Tulisan Berjalan

SUKSES KOMUNITAS MAJU JOS, AKHIRNYA BIMBINGAN DIGITAL MARKETING SECARA GRATIS TANPA BATAS TELAH MEMBERI MANFAAT BESAR

Rabu, 24 Februari 2016

Kemenag Minta Umat Islam Shalat Gerhana pada 9 Maret


pixabay
Gerhana matahari total akan terjadi di Indonesia pada 9 Maret 2016.
Gerhana matahari total akan terjadi di Indonesia pada 9 Maret 2016.
REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Palu, Sulawesi Tengah, Kiflin Pajala mengimbau seluruh umat Islam dan pengurus masjid menggelar shalat sunat saat terjadi gerhana matahari total (GMT) pada 9 Maret 2016.
"Pada prinsipnya, kami sudah menurunkan surat kepada empat KUA di Kota Pau agar melakukan mediasi dengan pemerintah untuk melaksanakan shalat gerhana," katanya di Palu, Rabu (24/2).
Imbauan itu merupakan tindak lanjut dri surat imbauan Dirjen Bimais Islam beserta lampiran mengenai tata cara pelaksanaannya. Kiflin juga mengajak masyarakat untuk menyaksikan fenomena alam yang akan menghiasi langit Kota Palu nanti.
"GMT 9 Maret adalah hal yang langka sehingga harus kita saksikan bersama," ujar Kiflin.
Sumber : Antara

Minggu, 21 Februari 2016

Ka’bah Dibangun Malaikat Hingga Para Pejabat



Ka’bah menjadi tanda simbolik titik tumpu pusat qiblat diarahkan, kemudian dari titik sentral itu terdapat poros khusus menuju Arsy Allah. Secara geografis lokasinya adalah ketentuan Allah, tetapi secara material bangunannya adalah buatan manusia yang harus tunduk pada hukum mahluk yang tidak kekal, sehingga adalakanya mengalami kerusakan karena  faktor panas dan hujan, rusak diterpa banjir dan kebakaran atau karena ulah manusia sendiri. Berikut adalah histori Ka’bah dari masa ke masa. Para ahli mencatat setidaknya sudah lebih 12 kali terjadi tahap pembangunan Ka’bah sejak pertama kali ditentukan Allah, hingga renovasi dari generasi ke generasi sampai hari ini.

1.       Golongan Malaikat
Dua ribu tahun atau sekitar 2 hari dalam hitungan Allah sebelum Nabi Adam diciptakan, malaikat sudah membangun Ka’bah di bumi ini atas perintah Allah SWT. Bangunan yang didirikan untuk pertama kali menurut sebuah riwayat baru berupa tancapan penanda lokasi. Kemudian Allah SWT berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi,” (QS al-Baqarah: 30). Para ahli tafsir mengatakan, para malaikat cemas manusia akan berbuat kerusakan dan menodai bumi dengan pertengkaran dan pertumpahan darah seperti golongan jin (azajil) yang sudah lebih dulu dicipta dan sama-sama disertai hawa nafsu. Kecemasan malaikat tersebut kandas ketika Allah Swt menjawab: “Aku lebih tahu terhadap apa yang tidak kamu ketahui” (QS al-Baqarah: 30).
Karena takut akan murka Allah SWT, para malaikat tidak bertanya lagi siapa yang layak dijadikan khalifah di bumi, manusia atau malaikat, kemudian para malaikat segera mohon ampun dan dengan Rahman dan Rahim-NYA, dibangunlah Baitul Ma’mur dari Zabrajad yang bertahtakan Yakut di bawah Arasy untuk thawaf para  malaikat. Maka dengan Rahman dan Rahim Allah pula, malaikat diperintah membangun sebentuk tanda pada satu titik, yaitu Ka’bah di bumi yang posisinya serentang dengan Baitul Ma’mur di bawah Arsy. Kedua titik ini seperti persambungan dua poros semesta. (Muhammad Al Arzaqi, Akhbar Makkah,  1988: 32).
2. Masa Nabi Adam AS.
Ketika diturunkan dari Surga ke bumi, Nabi Adam merasa asing dan bergumam. “Ya Allah, mengapa aku tidak mendengar suara malaikat dan merasakan kewujudannya?” Allah menjawab, “Itu kesalahanmu, wahai Adam. Akan tetapi, pergilah dan dirikan untuk-Ku sebuah rumah, lalu berthawaflah dan berzikirlah kepada-Ku di sekelilingnya, seperti yang telah dilakukan oleh para malaikat di sekeliling Arsy-Ku.”
Kemudian pada titik yang ditentukan Allah itu, Nabi Adam membangun Ka’bah. “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadah manusia ialah Baitullah di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Al Imron: 96).
Oleh karena itu Makkah kemudian disebut Ummul Quro atau asal muasal semua negeri di bumi karena Adam dan Hawa pertama menetap berada di kota ini dan kuburan Siti Hawa hingga saat ini masih dapat disaksikan di kota pelabuhan Jeddah atau jaddatun yanng artinya kota nenek manusia.
3.       Zaman Nabi Syts AS.
Syts adalah putra dari Nabi Adam AS yang diberi wasiat oleh ayahnya untuk senantiasa beribadah siang dan malam. Nabi Syts pemperbaiki Ka’bah dengan bahan dari tanah liat dan batu yang bertahan sampai zaman Nabi Nuh AS. Ketika terjadi banjir pada masa Nabi Nuh, Ka’bah porak poranda. Sampai pada generasi ketiga ini tidak dijumpai keterangan di dalam Alquran dan hadits-hadits Shahih, dan pada generasi keempat, yaitu generasi Nabi Ibrahim  AS dan Nabi Ismail AS dicantumkan sejarahnya di dalam Alquran.
4. Generasi Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS
Ketika Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim dan Ismail agar membangun sebuah rumah ibadah di atas puing Ka’bah yang sudah tertimbun bekas banjir pada masa Nabi Nuh, keduanya tidak tahu persis lokasi yang dimaksud. Kemudian Allah  mengirim angin al khajuj yang membersihkan daerah sekitar Ka’ba. Keduanya pun mengikuti dan melakukan penggalian dan meletakkan pondasi lebih tinggi hingga terbentuk bangunan sempurna.  “Dan ingatlah, ketika kami memberikan tempat kepada Ibrahim di Baitullah….” (QS. Al Hajj: 26).
Usai membangun sudut-sudut atau rukun-rukunnya, Nabi Ibrahim meminta Ismail untuk mengambil batu paling putih yang di bawa Nabi Adam dari Surga, namun berubah menjadi hitam karena dosa-dosa manusia. Setelah tuntas, keduanya lalu berdoa, “Dan ingatlah, ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail seraya berdoa: “Ya Tuhan kami terimalah amalan kami, Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS al-Baqarah: 127). Informasi dari Alquran dalam pembangunan ini adalah meninggikan pondasi (yarfa’u), artinya Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail merenovasi bangunan tua sebelumnya.
Pada masa ini di sekitar Ka’bah sudah terdapat sumber mata air zam-zam, sehingga daya tarik Ka’bah sebagai sumber energi spiritual manusia, juga sebagai sumber asbab penghidupan dunia semakin menarik semua mahluk hidup untuk berkerumun di sekitar Ka’bah.
5. Suku Amaliqah
Suku amaliqah berasal dari Yaman yang kemudian menetap di sekitar Ka’bah. Setelah mendapat izin dari Siti Hajar dan Nabi Ismail, suku ini termasuk yang mula-mula tinggal dalam waktu lama di sekitar Ka’bah. Riwayat menyatakan keturunan suku ini pernah melakukan perbaikan meski tidak ada perombakan besar pada bangunan ka’bah, hanya memperbaiki bagian yang rusak karena faktor alam.  Setelah diperbaiki Ka’bah kembali berdiri seperti zaman Nabi Ibrahim lagi.
6. Suku Jurhum
Keberadaan Ka’bah dan sumber mata air zam-zam sungguh menjadi magnet dunia. Berbagai kabilah silih berganti mendatangi. Suku jurhum dipimpin raja Madhad bin Umar bin Haris bin Madhad bin Umar Al-Jurhum datang ke Ka’bah bersama rombongan besar.  Setelah dibangun oleh bangsa Amaliqah, Ka’bah terkena banjir besar dari dataran tinggi Makkah yang mengakibatkan rusaknya dinding meskipun tidak roboh. Suku Jurhum-lah yang kemudian membangun kembali seperti sediakala dengan menambah bangunan di luar Ka’bah untuk penahan luapan air bila terjadi banjir kembali.
7. Qushai Bin Kilab dari Bani Kinanah.
Setelah Bangsa Jurhum berlalu, Ka’bah kemudian sampai ke tangan Qushay bin Kilab. Ia adalah seorang pemuka dari suku bangsa Quraisy, keturunan langsung Nabi Ismail, kakek buyut Nabi Muhammad SAW. Di masa ini Hajar Aswad sempat hilang diambil oleh anak-anak Mudhar bin Nizar dan ditanam di sebuah bukit.  Pembangunan Ka’bah ditinggikan dan diberi atap dari kayu dan pelepah kurma. Setelah Hajar Aswad ditemukan, kemudian disimpan Qushay, hingga bangsa Quraisy mengurus Ka’bah secara turun menurun pada masa Nabi Muhammad.
8.  Abdul Muthalib (Kakek Rasulullah Muhammad SAW)
Renovasi dilakukan setelah penyerangan Raja Abrahan yang diabadikan dalam Alquran surat al-Fiil. Raja ini membawa pasukan gajah, simbol kedigdayaan kekuatan kala itu. Sebelum operasi penghancuran ka’bah, Abrahah merampas 200 ekor onta milik Abdul Muthallib, yang berstatus sebagai penjaga ka’bah. Sesepuh Makkah yang kharismatik itu menemui Raja Abrahah dengan tenang. “Apa maksud kedatanganmu Tuan?” tanya Abrahah. “Tolong kembalikan kepadaku 200 ekor onta yang Kau rampas!” jawabnya. Betapa kaget Abrahah. Rasa hormatnya seketika luruh. “Semula aku menghargaimu begitu tinggi, saya datang untuk menghancurkan Ka’bah, tapi Anda malah sibuk memikirkan onta. Betapa kecil permintaanmu wahai Abdul Muthallib?” lalu keluarlah kalimat Abdul Muthalib yang sangat terkenal: “Sungguh, aku hanya pemilik onta, sedang Baitullah milik Rabb yang akan menjaganya.”
Mereka membiarkan Abrahah dan tentara gajahnya mendekati Ka’bah.  Seketika Allah mengirim burung Ababil membawa batu panas. Gajah-gajah pun berjatuhan laksana daun-daun yang dimakan ulat. Setelah peristiwa pada tahun 571 M bersamaan dengan kelahiran Nabi itu Abdul Muthallib melakukan perbaikan Ka’bah.
9. Suku Quraisy.
35 tahun setelah tahun gajah (aamu fiil), Kota Makkah dilanda banjir besar sehingga meluap ke Masjidil Haram. Akibat banjir itu dikhawatirkan sewaktu-waktu Ka’bah runtuh sehingga perlu dibongkar. Ketika mereka bersepakat untuk merenovasi Ka’bah berdirilah ditengah-tengah mereka Abu Wahab bin Amr seraya berkata: “Hai suku Quraisy janganlah kau menyumbang untuk bangunannya dari usahamu, rizqimu kecuali yang baik, diperoleh dari jalan hang halal. Jangan sampai tercampur oleh uang hasil melacur, jual beli riba atau dari hasil kehzaliman seseorang.”
Saat perombakan dimulai, masyarakat takut merobohkan tembok Ka’bah yang tersisa, mereka takut ditimpa murka Allah. Lalu Walid bin Mughirah  berinisiatif  mengambil cangkul dan mulai merobohkan sambil berkata: “Ya Allah kami tidak akan berpaling dan tidak ada yang kami inginkan kecuali hanya kebaikan.”
Pada malam harinya orang-orang menanti untuk melihat apakah Mughirah ditimpa musibah kerana perbuatannya atau tidak. Ketika tidak terjadi apa-apa, berangkatlah mereka ke Ka’bah  hingga yang tersisia hanya pondasi yang dibangun Nabi Ibrahim. Pada pembangunan total ini, mereka menyisakan enam hasta di bagian utara karena keterbatasan dana, yang kemudian disebut al Hijr Ismail atau al Hathim. Mereka juga membuat pintu lebih tinggi dari permukaan tanah. Jika sebelumnya hanya sembilan hasta, kini menjadi  lima belas hasta, dan memasang atap dengan disangga enam sendi. Kini Ka’bah berbentuk segi empat.
Pada saat peletakan Hajar Aswad, mereka saling berselisih tentang siapa yang berhak mendapat kehormatan meletakkan Hajar Aswad itu. Perselisihan ini terus berlangsung selama lima hari, tanpa ada keputusan. Bahkan perselisihan itu semakin meruncing dan hampir saja menjurus kepada pertumpahan darah antar suku di tanah suci.
Abu Umayyah bin al-Mughirah al-Makhzumiy datang dan menawarkan solusi dengan menyerahkan urusan ini kepada siapa pun yang pertama kali masuk masjid pada pagi itu. Mereka menerima cara ini. Allah menghendaki orang yang berhak atasnya adalah Muhammad yang saat itu berumur 35 tahun atau 5 tahun sebelum turun firman pertama. Tatkala mengetahui hal itu, mereka berteriak,”Inilah al Amin. Kami ridho kepadanya, inilah dia Muhammad.”
Atas dasar kepintaran,  keadilan dan kebijaksanaan Muhammad “Al-Amin” pada saat itu, beliau membuka dan menghamparkan surbannya di tanah, kemudian meletakkan batu Hajar Aswad di tengah-tengah serban tersebut. kemudian beliau menyuruh semua kepala kabilah yang hadir pada saat itu untuk memegang masing-masing ujung surban, kemudian mengangkatnya secara bersama-sama kemudian beliau sendiri yang meletakkan kembali batu Hajar aswad ke tempatnya semula. Semua merasa puas atas cara penyelesaian yang ditetapkan oleh Muhammad “Al-Amin” tersebut.
10. Abdullah bin Zubair bin Awwam (Cucu Abu Bakar Asshiddiq RA).
Walikota Makkah Abdullah bin Zubair bin Awwam (putra Asma’ binti Abu Bakar Ash-shiddiq dan Zubair bin Awwam) memutuskan perenovasian ka’bah seperti yang diinginkan Rasulullah SAW ketika beliau masih hidup. Dia pun membangun kembali serta menambahkan bagian yang masih kurang ketika orang-orang Quraisy kehabisan dana dari enam hasta menjadi sepuluh hasta. Dia juga menjadikan Ka’bah memiliki dua pintu, satu di sebelah timur dan lainnya di sebelah barat sehingga orang yang memasukinya dari satu pintu dan keluar di pintu yang lainnya. Abdullah bin Zubair memasang pecahan Hajar Aswad itu dengan diberi penahan perak. Dia menjadikannya dalam bentuk yang paling baik dan megah sehingga seperti yang disifatkan Nabi saw sebagaimana diberitakan oleh Sayyidah Aisyah RA yang juga bibinya.
Pada saat pembongkaran bangunan atas selesai, tampak pondasi terdiri dari batu-batu kemerahan yang saling bersilang menyambung seperti talian jemari. Terjadi keajaiban ketika Abdullah Bin Mu’thi al-Adawi  mendongkel bagian batu di hijir Ismail, ternyata semua bagian pondasi ikut bergerak dan seketika terjadi gempa dahsyat di kota Makkah. Maka Abdullah bin Zubair kemudian memutuskan langsung membangun di atas pondasi yang sudah ada. Pondasi itu tidak pernah berubah sejak awal karena Nabi Ibrahim pun hanya meninggikan dari pondasi yang sudah ada.
11. Abdul Malik bin Marwan (Bani Umayyah).
Pada 693 Masehi, penguasa Makkah selanjutnya Hajjaj bin Yusuf Ath-Taqafi berkirim surat ke Khalifah Abdul Malik bin Marwan (khalifah kelima dari Bani Umayyah yang mulai menjadi khalifah pada 692 Masehi/ 74 H) atas pembangunan Ka’bah zaman Abdullah bin Zubair bin Awwam. Dia mengira bahwa penyempurnaan itu adalah hasil fikiran dan ijtihad Zubair, padahal berdasarkan hadist Nabi. Lalu Abdul Malik minta mengembalikan Ka’bah seperti renovasi pada masa suku Quraisy setelah Abdul Muthallib. Al Hajjaj pun merobohkan bagian utara Ka’bah dan mengeluarkan al Hijr lalu menutup pintu barat.
 Tatkala Abdul Malik mendapatkan hadits dari Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah, maka ia pun menyesali perbuatannya sehingga mengatakan,”Kami sangat berkeinginan mengembalikan seperti orang yang membangun sebelumnya.” Maksudnya seperti masa Abdullah bin Zubair bin Awwam. Lalu ia pun bermusyawarah dengan Imam Malik dalam permasalahan ini dan beliau mencegah agar kemuliaan Ka’bah tidak lenyap dan tidak menodai kehormatan Ka’bah.
12. Sultan Murad Khan (Kekhilafahan Utsmani/ Ottoman)
Ketika Makkah dilanda banjir besar yang menenggelamkan Masjidil Haram, maka Sultan Murad Khan IV (tahun 1040 H/ 1630 Masehi), mengeluarkan perintah kepada Muhammad Ali Pasya, Gubernur Mesir yang  berwenang di daerah Hejazz (Makkah-Madinah) untuk perbaikan total. Ia kemudian meminta para arsiteknya untuk merenovasi  Ka’bah secara maksimal. Pembangunan dalam tempo enam bulan dan memakan biaya sangat mahal dan bertahan 400 tahun lamanya hingga pada masa pemerintahan Raja Abdul Abdul Aziz Assu’udi.  Setelah itu dilakukan perbaikan berkala dan pelebaran Masjidil Haram sampai hari ini di bawah pengawasan kerajaan Assu’udi.

