Tulisan Berjalan

SUKSES KOMUNITAS MAJU JOS, AKHIRNYA BIMBINGAN DIGITAL MARKETING SECARA GRATIS TANPA BATAS TELAH MEMBERI MANFAAT BESAR
Tampilkan postingan dengan label Bid'ah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bid'ah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 22 Mei 2012

Antara Ibadah dan Bid'ah di Bulan Rajab (1): Dzikir dan Shalat


Antara Ibadah dan Bid'ah di Bulan Rajab (1): Dzikir dan Shalat
Dzikir (ilustrasi)

Permasalahan pelaksanaan dalam melakukan ibadah di antara umat Islam, sering terpicu karena adanya perbedaan pendapat antara boleh atau tidaknya ibadah tersebut dilaksanakan. Sementara, tak satupun dari kita yang hidup di zaman Rasulullah shalallahu a’laihi wasallam, untuk menyaksikan langsung apa-apa yang telah dilakukan oleh Habiballah dan para sahabat tersebut. Sehingga, kita pun mengetahuinya melalui ustadz ataupun buku-buku.

Kemiskinan dalam ilmu yang banyak terdapat dalam diri umat muslim, sering menyebabkan kesimpang siuran dalam amalan yang harus dilakukan. Bahkan, sering mengakibatkan perselisihan yang memicu emosi masing-masing pihak yang merasa paling benar. Walaupun, Allah dan Rasul-Nya telah melarang kita untuk berdebat dalam hal-hal yang menyangkut syar’i’at, karena kita telah diberi pedoman Alquran dan Sunnah.

"Manusia itu adalah umat yang satu. Setelah timbul perselisihan, maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan. Allah pun menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu, melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus." (Q.S. Al-Baqarah 2: 213)

Namun, tetap saja kita menjadi ragu-ragu dalam pelaksanaan yang kita nilai sebagai ibadah. Sekalipun itu telah dilaksanakan secara turun temurun dan diwariskan oleh orang tua kepada kita. Padahal, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan kita dalam suatu hadits, “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.”

Hadits tersebut merupakan pokok dalam hal meninggalkan syubhat dan memperingatkan dari berbagai jenis keharaman. Al-Munawi rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan salah satu kaidah agama dan pokok dari sifat wara`, di mana wara` ini merupakan poros keyakinan dan menenangkan dari gelapnya keraguan dan kecemasan yang mencegah cahaya keyakinan.”

Al-Askari rahimahullah menyatakan, “Seandainya orang-orang yang pandai merenungkan dan memahami hadits ini, niscaya mereka akan yakin bahwasanya hadits ini telah mencakup seluruh apa yang dikatakan tentang menjauhi perkara syubhat.” (Faidhul Qadir, 3/529)

Hadits tersebut diriwayatkan oleh cucu kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma, ketika seseorang yang bernama Abul Haura’ As-Sa`di bertanya kepadanya tentang apa yang dihafalnya dari hadits kakeknya yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam.

Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya, juga At-Tirmidzi, An-Nasa’i dalam Sunan-nya mengeluarkan hadits ini dari jalan Syu’bah dari Buraid bin Abi Maryam dari Abul Haura’ dari Al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma.

Selain itu, hadits ini pun termasuk dalam sekian hadits yang dilazimkan/diharuskan oleh Al-Imam Ad-Daraquthni rahimahullah terhadap Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah agar mengeluarkannya dalam shahih keduanya.


Makna RajabSekarang, kita telah berada dalam bulan Rajab yang dalam suatu hadits dikatakan, “Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.” (Status hadits: Dhaif (lemah). Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 4400)

“Dinamakan Rajab, karena di dalamnya banyak kebaikan yang diagungkan (yatarajjaba) bagi Sya’ban dan Ramadhan.” (Status hadits: Maudhu’ (palsu). As Silsilah Adh Dhaifah No. 3708)

Rajab berasal dari lafadz tarjib, yang berarti mengagungkan. Dan menurut pendapat mayoritas, lafadz Rajab termasuk musytaq. Ini pendapat yang paling kuat, karena ia bentukan dari: رجب فلانا , artinya dia memuliakan dan mengagungkannya karena penghormatan orang Arab kepadanya. Oleh karena itu, Rajab dikatakan al murajab (yang diagungkan, dimuliakan).

Al Qadhi Abu Ya’la berkata, “Dinamakan bulan haram karena mengandung dua makna. Pertama, diharamkan berperang di dalamnya dan orang-orang jahiliyah pun meyakininya pula. Kedua, karena melanggar larangan-larangan pada bulan ini lebih berat dosanya dibanding pada bulan selainnya, demikian pula ketaatan. Dari Zadul Masir, 3/432.

Menurut pendapat Hanafiyah, Thawus dan juga Jabir, Mujahid, Ibnu Juraij, sebagai pendapat yang rajih (kuat). Dalam musnad Ahmad 3/334, 345, Tafsir Ibnu Jarir dengan kedua sanadnya dari Jabir, dia berkata, “Rasulullah tidak pernah berperang pada bulan haram, kecuali bila diperangi atau Beliau tidak berperang hingga bulan-bulan haram berakhir.”

Itulah pendapat yang dirajihkan oleh Al Alusi di Rauhul Bayan 2/108, Al Qurtubi di Al Jami’ Al Ahkam Al Qur’an 2/351, Ar Razi di dalam tafsirnya 5/142, Ibnul ‘Arabi di Al Ahkam 1/108, Al Jashas di Al Ahkam. Dengan demikian, kita mengetahui bahwa keharaman perang pada bulan haram tetap dan tidak dinasakh.

Tidak ada satu dalil pun yang shahih, yang secara khusus menyebutkan keutamaan bulan Rajab. Hal ini sebagaimana telah dituturkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Tabyin Al Ujab, “Tidak ada hadits shahih yang pantas untuk dijadikan hujjah dalam masalah keutamaan bulan Rajab, (dengan) puasa di dalamnya dan shalat malam khusus pada malam harinya”. Beliau juga berkata, “Sungguh Imam Abu Ismail Al Harawi Al Hafizh telah mendahuluiku menetapkan demikian. Kami meriwayatkan darinya dengan sanad yang shahih. Demikian pula kami meriwiyatkan dari selainnya.”

Demikian pula kalangan ulama kritikus serta para huffazh telah mendahuluinya, diantaranya: Al ‘Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah (wafat 751 H), beliau berkata di dalam Al Manar Al Munif, hlm. 96, “Setiap hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya, maka itu kedustaan yang diada-adakan.”

Al ‘Allamah Al Faqih Majdudin Al Fairuz Abadi (wafat 826 H), beliau berkata di penutup kitab Safar As Sa’adah, hlm. 150, “Dan bab shalat raghaib, shalat nishfu sya’ban, shalat nishfu rajab, shalat iman, shalat malam mi’raj …, bab-bab ini, di dalamnya tidak ada sesuatu pun yang sah secara pokok.”

Beliau juga berkata, “Bab puasa Rajab dan keutamaannya, tidak ada satupun yang tsabit, bahkan sebaliknya ada riwayat yang memakruhkannya”.

Meskipun demikian, Rajab memiliki keutamaan; Karena Rajab termasuk bulan haram dan terhormat.

Sesungguhnya, bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan; Dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[640]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri[641] kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (Q.S. At-Taubah 9: 36)

[640]. Lihat no. [119]. Maksudnya antara lain ialah : bulan haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah haram (Mekah) dan Ihram.

[641]. Maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan.
Dzikir khusus di bulan RajabDi sisi banyaknya nukilan dari para imam tersebut, tragisnya masih saja ada dari umat islam yang mengistimewakan bulan ini. Mereka melakukan ibadah-ibadah yang tidak ada asal-usulnya di dalam syari’at yang suci, seperti mengistimewakannya dengan berpuasa, apakah di awalnya atau keseluruhannya.

Dan umumnya, umat islam di tanah air mengistimewakan bulan ini dengan membaca dzikir-dzikir khusus seperti “Istighfar bulan Rajab” yang dibaca setiap pagi dan petang sebanyak 70 kali, sambil mengangkat tangan membaca: اللَّهمَّ اغْفِر لِي وارْحمَنِي وَتُبْ عَلَيَّ “Allahummaghfirlii warhamnii watub ‘alayya” è “Ya Allah, ampunilah aku, dan kasihilah aku serta terimalah taubatku”.

Biasanya, dzikir ini dibaca setelah imam salam dari shalat wajib dan diikuti oleh pada jamaah dengan serempak. Dan masih banyak lagi amalan-amalan serupa di bulan Rajab yang tidak ada asal usulnya di dalam syari’at ini.

Semua itu merupakan ajaran baru yang tidak dikenal oleh generasi shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Padahal, merekalah generasi terbaik umat ini, seperti yang terdapat dalam hadits, “Sebaik-baik manusia adalah kurunku kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ’anhu)

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (Q.S. Asy-Syuura 42: 21)


Shalat Raghaib di bulan Rajab

Begitu juga dengan Shalat Raghaib yang telah banyak diamalkan oleh umat muslim di setiap bulan Rajab. Adapun tata cara shalat Raghaib sebanyak 12 raka’at, dengan 6 kali salam, dilaksanakan setelah shalat Maghrib pada Jum’at pertama bulan Rajab. Yang dibaca yakni surat Al-Qadr 3 kali dan Al-Ikhlas 12 kali, setelah membaca Al-Fatihah. Setelah selesai, membaca shalawat Nabi 70 kali, kemudian berdo’a dengan do’a yang dia kehendaki. Maka, rijal haditsnya majhul, dan telah dijelaskan oleh para ahli hadits, bahwa ia maudhu’ (palsu).

Lihat kebid’ahannya di Al Inshaf Lima Fi Shalat Ar Raghaib Minal Ikhtilaf, karya Abu Syamah Al Maqdisi. Dia memasukkannya dengan lengkap dalam Al Ba’its ‘Ala Inkari Al Bida’ Wal Hawadits dan Musajalah ‘Ilmiyyah Baina Al Imamaini Al ‘Iz bin Abdul Salam Wa Ibnu Ash Shalah dan Iqtidha Ash Shirat Al Mustaqim, hlm. 283; Al Madkhal, 1/193; Tabyin ‘Al Ajab Fi Fadhli Rajab, hlm. 47 – Al Misyriyah; Fatawa An Nawawi, hlm. 26; Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 212; As Sunan Al Mubtadi’at, hlm. 140; Al Maudhu’at, 2/124; Al Laliu Al Masnu’ah, 2/57; Tanzih Asy Syari’ah, 2/92; Al Majmu’, 4/56; Safar As Sa’adah, hlm. 150 dan Al Amru Bi Al Ittiba’, lembar 15/1.

Orang yang antusias terhadap shalat Raghaib, berpegang dengan hadits dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda, "Janganlah kalian melupakan malam Jum’at pertama dari bulan Rajab, karena malam itu disebut oleh Malaikat dengan Raghaib; Maka tidaklah ada seorang yang berpuasa pada hari Kamis pertama dari bulan Rajab, kemudian shalat antara Maghrib dengan Isya’ sebanyak dua belas raka’at, kecuali Allah akan mengampuni dosa-dosanya."

Hadits ini disebutkan secara lengkap bersama tata caranya dalam kitab Al Maudhuaat, karya Ibnul Jauzi. Begitu juga dalam kitab Al Ihya, karya Al Ghazali dan Al Hafizh Al Iraqi berkata, “Hadits ini palsu.”

Abu Faraj Ibnul Jauzi berkata : “Ini adalah hadits palsu yang dibuat secara dusta atas nama Rasulullah oleh Ahli Bid’ah yang sangat ektrim, yaitu Ali bin Abdullah Jahdham”.

Abu Syamah berkata, "Di antara (yang menjadi) faktor hadits ini dituduh palsu adalah, besarnya pahala yang diobral dan janji pengampunan dosa yang fantastis, sehingga membuat orang awam tergiur dan meremehkan kewajiban yang asasi. Dalam lafazh hadits, terdapat indikasi bahwa hadits ini palsu, karena waktu shalat ini antara Isya’ dengan atamah. Dan tidak mungkin lafazh hadits ini berasal dari Nabi, karena Beliau melarang menamai shalat Isya dengan atamah."

Dan dalam Syarah Muslim, karya An Nawawi disebutkan: Para ulama berhujjah terhadap makruhnya (tidak disukai) shalat Raghaib dengan hadits, “Janganlah kamu mengkhususkan malam Jum’at untuk shalat, dan hari Jum’at untuk berpuasa.” [Dikeluarkan Al Bukhari dalam Ash Shahih, 4/232 no. 1985; Muslim dalam Ash Shahih, 2/801 no. 1144; Ahmad dalam Al Musnad, 2/495; At Tirmidzi dalam Al Jami’, 12312 no. 740, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra, sebagaimana di dalam Tuhfah Al Asyraf, 10/351; Ibnu Majah dalam As Sunan, 1/549 no. 1723; Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, 4/302; At Thahawi dalam Syarhu Ma’ani Al Atsari, 2/78]

Oleh karena itu, shalat Raghaib termasuk bid’ah yang munkar, termasuk bid’ah yang sesat, karena di dalamnya ada kemungkaran yang jelas. Allah memerangi pembuat dan penciptanya. Dan sesungguhnya, para imam telah menulis karangan-karangan yang bagus dalam menjelaskan keburukan, kesesatan, kebid’ahan dan jeleknya dalil-dalil yang dipakai (dan kesalahan serta kesesatan pelakunya) yang jumlahnya lebih banyak dari yang dibatasi.

Pendapat An Nawawi tersebut juga menyatakan sesat dan bodoh kepada orang yang shalat Raghaib pada malam Jum’at. Baik itu sendirian maupun berjama’ah, dengan alasan ada anjuran yang membolehkannya. Padahal, semua riwayat seputar shalat Raghaib adalah palsu dan penuh dengan pendustaan atas nama Rasulullah.

Syaikh Masyhur Salman berkata: Hadits ini maudhu’ (palsu) dan tidak disyari’atkan beribadah kepada Allah dengan hadits maudhu’ dalam semua keadaan. Maka shalat Raghaib adalah bid’ah yang sesat, sebagaimana pendapat jumhur ulama dan ahli tahqiq di antara mereka.

Ada sebagian orang yang berpendapat, bahwa para ulama berbeda pendapat dalam memakruhkan pengkhususan hari Jum’at untuk berpuasa dan qiyamul lail pada malamnya. Sedangkan pendapat yang paling kuat adalah makruh tanzih. Oleh sebab itu, tidak boleh mengkhususkan hari Jum’at untuk puasa dan qiyamul lail dan meremehkan malam yang lainnya.

Dalam Jami’ Al Ushul, setelah menyebutkan shalat Raghaib beserta tata caranya dan berdo’a setelahnya, dinyatakan: “Hadits ini termasuk yang aku temukan di kitab Razin, dan aku belum pernah menemukannya dalam salah satu kutubus sittah, dan hadits ini dicela di dalamnya.” [Jami’ Al Ushul 6/154 dan dia menisbatkannya ke Razin Al ‘Iraqi dalam Takhrij Ahadits Al Ihya, 1/203, dan dia berkata: maudhu’]

Dan yang paling tinggi, hadits ini berstatus dha’if. [Perkataan Ibnu ‘Atsir ini tidak bermanfaat, bagaimana sedangkan banyak para ulama yang mu’tabar menyatakan bid’ah & palsunya shalat raghaib]

Mereka juga berdalih, bahwa Syaikh Ibnu Shalah memilih pendapat bolehnya shalat tersebut. Demikian pula Hujjatul Islam (Al Ghazali) dalam Al Ihya dan yang lainnya dari para syaikh dan ulama.

Cara berdalih seperti itu jelas kurang tepat dan salah. Apalagi, semua ulama sepakat tentang bid’ahnya shalat Raghaib. Semua telah dibantah secara tuntas dan jelas oleh ‘Iz bin Abdus Salam, bahwa tidak ada satu dalil pun yang menganjurkan shalat tersebut. Bahkan, Abu Syamah Al Maqdisi dalam Al Inshaf telah membuat penilaian secara adil dan bijaksana.

Abu Syamah memaparkan hujjah mereka masing-masing, dan beliau memberi bantahan tuntas satu per satu. Kemudian membuat kesimpulan secara adil dan bijak, bahwa shalat tersebut hukumnya bid’ah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh muridnya, yaitu Imam Nawawi dalam Al Majmu’ 4/56.

Adapun sikap Ibnu Shalah terhadap shalat tersebut sangat goncang dan kabur. Sebab, beliau pernah berfatwa melarangnya, kemudian berbalik membolehkannya.

Dan Al ‘Iz telah membuat bantahan yang cukup bagus, bahwa sesungguhnya beliau pernah shalat malam Jum’at mengimami umat manusia, sedangkan manusia tidak tahu kalau itu dilarang. Maka, dia takut jika melarangnya akan dikatakan, “Apakah kamu tidak melakukan shalat itu?” Sehingga, beliau lebih rela mengikuti hawa nafsu dan menganjurkan orang lain untuk menganggap baik terhadap sesuatu yang tidak dianggap baik oleh syari’at yang suci.

Adapun pernyataan Imam Al Ghazali dalam Al Ihya 1/203 telah dibantah, bahwa beliau sedikit sekali perbendaharaan ilmu haditsnya. Sebagaimana dikatakan oleh dirinya sendiri, maka pengukuhan beliau terhadap hadits shalat pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab ini ditolak.

Demikian dikatakan Ath Thurthusi dalam Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 116-117 dan Abu Syamah dalam Al Ba’its, hlm. 33 darinya pula. Apalagi dalam shalat tersebut terdapat sesuatu yang menambahi Alquran dan Assunnah; Bahkan, sebaliknya banyak dalil-dalil, baik dari Alquran dan Assunnah menyelisihi tata cara shalat tersebut.

Wallahu a’lam...

Selasa, 01 Mei 2012

Kesalahan Ahli Bid’ah dalam Memahami “Bid’ah” Sehingga Menjadi Fitnah Islam


Vonis Bid’ah ala Wahabi terhadap amalan-amalan Kaum Muslimin benar-benar terbukti menjadi  Fitnah Islam.Bagaimana tidak menjadi fitnah Islam ketika ada orang baca surat Yasin dalam “Yasinan” divonis berdosa? Baca Tahlil dalam tahlilan berdosa, Dzikir Jamaah berdosa, baca kisah Maulid Nabi berdosa, tabligh akbar memperingati Isro’ Mi’roj berdosa, dan masih banyak lagi contohnya. Ini akibat kaum Wahabi salah dalam memahami kata “BID’AH”, makanya mereka salah juga ketika menerapkannya sehingga justru kata “Bid’ah” menjadi vonis hukum satu-satunya, yaitu hukum haram sehingga berdosa jika melakukan hal Bid’ah. Lebih jelasnya sehingga Bid’ah itu sama dengan hukum haram. Inilah kesalahan fatal dari pemahaman Bid’ah.
Kesalahan Wahabi dalam memahami kata “BID’AH”, adalah mereka memahami bid’ah sebagai suatu hukum, yaitu hukum haram. Padahal Bid’ah itu bukan hukum tetapi justri bid’ah adalah obyek hukum.  Sebab Bid’ah adalah “hal baru” yang mana “hal baru” ini tidak semuanya haram. Tetapi “hal baru” bisa menjadi Haram, menjadi Wajib, makruh, mubah, dan Mandubah. Demikian pemahaman tentang bid’ah oleh para Salafus Sholihin seperti Imam Syafi’i, Imam Ibnu Hajar Alatsqolani, Imam Nawawi dll.
Untuk lebih mendalami pemahaman bab Bi’d'ah ini silahkan baca dan simak uraian yang benar-benar bagus ini. Semoga bermanfaat….

MEMAHAMI KALIMAT:  “KULLU BIDH’ATIN DHOLALAH; SETIAP BID’AH ADALAH SESAT”
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي، تمسكوا بها، وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة).
Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rosyidin. Gigitlah sunnah itu dengan geraham kalian (yakni; peganglah jangan sampai terlepas). Dan berhati-hatilah terhadap PERKARA YANG BARU, maka sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Syaikh Sholeh Al-Utsaimin dalam Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, hal: 639-640). Al-Utsaimin mengatakan, “Hukum asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam urusan dunia adalah HALAL. Jadi bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu HALAL, kecuali ada dalil yang menunjukan akan keharamannya. Tetapi hukum asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam urusan agama adalah DILARANG, jadi bid’ah dalam urusan-urusan agama adalah HARAM dan BID’AH, kecuali adal dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan keberlakuannya.”
Melalui tulisannya yang lain Al-Utsaimin telah melanggar hukum yang dibuatnya sendiri dalam Al-Ibda’ fi Kamal Al-Syar’i wa Khathar Al-Ibtida’, hal 13. Dia mengatakan tentang hadits Nabi, ”(Semua bid’ah adalah sesat) adalah bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata “kullu (seluruh)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya ini tidak akan pernah benar.”
Dalam pernyataannya diatas Al-Utsaimin menegaskan bahwa “SEMUA BID’AH adalah SESAT”, bersifat general, umum, dan menyeluruh terhadap seluruh bid’ah, tanpa terkecuali, sehingga tidak ada bid’ah yang disebut BID’AH HASANAH. Namun mengapa dalam pernyataannya yang pertama dia membagi bid’ah ada yang HALAL dan yang HARAM, juga ada bid’ah Dunia dan Bid’ah Agama, bukankah kullu di situ dikatakannya sebagai general (umum)? Beginilah LUCU-nya dan KONTRADIKTTIF-nya, bagaimana  banyak orang tidak mampu melihat ironisme difinisi Al-Utsaimin ini?
Berbeda sekali ke’arifan dan kebijakannya dalam menetapkan hukum jika dibandingkan dengan ulama-ulama yang masyhur seperti Imam Nawawi misalnya,dalam memahami hadits Nabi “SEMUA BID’AH ADALAH SESAT”, dalam Syarah Shahih Muslim, jilid 6 hal: 154, beliau sangat hati-hati dengan kata-kata “SEBAGIAN BID’AH ITU SESAT, BUKAN SELURUHNYA.” Hadits “KULLU BIDH’ATIN DHOLALAH”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, BID’AH HASANAH (baik) dan BID’AH SYAIYI’AH (buruk). Lebih rinci bid’ah terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hukum islam, yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.
Al-Hamid Al-Husaini dalam Al-Bayan Al-Syafi fii Mafahim Al-Khilafiyah (Pembahasan Tuntas Masalah Khilafiyah) menjelaskan bahwa bid’ah terbagi menjadi lima bagian yaitu:
1. Bid’ah Wajib; seperti mengumpulkan lembaran Al-Qur’an menjadi mushhaf, menyanggah orang yang menyelewegkan agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu nahwu.
2. Bid’ah Mandub; seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin, mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan melalui pengeras suara, mengerjakan kebajikan yang pada masa pertumbuhan islam belum pernah dikerjakan orang.
3. Bid’ah Makruh; seperti menghias masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang tidak pada tempatnya, dan mendekorasi kitab-kitab Al-Qur’an dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak pada semestinya.
4. Bid’ah Mubah; seperti menggunakan berbagai peralatan makan dan minum, memakan makanan dan minuman yang mengesankan kemewahan dan berlebih-lebihan.
5. Bid’ah Haram; semua perbuatan yang menyalahi sunnah dan tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukuk syari’at dan tidak mengandung kemashlahatan yang dibenarkan oleh syara’.
Soal sunnah dan bid’ah biasanya menjadi pangkal perbedaan dan perselisian pendapat. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya pengertian yang benar mengenai makna dan maksud dua perkataan itu.
Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Rasulullah saw sebagai Shahibusy Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum syari’at). Keduanya tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah dapat ditentukan pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetapkan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah, padahal Sunnah itulah yang menjadi pokok persoalan.

Orang-orang yang anti bid’ah biasanya mereka mengklaim sebagai pengikut sunnah, padahal mereka belum mengetahui batas pengertian sunnah. Ironisnya mereka sendiri sebagai pelaku bid’ah namun tidak menyadarinya, dikarenakan mereka juga tidak mengetahui batas pengertian bid’ah itu sendiri. Karena itulah mereka terperosok pada pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah.
Imam Muslim, Ahmad dan Nasa’i mentakhrij dari Anas bin Malik serta Imam Bukhari mentakhrij dari Abu Musa Al-Asy’ary bahwa ketika Rasulullah mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman untuk berdakwah beliau bersabda: “Mudahkanlah mereka dan jangan mempersulitnya, gembirakanlah mereka dan jangan membuatnya bersedih”. Dalam haditz tersebut memberikan pengertian akan fleksibelitas ajaran islam. Hal itu berhubungan langsung dengan perbedaan dan perselisihan pendapat, mengenahi sunnah dan bid’ah.
Imam Muslim juga mentakhrij dari Jabir r.a dan Imam Bukhari mentakhrij dari Ibnu Mas’ud r.a dalam khutbah Rasulullah s.a.w bersabda: “Sesungguhnya tutur kata (hadits) yang terbaik adalah Kitabullah (al-Qur’an) dan petunjuk yang terbaik adalah petunjuk Muhammad s.a.w. Sedangkan persoalan yang terburuk adalah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” Makna hadits tersebut diperkuat oleh hadits Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Majjah dan lainnya, Rasulullah bersabda, “…..Orang yang hidup sepeninggalku akan menyaksikan banyak perselisihan, maka hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin. Gigitlah sunnah itu dengan geraham kalian (yakni; peganglah jangan sampai terlepas). Hati-hatilah terhadap persoalan yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah sesat.” Juga sabda beliau, “Barangsiapa yang di dalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak ada maka ia tertolak.” Dan sebagainya.
1. Pengertian Sunnah
Makna sunnah menurut dua istilah itu bukan yang dimaksud dalam pembicaraan mengenai makna Hadits Rasulullah saw. Sebab yang dimaksud “sunah” dalam hal itu adalah “Sunnah Rasul”, yakni jalan yang beliau tempuh, baik dalam bentuk amal perbuatan maupun perintah. Maka sesuatu yang baru diadakan (yang belum ada sebelumnya) harus dihadapkan, dipertimbangkan dan dinilai berdasarkan sunnah Rasulullah s.a.w. Jika yang baru diadakan itu baik, sesuai dan tidak bertentangan dengan jalan yang ditunjukkan beliau, ia dapat diterima. Namun jika sebaliknya, ia harus ditolak.
Syaikh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Iqtidha’us Shirotil Mustaqim” mengatakan sebagai berikut, “Sunah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan Jahiliyah. Jadi kata “sunnah” dalam hal itu berarti “adat kebiasaan”, yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang yang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang lainnya.” Karena itu kita dapat memahami sunnah Rasulullah dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh beliau, tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang ahli ijtihad (Para shahabat, tabi’in dan para ulama’) dengan tetap berpedoman dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, tidak sepantasnya disebut sesuatu yang diada-adakan yang sesat (bid’ah dhalalah).  Karena sunnah Rasulullah mancakup empat macam, yakni Sunnah Qauliyah (ucapan), Fi’liyah (kerjaan/tindakan), Taqriyah (pengakuan) dan Hammiyah (cita-cita/keinginan). Dan keempatnya sampai saat ini diikuti oleh umatnya.

2. Pengertian Bid’ah

Dalam kitab Al-Qawa’idul Kubra Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam memilah-milah “bid’ah” menurut kandungan dan cakupannya, apakah mengandung mashlahah (kebaikan) atau mafsadat (keburukan), ataukah kosong dari keduanya. Atas dasar itu ia membagi sifat bid’ah menjadi lima sesuai dengan lima kaidah hukum syara’, yaitu Wajib, Mandub, Haram Makruh dan Mubah. Banyak ulama yang menilai pendapat ini sangat cermat dan tepat seperti pendapat Muhammad bin Ismail Al-Kahlani (Ash-Shon’ani) membagi bid’ah ada lima bagian dalam kitab Subulus Salam syarah kitab Bulughul Maram, Imam Nawawi dan lainnya. Mereka menyatakan bahwa penerapannya tentu menurut keperluan dalam menghadapi berbagai kejadian, peristiwa dan keadaan baru yang ditmbulkan oleh perkembangan masyarakat. Mereka mengingkari pemikiran dan pandangan yang obyektif seperti itu, dan tetap bersitegang mempertahankan pengertian keliru dan kurang bijak tentang “Kullu Bid’atin Dhalalah” (setiap bid’ah adalah sesat).
Jika anggapan bahwa setiap yang diada-adakan dan tidak dicontohkan oleh Rasulullah itu sesat, ada baiknya memperhatikan sejarah al-Qur’an dan al-Hadits yang dibukukan dan bisa dirasakan manfa’atnya sampai saat ini adalah hasil dari yang diada-adakan (bid’ah), karena Rasulullah tidak pernah menyuruh Zaid bin Tsabit untuk membukukan al-Qur’an atau menjadikannya mushhaf, juga melarangnya untuk tidak menulis apa yang pernah diucapkan dan dilakukannya (sunnah-sunnah Rasulullah).
Imam Bukhari, Muslim dan lainnya mentakhrij dari Rifa’ah bin Rafi’ berkaitan seseorang yang menyusul ucapan Rasul “Sami’allohu liman hamidah” waktu I’tidal dengan ucapan “Robbana lakal-hamdu katsiron mubarokan fiihi.” Selesai shalat Rasul tidak memarahi orang tersebut bahkan bersabda, “Aku melihat lebih dari tigapuluh Malaikat berpacu ingin mencatat do’a kamu itu lebih dulu.” Begitu juga ketika ada seorang jama’ah yang menambahkan do’a iftitah Rasul dengan kalimat “Allahu akbar kabiran wal-hamdu lillahi katsiran wa subhanallahi bukratan wa ashilan” beliau bersabda, “Aku melihat pintu-pintu langit terbuka bagi kalimat itu.” (HR. Nasa’i dari Ibnu Umar)
Ketika Rosululloh mendapat hadiah daging kelinci beliau menyuruh para shahabatnya untuk memakannya, juga kepada Umar bin Khaththab, namun Umar berkata bahwa ia sedang puasa, lalu Rasul bertanya, “puasa apakah itu?” Umar menjawab, “ puasa pada tanggal 13, 14 dan 15” Maka Rasul Bersabda, “Benar engkau umar, lakukanlah puasa pada hari yang putih bersih (yaum al-bidh) yaitu tanggal 13, 14 dan 15.” (HR. Baihaqi dari Umar bin Khaththab)
Contoh-contoh riwayat diatas adalah HAL BARU dalam agama (BID’AH) oleh para sahabat yang DILEGALKAN oleh Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam, dimana sebelumnya tidak dicontohkan oleh beliau. Wallohu A’lam bish-Showab.
Semoga bermanfa’at untuk menambah wawasan dan kebersatuan umat islam.Aamiin….

“Yasinan Itu Bid’ah Sesat”, Demikian Menurut Para Ahli Bid’ah


Yasinan Yasinan dan Isu-isu Bid’ah….

“Yasinan itu bid’ah sesat, pelakunya berdosa dan masuk neraka”, demikian kata mereka ketika mengomentari acara Yasinan. Orang-orang itu adalah segolongam kaum yang merasa bukan Ahli Bid’ah, namun dari perkataan mereka sudah otomatis menunjukkan bahwa mereka adalah Ahlul Bida’ yang sesungguhnya. Bagaimana mereka bisa mengatakan membaca surat Yasin itu berdosa, bukankah sudah jelas membaca satu huruf dari ayat Al-Qur’an itu mendapat sepuluh pahala? Bagi anda yang menggunakan akal sehat, pastinya anda akan sulit menerima pendapat orang-orang yang mengatakan Pembaca Surat Yasin itu berdosa. Baiklah, kami tidak ingin mengajak anda  menjadi orang-orang yang hanya mengikuti akal. Oleh karena itulah mari kita ikuti Pejelasan TUNTAS Tentang YASINAN berdasar dalil-dalil yang benar…..

Pejelasan TUNTAS Tentang YASINAN

Yasinan Itu Apa Sih?

 Di dalam khazanah keagamaan Islam di Indonesia ada istilah ”Yasinan”. Istilah ini merujuk kepada kebiasaan sebagian umat Islam yang menyelenggarakan acara kumpul bersama dengan membaca Surat Yasin. Itulah Yasinan. Sekalipun diberi istilah”Yasinan”, isinya tidak sekedar membaca surat Yasin, tapi biasanya dilanjutkan dengan dzikir bersama kemudian musyawarah dan ditutup dengan do’a. ”Yasinan” adalah kekayaan keberagamaan umat Islam Indonesia yang sangat besar jasanya sebagai media dakwah. Tapi tidak semua umat Islam setuju dengan ”Yasinan”. Ada sebagian umat Islam lainnya yang menolaknya. Mereka menganggap praktek ”Yasinan” tidak diteladani oleh Nabi Muhammad dan tidak dianjurkan. Maka kesimpulan mereka ”Yasinan” adalah bid’ah, mengada-ada dalam agama. Dan para pelakunya  dianggap berdosaMereka juga memberi alasan bahwa hadits-hadits yang berisi keterangan tentang keutamaan Surat Yasin adalah hadits-hadits dhoif yang wajib dihindari pengamalannya.

Yasinan adalah membaca Al Qur’an bersama-sama.
 Pada kenyataannya ”Yasinan” adalah kegiatan membaca Al Qur’an bersama-sama. Membaca Al Qur’an termasuk dzikir kepada Allah SWT. Allah berfirman : “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas” .(QS Al Kahfi : 28). Dalam bagian hadits Imam Muslim dari Abi Hurairoh ra, Rasulalloh SAW bersabda: ”Tidaklah duduk sekelompok orang di antara rumah-rumah Allah sambil membaca Kitab Allah (Al Qur’an) dan mengkajinya di antara mereka, kecuali turun kepada mereka ketenangan, mereka diliputi kasih sayang, dinaungi malaikat dan sebut-sebut Allah di depan Makhluk yang ada di sisi-Nya (maksudnya para malaikat)”. Al Imam Abi al Husain Muslim bin Al Hajjaj Al Qusyairy An Naisabury, Shohih Muslim, (Libanon, Daar al Fikr, 1992), juz dua, hal: 574. Dalam hadits tersebut tampak sekali anjuran membaca Al Qur’an bersama-sama, dengan berbagai keutamaannya, yaitu menghadirkan ketenangan batin, menghadirkan kasih sayang, mengundang malaikat datang menaungi, dan dibanggakan Allah di antara para malaikat.

Hadits-hadits surat Yasin yang berderajat maudhu’

Pada umunya, tradisi ”Yasinan” dilatar belakangi oleh niat menghidupkan sunnah Nabi, yaitu membaca surat Al Qur’an yang berdasarkan hadits Nabi memiliki keutamaan, termasuk surat Yasin. Memang benar, terdapat beberapa hadits yang menerangkan surat Yasin berderajatdha’if (lemah) bahkan sampai berderajat maudhu’ (palsu). Hadits maudhu adalah sesuatu yang dikaitkan pada Nabi dengan cara dibuat-buat, dan dengan kebohongan, padahal Nabi tidak pernah mengucapkannya, melakukannya atau menyetujuinya. DR. Muhammad Ajjaj Al Khothib, Ushuul al Hadits, (Libanon, Daar Al Fikr, 2006), hal: 275. Tegasnya, haditsmaudhu’ itu palsu, bukan berasal dari Nabi, tapi dikemukakan sebagai hadits dari Nabi. Membuat hadits palsu haram hukumnya. Bahkan Al Imam Juwaini menganggapnya sebagai kekufuran. Demikian pula, haram meriwayatkan hadits tersebut  Al Khothib, ibid. Dengan demikian haram mengamalkan hadits yang berderajat maudhu’. Contoh hadits surat Yasin yang berderajat maudhu’ ialah hadits di bawah ini yang artinya : Dari Anaas ra. Ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda “Barang siapa yang membiasakan membaca surat Yasin pada malam hari  maka ketika mati ia mati syahid”. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Thobroni dalam kitab Al Ausath Ash Shogir. Hadits tersebut dianggap maudhu’ karena dalam susunan rawinya terdapat terdapat nama Sa’id bin Musa al Azdi. Ia adalah seorang pembohong (kadzdzaab). Al Imam Muhammad bin Ali Muhammad Asy Syaukani Al Yamani, Tuhfah Adz Dakirin, (Kairo, Daar al Hadiits, 2004), hal: 419 Orang-orang yang bersemangat menganggap ”Yasinan” sebagai perbuatan bid’ah memperkuat hujjah-nya dengan hadits ini, dan hadits-hadits surat Yasin lain yang maudhu’.Padahal, bagi orang-orang yang melakukan tradisi ”Yasinan”, hadits-hadits surat Yasin yangmaudhu’ sama sekali tidak disentuh, apalagi dijadikan hujjah atau dalil.

Hadits-Hadits Surat Yasin Yang Berderajat Hasan Lighoirihi

Hadits Hasan Lighoirihi adalah hadits dho’if yang jalur periwayatannya lebih dari satu, dan sebab kedho’ifannya bukan karena kefasikan atau pembohongnya perawi. Dari makna di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa hadits dho’if  bisa naik derajatnya menjadi hadits Hasan Lighoirihi karena dua hal : Pertama, hadits tersebut diriwayatkan juga oleh seorang perawi lain atau lebih banyak, dimana riwayatnya berderajat sama atau lebih kuat. Kedua, sebab kelemahan hadits tersebut adalah karena buruknya hafalan perawi atau terputus sanadnya (inqitho’) ketidak terkenalan (jahalah) nya perawi. Hadits Hasan Lighoirihi lebih rendah derajatnya dari pada Hasan Lidzatihi, sehingga jika terjadi perbedaan isi di antara keduanya, hadits Hasan Lidzatihi harus lebih didahulukan. Tapi hadits Hasan Lighoirihitermasuk hadits maqbul, diterima sebagai hujjah hukum. DR. Mahmud Ath Thohaan,Taisiir Mushtholah al Hadits, (Libanon, Daar al Fikr), hal: 43. Dalam bidang hadits, ukuran bagi diterima atau tidaknya sebuah hadits harus didasarkan kepada ukuran ilmu hadits. Maka jika seorang menafikan sebuah Hadits dengan kehendaknya sendiri, berarti ia telah melakukan tindakan gegabah, yang tidak perlu dicontoh apalagi dituruti. Untuk memastikan bisa diterima atau tidaknya hadits-hadits surat Yasin, kita wajib menggunakan ukuran-ukuran di atas. Di antara hadits-hadits surat Yasin yang menjadi hujjah adalah hadits-hadits di bawah ini :
Pertama, Nabi Muhammad saw bersabda :
”Hati Al Qur’an adalah surat Yasin, tidaklah seseorang membacanya karena mengharap ridho Allah kecuali Allah pasti akan mengampuninya, bacalah surat Yasin untuk orang mati kalian”. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majjah dan Ibnu Hibban, hadits tersebut bersumber dari sahabat Ma’qal bin Yasar ra., matan di atas berasal dari kitab An Nasa’i. Hadits tersebut dianggap shohih oleh Ibnu Hibban. Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits tersebut dan menganggapnya shohih. Asy Syaukani,ibid. Dalam sebuah karangannya Ustadz Yazid Abdul Qodir al Jawaz mengatakan bahwa hadits di atas adalah dho’if  karena ada perawi yang majhul (jahalah) dalam susunan perawinya yaitu Abu Utsman. Dan dengan alasan itu pula ia menganggap ”Yasinan” sebagai bid’ah, sebuah tuduhan yang gemar dilancarkannya. Pandangan ustadz Yazid ditelan mentah-mentah dan dianggap benar seratus persen oleh orang-orang yang juga gemar melontarkan tuduhan bid’ah kepada orang lain yang berbeda ijtihadnya (sebuah kegemaran yang paling dibenci ulama-ulama salaf).
Terhadap pandangan ustadz Yazid penulis perlu mengemukakan:
1. Kalau memang benar hadits ini dho’if  disebabkan kejahalahan / kemajhulan Abu Utsman (ustadz Yazid mengutip sumbernya dari pendapat ahli hadits besar Adz Dzahabi) tidak berarti hadits ini haram dijadikan hujjah, sebab berdasarkan ilmu hadits, hadits dho’if yang kedho’ifannya tidak disebabkan kefasikan dan kebohongan perawi, dan hadits tersebut diriwayatkan lebih dari satu perawi maka hadits tersebut derajatnya naik menjadi haditsHasan Lighoirihi. Hadits di atas memenuhi syarat-syarat tersebut. Jadi, wajib diamalkan karena berarti kita telah menghidupkan sunah Nabi.
2. Sekalipun ternyata bahwa dalam seluruh jalur periwayatan hadits tersebut terdapat nama Abu Utsman, tapi karena hadits tersebut diriwayatkan oleh empat Imam(penulis mengecualikan riwayat dari Imam an Nasai yang hanya menulis nama Abu Utsman tanpa menulis dari bapaknya) Abu al Fida al Hafidh Ibn Katsir Ad Dimsyaqi, Tafsir Al Qur’an Al Adhiim, (Libanon, Daar al Fikr, 1992) jilid ketiga, hal: 678.
Maka berarti pula Abu Utsman meriwayatkan empat kali. Berarti kemajhulan Abu Utsman harus dipertanyakan, sebab seorang perawi disebut majhul diantaranya, kalau hanya sekali saja meriwayatkan hadits. Ath Thohaan, looc.cit. hal: 98 Jika demikian Abu Utsman tidak bisa dianggap majhul.
Dengan begitu hadits di atas shohih, sebagaimana dikatakan Imam Ahmad dan Ibn Hibban. Tapi, dengan tanpa pengandaian-pengandaian, penulis lebih condong mengatakan hadits tersebut di atas derajatnya Hasan Lighoirihi, yang bisa digunakan sebagai hujjah, dan harus diamalkan.
Kedua, ”Al Hafidh Abu Ya’la berkata, ”Meriwayatkan padaku Ishaq bin Abi Isra’il meriwayatkan padaku Hajjaj bin Muhammad dari Hisyam bin Ziyad dari Al Hasan, ia berkata: ”Aku mendengar Abu Hurairoh berkata, Rasulalloh SAW bersabda: barang siapa membaca Surat Yasin di malam hari maka keesokan paginya diampuni Allah. Dan barang siapa yang membaca Haa Mim yang disebut di dalamnya Ad Dukhon maka keesokan paginya diampuni oleh Allah”. Hadits ini isnadnya bagus. Ibnu Katsir, op.cit, hal: 678. Dalam buku ”Yasinan” nya – entah sengaja, pura-pura lupa atau lupa – Ustadz tidak mencantumkan susunan sanad yang lengkap melalui riwayat Abu Ya’la sebagaimana kita lihat hadits di atas. Ia justru menampilkan hadits dengan redaksi (matan) serupa yang diriwayatkan oleh at Thabroni dalam kitab al Mu’jam al Ausath dan al Mu’jam ash Shoghir, yang didalamnya terdapat nama Aghlab bin Tamim yang oleh ahli hadits dianggap dhoif Asy Syaukani, ibid. . Sedangkan dalam riwayat Abu Ya’la di atas sama sekali tidak ada nama perawi tersebut. Bahkan riwayat Abu Ya’la itu diberi komentar isnaaduhu jayyid (susunan sanad/ perawinya bagus). Menurut ahli hadits Indonesia, guru besar Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ), Jakarta Profesor Doktor KH. Maghfur Utsman, jika sebuah hadits dikomentari isnaaduhu jayyid  maka hadits tersebutberderajat hasan Wawancaara 14 Februari 2007Maka jelaslah bahwa hadits tersebut bisa dijadikan hujjah, sehingga orang yang mengamalkannya memperoleh pahala dari Allah, dan berdosalah orang yang dengan sengaja (apalagi dengan semangat kebencian yang meluap-luap) meninggalkan dan menanggalkan isi hadits tersebut. Na’udzubillah!!!

Yasinan Surat Yasin: Mengapa disebut Qalb al Qur’an dan Apa hubungannya dengan orang yang sudah meninggal

As Suyuthi menukil pendapat al Ghazali bahwa Surat Yasin disebut Qolb al Qur’an Menurut kamus al Munawwir qolb artinya : hati, isi, lubuk hati, jantung, inti (lihat kamus al Munawwir, Arab-Indonesia terlengkap, Yogyakarta, Pustaka Progressif, 2000, cet. kedua puluh lima, hal. : 1145)  karena sahnya keimanan diukur dengan pengetahuan terhadap al Hasyr (hari dikumpulkannya seluruh manusia) dan an Nasyr (hari kiamat). Pengenalan tersebut diteguhkan dalam surat Yaasin dengan sebaik-baik pengungkapan. Sedangkan menurut an Nasa’i ia mengatakan bahwa kemungkinannya karena dalam surat tersebut berisi pemantapan tiga pokok ketauhidan, risalah, dan hari kebangkitan, dimana hal-hal tersebut berkait dengan keyakinan hati. Jalal al Din As Suyuthi Asy Syafi’i , Al Itqaan fi Ulum al Qur’an (Libanon, Daar al Fikr, tt), juz kedua, hal. : 159. Adapun maksud kalimat  (bacalah surat Yasin untuk orang mati kalian) adalah karena di dalam Surat Yasin diterangkan tentang kematian dan kehidupan, Asy Syaukani, ibid. contohnya pada ayat yang artinya:Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh) al Qur’an Surat Yasin ayat 12. Dan Artinya : Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka ke luar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. al Qur’an Surat Yasin ayat 12. Imam Al Qurtubi mengatakan bahwa membaca Surat Yasin untuk orang mati maksudnya membaca surat tersebut di sisi orang yang akan mati atau juga membaca di kuburannya. Mengenai pendapat tersebut Ash Suyuthi mengatakan bahwa pendapat yang pertama (dibaca ketika orang akan mati) itu merupakan pendapat jumhur ulama, sedangkan pendapat kedua merupakan pendapat Ibn Abdul Wahid Al Maqdisi.  Imam Jalaluddin as-Suyuthi,Ziarah keAlam Barzakh (terjemahan Syarh ash-Shudur bi Syarh al Mautaa wa al Qubur), Jakarta, Pustaka Hidayah, 2005, cet kesatu, hal. : 393  Menurut Imam As-Saukani jika dibaca untuk orang yang sudah meninggal dunia maka tujuannya adalah untuk meringankan beban (siksa) mayit di dalam kubur.  As-Saukani, ibid   Jadi pada dasarnya surat tersebut dibaca di sisi orang yang mau meninggal dunia maupun sudah meninggal dunia sama-sama dibenarkan dan mendapat pahala.

Yasinan dan Kesimpulan

Kalau saya mengikuti orang yang gemar menuduh bid’ah ibadah orang lain yang tidak sama, tentu saya akan mengatakan begini : “Yasinan adalah kebiasaan atau pekerjaan yang dianggap ibadah karena memiliki sumber hukum berupa hadits Nabi yang menurut ukuran ilmu mustholahah al hadits derajatnya hasan lighoirihi yang bisa diterima sebagai hujjah dan harus diamalkan. Maka orang yang menolak Yasinan adalah pelaku bid’ah tarkiyah senyata-nyatanya dan bisa dianggap sesat dan harus siap merasakan api neraka”  Tapi saya tidak ingin menyimpulkan seperti itu sebab cara pandang seperti itu sungguh sangat jauh dari cara pandang para ulama salaf. Sayahanya ingin memberi kesimpulan sederhana bahwa insya Allah tradisi “Yasinan”  yang banyak dilakukan oleh umat Islam tidaklah bertentangan dengan sunah Nabi, dan siapa yang melakukannya insya Allah memperoleh pahala dari Allah. Tapi harus diperhatikan juga bahwa sebaiknya dalam tradisi “Yasinan” tidak hanya diisi  dengan hanya membaca Surat Yasin tapi harus tingkatkan kualitasnya dengan bersungguh-sungguh menkaji dan mendalami ayat-ayat surat tersebut untuk diamalkan. Hanya Allah Yang Maha Benar.

REFERENSI :
1.         Al Imam Abi al Husain Muslim bin Al Hajjaj Al Qusyairy An Naisabury, Shohih Muslim, (Libanon, Daar al Fikr, 1992)
2.         DR. Muhammad Ajjaj Al Khothib, Ushuul al Hadits, (Libanon, Daar Al Fikr, 2006)
3.         Al Imam Muhammad bin Ali Muhammad Asy Syaukani Al Yamani, Tuhfah Adz Dakirin, (Kairo, Daar al Hadiits, 2004)
4.         DR. Mahmud Ath Thohaan, Taisiir Mushtholah al Hadits, (Libanon, Daar al Fikr)
5.         Abu al Fida al Hafidh Ibn Katsir Ad Dimsyaqi, Tafsir Al Qur’an Al Adhiim, (Libanon, Daar al Fikr, 1992)
6.         Jalal al Din As Suyuthi Asy Syafi’i Al Itqaan fi Ulum al Qur’an (Libanon, Daar al Fikr, tt)
7.         AW.  Munawwir, Kamus Al Munawwir, Arab-Indonesia Terlengkap  ( Yogyakarta, Pustaka Progressif, 2000)
8. Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Ziarah ke Alam Barzakh (terjemahan Syarh ash-Shudur bi Syarh al Mautaa wa al Qubur), Jakarta, Pustaka Hidayah, 2005.

*          Ketua MUI Pusat  (DR. KH. MA. Sahal Machfudh)
**        Ketua Bidang Kajian & Bahsul Masail FOSWAN (Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)
Libih detailnya klik : FOSWAN

******************************************************
Penjelasan tambahan juga bisa di lihat di link lainnya, Judul: Tahlil, Yasiin dan Do’a dalam AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH.
Link-nya klik: AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH

Sabtu, 14 April 2012

Jangan Asal Kata Bid'ah, Mari Kita Pahami ! (Bag.2)



Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya :
وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا (الكهف: 79)
Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi : 79).

Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة .
Selain itu, ada pendapat lain tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.
Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.
Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.
Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.
Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.
Hukum bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: pertama, bid’ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman syari’ah.
Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.
Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.
--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)

Jangan Asal Kata Bid'ah, Mari Kita Pahami ! (Bag.1)



Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, istilah "bid’ah" ini disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Hadratusy Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW,” Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap perkara baru adalah bid’ah”.
Menurut para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh syari’ah atau salah satu cabangnya (furu’).
Bid’ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya, sebagaimana firman Allah S.W.T.:
بَدِيْعُ السَّموتِ وَاْلاَرْضِ
Allah yang menciptakan langit dan bumi”. (Al-Baqarah 2: 117).

Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Timbul suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. pasti jeleknya? Jawaban yang benar, belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid’ah itu baik dan kapan bid’ah itu jelek? Menurut Imam Syafi’i, sebagai berikut;
اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
“Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela”.

Sayyidina Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih berjama’ah dengan dua puluh raka’at yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’ab beliau berkata :
نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِهِ
“Sebagus bid’ah itu ialah ini”.

Bolehkah kita mengadakan Bid’ah? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali kepada hadits Nabi SAW. yang menjelaskan adanya Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا. القائى, ج: 5ص: 76.
Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”.

Apakah yang dimaksud dengan segala bid’ah itu sesat dan segala kesesatan itu masuk neraka?
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.
Mari kita pahami menurut Ilmu Balaghah. Setiap benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk.
Mari kita kembali kepada hadits.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
Semua bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”.

Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan, حدف الصفة على الموصوف “membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan: Kemungkinan pertama :
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.
Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر
“Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.
--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)