Tulisan Berjalan

SUKSES KOMUNITAS MAJU JOS, AKHIRNYA BIMBINGAN DIGITAL MARKETING SECARA GRATIS TANPA BATAS TELAH MEMBERI MANFAAT BESAR

Senin, 28 April 2014

Toleransi: Mayoritas dan Minoritas


by Henri Shalahuddin
 Toleransi (tasamuh) adalah salah satu ajaran penting dalam Islam. Banyak kisah toleransi ditorehkan umat Islam, termasuk di Indonesia, negeri Muslim terbesar di dunia ini. Ada kisah menarik ditunjukkan warga muslim di kampung Arar, Mayamuk, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat. Gereja Immanuel untuk pemeluk Kristen di sini 100% dibangun oleh masyarakat Islam dan hanya berjarak 50 meter dari Masjid An-Nur.
Haji Yunus Mailibit, Imam Masjid An-Nuur menceritakan bahwa pada awalnya masyarakat Islam saja yang tinggal di Pulau Arar. Meraka berasal dari suku-suku Raja Ampat, Ternate, dan Biak. Untuk mendorong saudara-saudara yang beragama Kristen mendiami pulau itu, maka masyarakat Islam membangunkan gereja untuk mereka. Hal ini dibenarkan oleh Ketua Majelis Gereja Pieter Kami, suku Moi juga, dan Pendeta Marghareta Felis. (http://www.pgi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=326:oase-kerukunan-islam-kristen-di-indonesia&catid=97:artikel-a-kajian)
Anehnya, berbagai pihak masih saja memberikan gambaran buruk tentang toleransi beragama di Indonesia, dengan cara mengangkat kasus-kasus konflik keagamaan. Dalam masyarakat yang plural, perbedaan dan kadangkala konflik tentunya biasa terjadi. Tetapi tidak sepatutnya, kasus-kasus itu diangkat secara berlebihan sehingga menghilangkan gambar besar kerukunan umat beragama di Indonesia. Kasus-kasus tentang rumah ibadat biasa terjadi di berbagai daerah dan negara.
Jika tidak proporsional dalam mengangkat masalah, maka masyarakat internasional akan kehilangan gambaran yang sebenarnya terhadap toleransi beragama di Indonesia. Prof. Bilver Singh, dari Singapore Nasional University, pernah mengekspose data yang membalik opini masyarakat internasional tentang kondisi keagamaan di Timor Timur.
Seperti dikutip Adian Husaini, Singh menyimpulkan bahwa selama Timor Timur menjadi bagian NKRI yang terjadi adalah Katolikisasi, bukan Islamisasi!  Ternyata, selama 22 tahun sejak 1972-1994, jumlah pengikut Katolik di Timtim meningkat 356,3%, yaitu dari 27,8% menjadi 92,3%. Padahal, Portugis saja selama 450 tahun menjajah Timtim hanya mampu mengkatolikkan 27,8% orang Timtim. Adian menambahkan bahwa pertumbuhan pengikut Katolik itu di barengi dengan peningkatan pendirian Gereja di Timtim yang berkembang lebih cepat dibanding wilayah lain mana pun di dunia. (http://adianhusaini.com/index.php?option=com_content&view=article&id=71:umat-islam-tidak-toleran&catid=38:artikel&Itemid=53).
Lebih lanjut, Menteri Agama Suryadharma Ali pada 24/4/11 menjelaskan “Berdasarkan data statistik fakta di lapangan, justru tingkat pertumbuhan Gereja jauh lebih besar di banding Masjid. Dalam kurun waktu 1997 hingga 2004, pertumbuhan rumah ibadah Kristen sebesar 150 persen, Budha 360 persen, dan Hindu 400 persen. Sedangkan tingkat pertumbuhan rumah ibadah umat Islam hanya sebesar 64 persen.” (http://www.suara-islam.com/news/berita/nasional/2578-pertumbuhan-masjid-paling-kecil-dibanding-rumah-ibadah-lain).
Potret lain
Awal Juni 2012 lalu, penulis melakukan perjalanan ke beberapa daerah di NTT untuk kegiatan workshop dan seminar. Di daerah minoritas Muslim ini, seperti diceritakan sejumlah tokoh Muslim, toleransi warga mayoritas sudah mulai terbangun dan ada beberapa peningkatan. Misalnya, diberikannya hak pelajaran agama Islam bagi siswa muslim di sekolah-sekolah negeri. Di samping itu pembauran dan interaksi sosial juga terbina dengan baik. Hal ini diperkuat lagi menjelang musim pilkada, di mana para kontestan non muslim kerap bersilaturahmi kepada komunitas muslim untuk mencari dukungan suara. Kompensasinya mereka akan lebih memperhatikan kepentingan umat Islam.
Namun demikian, tak dipungkiri, adanya beberapa kasus diskriminasi yang menimpa umat Islam.  Inilah yang, misalnya, dialami warga pulau Kera yang hidup jauh dari standar kepatutan. Pulau kecil seluas 1,5 km persegi ini terletak persis ditengah-tengah pintu masuk kota Kupang dengan jarak tempuh sekitar 45 menit dengan menggunakan perahu motor. Pulau ini dihuni sejak 1919 dan saat ini warganya mencapai kurang lebih 78 kk (315 jiwa). Saat mengungjungi pulau ini, penulis melihat begitu sangat tidak memadainya kondisi kehidupan mereka. Mereka hidup di gubuk-gubuk reyot; tidak ada layanan pendidikan, kesehatan, air bersih, apalagi listrik. Pada musim hujan, ombak dan angin, mereka didera kelaparan karena akses keluar pulau sangat beresiko.
Kondisi ini diperparah lagi dengan tidak adanya pengakuan kependudukan dari pemerintah daerah setempat, sehingga mayoritas warga tidak memiliki KTP. Akibatnya, hal ini sangat menyulitkan warga pulau Kera yang berasal dari suku Bajo, Sulawesi Tenggara ini untuk mengurusi segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan, seperti pengurusan pernikahan, akte kelahiran, jaminan kesehatan masyarakat (JAMKESMAS), dll. Itulah “museum hidup” derita warga pulau Kera. Anehnya, menjelang pilkada biasanya ada yang membujuk mereka untuk memberikan suaranya kepada salah satu calon dengan tumpukan berbagai janji. Namun hingga saat penulis datang ke daerah itu, kondisi mereka masih sangat memilukan.
Kasus-kasus individual juga kadang terjadi. Sumber-sumber dari kalangan tokoh Muslim menceritakan, bahwa beberapa waktu lalu warga muslim berencana mendirikan Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) di Oebobo, kota Kupang. Namun dengan alasan tertentu, ijin pendirian SDIT tidak diperoleh, akhirnya gedung yang sudah dipersiapkan digunakan untuk lokasi Taman Kanak-kanak. Sebuah kasus juga pernah dialami siswi sebuah SMA di Kupang. Ketika ada acara pengambilan foto untuk pembuatan kartu siswa, siswi tersebut diminta melepaskan jilbab dengan alasan  kebijakan sekolah.
Dalam masalah pembuatan KTP elektrik (e-KTP), seorang muslimah juga diminta membuka jilbab saat difoto. Muslimah ini lebih memilih pulang dan urung membuat KTP daripada harus buka jilbab. Insiden ini terjadi di kecamatan Maulafa. Suaminya kemudian melaporkan ke MUI Kupang. Alhamdulillah, setelah dilakukan pendekatan, kasus ini selesai dan Muslimah diijinkan membuat KTP dengan tetap memakai jilbab.
“Yang membuat kami resah di sini jika TV-TV nasional memberitakan kasus-kasus yang menimpa beberapa gereja di Jawa,” kata seorang dai yang sudah sejak 1965 bertugas di di NTT.  Bapak berusia 70 tahun ini becerita, saat terjadi kasus penyerangan Gereja di Temanggung, misalnya, sudah beredar SMS bahwa aka nada penyerbuan-penyerbuan masjid di Kupang. Akibatnya, masyarakat, polisi, dan juga beberapa pemuka agama Kristen berjaga-jaga dan berusaha menenangkan situasi.
Kasus demi kasus akan selalu terjadi. Sebab, Indonesia adalah negara plural. Akan tetapi, seperti diimbau oleh KH Hasyim Muzadi, seyogyanya, kasus-kasus itu diselesaikan secara internal. (***)

Tidak ada komentar: