“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan, sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS.Ali Imran [3] :92)
Islam memberikan koridor dalam penggunaan, membelanjakan atau menginfaqkan harta yang dimiliki setiap orang beriman. Harta yang kita miliki harus dimaknai sebagai harta yang dititipkan kepada kita agar mampu hidup di dunia sebagai fasilitas manusia yang menjadi Khalifah di muka bumi ini.
Bila kita pelajari ayat yang tersebut di atas, maka kita mendapatkan beberapa pelajaran; Pertama: al-Birru (kebajikan); dalam tafsir Al Qurthubi dikatakan bahwa al-Birru itu bermakna beberapa hal. Yang pertama bermakna Surga, kedua yang menurut Ibnu Ma’ud dan Ibnu Abbas kata yang sebenarnya adalah “Kalian tidak akan memperoleh ganjaran/pahala kebajikan hingga kalian menginfaqkan apa yang kalian cintai”. Sehingga maknanya adalah: Kalian tidak akan sampai ke Surga dan memperolehnya hingga kalian menginfaqkan apa yang kalian cintai. Yang ketiga bermakna Amal Shalih. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, “Hendaklah kalian berkata jujur karena keÂjujuran akan membawa kepada kebajikan. Dan sesungguhnya kebajikan akan membawa menuju surga.”
Dalam konteks ayat ini belum dikatakan sebagai sebuah amal/perbuatan itu dikatagorikan al-birru (kebajikan) sehingga perbuatan/amal itu menuntut pengorbanan. Tidak hanya sekadar kata-kata saja atau slogan-slogan namun harus sampai kepada aksi yang berimplikasi kepada pengorbanan, tidak hanya pikiran, tenaga, jiwa namun juga sampai harta yang paling kita cintai.
Pelajaran yang kedua; menafkahkan, membelanjakan atau menginfaqkan harta dijalan Allah dengan harta yang terbaik atau barang-barang/harta yang paling dicintai oleh kita bersama. Bukan memberikan sesuatu yang kita sendiri sudah tidak kita pakai dan sudah tidak kita sukai karena barang tersebut sudah lama, rusak dan sudah tak berharga lagi bila dijual.
Pemahaman para sahabat dan para shalafusshalih yang mendalam terhaÂdap ayat tersebut di atas bisa kita perhatikan riwayat di bawah ini dalam tafsir Al Qurthubi.
1. Abu Thalhah
Beliau ini adalah sahabat Anshar yang paling banyak hartanya dan harta beliau yang sangat dicintai adalah kebun kurma Bi’run haa yang menghadap kearah masjid Nabi. Rasulullah sendiri juga sering masuk ke kebun tersebut dan meminum air dari mata air di dalam kebun tersebut. Juga menikmati rimbunnya kebun dan semilirnya angin sehingga sangat nikmat sebagai tempat istirahat. Setelah mendengar ayat ini beliau menghadap Rasulullah dan berkata, “Sesungguhnya Allah meminta kepada harta-harta kita. Aku bersaksi kepadamu wahai Rasulullah bahwa aku menjadikan keridhaanku untuk Allah. Aku serahkan kebun ini ya Rasulullah. Kemudian Rasulullah bersabda,.”Bagus,bagus. Itu harta yang menguntungkan/berharga, itu adalah harta yang menguntungkan/berharga. Jadikanlah keridhaanmu itu untuk kerabatmu, yaitu Hasan bin Tsabit dan Ubay bin Ka’ab. Lalu Abu Thalhah membagi-bagikan hartanya kepada itu kepada sanak kerabatnya dan anak-anak pamannya.”
2. Zaid bin Haritsah
Begitu mendengar ayat tersebut maka beliau menyerahkan atau menginÂfaqkan hartanya yang paling dicintainya yaitu seekor kuda yang beliau sebut dengan panggilan “sabal”. Beliau berkata, “Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui bahwa aku tidak memiliki harta yang lebih aku cintai dari kudaku ini”. Dia pun lalu mendatangi Rasulullah dan berkata, “Kuda ini aku shadaqahkan di jalan Allah”. Rasulullah pun berkata kepada Usamah bin Zaid, ikatlah kuda itu. Zaid melakukan itu atas kesadaran dirinya sendiri. Rasulullah bersabda,”Sesungguhnya Allah telah menerima infaq dari kamu itu.”
3. Ibnu Umar
Beliau menginfaqkan harta paling dicintainya saat itu yaitu seorang budak yang sangat cantik yang beliau sangat sayangi bernama Nafi’, namun karena mendengar ayat tersebut di atas serta merta beliau segera merdekakan budak tersebut, walau secara manusiawi beliau sangat berat namun karena perintah Allah sehingga mengalahkan segala keinginan pribadi.
4. Umar bin Abdul Azis
Beliau membeli beberapa gula dan beliau infaqkan gula tersebut. Lalu dikatakan kepadanya, “Apakah kamu berinfaq dengan harga gula itu?”. Beliau menjawab, “Karena gula adalah makanan yang paling aku sukai dan aku sangat ingin berinfaq dengan apa yang aku sukai.”
Pemahaman yang mendalam terhadap ayat-ayat Al Quran sebagai perintah Allah dan disiplin dalam menjalan perintah Allah itulah yang membuat generasi sahabat dan para shalafusshalih berbeda dengan kita bersama saat ini. Namun, itu bukan menjadi alasan bahwa kita tidak mampu melaksanakan perintah Allah dalam QS. Ali Imran [3]: 92 itu dalam kehidupan nyata saat ini. Untuk itu dibutuhkan pemahaman, keikhlasan dan kesungguhan dalam menjalan perintah Allah agar mampu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana Rasulullah dan para sahabatnya menerapkan.
Riwayat tersebut di atas menggambarkan bagaimana sahabat menjalankan perintah Allah yang bersifat sunnah. Kita bisa bayangkan bagaimana mereka menjalankan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah, tentunya sangat lebih bersemangat dan disiplin. Dan kita bisa bayangkan bagaimana mereka menjalan kewajiban zakat, tentunya sangat semangat dan semarak. Semoga kita mampu mengikuti para sahabat dan para salafusshalih dalam menjalan perintah Allah yang bersifat sunnah maupun wajib, terutama dalam menunÂaikan kewajiban zakat karena sebagai instrument kesejahteraan sosial dalam Islam yang sangat strategis peranannya. Wallahu a’lam bisshawab.
Ditulis Oleh : dr. Naharus Surur, M.Kes (Ketua Bidang Jaringan BAZNAS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar