Perintah beriman kepada yang ghaib diungkap dengan kata kerja yang mengisyaratkan perlunya dilakukan secara bertahap dan terprogram. Perintah ini adalah salah satu dari rukun iman yang wajib dipercayai oleh muslim. Beriman kepada yang ghaib seperti diungkap di dalam surat Al-Baqarah ayat 3, diperintahkan mendahului perintah ditegakkannya shalat.
الذين يؤمنون بالغيب ويقيمون الصلاة ومما رزقنهم ينفقون
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka”
Ini menunjukkan struktur keberagaman seperti juga dicontohkan oleh Nabi yang diawali dengan memperkokoh keimanan baru kemudian perintah-perintah beribadah dan bermuamalah. Lihat saja doktrin sentral memasuki gerbang Islam harus dimulai dengan mendeklarasikan dua kalimat syahadat atau pengakuan atas Tuhan Yang Esa. Tidak ada tuhan yang boleh di pertuhan kecuali Allah.
Doktrin Islam inilah yang sebenarnya mampu menggerakkan aktifitas-aktifitas keislaman yang hakiki. Doktrin ini pula yang memproteksi para deklaratornya mendapat jaminan surga. Doktrin inilah yang turut menentukan pilihan-pilihan manusia penganutnya untuk lebih memilih yang dijanjikan Allah ketimbang yang dijanjikan manusia.
Dari sisi kebahasaan ada hal menarik dari formulasi doktrin di atas. Ia hanya terdiri dari tiga huruf yang digabung yaitu alif (الف) lam (لام) dan ha (هاء). Keistimewaan ini tidak dimiliki oleh bahasa manapun di dunia. Rangkaian dari tiga huruf ini pula yang menjadikan dan melahirkan asma Allah yang paling Agung. Lihat kata الله sebagai nama bagi Tuhan muslim yang maha tak terhingga juga terdiri dari huruf-huruf di atas. Bahkan jika pun huruf-huruf itu kita buang satu demi satu masih akan bisa dirujuk kepada Tuhan yang wajib disembah dan ditaati aturan-aturannya.
Kata الله menjadi له dan menjadi (ﻫ) sebagai ucapan dzikir kaum sufi dan kaum tarikat. Hu (ﻩ) bila ditambah alif didepan akan terbaca ﻩﺍ (ah) atau (oh). Sebuah ekspresi kekaguman atau ucapan dalam situasi kritis dimana orang meminta tolong. Ini menunjukkan bahwa bertuhan adalah fitrah dan menolak kebenaran Tuhan berarti melawan fitrah. Maka Tuhan tidak ada adalah suatu kemustahilan. Apa yang kita sebut ADA sesungguhnya adalah yang tidak ada dan yang tidak ada itulah yang dinamakan ghaib. Shalat ghaib berarti shalat untuk jenazah yang tidak ada di tempat. Jadi yang tidak ada itu jangan dianggap tidak ada. Dengan demikian Dia (Allah) ada dengan ketiadaan-Nya. Oleh sebab itu dalam kajian filsafat Islam yang kita sebut ada atau wujud itu ada dua macam yaitu wujud hakiki dan wujud majazi. Ada wujud imajiner dan ada wujud kasyaf mata. Yang kasyaf mata sebenarnya belum tentu ada. Perhatikan ketika kita nonton tayangan TV baik tayangan ulang maupun langsung. Yang ada dimonitor TV-kah yang sesungguhnya ada, atau yang tidak ada itulah yang ada.
Dari sini jelas bahwa beriman memerlukan alat bantu nalar baik nalar akal maupun nalar qalbu. Itulah esensi beriman harus sampai pada tingkat membuktikan bahwa yang tiada itulah yang ada. Karena itu beriman kepada Allah dan segala janji dan ancaman-Nya itulah iman yang paling esensial. Orang-orang yang meragukan adanya pahala dan dosa, adanya hari pembalasan, adanya surga dan neraka adalah awal dari kerapuhan iman seseorang terhadap yang ghaib.
Beriman kepada yang ghaib melahirkan kehati-hatian, ketaatan dan kesungguhan walau tidak dilihat orang lain. Kita akan bekerja dengan sepenuh hati karena dasar etos kerjanya bukan pengawasan orang, akan tetapi hatinyalah yang mengawasinya. Kita ini meyakini hukum-hukum aksiomatik. Di dalam keyakinan beragama hukum aksiomatik bisa membimbing keimanan kita kepada yang ghaib, jika kita ingin memetik kebaikan harus menanam kebaikan. Alqur'an menegaskan:
Doktrin Islam inilah yang sebenarnya mampu menggerakkan aktifitas-aktifitas keislaman yang hakiki. Doktrin ini pula yang memproteksi para deklaratornya mendapat jaminan surga. Doktrin inilah yang turut menentukan pilihan-pilihan manusia penganutnya untuk lebih memilih yang dijanjikan Allah ketimbang yang dijanjikan manusia.
Dari sisi kebahasaan ada hal menarik dari formulasi doktrin di atas. Ia hanya terdiri dari tiga huruf yang digabung yaitu alif (الف) lam (لام) dan ha (هاء). Keistimewaan ini tidak dimiliki oleh bahasa manapun di dunia. Rangkaian dari tiga huruf ini pula yang menjadikan dan melahirkan asma Allah yang paling Agung. Lihat kata الله sebagai nama bagi Tuhan muslim yang maha tak terhingga juga terdiri dari huruf-huruf di atas. Bahkan jika pun huruf-huruf itu kita buang satu demi satu masih akan bisa dirujuk kepada Tuhan yang wajib disembah dan ditaati aturan-aturannya.
Kata الله menjadi له dan menjadi (ﻫ) sebagai ucapan dzikir kaum sufi dan kaum tarikat. Hu (ﻩ) bila ditambah alif didepan akan terbaca ﻩﺍ (ah) atau (oh). Sebuah ekspresi kekaguman atau ucapan dalam situasi kritis dimana orang meminta tolong. Ini menunjukkan bahwa bertuhan adalah fitrah dan menolak kebenaran Tuhan berarti melawan fitrah. Maka Tuhan tidak ada adalah suatu kemustahilan. Apa yang kita sebut ADA sesungguhnya adalah yang tidak ada dan yang tidak ada itulah yang dinamakan ghaib. Shalat ghaib berarti shalat untuk jenazah yang tidak ada di tempat. Jadi yang tidak ada itu jangan dianggap tidak ada. Dengan demikian Dia (Allah) ada dengan ketiadaan-Nya. Oleh sebab itu dalam kajian filsafat Islam yang kita sebut ada atau wujud itu ada dua macam yaitu wujud hakiki dan wujud majazi. Ada wujud imajiner dan ada wujud kasyaf mata. Yang kasyaf mata sebenarnya belum tentu ada. Perhatikan ketika kita nonton tayangan TV baik tayangan ulang maupun langsung. Yang ada dimonitor TV-kah yang sesungguhnya ada, atau yang tidak ada itulah yang ada.
Dari sini jelas bahwa beriman memerlukan alat bantu nalar baik nalar akal maupun nalar qalbu. Itulah esensi beriman harus sampai pada tingkat membuktikan bahwa yang tiada itulah yang ada. Karena itu beriman kepada Allah dan segala janji dan ancaman-Nya itulah iman yang paling esensial. Orang-orang yang meragukan adanya pahala dan dosa, adanya hari pembalasan, adanya surga dan neraka adalah awal dari kerapuhan iman seseorang terhadap yang ghaib.
Beriman kepada yang ghaib melahirkan kehati-hatian, ketaatan dan kesungguhan walau tidak dilihat orang lain. Kita akan bekerja dengan sepenuh hati karena dasar etos kerjanya bukan pengawasan orang, akan tetapi hatinyalah yang mengawasinya. Kita ini meyakini hukum-hukum aksiomatik. Di dalam keyakinan beragama hukum aksiomatik bisa membimbing keimanan kita kepada yang ghaib, jika kita ingin memetik kebaikan harus menanam kebaikan. Alqur'an menegaskan:
هل جزاء الإحسان إلا الإحسان (الرحمن، 55: 60)
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)”
Hanya saja terealisir tidaknya doktrin di atas sangat tergantung pada seberapa mantap dan besar keyakinan kita kepada janji Allah yang ghaib itu. Lebih-lebih tuntutan ihsan tidak hanya mampu berbuat baik kepada mereka yang telah berbuat baik, akan tetapi kita harus mampu berbuat baik kepada mereka yang berbuat jahat kepada kita.
Pola kebaikan pertama sesungguhnya belumlah ihsan, karena berbuat baik kepada yang berbuat baik itu baru merupakan balas jasa. Sedang ihsan menuntut lebih dari itu. Rasulullah bersabda:
Hanya saja terealisir tidaknya doktrin di atas sangat tergantung pada seberapa mantap dan besar keyakinan kita kepada janji Allah yang ghaib itu. Lebih-lebih tuntutan ihsan tidak hanya mampu berbuat baik kepada mereka yang telah berbuat baik, akan tetapi kita harus mampu berbuat baik kepada mereka yang berbuat jahat kepada kita.
Pola kebaikan pertama sesungguhnya belumlah ihsan, karena berbuat baik kepada yang berbuat baik itu baru merupakan balas jasa. Sedang ihsan menuntut lebih dari itu. Rasulullah bersabda:
احسن إلى من أساء إليك
“Berbuat baiklah anda kepada mereka yang berbuat kejelekan kepada anda sekalipun.”
Dari hadits di atas jelas bahwa tuntutan ajaran Islam terhadap mu’min harus berani meredam sedalam-dalamnya emosi (hawa nafsu) demi mengejar yang Allah janjikan di dalam ghaib.
Beriman kepada yang ghaib pada tataran empirik adalah memprediksikan berbagai kemungkinan ke depan bahwa ada hal-hal yang perlu diyakini bakal terjadi. Karena pekerjaan manusia dalam menjalani kehidupan ini sebenarnya hanya mencari probabilitas-probabilitas tidak punya kepastian apa-apa. Pekerjaan-pekerjaan profesi pun hanya mengikuti garis sunnatullah, tetapi bukan untuk memastikan.
Harap dipahami juga bahwa yang ghaib untuk masa sekarang nanti tidak lagi ghaib. Jadi keghaiban itu ada karena ukuran-ukuran waktu (masa) atau karena kita sedang berada di luar sistem yang ghaib. Pahala dan dosa akan dibuktikan, surga-neraka akan dibuktikan dan hari akhir dan pembalasan atas segala kedurhakaan serta kedzoliman yang di dunia ini seakan lepas dari jerat hukum akan dirapihkan di pengadilan Ilahi. Itu sebabnya sangat beruntung dan melegakan mereka yang beriman pada yang ghaib, walau banyak kedzoliman dan ketidakadilan di dunia ini terjadi, jangan khawatir pada saatnya akan terselesaikan dengan sempurna.
Tidakkah kita yakin bahwa Allah adalah Raja di hari pembalasan (مالك يوم الدين) Tidak akan pernah ada perbuatan-perbuatan kotor, pembelaan kotor, politik kotor, berbisnis kotor, dan permainan-permainan proyek kotor yang lepas dari pengawasan aparat Ilahi. Tidakkah kita percaya bahwa setiap saat ini kanan kiri kita ada malaikat pencatat amal yang tidak bisa kompromistis dan mereka adalah bagian dari yang ghaib yang harus diimani. Aby (disarikan dari berbagaia sumber)
Dari hadits di atas jelas bahwa tuntutan ajaran Islam terhadap mu’min harus berani meredam sedalam-dalamnya emosi (hawa nafsu) demi mengejar yang Allah janjikan di dalam ghaib.
Beriman kepada yang ghaib pada tataran empirik adalah memprediksikan berbagai kemungkinan ke depan bahwa ada hal-hal yang perlu diyakini bakal terjadi. Karena pekerjaan manusia dalam menjalani kehidupan ini sebenarnya hanya mencari probabilitas-probabilitas tidak punya kepastian apa-apa. Pekerjaan-pekerjaan profesi pun hanya mengikuti garis sunnatullah, tetapi bukan untuk memastikan.
Harap dipahami juga bahwa yang ghaib untuk masa sekarang nanti tidak lagi ghaib. Jadi keghaiban itu ada karena ukuran-ukuran waktu (masa) atau karena kita sedang berada di luar sistem yang ghaib. Pahala dan dosa akan dibuktikan, surga-neraka akan dibuktikan dan hari akhir dan pembalasan atas segala kedurhakaan serta kedzoliman yang di dunia ini seakan lepas dari jerat hukum akan dirapihkan di pengadilan Ilahi. Itu sebabnya sangat beruntung dan melegakan mereka yang beriman pada yang ghaib, walau banyak kedzoliman dan ketidakadilan di dunia ini terjadi, jangan khawatir pada saatnya akan terselesaikan dengan sempurna.
Tidakkah kita yakin bahwa Allah adalah Raja di hari pembalasan (مالك يوم الدين) Tidak akan pernah ada perbuatan-perbuatan kotor, pembelaan kotor, politik kotor, berbisnis kotor, dan permainan-permainan proyek kotor yang lepas dari pengawasan aparat Ilahi. Tidakkah kita percaya bahwa setiap saat ini kanan kiri kita ada malaikat pencatat amal yang tidak bisa kompromistis dan mereka adalah bagian dari yang ghaib yang harus diimani. Aby (disarikan dari berbagaia sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar