Tulisan Berjalan

SUKSES KOMUNITAS MAJU JOS, AKHIRNYA BIMBINGAN DIGITAL MARKETING SECARA GRATIS TANPA BATAS TELAH MEMBERI MANFAAT BESAR

Selasa, 24 April 2012

Dakwah Islam: Sebuah Catatan




T
Dakwah Islam
Indonesia memiliki segalanya. Alam Indonesia menyimpan kekayaan yang luar biasa. SDA Indonesia hingga saat ini masih menyimpan potensi yang dibutuhkan oleh umat manusia. Jelasnya, setiap jengkal tanah di bumi Indonesia memberikan kehidupan. Tak heran jika dahulu para penjajah datang untuk mengeruk kekayaan bumi nusantara. Indonesia juga adalah paru-paru dunia.
Jutaan hektar hutan Indonesia sangat menentukan kelangsungan kehidupan di dunia. Dunia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap Indonesia. Jika hutan Indonesia rusak, maka bumi ini akan kehilangan keseimbangannya. Hal ini sangatlah membahayakan kehidupan manusia.
Ketergantungan dunia juga dirasakan dalam bidang kerukunan umat beragama. Indonesia dengan keragaman yang dimilikinya merupakan barometer dunia dalam pengelolaan kehidupan umat beragama. Keberhasilan Indonesia dalam membangun kerukunan umat beragama adalah sebuah prestasi sekaligus sumbangsih bagi perdamaian dunia. Di sinilah peran umat Islam sangat jelas dalam memberikan kontribusi bagi kelangsungan kerukunan umat beragama.
Bukti nyata besarnya peran Indonesia dapat dilihat dari keterlibatan Indonesia dalam penuntasan berbagai konflik di berbagai belahan dunia. Ketika dunia mengalami permasalahan dengan umat Islam, Indonesia tampil di depan sebagai penengah. Misalnya konflik Hizbullah dan Israel, konflik Darfur, hingga pemulihan keamanan di beberapa negara benua Afrika. Dunia melihat bahwa Indonesia memiliki kemampuan dalam mengelola perdamaian. Apalagi pasca keberhasilan penyelesaian konflik Aceh, kini dunia melirik Indonesia untuk berperan aktif dalam penyelesaian konflik di Afghanistan dan Irak serta beberapa tempat lainnya.
K.H. Hasyim Muzadi, dalam sebuah seminar melontarkan pernyataan bahwa ada dua hal yang membanggakan Indonesia sekaligus mengkhawatirkan. Yang membanggakan adalah cara berfikir keagamaan yang mengikuti ahlussunah yang diaplikasikan dalam kehidupan keindonesiaan yang menggabungkan antara ibadah, fikih, dan tasawuf secara bersamaan. Bangsa ini memiliki karakter keberagamaan yang taat, tanpa menghapus nilai kebangsaan. Umat Islam mampu hidup berdampingan dengan berbagai kelompok umat dan budaya lain, tanpa menanggalkan identitas keislamannya sesuai dengan ketentuan wahyu, ini adalah karakter keberagamaan yang dianut oleh umat Islam Indonesia.
Para dai yang datang ke bumi Nusantara telah membangun corak keislaman yang tidak menegasikan lokalitas, juga tanpa menghilangkan idealisme keislaman. Keduanya telah menyatu dalam sebuah paham keagamaan yang soft, sehingga masyarakat Indonesia mampu menjaga keragamannya dalam bingkai keimanan masing-masing. Dunia Internasional mengakui hal ini. Bahkan Indonesia kini diangap sebagai negara yang menjadi rujukan dalam melihat Islam. Ketika negara-negara bependuduk muslim di Timur Tengah sebagai pusat kelahiran Islam, maka Indonesia adalah pengembang atas Islam itu sendiri. Di sinilah Islam bisa tumbuh dengan berbagai situasi sosial, politik, dan ekonomi serta budaya. Dalam ruang yang lebih luas, Islam telah mengisi ruang dalam sistem ketatanegaraan ini.
Namun, di sisi lain berdiri sebuah ironi yang mengangu pandangan atas keislaman yang soft power tersebut. Ada kondisi yang mengkhwatirkan kita semua, dimana terdapat permasalahan yang potensial merusak tatanan sosial yang telah ada saat ini.
Kekhawatiran pertama adalah adanya jarak antara ajaran yang luhur dan perilaku, khususnya dalam muamalah. Misalnya, Indonesia adalah negeri muslim terbesar, tetapi juga terkorup. Sangat menyedihkan karena jelas merusak citra keislaman yang menjunjung tinggi moralitas. Dunia akan melihat bahwa umat Islam Indonesia juga bagian dari kebobrokan tersebut, sebuah pandangan yang tidak semuanya benar namun juga tidak salah juga.
Agama diajarkan dimana-mana, bahkan dari level terendah pendidikan pun sudah diajarkan. Namun pendidikan agama yang diberikan belum mampu membangun karakter bangsa yang jauh dari korupsi. Tidak hanya pendidikan formal, agama yang mengajarkan kemulian akhlak juga diajarkan dalam berbagai ritual agama. Secara jelas al-Qur’an menegaskan bahwa Shalat akan mencegah pelakunya dari berbagai kemungkaran. Namun apa yang terjadi? Ibadah berlalu begitu saja tanpa ada bekas dalam kehidupan moralitas.
Dr. H. Syafii Anthonio, M.Ec memberikan ilustrasi menarik soal ini dalam hal berbisnis. Menurutnya, mana yang lebih baik, miskin bersabar atau kaya bersyukur mana yang lebih baik? yang miskin dan sabar itu hal biasa dan kaya bersyukur juga itu biasa. Tapi kalau kaya sabar maka itu yang luar biasa. Apa yang dimaksud orang kaya sabar? yaitu orang yang kaya sabar dalam kekayaannya. Setelah kaya ia tidak sombong, bisa menahan diri untuk tidak pamer, istiqomah untuk meniti income yang halal, dan meneruskan menjadi pengusaha yang amanah. Ternyata tingkatan ini jauh lebih berat dari orang yang miskin sabar dan orang kaya yang syukur.
Siapa kira-kira contoh yang harus kita ambil kalau kita berbicara tentang pengusaha yang jujur? Pengusaha yang amanah pengusaha yang sukses kemudian pengusaha yang bisa mengembangkan masyarakat. Pengusaha yang peduli kepada masyarakat, ternyata setelah dipikir-pikir tidak ada contoh yang lebih hebat dari Rasulullah SAW. Bahwa kita dengan rasul benci tapi rindu. Kita dengan rasul terkena problem rabun dekat. Apa yang dimaksud dengan rabun dekat? Kita dengan rasul ini begitu dekat, seolah-olah tidak ada jarak lagi apalagi, kita membaca sholawat kepadanya setiap waktu kita, kita membaca maulud Berjanzi dan Diba”. Inilah yang saya sebutkan rasul ini kita “kerangkeng” dan kita “ikat pakai rantai” di masjid-masjid, tidak boleh keluar/tidak pernah kita bawa dalam dimensi-dimensi kehidupan kita. Rasul itu hanya mewarnai hidup kita 50 menit sehari melalui shalat 5 waktu.
Ilustrasi di atas mengambarkan bahwa dalam kehidupan ini telah terjadi diktomi antara moralitas dan spiritual. Agama hanya berlaku dalam ibadah vertikal, sementara wilayah horizontal tak lagi menggunakan agama. Rasulullah saw hanya diteladani sebatas dalam perayaan haris besar Islam, setelah itu dilupakan dan bahkan dibuang.
Kekhawatiran selanjutnya adalah adanya sifat rendah diri menghadapi orang lain. Umat kita lebih bangga dengan produk dari luar, lebih bangga mengambil fikiran asing ketimbang memperdalam pemikiran lokal. Ini akan menghancurkan bangsa, karena yang datang dari luar dianggap lebih tinggi. Menurut Prof. Atho Muzhar, banyak generasi muda yang bangga belajar segala sesuatu yang berbau barat, padahal tidak semua yang berbau barat itu adalah baik. Ia mengakui bahwa Barat telah mengalami kemajuan di bidang ilmu pengetahuan serta pemikiran. Namun semua itu ada konsteksnya masing-masing, sehingga tidak otomatis bisa diterapkan dalam konteks tata nilai keindonesiaan.
Dalam hal ini, arus globalisasi yang dikomandoi oleh negara-negara maju, telah menjadi isu yang terus menggelinding dan menciptakan berbagai pergeseran tata nilai, baik bersifat positif maupun negatif. Globalisasi ini telah melahirkan struktur sosial yang baru, menggantikan struktur sosial yang selama ini telah ada. Dari aspek sosial-budaya misalnya, saat ini telah terjadi pergeseran hampir di semua sisi kehidupan keluarga. Keluarga adalah tempat tumbuh dan berkembangnya generasi bangsa.
Dari keluarga inilah lahir generasi bangsa yang berkualitas, namun kini keluarga mulai kehilangan sentuhan pendidikannya bagi anak. Hal ini di antaranya disebabkan telah berubahnya norma-norma kehidupan berkeluarga secara drastis. Orang tua yang tidak berdaya menjadi orang tua budaya dan orang tua spiritual terhadap anak-anaknya, melainkan hanya sebatas orang tua biologis. Ini jelas berdampak serius pada hilangnya fungsi keluarga sebagai tempat pembinaan generasi muda. Di sisi lain, generasi muda kita lebih memilih pendidikannya dari luar keluarga. Mereka lebih sering mengambil idola bukan lagi dari sosok orang tua, melainkan dari dunia luar yang liar. Pergeseran itu juga terjadi pada hilangnya nilai-nilai paguyuban, menipisnya budaya malu, pergeseran figur idola publik di kalangan generasi muda kita, perubahan radikal dalam dunia mode & fashion, perubahan selera dan menu serta pola konsumsi masyarakat.
Menurut KH. Tolhah Hasan, globalisasi telah masuk kedalam grassroot. Masyarakat bawah telah merasakan dampak dari globalisasi, tentunya dampak itu ada yang negatif dan positif. Beliau mencontohkan, ketika bertanya alasan bercerai di kampung-kampung, jawabnya: sudah tidak ada kecocokan. Menurutnya jawaban ini suatu proses peniruan dari masyarakat urban. Padahal budaya kampung tidak mengajarkan seperti itu. Namun karena derasnya arus informasi yang bida diterima masyarakat di pedesaan, mereka ikut meniru kebiasaan bercerai masyarakat peerkotaan.
Kesenjangan Paradigmatik
Hal yang bisa kita deteksi dalam persoalan sosial kemasyarakatan saat ini adalah adanya perbedaan cara pandang tentang dakwah dan kebutuhan umat, sehingga antara apa yang disajikan bertolak belakang dengan apa yang dibutuhkan umat. K.H Tolhah Hasan menyebutnya sebagai kesenjangan paradigmatik antara elit dan bawahan.
Persoalan ini sangat luas dampaknya bagi keberlangsungan pembinaan umat. Ulama dan umara adalah pelayan umat. Nabi telah menegaskan bahwa para uama adalah penerus dakwah para nabi. Ulama dalam konteks kekinian bisa diartikan sebagai institusi pelayanan keumatan, baik di pemerintahan maupun masyarakat umum.
Ada perubahan paradigma di sebagian pelaku dakwah kita. Ada segelintir orang yang menjadikan dakwah sebagai lahan usaha dan peningkatan status sosial. Dakwah dimaknai sebagai lahan ekonomis, dengan menanggalkan dimensi spiritual berupa kewajiban berdakwah. Sehingga, perilaku dakwah tidak lagi sistematis dan dalam kerangka program yang jelas, melainkan sporadis dan tidak berbasis kebutuhan umat.
Masalah yang juga serius dalam menciptakan kegalauan pada diri umat adalah munculnya “raja-raja” baru yang haus akan pelayanan, bukan melayani. Ini terjadi akibat tumbuhnya pandangan bahwa dakwah adalah miliki kelompok mulia, sehingga kedudukannya harus dimuliakan. Pandangan ini tidaklah salah, karena memulaikan dai adalah bagian dari ajaran Islam. Namun persoalannya menjadi rumit tatkala pelaku dakwah tidak lagi mengayomi dan melayani, malah dilayani. Bukan dia yang turun menjemput dan memberikan pendampingan kepada umat, tetapi umat yang datang dengan merangkak memberikan hormat. Padahal Nabi sendiri tidak pernah menjadikannya sebagai manusia yang mulia dan wajib diagungkan. Beliau adalah sosok yang bersahaja, teman dari para fakir miskin dan orang-orang tertindas, serta ayah dari anak-anak yatim.
Kondisi ini diperparah dengan masuknya unsur-unsur lain seperti politik. Sebagai penjaga umat, para dai adalah pengayom bagi seluruh lapisan. Masyarakat dengan beragam aliran dan paham keagamaannya adalah pihak yang harus dilayani dan diayomi. Akibat kepentingan politik, dakwah pun diarahkan sebagai basis pengumpulan kekuatan, tidak lagi memberdayakan, tetapi dikomersilkan. Lihat saja misalnya, semasa kampanye institusi agama, masjid, mushala, dan sejenisnya, dijadikan ajang unjuk gigi kekuatan politik, mereke berlomba mengais suara. Padahal, setelah pesat itu selesai, semuanya terupakan. Umat yang harusnya diberikan pembinaan berkelanjutan malah diterlantarkan.
Dalam skala yang lebih sempit, kesejangan itu kini terjadi antara khatib dan jamaah. Apa yang disampaikan khatib tidak diinginkan oleh jamaah. Dalam sebuah kesempatan shalat jum’at, seorang khatib mencaci maki seorang tokoh nasional yang dianggapnya telah merusak pemikiran dengan liberalismenya. Tak tanggung-tanggung, umpatan dan cacian itu begitu deras keluar dari bibirnya. Sementara, para jamaah tidak paham dan sebenarnya tidak burtuh dengan umpatan-umpatan tersebut. Yang mereka butuhkan adalah paham keagamaan yang bisa menjadikan mereka sebagai pribadi yang progresif, inovatif; mereka ingin mendapatkan pencerahan. Khutbah-khutbah kita tidak lagi landing bagi umat. Umat perlu pemikiran yang progresif dari para khatib agar permasalahan mereka bisa diberikan solusi.
Lebih mengerikan lagi adalah hilangnya peran masjid dalam pembinaan masyarakat. Masjid tidak lagi berfungsi sebagai tempat pembinaan agama. Bahkan masjid-masjid sekarang ini lebih banyak kosongnya daripada penuhnya. Para pengelola masjid telah membangun paradigma yang salah dalam hal ini, di mana kemegahan masjid menjadi tolak ukur keberagmaan, sementara upaya pemakmurannya melalui beragam aktifitas dakwah terbengkalai.
Data rumah ibadah umat Islam tahun 2009 berdasarkan kategori rumah ibadah umat Islam yang dihimpun dari internal Bimas Islam sebagai berikut Jumlah Masjid Agung 1.059(0.16%) Bangunan, Masjid Raya 40(0.006), Masjid Jamik 107.995(16.79%), Langgar 277.242 (43%), Musholah 255.301(39.68%). Data ini cukup memberikan gambaran betapa besarnya peran yang hilang dari masjid dalam pembinan umat. Jika kita berandai-andai separuh dari jumlah masjid yang ada berfungsi baik sebagai pusat pembinaan umat, rasanya setengah dari permasalahan bangsa ini telah terselesaikan.
Tantangan Umat
Mengutip pendapatnya Prof. Dr. Nasauddin Umar, MA, secara garis besar ada empat bidang yang menjadi PR umat Islam saat ini.
Pertamakerukunan hidup antar umat beragama. Munculnya benih-benih radikalisme dan ekstrimisme adalah ancaman bagi keberlangsungan kerukunan umat beragama. Ketika keragaman tidak dilihat sebagai keniscayaan, dan ketika perbedaan disikapi dengan hitam putih, maka hal ini akan memunculkan tindak kekerasan. Faktor kerukunan keagamaan juga menjadi bagian dari nilai strategis Indonesia. Sebagai negara dengan pemeluk muslim terbesar, Indonesia adalah jantung perdamaian dunia. Dengan segala keragaman pemikiran keagamaan, tentunya Indonesia akan banyak dilihat kemampuannya dalam mengelola keragaman dimaksud. Dan keberhasilan Indonesia dalam mengelola keberagamaan adalah sebuah sumbangsih bagi dunia sekaligus kiblat bagi dunia dalam mengelola keberagaman keyakinan.
Keduapendidikan Islam. Pendidikan adalah faktor penting dalam membangun bangsa. Tanpa pendidikan, mustahil sebuah bangsa akan maju. Begitupula dengan umat Indonesia. Terjangan globalisasi harus diantisipasi oleh umat Islam dengan membangun pola pendidikan Islam yang kompetitif.
Ketigakesehatan. Masalah kesehatan juga menjadi agenda kedepan. Derasnya arus perkembangan zaman telah berdampak terhadap ganguan kesehatan di masyarakat, seperti penyebaran penyakit HIV dan AIDS, adalah sebuah ancaman serius yang harus diberikan perhatian oleh umat. Data dari KPAN menyatakan bahwa pada tahun 2008 terdapat 33 juta hidup dengan HIV, di mana 2,0 juta diantaranya meninggal karena AIDS. Adapun usia terjangkita HIV dan AIDS 45% berusia 15-24 tahun. Dengan segala potensi yang dimiliki, umat Islam harus membangun kepedulian terhadap masalah kesehatan.
Tata nilai agama yang mengajarkan arti penting kesehatan harus dikembangkan secara maksimal melalui berbagai media yang ada. Agama harus menjadi kekuatan penting dalam membangun kesehatan masyarakat. Keterlibatan umat Islam dalam kampanye kesehatan ini akan berpengaruh besar bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Keempatkesejahteraan umat. Pranata Islam memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam bidang perekonomian umat. Misalnya zakat, wakaf, infak, dan shadaqoh. Itu semua adalah potensi besar yang bisa dimaksimalkan untuk membangun kesejahteraan umat. Saat ini telah berdiri BAZNAS dan BWI. Kedua lembaga ini bertugas mengembangkan zakat dan wakaf. Ini adalah sebuah kemajuan karena akan memberikan kontribusi besar bagi pengentasan kemsikinan. Tentunya semua itu membutuhkan pengelolaan yang bagus dan manajerial yang mumpuni.
Pertanyannya adalah, mampukah umat Islam Indonesia menjawab semua harapan dunia ?
Indonesia memiliki segalanya untuk menjadi pusat peradaban Islam di dunia. Keempat bidang yang telah menjadi PR tersebut sangat mungkin diwujudkan. Tentunya upaya mewujudkannya tidak semudah membalikan telapak tangan. Dibutuhkan upaya keras serta strategis yang baik agar semua yang ditugaskan bisa diselesaikan dengan baik.
Kita memiliki potensi yang besar untuk semua itu. Umat Islam memiliki jaringan yang cukup luas hingga ke pelosok desa. Sosok ulama atau tokoh agama adalah ujung tombak yang harus dimaksimalkan perannya. Ulama atau tokoh agama harus mengambil peran-peran di masyarakat tidak hanya dalam persoalan keagamaan, melainkan juga peran-peran dalam kehidupan lainnya, seperti sosial-politik, ekonomi dan budaya.
Para ulama atau tokoh agama adalah tokoh agama yang mempunyai pengaruh besar di masyarakat. Dengan demikian, maka proporsi ulama di masyarakat tidak hanya memimpin tugas-tugas keagamaan yang berdimensi vertikal semata (ukhrawi), tapi juga dimensi horisontal (duniawi). Ulama atau tokoh agama juga identik dengan lembaga pesantren. Lembaga pesantren adalah agent of social change. Pesantren pada dasarnya adalah lembaga pendidikan, baik agama maupun pendidikan lainnya. Namun pesantren juga bisa melakukan berbagai aktivitas dalam memberi pelayanan kepada masyarakat, seperti mengatasi kemiskinan, memelihara tali persaudaraan, memberantas pengangguran, kebodohan, menciptakan kehidupan yang sehat. Dengan kata lain, pesantren bisa melakukan berbagai kegiatan sebagai pengembangan fungsi kelembagaan, dalam rangka memenuhi tuntunan masyarakat pendukung dan tantangan perubahan zaman.
Ormas Islam tak kalah penting peran dan fungsinya dalam pembangunan. Kelahiran ormas Islam menandai peran besar umat Islam dalam pembangunan, tidak sebatas perjuangan mengangkat senjata.Ormas Islam telah berperan besar dalam mengembangkan potensi umat. Berbagai ormas yang muncul saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Masing-masing memiliki bidang pengabdian terhadap umat.
Semua potensi itu akan menjadi kekuatan besar jika umat Islam mampu membangun sinergi. Inilah kucninya. Kekuatan dan potensi yang berserakan perlu kita satukan dalam bingkau Islam. Di sinilah kerelaan untuk memanggalkan latar belakang politik, sosial, dan golongan adalah sebuah pengorbanan besar. Semuanya kita leburkan dalam tujuan Islam: lii’lai kalimatillâh, menegakkan panji-panji Islam.
Semoga!.

IMAN YANG PALING ESENSIAL (Bagian 1)



PDFCetak
Perintah beriman kepada yang ghaib diungkap dengan kata kerja yang mengisyaratkan perlunya dilakukan secara bertahap dan terprogram. Perintah ini adalah salah satu dari rukun iman yang wajib dipercayai oleh muslim. Beriman kepada yang ghaib seperti diungkap di dalam surat Al-Baqarah ayat 3, diperintahkan mendahului perintah ditegakkannya shalat.

الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلاة ومما رزقنهم ينفقون

“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka”

Ini menunjukkan struktur keberagaman seperti juga dicontohkan oleh Nabi yang diawali dengan memperkokoh keimanan  baru kemudian perintah-perintah beribadah dan bermuamalah. Lihat saja doktrin sentral memasuki gerbang Islam harus dimulai dengan mendeklarasikan dua kalimat syahadat atau pengakuan atas Tuhan Yang Esa. Tidak ada tuhan yang boleh di pertuhan kecuali Allah.

Doktrin Islam inilah yang sebenarnya mampu menggerakkan aktifitas-aktifitas keislaman yang hakiki. Doktrin ini pula yang memproteksi para deklaratornya mendapat jaminan surga. Doktrin inilah yang turut menentukan pilihan-pilihan manusia  penganutnya untuk lebih memilih yang dijanjikan Allah ketimbang yang dijanjikan manusia.

Dari sisi kebahasaan ada hal menarik dari formulasi doktrin di atas. Ia hanya terdiri dari tiga huruf yang digabung yaitu alif (الف) lam (لام) dan ha (هاء). Keistimewaan ini tidak dimiliki oleh bahasa manapun di dunia. Rangkaian dari tiga huruf ini pula yang menjadikan dan melahirkan asma Allah yang paling Agung. Lihat kata الله sebagai nama bagi Tuhan muslim yang maha tak terhingga juga terdiri dari huruf-huruf di atas. Bahkan jika pun huruf-huruf itu kita buang satu demi satu masih akan bisa dirujuk kepada Tuhan yang wajib disembah dan ditaati aturan-aturannya.

