Dzikir (ilustrasi)
Berita Terkait
Permasalahan pelaksanaan dalam melakukan ibadah di antara umat Islam, sering terpicu karena adanya perbedaan pendapat antara boleh atau tidaknya ibadah tersebut dilaksanakan. Sementara, tak satupun dari kita yang hidup di zaman Rasulullah shalallahu a’laihi wasallam, untuk menyaksikan langsung apa-apa yang telah dilakukan oleh Habiballah dan para sahabat tersebut. Sehingga, kita pun mengetahuinya melalui ustadz ataupun buku-buku.
Kemiskinan dalam ilmu yang banyak terdapat dalam diri umat muslim, sering menyebabkan kesimpang siuran dalam amalan yang harus dilakukan. Bahkan, sering mengakibatkan perselisihan yang memicu emosi masing-masing pihak yang merasa paling benar. Walaupun, Allah dan Rasul-Nya telah melarang kita untuk berdebat dalam hal-hal yang menyangkut syar’i’at, karena kita telah diberi pedoman Alquran dan Sunnah.
"Manusia itu adalah umat yang satu. Setelah timbul perselisihan, maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan. Allah pun menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu, melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus." (Q.S. Al-Baqarah 2: 213)
Namun, tetap saja kita menjadi ragu-ragu dalam pelaksanaan yang kita nilai sebagai ibadah. Sekalipun itu telah dilaksanakan secara turun temurun dan diwariskan oleh orang tua kepada kita. Padahal, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan kita dalam suatu hadits, “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.”
Hadits tersebut merupakan pokok dalam hal meninggalkan syubhat dan memperingatkan dari berbagai jenis keharaman. Al-Munawi rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan salah satu kaidah agama dan pokok dari sifat wara`, di mana wara` ini merupakan poros keyakinan dan menenangkan dari gelapnya keraguan dan kecemasan yang mencegah cahaya keyakinan.”
Al-Askari rahimahullah menyatakan, “Seandainya orang-orang yang pandai merenungkan dan memahami hadits ini, niscaya mereka akan yakin bahwasanya hadits ini telah mencakup seluruh apa yang dikatakan tentang menjauhi perkara syubhat.” (Faidhul Qadir, 3/529)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh cucu kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma, ketika seseorang yang bernama Abul Haura’ As-Sa`di bertanya kepadanya tentang apa yang dihafalnya dari hadits kakeknya yang mulia shallallahu ‘alaihi wasallam.
Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya, juga At-Tirmidzi, An-Nasa’i dalam Sunan-nya mengeluarkan hadits ini dari jalan Syu’bah dari Buraid bin Abi Maryam dari Abul Haura’ dari Al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma.
Selain itu, hadits ini pun termasuk dalam sekian hadits yang dilazimkan/diharuskan oleh Al-Imam Ad-Daraquthni rahimahullah terhadap Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dan Muslim rahimahullah agar mengeluarkannya dalam shahih keduanya.
Makna RajabSekarang, kita telah berada dalam bulan Rajab yang dalam suatu hadits dikatakan, “Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.” (Status hadits: Dhaif (lemah). Lihat As Silsilah Adh Dhaifah No. 4400)
“Dinamakan Rajab, karena di dalamnya banyak kebaikan yang diagungkan (yatarajjaba) bagi Sya’ban dan Ramadhan.” (Status hadits: Maudhu’ (palsu). As Silsilah Adh Dhaifah No. 3708)
Rajab berasal dari lafadz tarjib, yang berarti mengagungkan. Dan menurut pendapat mayoritas, lafadz Rajab termasuk musytaq. Ini pendapat yang paling kuat, karena ia bentukan dari: رجب Ùلانا , artinya dia memuliakan dan mengagungkannya karena penghormatan orang Arab kepadanya. Oleh karena itu, Rajab dikatakan al murajab (yang diagungkan, dimuliakan).
Al Qadhi Abu Ya’la berkata, “Dinamakan bulan haram karena mengandung dua makna. Pertama, diharamkan berperang di dalamnya dan orang-orang jahiliyah pun meyakininya pula. Kedua, karena melanggar larangan-larangan pada bulan ini lebih berat dosanya dibanding pada bulan selainnya, demikian pula ketaatan. Dari Zadul Masir, 3/432.
Menurut pendapat Hanafiyah, Thawus dan juga Jabir, Mujahid, Ibnu Juraij, sebagai pendapat yang rajih (kuat). Dalam musnad Ahmad 3/334, 345, Tafsir Ibnu Jarir dengan kedua sanadnya dari Jabir, dia berkata, “Rasulullah tidak pernah berperang pada bulan haram, kecuali bila diperangi atau Beliau tidak berperang hingga bulan-bulan haram berakhir.”
Itulah pendapat yang dirajihkan oleh Al Alusi di Rauhul Bayan 2/108, Al Qurtubi di Al Jami’ Al Ahkam Al Qur’an 2/351, Ar Razi di dalam tafsirnya 5/142, Ibnul ‘Arabi di Al Ahkam 1/108, Al Jashas di Al Ahkam. Dengan demikian, kita mengetahui bahwa keharaman perang pada bulan haram tetap dan tidak dinasakh.
Tidak ada satu dalil pun yang shahih, yang secara khusus menyebutkan keutamaan bulan Rajab. Hal ini sebagaimana telah dituturkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Tabyin Al Ujab, “Tidak ada hadits shahih yang pantas untuk dijadikan hujjah dalam masalah keutamaan bulan Rajab, (dengan) puasa di dalamnya dan shalat malam khusus pada malam harinya”. Beliau juga berkata, “Sungguh Imam Abu Ismail Al Harawi Al Hafizh telah mendahuluiku menetapkan demikian. Kami meriwayatkan darinya dengan sanad yang shahih. Demikian pula kami meriwiyatkan dari selainnya.”
Demikian pula kalangan ulama kritikus serta para huffazh telah mendahuluinya, diantaranya: Al ‘Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah (wafat 751 H), beliau berkata di dalam Al Manar Al Munif, hlm. 96, “Setiap hadits yang menyebutkan puasa Rajab dan shalat pada sebagian malamnya, maka itu kedustaan yang diada-adakan.”
Al ‘Allamah Al Faqih Majdudin Al Fairuz Abadi (wafat 826 H), beliau berkata di penutup kitab Safar As Sa’adah, hlm. 150, “Dan bab shalat raghaib, shalat nishfu sya’ban, shalat nishfu rajab, shalat iman, shalat malam mi’raj …, bab-bab ini, di dalamnya tidak ada sesuatu pun yang sah secara pokok.”
Beliau juga berkata, “Bab puasa Rajab dan keutamaannya, tidak ada satupun yang tsabit, bahkan sebaliknya ada riwayat yang memakruhkannya”.
Meskipun demikian, Rajab memiliki keutamaan; Karena Rajab termasuk bulan haram dan terhormat.
Sesungguhnya, bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan; Dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[640]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri[641] kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (Q.S. At-Taubah 9: 36)
[640]. Lihat no. [119]. Maksudnya antara lain ialah : bulan haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah haram (Mekah) dan Ihram.
[641]. Maksudnya janganlah kamu menganiaya dirimu dengan mengerjakan perbuatan yang dilarang, seperti melanggar kehormatan bulan itu dengan mengadakan peperangan.
Dzikir khusus di bulan RajabDi sisi banyaknya nukilan dari para imam tersebut, tragisnya masih saja ada dari umat islam yang mengistimewakan bulan ini. Mereka melakukan ibadah-ibadah yang tidak ada asal-usulnya di dalam syari’at yang suci, seperti mengistimewakannya dengan berpuasa, apakah di awalnya atau keseluruhannya.
Dan umumnya, umat islam di tanah air mengistimewakan bulan ini dengan membaca dzikir-dzikir khusus seperti “Istighfar bulan Rajab” yang dibaca setiap pagi dan petang sebanyak 70 kali, sambil mengangkat tangan membaca: اللَّهمَّ اغْÙÙر Ù„ÙÙŠ وارْØÙ…ÙŽÙ†ÙÙŠ وَتÙبْ عَلَيَّ “Allahummaghfirlii warhamnii watub ‘alayya” è “Ya Allah, ampunilah aku, dan kasihilah aku serta terimalah taubatku”.
Biasanya, dzikir ini dibaca setelah imam salam dari shalat wajib dan diikuti oleh pada jamaah dengan serempak. Dan masih banyak lagi amalan-amalan serupa di bulan Rajab yang tidak ada asal usulnya di dalam syari’at ini.
Semua itu merupakan ajaran baru yang tidak dikenal oleh generasi shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Padahal, merekalah generasi terbaik umat ini, seperti yang terdapat dalam hadits, “Sebaik-baik manusia adalah kurunku kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ’anhu)
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (Q.S. Asy-Syuura 42: 21)
Shalat Raghaib di bulan Rajab
Begitu juga dengan Shalat Raghaib yang telah banyak diamalkan oleh umat muslim di setiap bulan Rajab. Adapun tata cara shalat Raghaib sebanyak 12 raka’at, dengan 6 kali salam, dilaksanakan setelah shalat Maghrib pada Jum’at pertama bulan Rajab. Yang dibaca yakni surat Al-Qadr 3 kali dan Al-Ikhlas 12 kali, setelah membaca Al-Fatihah. Setelah selesai, membaca shalawat Nabi 70 kali, kemudian berdo’a dengan do’a yang dia kehendaki. Maka, rijal haditsnya majhul, dan telah dijelaskan oleh para ahli hadits, bahwa ia maudhu’ (palsu).
Lihat kebid’ahannya di Al Inshaf Lima Fi Shalat Ar Raghaib Minal Ikhtilaf, karya Abu Syamah Al Maqdisi. Dia memasukkannya dengan lengkap dalam Al Ba’its ‘Ala Inkari Al Bida’ Wal Hawadits dan Musajalah ‘Ilmiyyah Baina Al Imamaini Al ‘Iz bin Abdul Salam Wa Ibnu Ash Shalah dan Iqtidha Ash Shirat Al Mustaqim, hlm. 283; Al Madkhal, 1/193; Tabyin ‘Al Ajab Fi Fadhli Rajab, hlm. 47 – Al Misyriyah; Fatawa An Nawawi, hlm. 26; Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 212; As Sunan Al Mubtadi’at, hlm. 140; Al Maudhu’at, 2/124; Al Laliu Al Masnu’ah, 2/57; Tanzih Asy Syari’ah, 2/92; Al Majmu’, 4/56; Safar As Sa’adah, hlm. 150 dan Al Amru Bi Al Ittiba’, lembar 15/1.
Orang yang antusias terhadap shalat Raghaib, berpegang dengan hadits dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah bersabda, "Janganlah kalian melupakan malam Jum’at pertama dari bulan Rajab, karena malam itu disebut oleh Malaikat dengan Raghaib; Maka tidaklah ada seorang yang berpuasa pada hari Kamis pertama dari bulan Rajab, kemudian shalat antara Maghrib dengan Isya’ sebanyak dua belas raka’at, kecuali Allah akan mengampuni dosa-dosanya."
Hadits ini disebutkan secara lengkap bersama tata caranya dalam kitab Al Maudhuaat, karya Ibnul Jauzi. Begitu juga dalam kitab Al Ihya, karya Al Ghazali dan Al Hafizh Al Iraqi berkata, “Hadits ini palsu.”
Abu Faraj Ibnul Jauzi berkata : “Ini adalah hadits palsu yang dibuat secara dusta atas nama Rasulullah oleh Ahli Bid’ah yang sangat ektrim, yaitu Ali bin Abdullah Jahdham”.
Abu Syamah berkata, "Di antara (yang menjadi) faktor hadits ini dituduh palsu adalah, besarnya pahala yang diobral dan janji pengampunan dosa yang fantastis, sehingga membuat orang awam tergiur dan meremehkan kewajiban yang asasi. Dalam lafazh hadits, terdapat indikasi bahwa hadits ini palsu, karena waktu shalat ini antara Isya’ dengan atamah. Dan tidak mungkin lafazh hadits ini berasal dari Nabi, karena Beliau melarang menamai shalat Isya dengan atamah."
Dan dalam Syarah Muslim, karya An Nawawi disebutkan: Para ulama berhujjah terhadap makruhnya (tidak disukai) shalat Raghaib dengan hadits, “Janganlah kamu mengkhususkan malam Jum’at untuk shalat, dan hari Jum’at untuk berpuasa.” [Dikeluarkan Al Bukhari dalam Ash Shahih, 4/232 no. 1985; Muslim dalam Ash Shahih, 2/801 no. 1144; Ahmad dalam Al Musnad, 2/495; At Tirmidzi dalam Al Jami’, 12312 no. 740, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra, sebagaimana di dalam Tuhfah Al Asyraf, 10/351; Ibnu Majah dalam As Sunan, 1/549 no. 1723; Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, 4/302; At Thahawi dalam Syarhu Ma’ani Al Atsari, 2/78]
Oleh karena itu, shalat Raghaib termasuk bid’ah yang munkar, termasuk bid’ah yang sesat, karena di dalamnya ada kemungkaran yang jelas. Allah memerangi pembuat dan penciptanya. Dan sesungguhnya, para imam telah menulis karangan-karangan yang bagus dalam menjelaskan keburukan, kesesatan, kebid’ahan dan jeleknya dalil-dalil yang dipakai (dan kesalahan serta kesesatan pelakunya) yang jumlahnya lebih banyak dari yang dibatasi.
Pendapat An Nawawi tersebut juga menyatakan sesat dan bodoh kepada orang yang shalat Raghaib pada malam Jum’at. Baik itu sendirian maupun berjama’ah, dengan alasan ada anjuran yang membolehkannya. Padahal, semua riwayat seputar shalat Raghaib adalah palsu dan penuh dengan pendustaan atas nama Rasulullah.
Syaikh Masyhur Salman berkata: Hadits ini maudhu’ (palsu) dan tidak disyari’atkan beribadah kepada Allah dengan hadits maudhu’ dalam semua keadaan. Maka shalat Raghaib adalah bid’ah yang sesat, sebagaimana pendapat jumhur ulama dan ahli tahqiq di antara mereka.
Ada sebagian orang yang berpendapat, bahwa para ulama berbeda pendapat dalam memakruhkan pengkhususan hari Jum’at untuk berpuasa dan qiyamul lail pada malamnya. Sedangkan pendapat yang paling kuat adalah makruh tanzih. Oleh sebab itu, tidak boleh mengkhususkan hari Jum’at untuk puasa dan qiyamul lail dan meremehkan malam yang lainnya.
Dalam Jami’ Al Ushul, setelah menyebutkan shalat Raghaib beserta tata caranya dan berdo’a setelahnya, dinyatakan: “Hadits ini termasuk yang aku temukan di kitab Razin, dan aku belum pernah menemukannya dalam salah satu kutubus sittah, dan hadits ini dicela di dalamnya.” [Jami’ Al Ushul 6/154 dan dia menisbatkannya ke Razin Al ‘Iraqi dalam Takhrij Ahadits Al Ihya, 1/203, dan dia berkata: maudhu’]
Dan yang paling tinggi, hadits ini berstatus dha’if. [Perkataan Ibnu ‘Atsir ini tidak bermanfaat, bagaimana sedangkan banyak para ulama yang mu’tabar menyatakan bid’ah & palsunya shalat raghaib]
Mereka juga berdalih, bahwa Syaikh Ibnu Shalah memilih pendapat bolehnya shalat tersebut. Demikian pula Hujjatul Islam (Al Ghazali) dalam Al Ihya dan yang lainnya dari para syaikh dan ulama.
Cara berdalih seperti itu jelas kurang tepat dan salah. Apalagi, semua ulama sepakat tentang bid’ahnya shalat Raghaib. Semua telah dibantah secara tuntas dan jelas oleh ‘Iz bin Abdus Salam, bahwa tidak ada satu dalil pun yang menganjurkan shalat tersebut. Bahkan, Abu Syamah Al Maqdisi dalam Al Inshaf telah membuat penilaian secara adil dan bijaksana.
Abu Syamah memaparkan hujjah mereka masing-masing, dan beliau memberi bantahan tuntas satu per satu. Kemudian membuat kesimpulan secara adil dan bijak, bahwa shalat tersebut hukumnya bid’ah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh muridnya, yaitu Imam Nawawi dalam Al Majmu’ 4/56.
Adapun sikap Ibnu Shalah terhadap shalat tersebut sangat goncang dan kabur. Sebab, beliau pernah berfatwa melarangnya, kemudian berbalik membolehkannya.
Dan Al ‘Iz telah membuat bantahan yang cukup bagus, bahwa sesungguhnya beliau pernah shalat malam Jum’at mengimami umat manusia, sedangkan manusia tidak tahu kalau itu dilarang. Maka, dia takut jika melarangnya akan dikatakan, “Apakah kamu tidak melakukan shalat itu?” Sehingga, beliau lebih rela mengikuti hawa nafsu dan menganjurkan orang lain untuk menganggap baik terhadap sesuatu yang tidak dianggap baik oleh syari’at yang suci.
Adapun pernyataan Imam Al Ghazali dalam Al Ihya 1/203 telah dibantah, bahwa beliau sedikit sekali perbendaharaan ilmu haditsnya. Sebagaimana dikatakan oleh dirinya sendiri, maka pengukuhan beliau terhadap hadits shalat pada malam Jum’at pertama dari bulan Rajab ini ditolak.
Demikian dikatakan Ath Thurthusi dalam Al Hawadits Wal Bida’, hlm. 116-117 dan Abu Syamah dalam Al Ba’its, hlm. 33 darinya pula. Apalagi dalam shalat tersebut terdapat sesuatu yang menambahi Alquran dan Assunnah; Bahkan, sebaliknya banyak dalil-dalil, baik dari Alquran dan Assunnah menyelisihi tata cara shalat tersebut.
Wallahu a’lam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar