/Edwin Dwi Putranto
Oleh: Muhbib Abdul Wahab
Setiap mukmin pasti ingin masuk surga. Karena masuk surga tidak gratis, tiket masuknya harus dipersiapkan atau dibeli selama hidup di dunia. Menjadi mukmin teladan, tentu saja merupakan jalan yang mengantarkannya masuk surga.
Mukmin berasal dari kata iman, mashdar dari aamana-yu’minu yang berarti memercayai, meyakini, membenarkan (dalam hati dan berikrar dengan lisan), dan menjamin atau memberi rasa aman.
Mukmin adalah orang yang memercayai keesaan Allah, meyakini kebenaran ajaran-Nya, dan menjamin adanya rasa aman sekaligus memiliki amanah dalam hidupnya sehingga ia menjadi orang yang tepercaya dan memiliki integritas tinggi.
Sesungguhnya, beriman merupakan fitrah manusia. Kecenderungan bertauhid itu inheren dalam diri manusia sejak dalam kandungan. Sejak ruh ditiupkan, manusia memiliki sifat lahut (ketuhanan), mendekatkan diri kepada Allah.
Manusia juga memiliki ketergantungan dan kebutuhan spiritual untuk memohon petunjuk dan jalan kehidupan yang benar, baik, indah, dan membahagiakan.
Mukmin harus beriman kepada Allah SWT karena ia merupakan bagian dari makrokosmos ciptaan Allah. Jalan terbaik yang harus dilalui manusia adalah mengikuti syariat-Nya dan meneladani sifat-sifat-Nya yang tecermin dalam al-Asma’ al-Husna.
Menjadi mukmin teladan merupakan sebuah perjuangan hidup yang harus ditempuh dengan keikhlasan, kesungguhan, dan konsistensi.
Setiap mukmin pasti ingin masuk surga. Karena masuk surga tidak gratis, tiket masuknya harus dipersiapkan atau dibeli selama hidup di dunia. Menjadi mukmin teladan, tentu saja merupakan jalan yang mengantarkannya masuk surga.
Mukmin berasal dari kata iman, mashdar dari aamana-yu’minu yang berarti memercayai, meyakini, membenarkan (dalam hati dan berikrar dengan lisan), dan menjamin atau memberi rasa aman.
Mukmin adalah orang yang memercayai keesaan Allah, meyakini kebenaran ajaran-Nya, dan menjamin adanya rasa aman sekaligus memiliki amanah dalam hidupnya sehingga ia menjadi orang yang tepercaya dan memiliki integritas tinggi.
Sesungguhnya, beriman merupakan fitrah manusia. Kecenderungan bertauhid itu inheren dalam diri manusia sejak dalam kandungan. Sejak ruh ditiupkan, manusia memiliki sifat lahut (ketuhanan), mendekatkan diri kepada Allah.
Manusia juga memiliki ketergantungan dan kebutuhan spiritual untuk memohon petunjuk dan jalan kehidupan yang benar, baik, indah, dan membahagiakan.
Mukmin harus beriman kepada Allah SWT karena ia merupakan bagian dari makrokosmos ciptaan Allah. Jalan terbaik yang harus dilalui manusia adalah mengikuti syariat-Nya dan meneladani sifat-sifat-Nya yang tecermin dalam al-Asma’ al-Husna.
Menjadi mukmin teladan merupakan sebuah perjuangan hidup yang harus ditempuh dengan keikhlasan, kesungguhan, dan konsistensi.
Beriman perlu diawali dengan penyerahan diri dengan mengucapkan dua kalimat syahadat bahwa Allah itu Esa dan Muhammad adalah Rasul-Nya.
Menjadi mukmin teladan harus dibarengi dengan memurnikan dan mendeklarasikan tauhid (la ilaha illa Allah) dalam arti luas, meliputi pertama, tauhid ibadah (QS ad-Dzariyat: 56); kedua, tauhid kesatuan tujuan hidup (QS al-Baqarah: 201); ketiga, tauhid penciptaan (QS al-Baqarah: 29); keempat, tauhid kemanusiaan (QS al-Baqarah: 30), dan kelima, kesatuan sumber kebenaran dan petunjuk, pedoman hidup (QS al-Baqarah: 147)
Menjadi mukmin teladan juga harus dilanjutkan dengan membebaskan diri dari segala bentuk syirik, termasuk syirik politik, ekonomi, budaya, dan syirik hawa nafsu.
Setelah berakidah tauhid, iman perlu dibuktikan dan ditumbuhkembangkan dengan amal saleh dilandasi ilmu yang memadai. Trilogi iman-ilmu-amal merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Menurut Alquran, mukmin teladan adalah hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang. Mereka itu rendah hati, bertutur kata yang baik ketika bertemu dengan orang jahil, bersujud dan tahajud pada malam hari, berdoa agar dijauhkan dari siksa Jahanam, tidak kikir dan tidak boros, tidak menyembah selain Allah, tidak membunuh jiwa kecuali dengan alasan yang benar, dan sebagainya (QS al-Furqan: 63-77).
Profil mukmin ideal dilukiskan Nabi SAW dengan empat perumpamaan. Pertama, mukmin itu bagaikan lebah; yang dimakan itu pasti baik, jika hinggap pada tanaman berbunga tak merusak atau mematahkan ranting dan dahannya. Kedua, mukmin itu ibarat dua tangan, yang satu mencuci tangan lainnya (saat berwudhu).
Ketiga, mukmin itu ibarat sebuah bangunan yang saling menguatkokohkan. Keempat, mukmin itu bagaikan satu tubuh apabila salah satu anggotanya sakit, yang lainnya turut merasakannya.
Karenanya, mukmin teladan harus bisa bersatu padu, kompak, penuh persaudaraan dan kebersamaan, serta berbagi tugas dan fungsi dalam menyelesaikan masalah seperti lebah.
Mukmin teladan dituntut memiliki etos kerja yang ikhlas, cerdas, keras, tuntas, berkualitas, dan memberi rasa puas bagi orang lain dengan disiplin dan produktivitas tinggi.
Dengan demikian, menjadi mukmin teladan tidak bisa instan. Iman yang kita miliki tidak cukup hanya sebatas iman taqlidi, tetapi harus ditindaklanjuti menjadi iman tahqiqi, yaitu iman yang disinergikan dengan ilmu dan amal saleh dan istiqamah.
Menjadi mukmin teladan harus dibarengi dengan memurnikan dan mendeklarasikan tauhid (la ilaha illa Allah) dalam arti luas, meliputi pertama, tauhid ibadah (QS ad-Dzariyat: 56); kedua, tauhid kesatuan tujuan hidup (QS al-Baqarah: 201); ketiga, tauhid penciptaan (QS al-Baqarah: 29); keempat, tauhid kemanusiaan (QS al-Baqarah: 30), dan kelima, kesatuan sumber kebenaran dan petunjuk, pedoman hidup (QS al-Baqarah: 147)
Menjadi mukmin teladan juga harus dilanjutkan dengan membebaskan diri dari segala bentuk syirik, termasuk syirik politik, ekonomi, budaya, dan syirik hawa nafsu.
Setelah berakidah tauhid, iman perlu dibuktikan dan ditumbuhkembangkan dengan amal saleh dilandasi ilmu yang memadai. Trilogi iman-ilmu-amal merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.
Menurut Alquran, mukmin teladan adalah hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang. Mereka itu rendah hati, bertutur kata yang baik ketika bertemu dengan orang jahil, bersujud dan tahajud pada malam hari, berdoa agar dijauhkan dari siksa Jahanam, tidak kikir dan tidak boros, tidak menyembah selain Allah, tidak membunuh jiwa kecuali dengan alasan yang benar, dan sebagainya (QS al-Furqan: 63-77).
Profil mukmin ideal dilukiskan Nabi SAW dengan empat perumpamaan. Pertama, mukmin itu bagaikan lebah; yang dimakan itu pasti baik, jika hinggap pada tanaman berbunga tak merusak atau mematahkan ranting dan dahannya. Kedua, mukmin itu ibarat dua tangan, yang satu mencuci tangan lainnya (saat berwudhu).
Ketiga, mukmin itu ibarat sebuah bangunan yang saling menguatkokohkan. Keempat, mukmin itu bagaikan satu tubuh apabila salah satu anggotanya sakit, yang lainnya turut merasakannya.
Karenanya, mukmin teladan harus bisa bersatu padu, kompak, penuh persaudaraan dan kebersamaan, serta berbagi tugas dan fungsi dalam menyelesaikan masalah seperti lebah.
Mukmin teladan dituntut memiliki etos kerja yang ikhlas, cerdas, keras, tuntas, berkualitas, dan memberi rasa puas bagi orang lain dengan disiplin dan produktivitas tinggi.
Dengan demikian, menjadi mukmin teladan tidak bisa instan. Iman yang kita miliki tidak cukup hanya sebatas iman taqlidi, tetapi harus ditindaklanjuti menjadi iman tahqiqi, yaitu iman yang disinergikan dengan ilmu dan amal saleh dan istiqamah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar