Keprihatinan Seorang Nabi
30/1/2012 | 06 Rabiul Awwal 1433 H | Hits: 1.009
Oleh: Musyafa Ahmad Rahim, Lc
dakwatuna.com - Di suatu waktu, terdengarlah “desah” nabi Zakariya – ‘alaihis-salam -: “Ya Allah Rabb-ku, sesungguhnya tulang belulangku sudah rapuh, kepalaku sudah menyala putih karena uban dan istriku mandul. Namun, ada satu hal yang membuat diriku khawatir, takut, cemas dan bersedih, yaitu, belum jelasnya seorang penggantiku, pelanjutku dan pewarisku, dan aku tidak pernah berputus asa untuk terus memohon dan memohon kepada-Mu, berikanlah kepadaku seorang pelanjut, seorang pengganti dan seorang pewaris, yang melanjutkan misi dan risalahku, misi keluarga besar nabi Ya’qub - ‘alaihis-salam -, pewaris yang akan membimbing, membina dan mendidik Bani Israil, membimbing dan membina mereka kepada ajaran-Mu”.
Bukan Soal Harta dan Kedudukan
Apa yang menjadi keprihatinan dan kepedihan nabiyullah Zakariya - ‘alaihis-salam – bukanlah soal masa depan makanan dan logistik Bani Israil, sebab ia yakin betul bahwa rezki, makanan, dan logistik Bani Israil sudah dijamin dan ditanggung Allah SWT.
Bukan pula soal jabatan dan kedudukan duniawi mereka, sebab mereka pasti akan menentukan pilihan mereka sendiri seandainya tidak ada ketentuan dari Allah SWT, dan sepertinya peminat dalam hal ini sangatlah banyak.
Bukan pula soal perjodohan laki dan perempuan di antara sesama mereka, sebab fitrah dan naluri mereka telah cukup untuk menggerakkan mereka dalam hal ini.
Bukan pula soal perhiasan-perhiasan dunia lainnya, sebab semua manusia telah tercipta dengan membawa kecenderungan terhadapnya.
Namun, yang menggelisahkan, mengkhawatirkan dan memprihatinkannya adalah soal statusnya sebagai juru dakwah, sebagai murabbi, sebagai pembimbing dan sebagai pembawa masyarakat kepada jalan yang lurus, jalan para nabi dan rasul, jalan para shiddiqin, syuhada dan shalihin, jalan yang telah digariskan Allah SWT untuk dititi dan dirambah umat manusia.
Dan pada kenyataannya, peran dan fungsi seperti inilah yang sedikit sekali peminatnya, berbeda dengan peminat harta, tahta dan jabatan, sehingga, meskipun pintu pendaftaran telah dibuka seluas-luasnya, berbagai bentuk targhib (penggemaran dan iming-iming bagi yang mau melakukan) serta tarhib (pemaparan hal-hal yang menakutkan bagi yang tidak mau melakukan) sudah dikemukakan, reward and punishment sudah dipaparkan, pada kenyataannya, yang mendaftarkan diri secara sukarela tetap saja sedikit, minim dan tidak sebanding dengan para peminat dan pendaftar peran dan fungsi lainnya.
Kenyataan seperti inilah yang membuat prihatin nabiyullah Zakariya - ‘alaihis-salam -
Untuk itulah, beliau sampaikan keprihatinan ini kepada Allah SWT, Dzat yang Maha Mendengar, Dzat yang Maha Mengabulkan, Dzat yang Maha Pengasih, Penyayang dan yang Maha Kuasa, Pencipta dan Pengatur seluruh alam.
Bukan Hanya Sekali Dua Kali
Penyampaian keprihatinan seperti ini bukan hanya sekali dua kali disampaikan nabi Zakariya - ‘alaihis-salam – kepada Allah SWT, tetapi, berkali-kali, sering dan terus menerus. Dan meskipun tanda-tanda terkabulkannya tidak segera kunjung tampak, namun dia terus menerus sampaikan keprihatinan itu, tidak ada kata putus asa, tidak pernah pupus dan sirna harapannya “walam akun bidu’aika Rabbi syaqiyya”.
Bukan hanya tidak berputus asa, tetapi, selalu memanfaatkan waktu, tempat dan moment-moment istijabah untuk mengulangi dan mengulangi lagi penyampaian keprihatinan dan permohonannya. Oleh karena itu, pada suatu hari, saat ia memasuki mihrab Maryam, dan dia dapati di sisi Maryam ada makanan dan minuman, dan setelah dia mendapatkan kepastian bahwa makanan dan minuman itu datang dari Allah SWT, yang berarti, kemungkinan besar, saat itu dan di tempat itu baru saja turun rahmat Allah SWT, dan sangat mungkin rahmat itu belum beranjak dari situ, maka seketika itulah sekali lagi ia panjatkan keprihatinan dan permohonannya kepada Allah SWT, agar Dia memberikan keturunan kepadanya, keturunan yang shalih, keturunan yang baik, yang akan mewarisi dan menjadi pelanjut dari misi dan tugasnya. “Hunalika da’a Zakariyya Rabbahu …”
Ia tidak peduli lagi dengan keadaan dirinya yang tua renta, tidak peduli lagi dengan kondisi istrinya yang mandul, yang secara teori tidak mungkin lagi memiliki keturunan, sebab ia yakin, rahmat dan kekuasaan Allah SWT jauh di atas semua teori tadi.
Berqudwah Kepada Nabi Zakariya
Al-Qur’an menceritakan kisah nabi Zakariya - ‘alaihis-salam – bukan sekedar menjadi hiburan, namun, untuk dijadikan ibrah, dan diikuti nilai-nilai ke-qudwah-annya.
Pos-pos jabatan struktural, alhamdulillah telah terisi secara cukup dan bahkan memadai.
Pos-pos jabatan publik, alhamdulillah banyak sekali yang berminat.
Namun, berapa banyak yang bermimpi dan berminat menjadi juru dakwah? Berapa besar pula minat dan animo masyarakat untuk menjadi murabbi? Siapakah dan berapakah yang menyambut seruan banyak ikhwah di daerah, di kampus, sekolah dan lainnya: “mana juru dakwah? Mana murabbi? Silakan datang ke sini!”
Tidakkah situasi ini mendorong kita untuk prihatin? Bersedih? Dan lalu mengadukannya kepada Allah SWT?
Tidakkah kenyataan ini mendorong kita untuk bekerja bersungguh-sungguh dalam menyiapkan dan memperbanyak jumlah juru dakwah dan murabbi? Sambil terus menerus dan tidak henti-hentinya berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar memberikan ketegaran dan keteguhan (tsabat) kepada kita dalam meniti jalan dakwah serta memudahkan segala urusan dakwah dan tarbiyah ini?
“Wa inni khiftul mawaliya min wara-i… fahab li min ladunka waliyyan yaritsuni…”
Barakallahu li walakum fil Qur’anil azhim wanafa’ani waiyyakum bima fihi minal ayati wadz-dzikril hakim, amiiin.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/01/18296/keprihatinan-seorang-nabi/#ixzz1llcNqD1T
Tidak ada komentar:
Posting Komentar