Kata الله menjadi له dan menjadi (ﻫ) sebagai ucapan dzikir kaum sufi dan kaum tarikat. Hu (ﻩ) bila ditambah alif didepan akan terbaca ﻩﺍ (ah) atau (oh). Sebuah ekspresi kekaguman atau ucapan dalam situasi kritis dimana orang meminta tolong. Ini menunjukkan bahwa bertuhan adalah fitrah dan menolak kebenaran Tuhan berarti melawan fitrah. Maka Tuhan tidak ada adalah suatu kemustahilan. Apa yang kita sebut ADA sesungguhnya adalah yang tidak ada dan yang tidak ada itulah yang dinamakan ghaib. Shalat ghaib berarti shalat untuk jenazah yang tidak ada di tempat. Jadi yang tidak ada itu jangan dianggap tidak ada. Dengan demikian Dia (Allah) ada dengan  ketiadaan-Nya. Oleh sebab itu dalam kajian filsafat Islam yang kita sebut ada atau wujud itu ada dua macam yaitu wujud hakiki dan wujud majazi. Ada wujud imajiner dan ada wujud kasyaf  mata. Yang kasyaf mata sebenarnya belum tentu ada. Perhatikan ketika kita nonton tayangan TV baik tayangan ulang maupun langsung. Yang ada dimonitor TV-kah yang sesungguhnya ada, atau yang tidak ada itulah yang ada.

Dari sini jelas bahwa beriman memerlukan alat bantu nalar baik nalar akal  maupun nalar qalbu. Itulah esensi beriman harus sampai pada tingkat membuktikan bahwa yang tiada itulah yang ada. Karena itu beriman kepada Allah dan segala janji dan ancaman-Nya itulah iman yang paling esensial. Orang-orang yang meragukan adanya pahala dan dosa, adanya hari pembalasan, adanya surga dan neraka adalah awal dari kerapuhan  iman seseorang terhadap yang ghaib.

Beriman kepada yang ghaib melahirkan kehati-hatian, ketaatan dan kesungguhan walau tidak dilihat orang lain. Kita akan bekerja dengan sepenuh hati karena dasar etos kerjanya bukan pengawasan orang, akan tetapi hatinyalah  yang mengawasinya. Kita ini meyakini hukum-hukum aksiomatik. Di dalam keyakinan beragama hukum aksiomatik bisa membimbing keimanan kita kepada yang ghaib, jika kita ingin memetik kebaikan harus menanam kebaikan. Alqur'an menegaskan:

هل جزاء الإحسان إلا الإحسان (الرحمن، 55: 60)

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”

Hanya saja terealisir tidaknya doktrin di atas sangat tergantung pada seberapa mantap dan besar keyakinan kita kepada janji Allah yang ghaib itu. Lebih-lebih tuntutan ihsan tidak hanya mampu berbuat baik kepada mereka yang telah berbuat baik, akan tetapi kita harus mampu berbuat baik kepada mereka yang berbuat jahat kepada kita.

Pola kebaikan pertama sesungguhnya belumlah ihsan, karena berbuat baik kepada yang berbuat baik itu baru merupakan balas jasa. Sedang ihsan menuntut lebih dari itu. Rasulullah bersabda:

احسن إلى من أساء إليك

“Berbuat baiklah anda kepada mereka yang berbuat kejelekan kepada anda sekalipun.”

Dari hadits di atas jelas bahwa tuntutan ajaran Islam terhadap mu’min harus berani meredam sedalam-dalamnya emosi (hawa nafsu) demi mengejar yang Allah janjikan di dalam ghaib.

Beriman kepada yang ghaib pada tataran empirik adalah memprediksikan berbagai kemungkinan ke depan bahwa ada hal-hal yang perlu diyakini bakal terjadi. Karena pekerjaan manusia dalam menjalani kehidupan ini sebenarnya hanya mencari probabilitas-probabilitas tidak punya kepastian apa-apa. Pekerjaan-pekerjaan profesi pun hanya mengikuti garis sunnatullah, tetapi bukan untuk memastikan.

Harap dipahami juga bahwa yang ghaib untuk masa sekarang nanti tidak lagi ghaib. Jadi keghaiban itu ada  karena ukuran-ukuran waktu (masa) atau karena kita sedang berada di luar sistem yang ghaib. Pahala dan dosa akan dibuktikan, surga-neraka akan dibuktikan dan hari akhir dan pembalasan atas segala kedurhakaan serta kedzoliman yang di dunia ini seakan lepas dari jerat hukum akan dirapihkan di pengadilan Ilahi. Itu sebabnya sangat beruntung dan melegakan mereka yang beriman pada yang ghaib, walau banyak kedzoliman dan ketidakadilan di dunia ini terjadi, jangan khawatir pada saatnya akan terselesaikan dengan sempurna.
Tidakkah kita yakin bahwa Allah adalah Raja di hari pembalasan (مالك يوم الدين) Tidak akan pernah ada perbuatan-perbuatan kotor, pembelaan kotor, politik kotor, berbisnis kotor, dan permainan-permainan proyek kotor yang lepas dari pengawasan aparat Ilahi. Tidakkah kita percaya bahwa setiap saat ini kanan kiri kita ada malaikat pencatat amal yang tidak bisa kompromistis dan mereka adalah bagian dari yang ghaib yang harus diimani. Aby (disarikan dari berbagaia sumber)

Minggu, 22 April 2012

Do’a Minta Ampunan Versi Abu Bakr




Doa Minta Ampun Doa Tobat Istigfar Doa Istigfar Doa Mohon Ampun Istigfar
Add caption

E-mailDi antara doa yang ringkas namun penuh makna adalah doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada Abu Bakr. Doa tersebut adalah: 'ALLAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIIRAN WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIRLII MAGHFIRATAN MIN 'INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR RAHIIM (Ya Allah, sungguh aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak, sedangkan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Maka itu ampunilah aku dengan suatu pengampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang)
Dari Abu Bakr Ash Shiddiq, beliau berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
عَلِّمْنِى دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِى صَلاَتِى . قَالَ « قُلِ  :اللَّهُمَّ إِنِّى ظَلَمْتُ نَفْسِى ظُلْمًا كَثِيرًا وَلاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ ، فَاغْفِرْ لِى مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ ، وَارْحَمْنِى إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ »
"Ajarkanlah aku suatu do'a yang bisa aku panjatkan saat shalat!" Maka Beliau pun berkata, "Bacalah: 'ALLAHUMMA INNII ZHOLAMTU NAFSII ZHULMAN KATSIIRAN WA LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLAA ANTA FAGHFIRLII MAGHFIRATAN MIN 'INDIKA WARHAMNII INNAKA ANTAL GHOFUURUR RAHIIM (Ya Allah, sungguh aku telah menzhalimi diriku sendiri dengan kezhaliman yang banyak, sedangkan tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau. Maka itu ampunilah aku dengan suatu pengampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang) '." (HR. Bukhari no. 834 dan Muslim no. 2705)
Faedah dari hadits ini:
Pertama: Dianjurkan untuk membaca doa ini sebelum salam. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan bahwa doa ini bisa jadi dibaca ketika sujud atau setelah tasyahud akhir (sebelum salam).
Kedua: Setiap orang pasti memiliki kekurangan, sampai pula pada orang yang disifati Shiddiq semacam Abu Bakr. Oleh karena itu, tidak selayaknya seorang pun lalai dari beristighfar atau memohon ampunan pada Allah.
Ketiga: Ketika bertaubat dan memohon ampunan Allah hendaklah disertai dengan mengakui setiap dosa yang telah dilakukan.
Keempat: Dianjurkannya mencari ilmu dari orang alim sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakr pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Kelima: Hendaklah ketika memulai doa dimulai dengan pengakuan terhadap keadaan dirinya yang faqir (butuh pada Allah) dan penuh dosa. Inilah di antara wasilah dalam berdoa. Sebagaimana pula dilakukan oleh Nabi Musa alaihis salam sebagaimana disebutkan dalam ayat,
رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
"Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat faqir yaitu memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku" (QS. Al Qoshshosh: 24)
Keenam: Yang mengampuni dosa hanyalah Allah. Sebagaimana Allah Taala berfirman,
وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ
"Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah?" (QS. Ali Imron: 135)
Seandainya seluruh manusia bersatu untuk mengampuni satu dosa saja dari seorang hamba, tentu mereka tidak mampu. Karena yang mengampuni dosa hanyalah Allah.
Ketujuh: Meminta ampunan dan rahmat Allah berkaitan dengan nama Allah Al Ghofur (Maha Pengampun) dan Ar Rohiim (Maha Penyayang). Oleh karena itu, ketika berdoa hendaklah permintaan dalam doa tersebut disesuaikan dengan nama dan sifat Allah yang sesuai.
Referensi:
Bahjatun Naazhirin Syarh Riyadhish Sholihin, Salim bin Ied Al Hilali, cetakan Dar Ibnul Jauzi, jilid II, cetakan pertama, tahun 1430 H.
Syarh Riyadhish Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, Darul Kutub Al Ilmiyyah, jilid IV, cetakan ketiga, tahun 1424 H
Selesai disusun di Pangukan-Sleman di saat turun berkah air dari langit, Kamis, 15 Jumadal Awwal 1431 H (29/04/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Do'a Tiap Gerakan Wudhu


ILUSTRASI. (foto: Google)
Add caption


1. Doa membasuh dua telapak tangan:
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِي جَعَلَ اْلمَاءَ طَهُوْرًا
ALHAMDULILLAAHIL LADZII JA'ALAL MAA A THAHUURAN
Artinya: Dengan nama Allah yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang. Segala Puji bagi Allah yang menjadikan air itu suci.

2. Doa ketika berkumur:
اَللَّهُمَّ اَسْـقِـنِى مِنْ حَوْضِ نَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأْسًا لاَ أَظْمَأُ بَعْدَهاَ أَبَدًا
ALLAAHUMMA ASQINII MIN HAUDHI NABIYYIKA MUHAMMADIN SHALLALLAAHU ALAIHI WASALLAM KA'SAN ADZMAN BA'DAHAA ABADAN
Artinya: Ya Allah, curahkan segelas air dari telaga Nabimu Muhammad SAW yang tidak akan kehausan setelah itu selama-lamanya.

3. Doa membasuh hidung:

اَللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنِى رَائِحَةَ جَـنَّتِكَ
ALLAHUMMA LAA TAHRIMNII RAAIHATI JANNATIK

Ya Allah, janganlah Engkau haramkan aku mencium harumnya surgaMu.

4. Doa ketika membasuh muka:
اَللَّهُمَّ بَيِّضْ وَجْهِى يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوْهٌ
ALLAHUMMA BAYYID WAJHII YAUMA TABYADHDHU WUJUUHUN WATASWADHDHU WUJUUHUN
Artinya: Ya Allah! beri cahaya di wajahku pada hari bercahaya.

5. . Doa saat mencuci tangan kanan:
اَللَّهُمَّ اَعْطِنِى كِتاَبِى بِيَمِيْنِى وَحَاسِبْنِى حِسَاباً يَسِيْرًا
ALLAHUMMA A'THINII KITAABII BIYAMIINII WAHAASIBNII HISAABAN YASIIRAN
Artinya: Ya Allah! berikanlah kepadaku kitabku dari sebelah kanan dan hitunglah amalanku dengan perhitungan yang mudah.

Doa saat mencuci tangan kiri:

اَللَّهُمَّ لاَ تُعْطِنِى كِتاَبِى مِنْ يَساَرِىْ وَ لاَ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِىْ
ALLAHUMMA LAA TU'THINII KITAABII MIN YASAARII WALAA MIN WARAA I DZAHRII
Artinya: Ya Allah! aku berlindung denganMu dari menerima kitab amalanku dari sebelah kiri atau dari sebelah belakang.

6. Doa saat membasahi kepala:
اَللَّهُمَّ حَرِّمْ شَعْرِيْ وَبَشَرِيْ مِنَ النَّارِ وَاَظِلَّنِي تَحْتَ عَرْشِكَ يَوْمَ لاَ ظِلَّ اِلاَّ ظِلُّكَ
ALLAHUMMA HARRIM SYA'RII WABASYARII MINAN NAARWA ADZILLANII TAHTA ARSYIKA YAUMA LAA DZILLA ILLAA DZILLUK
Artinya: Ya Allah, haramkan rambutku dan kulitku dari neraka dan lindungilah aku dari ArsyMu pada hari tidak ada perlindungan kecuali perlindunganMu.

7. Doa membasuh dua telinga:

اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ اْلقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهُ
ALLAHUMAJALNII MINALLADZIINA YASTAMIUUNAL WAULA FAYATTABIUUNA AHSANIH

Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mendengarkan kata dan mengikuti sesuatu yang terbaik.

8. Doa saat membasuh dua telapak kaki:

اَللَّهُمَّ ثَبِّتْ قَدَمَّي عَلَى الصِّرَاطِ يَوْمَ تَزِلُّ فِيْهِ اْلاَقْدَامُ
ALLAJUMMA SYABBIT QADAMMII ALASH SHIRAATI YAUMA TAZULLU FIIHIL AQDAAM
Artinya: Ya Allah, mantapkan kedua kakiku di atas titian (shirothol mustaqim) pada hari dimana banyak kaki-kaki yang tergelincir.

9. Doa setelah berwudhu :
أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِي مِنَ اْلمُتَطَهِّرِيْنَ وَاجْعَلْنِي مِنْ عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ
Artinya: Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, tiada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu hamba dan utusanNya. Ya Allah! Jadikanlah aku dari golongan orang-orang yang bersuci dan jadikanlah aku dari golongan orang-orang soleh. (fn/ki/ai)www.suaramedia.com