Allah berfirman,
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali mereka yang diberi rahmat oleh Rabmu. Dan itulah mereka menciptakan mereka”,
(QS.Hud;118-119)
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Rasulullah mengimformasikan bahwa orang Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, dan orang Nasrani terpecah menjadi 71 atau 72 golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan.
(HR.Tirmidzi, abu Daud dan Ahmad).
Perbedaan tidak semuanya tercela, karena seperti itu sudah ada sejak zaman Rasulullah. Diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudri, ada dua orang sahabat yang shalat dengan menggunakan tayamum. Ketika mereka mendapatkan air, salah seorang mereka mengulangi shalatnya. Dan Rasulullah mengatakan kepadanya bagimu dua pahala, dan kepada yang tidak mengulangi shalatnya dikatakan, “Engkau telah melakkukan sunah”.
(HR. Abu Daud dan Nasa’i).
Ada beberapa sebab mereka berbeda pendapat diantaranya karena tidak sama dalam mendengar hadits dari Nabi. Juga terkadang perbedaan persepsi tentang satu masalah. Atau perselisihan karena lupa atau berbeda dalam memandang ilat (sebab) dari hadits.
Ikhtilaf dapat diklasifikasikan dalam dua bagian yaitu; pertama, Ikhtilaf (perbedaan) yang dibenci. Seperti Ikhtilafnya orang Yahudi dan Nasrani, atau perbedaan yang didasari oleh hawa nafsu.
Allah berfirman:
“Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan membanggakan dengan apa yang ada pada golongan mereka.
(QS.Ar-Rum;31-32).
Ada juga perbedaan yang salah satu pihaknya dicela dan pihak yang lain dipuji (karena benarnya) seperti perpecahan umat menjadi 73 golongan, kesemuanya di neraka kecuali satu. Yaitu orang-orang yang berada di atas jalan seperti jalan saya saat ini beserta para sahabatku, dalam riwayaat lain mereka adalah jamaah.
(HR.Tirmidzi, abu Daud dan Ahmad).
Kedua; ikhtilaf yang dibolehkan, yaitu perbedaan antara dua orang yang berijtihad dalam masalah yang boleh diijtihadkan. Dari Amr bin Al-Ash, Rasulullah bersabda, “Apabila dua hakim mengadili dan mereka berijtihad jika dia benar maka akan mendapatkan dua pahala. Apabila dia salah maka mendapat satu pahala”.
(HR.Bukhari).
namun ijtihad tidak dibolehkan kecuali pada masalah yang tidak ada Nash atau dalil yang pasti. Atau pada masalah yang bukan sudah menjadi kesepakatan. Atau pada dalil yang mengandung beberapa kemungkinan penafsiran. Dan methode dalam berijtihad harus sesuai dengan methode Ahlussunnah. Termasuk yang diperbolehkan juga adalah ikhtilaf Tanawwu’ (perbedaan jenis/ macam) seperti perbedaan Qiraat dalam Al-Qur’an dan lainnya.
Agar perbedaan yang dibolehkan seperti di atas tidak menimbulkan perpecahan yang dibenci oleh Allah, maka ada beberapa adab yang perlu dipahami dalam mensikapi perbedaan diantaranya;
- Menyadari bahwa perbedaan dalam masalah yang tidak prinsipil merupakan sunnatullah, bahkan menjadi karakteristik dari agama ini dijadikan mudah oleh Allah, sebagaimana firman-Nya, “Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu yang memberatkan”.(QS.Al-Haj;78)
- Menerima kebenaran yang datang dari orang lain, Allah berfirman, “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. (QS.Al-Baqarah;147)
- Lapang dada dalam menerima masukan dan kritikan yang benar dari siapapun. Menolak kritikan dari orang lain yang baik, merupakan sebuah kesombongan, (HR.Muslim )
- Mendiskusikan suatu masalah dengan adab yang benar, seperti memilih kata yang sopan, Allah berfirman, “Dan ucapkan kata yang baik kepada manusia”, (QS.Al-Baqarah; 83), dan tujuan dalam diskusi untuk mencari kebenaran, bukan untuk saling menjatuhkan apalagi sekedar mengadu urat leher.
- Mencari jalan keluar yang terbaik lewat syura, Allah berfirman, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka pada urusan itu” (QS.Ali Imran; 159). Dan menghindari perdebatan yang tidak bermanfaat. Rasulullah bersabda, “Saya adalah pemimpin di sebuah rumah di pelataran surga bagi mereka yang meninggalkan perdebatan meskipun dia benar”. (HR.Abu Daud). Ibnu Abdil Baar menyebutkan dari Zakaria bin Yahya, bahwa Abdullah bin Hasan berkata, “Perdebatan akan merusak persahabatan yang lama, dan mencerai beraikan ikatan persaudaraan yang kuat, minimal akan menjadikan Mughalabah (keinginan untuk saling menjatuhkan dan mengalahkan), dan itulah yang penyebab yang terkuat putusnya ikatan persaudaraan”, (Mukhtashar Jami’ Bayan Ilmi hal.278).
Ibnu Abbas memberikan contoh yang sangat indah dalam mensikapi perbedaan seperti yang diceritakan oelh Imam Bukahari dan Mudlim dari Hushain bin Abdurrahman beliau berkata.
“Saya berada di tempat Said bin Jubair, lalu dia berkata, “Siapakah diantara kalian yang melihat bintang jatuh tadi malam?, saya menjawab, “Saya, tetapi ketahuilah saya tidak dalam keadaan shalat, saya disengat binatang berbisa. Said bertanya apa yang kamu lakukan? Saya menjawab, “Saya melakukan Ruqyah”, Said bertanya; apakah dalil yang membawamu untuk melakukan itu?”, Saya menjawab, “Sebuah hadits yang diceritakan oleh Sya’bi dari Buraidah bin Al-Husain bahwasanya nabi bersabda, “Tidak boleh melakukan ruqyah kecualii dari penyakit yang ditimbulkan oleh pandangan mata ('ain), dan dari racun binatang berbisa.
Dia berkata; Sungguh bagus orang yang berpedoman dengan hadits yang dia dengar, tetapi Ibnu Abbas menceritakan kepada kami bahwa,”
Di sini Ibnu Abbas tidak memaki Hushain yang berbeda dengannya, bahkan menganggapnya baik karena berpatokan pada hadits yang shahih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar