REPUBLIKA.CO.ID, Para Ulama dan para ahli usul fikih berbeda pendapat ketika terjadi pertentangan antara akal dan hadis ahad (hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi). Apakah diutamakan akal atau hadis ahad?
lmam Abu Hanifah dan para pengikutnya dikenal dengan ahlur ra’yi, dalam arti lebih banyak menggunakan akal dalam berijtihad dan memberikan persyaratan yang ketat untuk menerima hadis ahad sebagai sumber hukum Islam.
Namun kalangan ini tetap berpegang pada Alquran dan sunah, walaupun dalam berijtihad mereka banyak menggunakan akal. Dalam buku-buku fikih kalangan Mazhab Hanafi, masih banyak ditemukan hadis-hadis ahad yang menurut ahlul hadis tidak bisa dipakai.
Pendapat serupa juga berkembang di kalangan teolog, seperti kaum Khawarij dan Muktazilah. Kedua aliran ini bahkan mengabaikan keberadaan hadis ahad dengan alasan Surah Al-Israa’ ayat 36 yang menyatakan bahwa tidak boleh menyandarkan pendapat pada sesuatu yang tidak ada ilmunya (bertentangan dengan akal.
Muhammad Abduh, seorang ahli tafsir dan ahli hukun asal Mesir juga mengutamakan akal dalam berijtihad dibanding hadis ahad.
Pendapat yang lebih keras dikemukakan oleh Najmuddin At-Tufi (ahli fikih Mazhab Hanbali). Menurutnya, jika terdapat perbedaan antara akal dan nash seperti yang terdapat dalam Alquran dan sunah maupun ijmak, maka akal harus diutamakan dari nash.
Alasannya, karena akal merupakan yang lebih tinggi daripada nash dan ijmak dalam merumuskan hukum. Ia mendasarkan pemikirannya pada hadist "La dharar wala dhirar" (dalam Islam tidak boleh merusak yang lain dan tidak boleh dirusak oleh yang lain).” (HR. Al-Hakim dari Abu Sufyan Al-Khudri).
Di sini ia mengedepankan unsur maslahat sebagai tujuan yang utama dalam syarak, bukan kemudaratan. Seluruh hukum yang dikandung Alquran dan sunah bertujuan untuk kemaslahatan manusia. Kemaslahatan manusia bisa dicapai melalui akal. Oleh sebab itu, manusia dengan akalnya lebih mengetahui mana yang lebih bermanfaat dan mana yang tidak.
Jumhur ulama fikih menentang pendapat At-Tufi ini, sebab dalam pengertian agama, pembuat hukum (syar'i) adalah Allah SWT dan Rasul-Nya. Semua yang disampaikan oleh Allah SWT dalam Alquran maupun yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui sabdanya mengandung nilai kemaslahatan bagi hamba-Nya.
Manusia dengan potensi akal yang diberikan oleh Allah SWT harus menemukan nilai kemaslahatan tersebut dengan cara berijtihad. Di samping itu, Rasulullah SAW tidak berbicara menurut hawa nafsunya, melainkan berdasarkan pada wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepadanya (QS. 53:34).
Demikian juga tentang hadis ahad, Imam Malik dan lmam Ahmad bin Hanbal sangat berpegang pada hadis ahad, karena bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan dasar untuk beramal.
Oleh karena itu, jumhur ulama mengatakan bahwa tidak mungkin mendahulukan akal dari nash. Pendapat akal dapat diterima oleh syarak selama tidak bertentangan dengan Alquran, sunah, maupun ijmak.
Jika unsur kemaslahatan yang merupakan produk akal tidak didukung oleh nash, baik nash yang terperinci atau dari logika sejumlah nash, kemaslahatan itu tidak dapat dibenarkan oleh syarak dan disebut dengan kemaslahatan yang ditolak (al-maslahah al-mulgah).
lmam Abu Hanifah dan para pengikutnya dikenal dengan ahlur ra’yi, dalam arti lebih banyak menggunakan akal dalam berijtihad dan memberikan persyaratan yang ketat untuk menerima hadis ahad sebagai sumber hukum Islam.
Namun kalangan ini tetap berpegang pada Alquran dan sunah, walaupun dalam berijtihad mereka banyak menggunakan akal. Dalam buku-buku fikih kalangan Mazhab Hanafi, masih banyak ditemukan hadis-hadis ahad yang menurut ahlul hadis tidak bisa dipakai.
Pendapat serupa juga berkembang di kalangan teolog, seperti kaum Khawarij dan Muktazilah. Kedua aliran ini bahkan mengabaikan keberadaan hadis ahad dengan alasan Surah Al-Israa’ ayat 36 yang menyatakan bahwa tidak boleh menyandarkan pendapat pada sesuatu yang tidak ada ilmunya (bertentangan dengan akal.
Muhammad Abduh, seorang ahli tafsir dan ahli hukun asal Mesir juga mengutamakan akal dalam berijtihad dibanding hadis ahad.
Pendapat yang lebih keras dikemukakan oleh Najmuddin At-Tufi (ahli fikih Mazhab Hanbali). Menurutnya, jika terdapat perbedaan antara akal dan nash seperti yang terdapat dalam Alquran dan sunah maupun ijmak, maka akal harus diutamakan dari nash.
Alasannya, karena akal merupakan yang lebih tinggi daripada nash dan ijmak dalam merumuskan hukum. Ia mendasarkan pemikirannya pada hadist "La dharar wala dhirar" (dalam Islam tidak boleh merusak yang lain dan tidak boleh dirusak oleh yang lain).” (HR. Al-Hakim dari Abu Sufyan Al-Khudri).
Di sini ia mengedepankan unsur maslahat sebagai tujuan yang utama dalam syarak, bukan kemudaratan. Seluruh hukum yang dikandung Alquran dan sunah bertujuan untuk kemaslahatan manusia. Kemaslahatan manusia bisa dicapai melalui akal. Oleh sebab itu, manusia dengan akalnya lebih mengetahui mana yang lebih bermanfaat dan mana yang tidak.
Jumhur ulama fikih menentang pendapat At-Tufi ini, sebab dalam pengertian agama, pembuat hukum (syar'i) adalah Allah SWT dan Rasul-Nya. Semua yang disampaikan oleh Allah SWT dalam Alquran maupun yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui sabdanya mengandung nilai kemaslahatan bagi hamba-Nya.
Manusia dengan potensi akal yang diberikan oleh Allah SWT harus menemukan nilai kemaslahatan tersebut dengan cara berijtihad. Di samping itu, Rasulullah SAW tidak berbicara menurut hawa nafsunya, melainkan berdasarkan pada wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT kepadanya (QS. 53:34).
Demikian juga tentang hadis ahad, Imam Malik dan lmam Ahmad bin Hanbal sangat berpegang pada hadis ahad, karena bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan dapat dijadikan dasar untuk beramal.
Oleh karena itu, jumhur ulama mengatakan bahwa tidak mungkin mendahulukan akal dari nash. Pendapat akal dapat diterima oleh syarak selama tidak bertentangan dengan Alquran, sunah, maupun ijmak.
Jika unsur kemaslahatan yang merupakan produk akal tidak didukung oleh nash, baik nash yang terperinci atau dari logika sejumlah nash, kemaslahatan itu tidak dapat dibenarkan oleh syarak dan disebut dengan kemaslahatan yang ditolak (al-maslahah al-mulgah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar