: Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc

Membangun Komunitas Zakat Untuk Kesejahteraan Masyarakat




Sejak beberapa tahun terakhir, kesadaran masyarakat untuk berzakat di tanah air kita cukup tinggi. Hal itu antara lain ditunjukkan dengan meningkatnya penerimaan dana zakat, infaq dan shadaqah yang dihimpun dari masyarakat pada hampir semua lembaga zakat. Jika kesadaran tersebut, baik di level perorangan maupun institusi/perusahaan (korporasi) terus tumbuh untuk menunaikan zakat, maka output yang dicapai insya Allah akan lebih signifikan. Artinya, kontribusi zakat dalam mengatasi masalah kemiskinan dan problema sosial lainnya di negara kita, seperti sering terungkap melalui berbagai hasil penelitian dan kajian, akan terwujud sebagaimana diharapkan.
Dalam rangka penguatan dan pembinaan kesadaran berzakat yang bersifat masif, konsisten dan total, perlu membangun apa yang disebut sebagai “komunitas zakat”. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Badudu-Zain (Pustaka Sinar Harapan, 1994), komunitas diartikan “sebagai kesatuan yang terdiri atas individu-individu; (dan) masyarakat.”Sesuai pengertian menurut bahasa, maka yang dimaksud dengan istilah komunitas zakat disini adalah kesatuan yang terdiri atas individu-individu dan masyarakat yang sadar, peduli, bertanggung jawab, dan memiliki keterlibatan secara moral, pemikiran dan operasional dalam perzakatan, baik selaku muzaki, amil, mustahik, pemerintah, media massa, dan seterusnya.
Untuk membangun komunitas zakat sebagaimana dimaksud di atas, amil merupakan salah satu komponen yang memiliki peranan dan tanggung jawab strategis. Oleh karena itu, perekrutan amil tidak boleh dilakukan secara sembarangan dan tanpa kriteria yang jelas, tetapi amil harus memenuhi syarat memiliki dasar agama yang kuat, akhlakul karimah, kompetensi pengetahuan tentang fiqih zakat dan tata kelolanya, memiliki kecerdasan secara intelektual, emosional, sosial dan spiritual, dan memiliki kemauan untuk terus belajar dalam rangka penunjang tugas keamilan. Di samping itu, amil juga harus pandai memanfaatkan media, seperti media cetak, elektronik maupun “jejaring sosial” dalam rangka sosialisasi dan edukasi zakat.
Di samping itu, hubungan dan pola komunikasi yang harus terbina antara amil dengan muzakki maupun mustahik, bukan hanya hubungan transaksional, yakni menerima pembayaran zakat, mengadministrasikan dan menyalurannya, akan tetapi amil sekaligus harus mampu berperan sebagai “sahabat spiritual”(meminjam istilah Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Wakil Menteri Agama) bagi para muzakki dan mustahik yang dilayaninya.
Selanjutnya untuk menggali potensi zakat yang besar di negara kita, menurut penelitan tahun 2011 mencapai Rp 217 triliun per tahun, paling tidak diperlukan empat langkah yang harus dilakukan secara simultan.
Pertama, sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait dengan hukum dan hikmah zakat, harta objek zakat sekaligus tata cara perhitungannya, serta kaitan zakat dengan pajak.
Kedua, penguatan keamilan, sebagaimana telah dijelaskan dimuka, karena amil adalah “tulang punggung” dalam pengelolaan zakat. Kinerja amil akan menjadi cerminan keberhasilan pengelolaan zakat. Untuk itu, amil perlu memiliki data base mustahik dan muzaki yang akurat dan up to date sehingga pengumpulan dan penyaluran zakat dapat dipetakan dengan baik.
Ketiga, penyaluran zakat yang tepat sasaran sesuai dengan ketentuan syariah dan memperhatikan aspek-aspek manajemen yang transparan. Misalnya, zakat di samping diberikan secara konsumtif untuk memenuhi kebutuhan primer secara langsung (QS Al-Baqarah : 273), juga diberikan untuk meningkatkan kegiatan usaha dan kerja mustahik/zakat produktif (al-hadist).
Keempat, sinergi dan koordinasi atau
taawun baik antarsesama amil zakat (tingkat daerah, nasional, regional, dan internasional) maupun dengan komponen umat yang lain seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), lembaga-lembaga pemerintah, organisasi-organisasi Islam, lembaga pendidikan Islam, perguruan tinggi, media massa, dan lain-lain.
Keempat langkah di atas merupakan agenda utama dan agenda bersama yang tidak dapat dipisahkan dari upaya membangun komunitas zakat di tanah air kita.
Wallahu a’lam bishawab.
Ditulis oleh Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc (Ketua Umum BAZNAS)