REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr KH Achmad Satori Ismail
Dalam Syariat Islam, pengharaman miras dan narkoba melebihi pengharaman makanan, seperti daging babi dan bangkai. Setiap Muslim sudah tahu bahwa segala yang memabukkan termasuk dosa besar, tetapi mayoritas umat belum tahu bahwa mengonsumsi miras atau narkoba bukan sekadar dosa besar dan dilaknat penggunanya. Tapi, narkoba lebih bahaya dari sekadar dosa besar.
Pertama, narkoba disebut sebagai induk kejahatan. Betapa banyak orang yang kecanduan narkoba kemudian melakukan pencurain, perampokan, menjual diri, dan melakukan dosa-dosa lainnya. Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah induk segala kejahatan (khamr).” (HR an-Nasa’i).
Kedua, Allah melaknat 10 kelompok manusia berkaitan dengan miras dan narkoba: yang memproduksi, orang minta diproduksi, pengonsumsinya, pengantarnya, yang minta diantarkannya, yang menyiapkannya, penjualnya, pemakan hasilnya, pembelinya, dan yang dibelikannya. (HR al-Baihaqi).
Ketiga, sanksi mengonsumsi miras atau narkoba berbeda dengan mengonsumsi barang haram lainnya. Pemakai narkoba dalam syariat Islam harus dicambuk 80 kali. (Lihat Jami’ul ahadits, bab musnad Umar Ibnul Khattab. Juz 25 hlm 425).
Keempat, hadis yang mengungkapkan bahwa setiap yang memabukkan adalah khamr (miras, narkoba, dan sejenisnya) dan setiap yang memabukkan adalah haram (HR Muslim) menunjukkan bahwa keharaman narkoba karena bisa merusak akal. “Segala yang memabukkan, banyak atau sedikitnya tetap haram. (HR al-Baihaqi dan an-Nasa’i).
Dalam hal miras dan narkoba ini, Imam Malik bin Anas memiliki pendapat khas karena sikap preventif. Dia mengatakan bahwa semua yang memabukkan najis bendanya sama dengan najisnya kotoran manusia atau air seni.
Menurut ulama, khamr tidak najis bendanya tapi haram dikonsumsi. Sebagian ahli fikih Mazhab Maliki berpendapat bahwa Imam Malik melihat pada maqashidu as syar’i (tujuan syariat) dalam masalah miras seirama dengan tujuan syariat yang ingin melindungi akal.
Di antara pendapat Imam Malik dalam hal miras adalah: Pertama, semua yang memabukkan tidak boleh dikonsumsi walaupun dalam kondisi darurat. Kedua, dalam kitab Mudawwanah juz X hlm 365, Imam malik mengatakan, seorang Nasrani harus dicambuk kalau menjual khamr kepada Muslim jika tahu pembelinya adalah Muslim.
Bahkan, sebagian ulama melarang umat Islam untuk berbelanja di toko yang menjual miras dan zat yang memabukkan lainnya atas dasar dua alasan. Pertama, berbelanja di toko yang menjual miras termasuk dukungan material dam moral kepada penjual miras. (QS al-Maidah [5]: 2).
Kedua, keluar masuknya umat Islam ke warung yang menjual miras akan kelihatan oleh umat Islam secara umum sehingga mencerminkan teloransi terhadap miras, penjualnya, pembelinya, dan pengedarnya. Pendapat ini merupakan sikap hati-hati agar jangan sampai terjerumus pada yang haram.
“Barang siapa yang menjauhi syubhat (samar) bersihlah kehormatan dan agamanya dan barang siapa yang jatuh dalam syubhat berarti terjerumus dalam yang haram.” (HR Bukhari, Muslim dan lainnya). Wallahu a’lam
Dalam Syariat Islam, pengharaman miras dan narkoba melebihi pengharaman makanan, seperti daging babi dan bangkai. Setiap Muslim sudah tahu bahwa segala yang memabukkan termasuk dosa besar, tetapi mayoritas umat belum tahu bahwa mengonsumsi miras atau narkoba bukan sekadar dosa besar dan dilaknat penggunanya. Tapi, narkoba lebih bahaya dari sekadar dosa besar.
Pertama, narkoba disebut sebagai induk kejahatan. Betapa banyak orang yang kecanduan narkoba kemudian melakukan pencurain, perampokan, menjual diri, dan melakukan dosa-dosa lainnya. Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah induk segala kejahatan (khamr).” (HR an-Nasa’i).
Kedua, Allah melaknat 10 kelompok manusia berkaitan dengan miras dan narkoba: yang memproduksi, orang minta diproduksi, pengonsumsinya, pengantarnya, yang minta diantarkannya, yang menyiapkannya, penjualnya, pemakan hasilnya, pembelinya, dan yang dibelikannya. (HR al-Baihaqi).
Ketiga, sanksi mengonsumsi miras atau narkoba berbeda dengan mengonsumsi barang haram lainnya. Pemakai narkoba dalam syariat Islam harus dicambuk 80 kali. (Lihat Jami’ul ahadits, bab musnad Umar Ibnul Khattab. Juz 25 hlm 425).
Keempat, hadis yang mengungkapkan bahwa setiap yang memabukkan adalah khamr (miras, narkoba, dan sejenisnya) dan setiap yang memabukkan adalah haram (HR Muslim) menunjukkan bahwa keharaman narkoba karena bisa merusak akal. “Segala yang memabukkan, banyak atau sedikitnya tetap haram. (HR al-Baihaqi dan an-Nasa’i).
Dalam hal miras dan narkoba ini, Imam Malik bin Anas memiliki pendapat khas karena sikap preventif. Dia mengatakan bahwa semua yang memabukkan najis bendanya sama dengan najisnya kotoran manusia atau air seni.
Menurut ulama, khamr tidak najis bendanya tapi haram dikonsumsi. Sebagian ahli fikih Mazhab Maliki berpendapat bahwa Imam Malik melihat pada maqashidu as syar’i (tujuan syariat) dalam masalah miras seirama dengan tujuan syariat yang ingin melindungi akal.
Di antara pendapat Imam Malik dalam hal miras adalah: Pertama, semua yang memabukkan tidak boleh dikonsumsi walaupun dalam kondisi darurat. Kedua, dalam kitab Mudawwanah juz X hlm 365, Imam malik mengatakan, seorang Nasrani harus dicambuk kalau menjual khamr kepada Muslim jika tahu pembelinya adalah Muslim.
Bahkan, sebagian ulama melarang umat Islam untuk berbelanja di toko yang menjual miras dan zat yang memabukkan lainnya atas dasar dua alasan. Pertama, berbelanja di toko yang menjual miras termasuk dukungan material dam moral kepada penjual miras. (QS al-Maidah [5]: 2).
Kedua, keluar masuknya umat Islam ke warung yang menjual miras akan kelihatan oleh umat Islam secara umum sehingga mencerminkan teloransi terhadap miras, penjualnya, pembelinya, dan pengedarnya. Pendapat ini merupakan sikap hati-hati agar jangan sampai terjerumus pada yang haram.
“Barang siapa yang menjauhi syubhat (samar) bersihlah kehormatan dan agamanya dan barang siapa yang jatuh dalam syubhat berarti terjerumus dalam yang haram.” (HR Bukhari, Muslim dan lainnya). Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar