Tulisan Berjalan

SUKSES KOMUNITAS MAJU JOS, AKHIRNYA BIMBINGAN DIGITAL MARKETING SECARA GRATIS TANPA BATAS TELAH MEMBERI MANFAAT BESAR
Tampilkan postingan dengan label Ensiklopedi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ensiklopedi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 12 Juni 2012

Ensiklopedi Hukum Islam: At-Tabanni (Adopsi)



Ensiklopedi Hukum Islam: At-Tabanni (Adopsi)
 
Adopsi (ilustrasi).
REPUBLIKA.CO.ID, At-Tabanni atau adopsi adalah pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri. Anak adopsi disebut "anak angkat". Istilah adopsi dijumpai dalam lapangan hukum keperdataan, khususnya dalam lapangan hukum keluarga.

Adopsi atau pengangkatan anak sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW.

Mahmud Syaltut, Ahli Fikih Kontemporer dari Mesir, menjelaskan bahwa tradisi pengangkatan anak sebenarnya jauh sebelum Islam datang telah dikenal oleh manusia, seperti pada bangsa Yunani, Romawi, India dan berbagai bangsa pada zaman kuno. Di kalangan bangsa Arab sebelum Islam (masa jahiliyah), istilah ini dikenal dengan at-tabanni dan sudah ditradisikan secara turun-temurun.

Imam Al-Qurthubi, Ahli Tafsir Klasik, menyatakan sebelum kenabian, Rasulullah SAW sendiri pernah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anaknya. Bahkan tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya (Haritsah), tetapi diubah oleh beliau menjadi Zaid bin Muhammad.

Pengangkatan Zaid sebagai anaknya ini diumumkan oleh Rasulullah SAW di depan kaum Quraiys. Nabi SAW juga menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi. Zaid kemudian dikawinkan dengan Zainab binti Jahsy, putri Aminah binti Abdul Muthalib, bibi Nabi SAW. Oleh karenanya, Nabi SAW telah menganggapnya sebagai anak, maka para sahabat pun kemudian memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad.

Setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul, turunlah Surat Al-Ahzab ayat 4-5, yang salah satu intinya melarang pengangkatan anak dengan akibat hukum seperti di atas (saling mewarisi) dan memanggilnya sebagai anak kandung. Menurut Qurthubi, kisah di atas menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut.

Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa hukum Islam tidak mengakui lembaga anak angkat yang mempunyai akibat hukum seperti yang pernah dipraktikkan masyarakat jahiliyah; dalam arti terlepasnya ia dari hukum kekerabatan orang tua kandungnya dan masuknya ia ke dalam hukum kekerabatan orang tua angkatnya.

Hukum Islam hanya mengakui, bahkan menganjurkan, pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan anak (anak pungut dan anak asuh). Dalam hal ini status kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan keluarga orang tua angkatnya dan dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum apa-apa. Ia tetap anak dan kerabat dari orang tua kandungnya, berikut segala akibat-akibat hukumnya.

Ensiklopedi Hukum Islam: Ahlul Bait



Ensiklopedi Hukum Islam: Ahlul Bait
 




REPUBLIKA.CO.ID, Ahl artinya famili, keluarga, dan penghuni. Bait artinya rumah. Ahlul Bait adalah anggota keluarga Nabi Muhammad SAW.

Secara harfiah Ahlul Bait berarti anggota keluarga, famili, kerabat, atau penghuni sebuah rumah. Bagi masyarakat Arab pra-Islam, kata ini digunakan untuk sebuah keluarga dari suatu suku.

Dalam Alquran ditemukan tiga kali ungkapan Ahlul Bait. Petama, dalam surat Hud ayat 73 yang membicarakan kisah Nabi Ibrahim AS. Kedua, dalam surat Qasash ayat 12 yang membicarakan kisah Nabi Musa AS. Ketiga, dalam surat Al-Ahzab ayat 33 yang berbicara tentang ketentuan terhadap istri-istri Nabi Muhammad SAW.

Terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan siapa yang termasuk Ahlul Bait. Aliran salaf berpendapat bahwa yang termasuk Ahlul Bait adalah Nabi SAW, Ali bin Abi Thalib, Fatimah Az-Zahra, Hasan, Husein, dan istri-istri Nabi SAW.

Pendapat ini berdasarkan kepaa hadits dari Ummu Salamah—salah seorang istri Nabi SAW—yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Al-Hakim, Ibnu Mardawaih, dan Al-Baihaqi.

Dalam riwayat ini dikatakan bahwa ayat Ahlul Bait (QS. Al-Ahzab: 33) turun di rumah Ummu Salamah. Ketika itu di dalam rumah ada Ummu Salamah, Fatimah Az-Zahra, Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husein. Lalu Rasulullah memuliakan mereka dengan pakaian yang ada padanya sambil berkata, "Mereka adalah Ahlul Baitku."

Dalam hadits dari Ummu Salamah yang lain dikatakan bahwa ketika turun ayat 33 dari surat Al-Ahzab tersebut, di rumahnya ada tujuh orang, yaitu Jibril, Mikail, Ali bin Abi Thalib, Fatimah Az-Zahra, Hasan, Husein, dan Ummu Salamah sendiri.

Lalu Ummu Salamah bertanya, "Apakah aku tidak termasuk Ahlul Bait?" Nabi SAW menjawab, "Engkau adalah orang yang baik dan engkau adalah istriku."

Jawaban Rasulullah SAW ini menunjukkan bahwa istrinya tidak termasuk Ahlul Bait. Bagi golongan salaf, hadits Ummu Salamah yang kedua ini tidak berarti mengeluarkan istri-istri Nabi SAW dari Ahlul Bait, karena ketika Ummu Salamah bertanya tentang statusnya, Nabi SAW menjawab, "Engkau adalah orang yang baik dan istriku."

Banyak sekali riwayat yang menyatakan tentang keistimewaan keluarga Nabi SAW, dan keistimewaan yang diberikan itu pun bermacam-acam. Namun, hadits-hadist tersebut tidak menyebutkan keistimewaan Ahlul Bait dalam pengertian yang sangat luas seperti dikemukakan terdahulu. Hadits-hadits tersebut hanya membatasi Ahlul Bait pada individu tertentu, terutama Ali bin Abi Thalib, Fatimah Az-Zahra, Hasan, dan Husein.

Rasulullah mengatakan Ahlul Bait itu merupakan suatu peninggalan yang sangat berharga, sehingga menyebut Ahlul Bait disejajarkan dengan menyebut Kitabullah, dan umat Islam bahkan disuruh berpegang teguh kepada keduanya (HR. Muslim). Ahlul Bait dan Kitabullah ini diistilahkan oleh Nabi SAW dengan Ats-Tsaqalain (dua yang berat) dan haditsnya disebut dengan hadits Ats-Tsaqalain.

Ensiklopedi Hukum Islam: Antara Akal dan Nash



 
Ensiklopedi Hukum Islam: Antara Akal dan Nash




REPUBLIKA.CO.ID, Para Ulama dan para ahli usul fikih berbeda pendapat ketika terjadi pertentangan antara akal dan hadis ahad (hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi). Apakah diutamakan akal atau hadis ahad?

lmam Abu Hanifah dan para pengikutnya dikenal dengan ahlur ra’yi, dalam arti lebih banyak menggunakan akal dalam berijtihad dan memberikan persyaratan yang ketat untuk menerima hadis ahad sebagai sumber hukum Islam.

Namun kalangan ini tetap berpegang pada Alquran dan sunah, walaupun dalam berijtihad mereka banyak menggunakan akal. Dalam buku-buku fikih kalangan Mazhab Hanafi, masih banyak ditemukan hadis-hadis ahad yang menurut ahlul hadis tidak bisa dipakai.

Pendapat serupa juga berkembang di kalangan teolog, seperti kaum Khawarij dan Muktazilah. Kedua aliran ini bahkan mengabaikan keberadaan hadis ahad dengan alasan Surah Al-Israa’ ayat 36 yang menyatakan bahwa tidak boleh menyandarkan pendapat pada sesuatu yang tidak ada ilmunya (bertentangan dengan akal.

Muhammad Abduh, seorang ahli tafsir dan ahli hukun asal Mesir juga mengutamakan akal dalam berijtihad dibanding hadis ahad.

Pendapat yang lebih keras dikemukakan oleh Najmuddin At-Tufi (ahli fikih Mazhab Hanbali). Menurutnya, jika terdapat perbedaan antara akal dan nash seperti yang terdapat dalam Alquran dan sunah maupun ijmak, maka akal harus diutamakan dari nash.

Alasannya, karena akal merupakan yang lebih tinggi daripada nash dan ijmak dalam merumuskan hukum. Ia mendasarkan pemikirannya pada hadist "La dharar wala dhirar" (dalam Islam tidak boleh merusak yang lain dan tidak boleh dirusak oleh yang lain).” (HR. Al-Hakim dari Abu Sufyan Al-Khudri).

Di sini ia mengedepankan unsur maslahat sebagai tujuan yang utama dalam syarak, bukan kemudaratan. Seluruh hukum yang dikandung Alquran dan sunah bertujuan untuk kemaslahatan manusia. Kemaslahatan manusia bisa dicapai melalui akal. Oleh sebab itu, manusia dengan akalnya lebih mengetahui mana yang lebih bermanfaat dan mana yang tidak.

Jumhur ulama fikih menentang pendapat At-Tufi ini, sebab dalam pengertian agama, pembuat hukum (syar'i) adalah Allah SWT dan Rasul-Nya. Semua yang disampaikan oleh Allah SWT dalam Alquran maupun yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui sabdanya mengandung nilai kemaslahatan bagi hamba-Nya.

Manusia dengan potensi akal yang diberikan oleh Allah SWT harus menemukan nilai kemaslahatan tersebut dengan cara berijtihad. Di samping itu, Rasulullah SAW tidak berbicara menurut hawa nafsunya, melainkan berdasarkan pada wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepadanya (QS. 53:34).

Demikian juga tentang hadis ahad, Imam Malik dan lmam Ahmad bin Hanbal sangat berpegang pada hadis ahad, karena bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan dasar untuk beramal.

Oleh karena itu, jumhur ulama mengatakan bahwa tidak mungkin mendahulukan akal dari nash. Pendapat akal dapat diterima oleh syarak selama tidak bertentangan dengan Alquran, sunah, maupun ijmak.

Jika unsur kemaslahatan yang merupakan produk akal tidak didukung oleh nash, baik nash yang terperinci atau dari logika sejumlah nash, kemaslahatan itu tidak dapat dibenarkan oleh syarak dan disebut dengan kemaslahatan yang ditolak (al-maslahah al-mulgah).