Jumat, 19 Februari 2016

Mengucapkan “Sayyidina”



Kata-kata “sayyidina” atau ”tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan:


الأوْلَى ذِكْرُالسَّيِّادَةِ لِأنَّ اْلأَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلأَدَ بِ


“Yang lebih utama adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi SAW), karena hal yang lebih utama bersopan santun (kepada Beliau).” (Hasyisyah al-Bajuri, juz I, hal 156).


Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:


عن أبي هريرةقا ل , قا ل ر سو ل الله صلي الله عليه وسلم أنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَأوَّلُ مَنْ يُنْسَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأوَّلُ شَافعٍ وأول مُشَافِعٍ



“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk membrikan syafa’at.” (Shahih Muslim, 4223).


Hadits ini menyatakan bahwa nabi SAW menjadi sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari kiamat saja. Bahkan beliau SAW menjadi sayyid manusia didunia dan akhirat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani:


“Kata sayyidina ini tidak hanya tertentu untuk Nabi Muhammad SAW di hari kiamat saja, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang dari beberapa riwayat hadits ‘saya adalah sayyidnya anak cucu adam di hari kiamat.’ Tapi Nabi SAW menjadi sayyid keturunan ‘Adam di dunia dan akhirat”. (dalam kitabnya Manhaj as-Salafi fi Fahmin Nushush bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 169)


Ini sebagai indikasi bahwa Nabi SAW membolehkan memanggil beliau dengan sayyidina. Karena memang kenyataannya begitu. Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan kita umat manusia yang harus kita hormati sepanjang masa.


Lalu bagaimana dengan “hadits” yang menjelaskan larangan mengucapkan sayyidina di dalam shalat?


لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ


“Janganlah kalian mengucapakan sayyidina kepadaku di dalam shalat”


Ungkapan ini memang diklaim oleh sebagian golongan sebagai hadits Nabi SAW. Sehingga mereka mengatakan bahwa menambah kata sayyidina di depan nama Nabi Muhammad SAW adalah bid’ah dhalalah, bid’ah yang tidak baik.


Akan tetapi ungkapan ini masih diragukan kebenarannya. Sebab secara gramatika bahasa Arab, susunan kata-katanya ada yang tidak singkron. Dalam bahasa Arab tidak dikatakan سَادَ- يَسِيْدُ , akan tetapi سَادَ -يَسُوْدُ , Sehingga tidak bisa dikatakan لَاتُسَيِّدُوْنِي


Oleh karena itu, jika ungkapan itu disebut hadits, maka tergolong hadits maudhu’. Yakni hadits palsu, bukan sabda Nabi, karena tidak mungkin Nabi SAW keliru dalam menyusun kata-kata Arab. Konsekuensinya, hadits itu tidak bisa dijadikan dalil untuk melarang mengucapkan sayyidina dalam shalat?


Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membaca sayyidina ketika membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW boleh-boleh saja, bahkan dianjurkan. Demikian pula ketika membaca tasyahud di dalam shalat.



KH Muhyiddin Abdusshomad

Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris), Ketua PCNU Jember

Kamis, 18 Februari 2016

Debat wahabi dan Aswaja : Dzikir Berjamaah


WAHABI: “Anda belum menjawab, alasan Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah membid’ahkan doa bersama setelah shalat, baik dimpimpin oleh seorang imam atau berdoa sendiri-sendiri.”

SUNNI: “Doa bersama dengan dipimpin oleh seorang imam, itu telah diamalkan oleh umat Islam sejak generasi salaf, dan memiliki dasar yang sangat kuat dalam al-Qur’an dan hadits.”

WAHABI: “Owh, mana dalil al-Qur’an nya?

SUNNI: “Dalam al-Qur’an, Allah subhanahu wata’ala menceritakan tentang dikabulkannya doa Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalaam:

قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا. (يونس : ٨٩).

“Allah berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan doa kamu berdua, oleh karena itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus.” (QS. Yunus : 89).

Dalam ayat di atas, al-Qur’an menegaskan tentang dikabulkannya doa Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalaam. Padahal yang berdoa sebenarnya Nabi Musa ‘alaihissalaam, sedangkan Nabi Harun ‘alaihissalaam hanya mengucapkan amin, sebagaimana diterangkan oleh para ulama ahli tafsir. Nabi Musa ‘alaihissalam yang berdoa dan Nabi Harun ‘alaihissalam yang mengucapkan amin, dalam ayat tersebut sama-sama dikatakan berdoa. Hal ini menunjukkan bahwa doa bersama dengan dimpimpin oleh seorang imam adalah ajaran al-Qur’an, bukan ajaran terlarang. (Bisa dilihat dalam Tafsir al-Hafizh Ibnu Katsir, 4/291).”

WAHABI: “Selain dalil al-Qur’an, apakah ada dalil hadits?”

SUNNI: “Ya ada. Misalnya hadits berikut ini:

Pertama, hadits Habib bin Maslamah al-Fihri:

عَنْ حَبِيْبِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: لاَ يَجْتَمِعُ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ يَدْعُوْ بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَهُمْ. رواه الطبراني في الكبير و الحاكم في المستدرك وقال صحيح على شرط مسلم، وقال الحافظ الهيثمي في مجمع الزوائد: رجاله رجال الصحيح غير ابن لهيعة وهو حسن الحديث.

“Dari Habib bin Maslamah al-Fihri radhiyallahu ‘anhu –beliau seorang yang dikabulkan doanya-, berkata: “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak lah berkumpul suatu kaum Muslimin, lalu sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengucapkan amin, kecuali Allah pasti mengabulkan doa mereka.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [3536], dan al-Hakim dalam al-Mustadrak 3/347. Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai persyaratan Muslim. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid 10/170, para perawi hadits ini adalah para perawi hadits shahih, kecuali Ibn Lahi’ah, seorang yang haditsnya bernilai hasan.”

Hadits di atas, memberikan petunjuk kepada kita, agar sering berkumpul untuk melakukan doa bersama, sebagian berdoa, dan yang lainnya membaca amin, agar doa dikabulkan.

Kedua, hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلدَّاعِيْ وَالْمُؤَمِّنُ فِي اْلأَجْرِ شَرِيْكَانِ. رواه الديلمي في مسند الفردوس بسند ضعيف.

“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang berdoa dan orang yang membaca amin sama-sama memperoleh pahala.” (HR. al-Dailami [3039] dalam Musnad al-Firdaus dengan sanad yang lemah).

Kelemahan hadits ini dapat dikuatkan dengan hadits sebelumnya dan ayat al-Qur’an di atas.

Ketiga, hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

عن أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : أُعْطِيتُ ثَلاَثَ خِصَالٍ : صَلاَةً فِي الصُّفُوفِ ، وَأُعْطِيتُ السَّلاَمَ وَهُوَ تَحِيَّةُ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَأُعْطِيتُ آمِينَ ، وَلَمْ يُعْطَهَا أَحَدٌ مِّمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ، إِلاَّ أَنْ يَكُونَ الله أَعْطَاهَا هَارُونَ ، فَإِنَّ مُوسَى كَانَ يَدْعُو وَيُؤَمِّنُ هَارُونَ. رواه الحارث وابن مردويه وسنده ضعيف

Anas bin Malik berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku dikaruniakan tiga perkara; shalat dalam shaf-shaf. Aku dikaruniakan salam, yaitu penghormatan penduduk surga. Dan aku dikaruniakan Amin, dan belum pernah seseorang sebelum kalian dikaruniakan Amin, kecuali Allah karuniakan kepada Harun. Karena sesungguhnya Musa yang selalu berdoa, dan Harun selalu membaca amin.” (HR al-Harits bin Abi Usamah dan Ibnu Marduyah. Sanad hadits ini dha’if. Lihat, al-Amir al-Shan’ani, al-Tanwir Syarh al-Jami’ al-Shaghir, 2/488).

Kelemahan hadits ini dapat diperkuat dengan hadits-hadits sebelumnya serta ayat al-Qur’an di atas. Hadits di atas mengisyaratkan pentingnya membaca amin bagi orang orang lain, sebagaimana bacaan amin Nabi Harun ‘alaihissalam atas doa Nabi Musa ‘alaihissalam.

Keempat, hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha

عن عائشة – رضي الله عنها – عن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: مَا حَسَدَتْكُمُ الْيَهُوْدُ عَلىَ شَيْءٍ مَا حَسَدُوْكُمْ عَلىَ السَّلاَمِ وَالتَّأْمِيْنِ أخرجه البخاري في الأدب المفرد وأحمد بمعناه ابن ماجة وقال البوصيري هذا إسناد صحيح، وإسحاق بن راهوية في مسنده قال الأمير الصنعاني قد صححه جماعة، وقال الحافظ ابن حجر صححه ابن خزيمة وأقره.
.
“Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang-orang Yahudi tidak hasud kepada kalian melebihi hasud mereka pada ucapan salam dan amin.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad [988], Ahmad 6/134, Ibnu Majah [856], dan Ibnu Rahawaih dalam al-Musnad [1122]. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Hafizh al-Bushiri dan lain-lain. Lihat al-Amir al-Shan’ani, al-Tanwir Sayrh al-Jami’ al-Shaghir, 9/385).

Hadits di atas menganjurkan kita memperbanyak ucapan salam dan amin. Tentu saja ucapan salam kepada orang lain. Demikian pula memperbanyak ucapan amin, baik untuk doa kita sendiri, maupun doa orang lain. Hadits ini juga menjadi dalil, bahwa ajaran Syiah sangat dekat dengan Yahudi, karena sama-sama melarang membaca amin.

Dari paparan di atas, jelas sekali bahwa doa bersama, dengan dipimpin oleh seorang imam memang ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

WAHABI: “Bagaimana tanggapan Anda terhadap fatwa Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallahu ‘anhu berikut ini:

Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya:

يكره أن يجتمع القوم يدعون الله سبحانه وتعالى ويرفعون أيديهم؟

“Apakah diperbolehkan sekelompok orang berkumpul, berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan mengangkat tangan?”

Maka beliau mengatakan:

ما أكرهه للإخوان إذا لم يجتمعوا على عمد، إلا أن يكثروا

“Aku tidak melarangnya jika mereka tidak berkumpul dengan sengaja, kecuali kalau terlalu sering.” (Diriwayatkan oleh Al-Marwazy di dalam Masail Imam Ahmad bin Hambal wa Ishaq bin Rahuyah 9/4879)

SUNNI: “Semoga Allah meridhai dan merahmati Sayyidina al-Imam Ahmad bin Hanbal. Semoga Allah mengalirkan berkah beliau dan ilmunya kepada kami. Fatwa Imam Ahmad bin Hanbal, tidak diikuti oleh mayoritas ulama. Dalam fatwa di atas, Imam Ahmad tidak suka orang-orang melakukan doa bersama dan dzikir bersama apabila dilakukan dengan sengaja dan terlalu sering.”

WAHABI: “Mengapa mayoritas ulama tidak mengikuti fatwa Imam Ahmad bin Hanbal? Bukankah beliau ulama salaf yang diakui kehebatannya dalam ilmu dan amal?”

SUNNI: “Mayoritas ulama menghargai fatwa beliau, tetapi tidak mengikutinya, karena dalil-dalil Sunnah sangat kuat menganjurkan doa bersama dan dzikir bersama. Sebagaimana dimaklumi, Imam Ahmad dalam fatwanya tidak menjelaskan dalilnya, dan para ulama Wahabi juga tidak pernah menjelaskan dalil beliau.”

WAHABI: “Mana dalilnya? Jangan-jangan dalilnya hanya sedikit.”

SUNNI: “Akhi, dalil itu, selama metode istinbath nya shahih, meskipun hanya ada satu dalil, itu sudah dibenarkan dalam kacamata agama. Apalagi dalilnya banyak. Selain dalil-dalil di atas, yang menganjurkan doa bersama, banyak sekali hadits-hadits yang menganjurkan doa bersama dan dzikir bersama. Misalnya hadits berikut ini:

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إِنَّ للهِ مَلائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالُوا يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ
[18:53, 21/01/2016] ‪+62 857-1191-1555‬: وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَتَحْمِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنْ النَّارِ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنْ الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ هُمْ الْجُلَسَاءُ لا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رواه البخاري ومسلم

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki banyak malaikat yang selalu mengadakan perjalanan, mereka senantiasa mencari orang-orang yang berdzikir. Apabila mereka mendapati satu kaum sedang berdzikir kepada Allah, maka mereka akan saling berseru: “Mintalah hajat kalian.” Beliau melanjutkan: “Lalu para malaikat itu mengelilingi dengan sayap-sayapnya hingga memenuhi jarak antara mereka dengan langit dunia.” Beliau melanjutkan: “Lalu Tuhan mereka menanyakan mereka padahal Dia lebih mengetahui dari pada mereka: “Apa yang dikatakan oleh hamba-hamba-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Mereka mensucikan, membesarkan, memuji dan mengagungkan-Mu.” Allah bertanya lagi: “Apakah mereka pernah melihat-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Demi Allah, mereka tidak pernah melihat-Mu.” Allah bertanya lagi: “Bagaimana seandainya mereka pernah melihat-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Seandainya mereka pernah melihat-Mu, tentu mereka akan lebih bersungguh-sungguh beribadah, mengagungkan dan semakin banyak mensucikan-Mu.” Allah bertanya lagi: “Apa yang mereka minta kepada-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Mereka memohon surga-Mu.” Allah bertanya lagi: “Apakah mereka sudah pernah melihat surga-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Belum wahai Tuhan kami.” Allah bertanya lagi: “Bagaimana jika mereka telah melihat surga-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Tentu mereka akan lebih bersungguh-sungguh memohon dan menginginkannya.” Allah bertanya lagi: “Dari apakah mereka memohon perlindungan-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Dari neraka-Mu.” Allah bertanya lagi: “Apakah mereka sudah pernah melihat neraka-Ku?” Para malaikat itu menjawab: “Demi Allah, mereka belum pernah melihat neraka-Mu.” Allah bertanya lagi: “Bagaimana seandainya mereka pernah melihat neraka-Ku?” Para malaikat itu itu menjawab: “Tentu mereka akan semakin lari dan takut pada neraka itu.” Beliau melanjutkan: “Kemudian Allah berfirman: “Saksikanlah oleh kalian, bahwa Aku sudah mengampuni mereka.” Beliau melanjutkan lagi, “Lalu sebagian malaikat itu berkata: “Wahai Tuhan kami! Di antara mereka terdapat si Fulan, ia bukanlah termasuk orang-orang yang berdzikir, hanya saja ia kebetulan datang karena ada keperluan (duduk bersama mereka).” Lalu Allah menjawab: “Mereka adalah kaum yang tidak akan sengsara orang yang ikut duduk bersama mereka.” (HR. al-Bukhari [6408] dan Muslim [4854]).

Hadits di atas jelas memberikan pelajaran tentang keutamaan majlis dzikir. Kita dianjurkan memperbanyak majlis dzikir. Kemudian di bagian akhir hadits tersebut dijelaskan, tentang keutamaan orang yang tidak sengaja datang kepada mereka, lalu diampuni, padahal tidak bermaksud menjadi peserta majlis dzikir. Nah, apabila orang yang tidak sengaja datang, begitu besar pahalanya, apalagi orang yang sengaja datang, tentu lebih besar pahalanya. Bukankah begitu akhi? (Lihat, al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 11 hal. 213).

WAHABI: “Tapi kalau dalam dzikir, membaca dzikiran dengan satu suara itu kan tidak ada dalilnya? Berarti kan bid’ah dholalah dan masuk neraka.”

SUNNI: “Akhi, sebaiknya Anda jangan mudah berburuk sangka kepada umat Islam yang rajin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Apalagi ibadah mereka telah dituntun oleh para ulama sejak awal-awal Islam masuk ke Indonesia. Mereka ulama yang sangat alim ilmunya akhi. Tidak bisa dibandingkan dengan kita-kita yang hanya tahu sedikit sekali ilmu agama. Coba perhatikan hadits ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ إِلاَّ حَفَّتْهُمْ الْمَلائِكَةُ وَتَغَشَّتْهُمْ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ. رواه أحمد وعبد بن حميد وعبد الرزاق وابن أبي شيبة والطبراني.

Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah berkumpul suatu kaum, mereka berdzikir kepada Allah, melainkan para malaikat mengelilingi mereka, rahmat Allah menaungi mereka, ketenangan dari Allah turun kepada mereka dan Allah menyebutkan mereka di antara orang-orang yang bersama-Nya.” (HR. Ahmad [11892], Abd bin Humaid [861], Abdurrazzaq [20577], dan al-Thabarani dalam al-Ausath [1500]).

Hadits di atas, memberikan pelajaran tentang keutamaan dzikir berjamaah atau dzikir bersama.

WAHABI: “Ya walaupun dzikir bersama, tapi bacaannya kan tidak perlu seragam seperti paduan suara akhi.”

SUNNI: “Akhi, Anda mengerti makna berjamaah? Seandainya ada seratus orang berkumpul di Masjid, tapi shalatnya dilakukan sendiri-sendiri, apakah dinamakan shalat berjamaah? Tentu tidak kan? Nah, dzikir berjamaah itu juga demikian, mereka sama-sama membaca, baik membaca sendiri-sendiri atau dengan satu suara seperti paduan suara. Hal ini juga dipertegas dengan hadits lain tentang membaca satu suara:

عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ إِنَّا لَعِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه ووسلم إِذْ قَالَ هَلْ فِيْكُمْ غَرِيْبٌ يَعْنِيْ أَهْلَ الْكِتَابِ قُلْنَا لاَ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَأَمَرَ بِغَلْقِ الْبَابِ فَقَالَ ارْفَعُوْا أَيْدِيَكُمْ فَقُوْلُوْا لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ فَرَفَعْنَا أَيْدِيَنَا سَاعَةً ثُمَّ وَضَعَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه ووسلم يَدَهُ ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ للهِ اللّهُمَّ إِنَّكَ بَعَثْتَنِيْ بِهَذِهِ الْكَلِمَةِ وَأَمَرْتَنِيْ بِهَا وَوَعَدْتَنِيْ عَلَيْهَا الْجَنَّةَ إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ ثُمَّ قَالَ أَبْشِرُوْا فَإِنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَ لَكُمْ. (رواه أحمد والحاكم والطبراني والبزار وحسنه الحافظ المنذري).

“Syaddad bin Aus berkata, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba beliau berkata, “Apakah di antara kalian ada orang asing (ahli kitab)?” Kami menjawab, “tidak ada wahai Rasulullah.” Lalu beliau memerintahkan agar mengunci pintu dan berkata, “Angkatlah tangan kalian, lalu katakan Laa ilaaha illallaah!” Kami mengangkat tangan beberapa saat, kemudian Rasulullah meletakkan tangannya. Lalu bersabda, “Alhamdulillah. Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengutusku membawa kalimat tauhid ini, Engkau memerintahkannya kepadaku dan menjanjikanku surga karenanya, sesungguhnya Engkau tidak akan menyalahi janji.” Kemudian beliau bersabda, “Bergembiralah, sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian.” (HR. Ahmad [17121], al-Hakim 1/501, al-Thabarani dalam Musnad al-Syamiyyin [921], dan al-Bazzar. Hadits ini dihasankan oleh al-Hafizh al-Mundziri dalam al-Targhib wa al-Tarhib 2/415).

Perhatikan, dalam hadits di atas, para sahabat membaca kalimah thoyyibah bersama-sama berdasarkan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berarti berdzikir dengan satu suara itu tidak tercela, bahkan bagus dilakukan berdasarkan hadits tersebut.

Wallahu a’lam.

(Ust. Muh. Idrus Ramli)

Selasa, 16 Februari 2016

PBNU AKAN MENDIRIKAN BANK NU


Menyambut kedatangan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sudah bergulir di Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berencana meluncurkan Bank NU pada pertengahan tahun ini. Bank ini diharapkan dapat menguatkan perekonomian nahdliyin.

“Kalau NU tidak berkiprah di dalam MEA, NU bisa saja jadi penonton. Karenanya salah satu upaya untuk menjawab tantangan itu kita harus memunyai wadah bisnis finansial yang diwadahi dengan perbankan,” terang Ketua PBNU H Eman Suryaman kepada NU Online di Bandung, Jum’at (22/1) sore.

Menurut H Eman, pendirian bank NU sekarang sudah sampai pada beberapa persiapan. Pihak PBNU sudah melakukan pertemuan dengan pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawasan sektor jasa keuangan, serta musyawarah dengan unsur pimpinan di PBNU.

“Mudah-mudahan dalam waktu dekat akan memulai konsep penataan Bank NU sehingga ketika sudah diluncurkan Bank NU menjadi wadah bisnis yang akan dikelola oleh lembaga yang profesional,” kata Ketua PBNU yang membidangi perekonomian itu.

Membuka cabang Bank NU itu mudah karena NU sudah memunyai cabang di mana-mana. “Jadi cabang NU bisa jadi cabang Bank NU itu sendiri. Mau cabang pembantu, kita juga sudah sudah punya MWCNU yang kantornya bisa digunakan,” sambungnya.

Sementara itu, untuk penamaan Bank NU belum ditentukan. Yang jelas pihaknya menegaskan bahwa Bank NU merupakan sebuah bank yang sebagian besar sahamnya dimiliki NU dan keluarga besar NU.

Ia berharap program bank NU akan mewadahi masyarakat NU yang berkiprah di bidang usaha bisnis, pendidikan, atau bidang-bidang lainnya termasuk di bidang penyelanggaraan ibadah haji, umrah, dan sebagainya.

“Jadi Bank NU akan menjadi wadah yang menjadikan roda pengelolaan keuangan Nahdlatul Ulama,” pungkasnya.

(M Zidni Nafi’/Alhafiz K/Redaksi NU Online)