Tulisan Berjalan

SUKSES KOMUNITAS MAJU JOS, AKHIRNYA BIMBINGAN DIGITAL MARKETING SECARA GRATIS TANPA BATAS TELAH MEMBERI MANFAAT BESAR

Selasa, 07 Februari 2012

Ada Apa Dengan Ayat Kursi ?


H. Muhammad Widus Sempo, MA

Ada Apa dengan Ayat Kursi?

27/12/2011 | 02 Shafar 1433 H | Hits: 5.941
Oleh: H. Muhammad Widus Sempo, MA
Kirim Print
Ilustrasi (jualkhat.wordpress.com)
dakwatuna.com - Firman Allah SWT:
اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ ﴿٢٥٥﴾
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 255)
Sebelum terlalu jauh menelaah kandungan makna Ayat Kursi, hemat penulis, seyogianya menelusuri pemberitaan hadits tentang kemuliaannya.
Sabda Rasul SAW:
عَنْ أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ e: «يَا أَبَا الْمُنْذِرِ، أَتَدْرِى أَىُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ؟» قَالَ: قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: «يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِى أَىُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ؟». قَالَ: قُلْتُ: اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ. قَالَ: فَضَرَبَ فِى صَدْرِى، وَقَالَ «وَاللَّهِ لِيَهْنِكَ الْعِلْمُ أَبَا الْمُنْذِر»[[1]].
“Ubayyi bin Ka’b berkata: Rasul Saw bersabda: (Wahai Abu al-Mundzir! Apakah Anda tahu ayat yang mana di kitab Allah SWT yang paling agung?). Aku menjawab: hanya Allah dan Rasul-Nya yang tahu. Dia kemudian berkata lagi: (Wahai Abu al-Mundzir! Apakah Anda tahu ayat yang mana di kitab Allah SWT yang paling agung?). Aku menjawab: اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ, maka beliau pun menepuk dadaku dan berkata: (semoga engkau mudah menimba ilmu dan kelak menjadi alim, wahai Abu al-Mundzir!)”[[2]]
Dan sabdanya:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ t: أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ e قَالَ: «سُوْرَةُ البَقَرَةِ فِيْهَا آَيَةٌ سَيِّدَةُ آَيِ الْقُرْآنِ، لاَ تُقْرَأُ فِيْ بَيْتٍ، وَفِيْهِ شَيْطَانٌ إِلاَّ خَرَجَ مِنْهُ: آيَةُ الكُرْسِيِّ».
“Abu Hurairah RA berkata: Rasul Saw bersabda: (di Surah Al-Baqarah terdapat ayat yang merupakan Sayyidah (ratu, miss universe) ayat-ayat Al-Qur’an, dia tidak dibaca di dalam sebuah rumah yang dihuni setan, kecuali setan tersebut keluar. Ayat itu adalah Ayat Kursi.)”[[3]]
Kedua periwayatan tersebut menggarisbawahi kemuliaan Ayat Kursi dengan memberi dua label kemuliaan: Pertama: ayat yang paling agung, dan kedua: Sayyidah ayat-ayat Al-Qur’an. Tentunya, ini mengundang tanya: “ada apa dengan Ayat Kursi? Makna apa yang dibiaskan ke alam kehidupan manusia sehingga dia mendapatkan kemuliaan seperti ini?”
Hemat penulis, Dia miss universe ayat-ayat Al-Qur’an karena mengoleksi makna ketauhidan yang sempurna. Di sana ada ketauhidan zat, nama dan sifat-sifat Allah SWT. Olehnya itu, bukan hal yang aneh jika di pentas ayat-ayat ketauhidan dia mendapatkan kehormatan dan keagungan. Dia telah mementaskan pesona makna-makna ketauhidan yang tidak ditemui pada ayat-ayat lain.
Telaah seperti ini telah disuarakan sejak dini oleh Imam al-Ghazali, beliau berkata:
“tujuan utama ilmu-ilmu Al-Qur’an adalah untuk mengetahui Allah, zat dan sifat-sifat-Nya. Sementara itu, Ayat Kursi menyebutkan zat, sifat dan perbuatan Allah SWT yang tidak disinggung oleh ayat-ayat lain. Olehnya itu, dia Sayyidah ayat-ayat Al-Qur’an.
Firman-Nya: (الله) menunjukkan zat-Nya, firman-Nya: (لاَ إَلهَ إِلاَّ هُوَ) mengisyaratkan ketauhidan zat, dan firman-Nya: الْحَيُّ القَيُّوْمُ)) menegaskan sifat zat dan kemuliaannya. القَيُّوْمُ)) Yang berdiri sendiri, tidak tergantung kepada zat lain, dan tempat bergantung semua entitas kehidupan. Tentunya, yang demikian itu puncak dari sebuah kemuliaan dan keagungan.
Firman-Nya: (لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ) menyuguhkan penyucian dan kemuliaan terhadap-Nya dari segala sifat kemusnahan (seperti sifat-sifat makhluk) yang mustahil didapatkan dalam diri-Nya, firman-Nya: (لَهُ مَا فِيْ السَّموَاتِ وَمَا فِيْ الأَرْضِ) isyarat terhadap kepemilikan mutlak. Sesungguhnya dari Dia segala sesuatu, dan kepada-Nya tempat kembali segala sesuatu, dan firman-Nya: (مَنْ ذَ الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ) isyarat terhadap kepemilikan tunggal atas kekuasaan dan hukum. Sesungguhnya barang siapa yang memiliki hak memberi syafaat, maka ia pun memiliki dengan sendirinya hak untuk memuliakan diri-Nya. Tentunya, ini menunjukkan kepemilikan tunggal terhadap kekuasaan dan hukum-Nya dan menafikan dari diri-Nya persekutuan dengan makhluk apapun terhadap kepemilikan tersebut.
Firman-Nya: يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِم وَمَا خَلْفَهُمْ، وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ)) menegaskan sifat ilmu Allah SWT yang meliputi segala sesuatu dan menafikan ilmu terhadap yang lain, kecuali ilmu itu sendiri datang dari-Nya sebagai bentuk anugerah terhadap hamba sesuai dengan keinginan-Nya, firman-Nya: (وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّموَاتِ وَالأَرْضِ) pernyataan terhadap keagungan dan kesempurnaan kekuasaan-Nya. Di sana masih banyak rahasia yang terselubung di balik makna (الكُرْسِيِّ), sifatnya, dan bagaimana ia meliputi langit dan bumi, yang karena keterbatasan tingkat pengetahuan manusia, maka di sini tidak dijelaskan, [[4]] dan firman-Nya: (وَلاَ يَؤُوْدُهُ حِفْظُهُمَا) isyarat terhadap sifat-sifat kekuatan Allah SWT (qudrah) dan penyucian terhadap-Nya dari segala bentuk kelemahan dan kekurangan.
Firman-Nya: (وَهُوَ العَلِيُّ العَظيْمُ) isyarat terhadap ketinggian dan keagungan kedua sifat Allah itu sendiri yang tidak pernah habis memberikan pemaknaan bagi mereka yang ingin mengais darinya makna-makna ketauhidan.
Sekarang, jika Anda menelaah koleksi makna-makna ini, kemudian Anda membaca ayat-ayat Al-Qur’an, saya pastikan Anda tidak akan menjumpai kumpulan makna ketauhidan, penyucian, dan penjelasan ketinggian sifat-sifat-Nya seperti apa yang ada dalam Ayat Kursi. Olehnya itu, sangat wajar jika ia digelar sebagai Sayyidah ayat-ayat Al-Qur’an.”[[5]]
Jika kita kembali menengok Ayat Kursi, maka ia akan memperlihatkan 10 penggalan kalimat [[6]] yang memberikan pemaknaan tersendiri. Olehnya itu, Ayat kursi tidak menggunakan huruf (و) yang berarti: (dan) sebagai kata penghubung antara satu penggalan kalimat dengan kalimat lain. Sistematika seperti ini telah menjadi kaidah baku dalam menyusun rangkaian kalimat. Mereka sepakat bahwa kalimat yang berdiri sendiri dalam memberikan pemaknaan jika dihubungkan dengan kalimat lain dengan kata penghubung akan melahirkan kerancuan.
Jarullâh az-Zamakhsyari berkata:
“jika Anda bertanya: “Bagaimana penggalan-penggalan kalimat Ayat kursi terangkai tanpa menggunakan kata penghubung?”
Saya menjawab: “tidak ada satu penggalan kalimat pun dalam ayat itu kecuali datang memberikan penjelasan tersendiri. Dan penjelasan mereka terpadu dan menyatu terhadap apa yang dijelaskan. Seandainya antara satu penggalan kalimat dengan kalimat lain disisipi kata penghubung, maka keterpaduan yang harmonis tersebut dalam memberikan pemaknaan akan rusak.””[[7]]
Maka dari itu, Wajar jika Dr. Majidah Muhammad Mohna dalam kupasannya menyimpulkan bahwa ada empat sebab utama yang melatarbelakangi penamaan Ayat Kursi sebagai ratu ayat-ayat Al-Qur’an:
Pertama: Ayat kursi mencakup Zat Allah yang Agung, sifat-sifatnya, dan 11 kata ganti (dhamir هُوَ, dan هُ) yang berarti: (dia, atau Nya). Semua kata ganti ini kembali kepada Zat Allah yang Mulia (الله).
Tentunya, semua ayat-ayat di dalam Al-Qur’an mengikut ke Ayat Kursi, seperti ayat-ayat kisah, perumpamaan, ancaman dan janji, kabar gembira dan buruk, perintah dan larangan. Yang demikian itu karena segala sesuatu selain daripada Zat Allah mengikut kepada-Nya, bukan hanya itu, tapi semua sifat-sifat Allah yang terdapat di beberapa tempat disatukan dalam ayat ini.
Kedua: Dengan 11 kata ganti tersebut Ayat Kursi seperti menutupi Zat dan kesempurnaan sifat-sifat Allah dengan tirai misteri yang mengundang para pemerhati tema-tema Al-Qur’an untuk mengungkap rahasia ketauhidan di balik tirai maknawi tersebut. Olehnya itu, penyebutan kata ganti berkali-kali menyimpan rahasia-rahasia yang butuh penalaran lebih lanjut. Para sufi meyakini bahwa dengan menyebut (هُوَ) berulang kali, seseorang bisa saja merasakan dirinya seperti di alam lain yang diselimuti oleh cahaya-cahaya ketauhidan, berlayar di lautan makna yang tidak bertepi dan hanyut dalam penghayatan. Jika kondisi seperti ini berlangsung lama maka orang tersebut boleh jadi hanya menyebut (هُ), tanda bahwa dia benar-benar hanyut dan tenggelam di lautan ketauhidan yang memukau.
Kedua: Kemuliaan Ayat Kursi dari ayat-ayat lain memberi indikasi kuat bahwa ciptaan-ciptaan Allah bukan pada satu tingkat. Setiap dari mereka punya keistimewaan tersendiri dari yang lain. Itu wajar saja karena yang memberi kemuliaan dan keistimewaan adalah Allah yang jika berkehendak pasti terjadi.
Keempat: yang memberikan penamaan terhadap Ayat Kursi dengan nama Sayyidah adalah Rasul Saw. Tentunya ini menunjukkan bahwa nama itu mulia, dan jika nama mulia pasti yang menyandang penamaan tersebut juga ikut mulia. [[8]]
Di penghujung tulisan singkat ini, saya mengajak pemerhati tema-tema keislaman untuk menyimpulkan makna-makna ketauhidan yang dipercikkan Ayat Kursi:
“Ayat Kursi adalah matahari ketauhidan yang menyinari kehidupan manusia. Di sana ada sapaan yang menyuarakan ketauhidan zat, nama dan sifat-sifat-Nya. Sejukkan rohani Anda dengan melantunkan ayat ini siang dan malam, pinang miss universe ayat-ayat Al-Qur’an tersebut dengan membuat diri Anda terbuai dan hanyut oleh ketinggian makna ketauhidan yang dipancarkan dan rahasia-rahasia kehidupan yang dikemas dan ditutupi oleh tabir maknawi. Mari bersama-sama budayakan cinta Ayat Kursi dan membacanya setiap hari!”

Catatan Kaki:
[1] Syekh Ali bin Sultân Muhammad al-Qârî berkata:
“sabdanya: (لِيَهْنِكَ الْعِلْمُ) dengan nada perintah. Asal kata kerja tersebut adalah: (لِيَهْنِئَكَ), huruf hamzahnya (ء) dijatuhkan supaya ringan diucapkan, artinya: (supaya engkau mudah menimba ilmu). Orang Arab sering sekali menggunakan kalimat tersebut dalam memberikan doa dan ucapan selamat, seperti: (لِيَهْنِئَكَ الْوَلَدُ), artinya: (semoga anakmu mendatangkan kebahagiaan terhadapmu dan keluarga). Ucapan Rasul Saw tersebut merupakan doa terhadap Abu al-Mundzir agar mudah baginya menuntut ilmu dan kelak menjadi alim. Tentunya, doa itu mengindikasikan bahwa dia seorang alim yang sarat dengan ilmu. Di lain sisi, ia juga menyiratkan kemuliaan orang yang berilmu pengetahuan.” [Lihat: Syekh Ali bin Sultân Muhammad al-Qârî, Mirqâtul al-Mâfâtîh syarh Misykâtul Mashâbîh, ditahkik oleh Syekh Jamal Aetâni, Dar Kutub Ilmiah, Beirut, cet. 1, 1422 H/2011 M, vol. 5, hlm. 19]
[2] Shahîh Muslim, Kitab Shalâtul Musâfirîn, bab Fadlu Surah Al-Kahfi wa Ãyat Al-Kursi, hadits. No: 1921, hlm. 374-375
[3] Imam al-Hakim, al-Mustadrak ala As-Shahîhain, kitab Tafsir, bab min Surah Al-Baqarah, hadits. No: 3085, vol. 2, hlm. 312
[4] yang terlihat oleh penulis dari pernyataan Imam al-Gazâli di atas adalah kecenderungan kuat beliau untuk tidak memberikan pemaknaan terlalu jauh terhadap (الكرسي). Di sini ulama berbeda pendapat dalam menyikapi mufradat-mufradat seperti itu (Mutasyabihat). Para Ulama Salaf (Sahabat, Tabiin dan generasi setelah Tabiin (Tabi’ Tabiin)) tidak terlalu jauh memberikan penta’wilan, bahkan di antara mereka ada yang tidak ingin menta’wilkan, mengingat zat Allah SWT di luar dari jangkauan pengetahuan manusia. Olehnya itu, karena zat-Nya tidak diketahui, maka sifat-sifat-Nya yang berkaitan dengan (الكرسي) pun tidak diketahui. Mereka mengatakan Allah SWT punya kursi yang sifat dan bentuknya hanya Dia yang tahu. Beda halnya dengan ulama yang datang setelah tiga kurun waktu tersebut, khususnya ulama-ulama sekarang, mereka berupaya menta’wilkan mufradat-mufradat seperti ini sesuai dengan konteks kalimat yang ada tanpa melanggar batasan-batasan Aqidah.
Syekh Abu Suud, salah seorang mufassir di zaman pemerintahan dinasti Utsmani, berkata:
“Di sana tidak ada kursi, duduk dan berdiri, tetapi itu adalah perumpamaan terhadap kebesaran dan kekuasaan Allah yang mutlak, serta ilmu-Nya yang menyeluruh.” [Lihat: Tafsir Syekh Abi as-Suud, vol. 1 hlm. 296]
Lain halnya dengan Imam Hasan al-Bashri, beliau melihat bahwa (الكرسي) di sini adalah Arsy, dan ini dilegitimasi oleh Syekh Ibn Asyur, beliau berkata:
“itulah penafsiran yang paling nampak, karena (الكرسي) tidak pernah disebutkan di dalam Al-Qur’an kecuali pada ayat ini, sementara Arsy penyebutannya berkali-kali, dan keduanya tidak pernah disebutkan bersamaan. Seandainya (الكرسي) itu bukan Arsy, maka pasti ia disebutkan bersamaan.” [Lihat: at-Tahrîr wa at-Tanwîr, vol. 3, hlm. 23]
[5] Lihat: Imam Abi Hâmid al-Ghazâli, Jawâhir Al-Qur’an wa Duraruh, ditahkik oleh Syekh Muhammad Rasyîd Ridhâ, Dar Ihya’ al-Ulum, cet. 3, 1411 H/1990 M, hlm. 73-75
[6] Inilah penggalan-penggalan kalimat tersebut: (الله),) لا إَلهَ إِلاَّ الله هُو الحَيُّ القَيُّوْمُ), (لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ), (لَهُ مَا فِيْ السَّموَاتِ وَمَا فِيْ الأَرْضِ), (مَنْ ذَ الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ), يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ)), (وَلاَ يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ), (وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّموَاتِ والأرْضَ), (وَلاَ يَؤُوْدُهُ حِفُظُهُمَا) dan (وَهُوَ العَلِيُّ العَظِيْمُ).
[7] Tafsir al-Kassyâf, vol. 1, hlm. 483
[8] Lihat: Dr. Majidah Muhammad Mohna, Khutuwât ala ash-Shirât al-Mustakîm (at-Tauhid), Matbaah as-Syarq al-Haditsah, Kairo, hlm. 100-101


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2011/12/17659/ada-apa-dengan-ayat-kursi/#ixzz1llYrD2Tk

Tidak ada komentar: