Tulisan Berjalan

SUKSES KOMUNITAS MAJU JOS, AKHIRNYA BIMBINGAN DIGITAL MARKETING SECARA GRATIS TANPA BATAS TELAH MEMBERI MANFAAT BESAR

Minggu, 21 Februari 2016

Ka’bah Dibangun Malaikat Hingga Para Pejabat



Ka’bah menjadi tanda simbolik titik tumpu pusat qiblat diarahkan, kemudian dari titik sentral itu terdapat poros khusus menuju Arsy Allah. Secara geografis lokasinya adalah ketentuan Allah, tetapi secara material bangunannya adalah buatan manusia yang harus tunduk pada hukum mahluk yang tidak kekal, sehingga adalakanya mengalami kerusakan karena  faktor panas dan hujan, rusak diterpa banjir dan kebakaran atau karena ulah manusia sendiri. Berikut adalah histori Ka’bah dari masa ke masa. Para ahli mencatat setidaknya sudah lebih 12 kali terjadi tahap pembangunan Ka’bah sejak pertama kali ditentukan Allah, hingga renovasi dari generasi ke generasi sampai hari ini.

1.       Golongan Malaikat
Dua ribu tahun atau sekitar 2 hari dalam hitungan Allah sebelum Nabi Adam diciptakan, malaikat sudah membangun Ka’bah di bumi ini atas perintah Allah SWT. Bangunan yang didirikan untuk pertama kali menurut sebuah riwayat baru berupa tancapan penanda lokasi. Kemudian Allah SWT berfirman kepada Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi,” (QS al-Baqarah: 30). Para ahli tafsir mengatakan, para malaikat cemas manusia akan berbuat kerusakan dan menodai bumi dengan pertengkaran dan pertumpahan darah seperti golongan jin (azajil) yang sudah lebih dulu dicipta dan sama-sama disertai hawa nafsu. Kecemasan malaikat tersebut kandas ketika Allah Swt menjawab: “Aku lebih tahu terhadap apa yang tidak kamu ketahui” (QS al-Baqarah: 30).
Karena takut akan murka Allah SWT, para malaikat tidak bertanya lagi siapa yang layak dijadikan khalifah di bumi, manusia atau malaikat, kemudian para malaikat segera mohon ampun dan dengan Rahman dan Rahim-NYA, dibangunlah Baitul Ma’mur dari Zabrajad yang bertahtakan Yakut di bawah Arasy untuk thawaf para  malaikat. Maka dengan Rahman dan Rahim Allah pula, malaikat diperintah membangun sebentuk tanda pada satu titik, yaitu Ka’bah di bumi yang posisinya serentang dengan Baitul Ma’mur di bawah Arsy. Kedua titik ini seperti persambungan dua poros semesta. (Muhammad Al Arzaqi, Akhbar Makkah,  1988: 32).
2. Masa Nabi Adam AS.
Ketika diturunkan dari Surga ke bumi, Nabi Adam merasa asing dan bergumam. “Ya Allah, mengapa aku tidak mendengar suara malaikat dan merasakan kewujudannya?” Allah menjawab, “Itu kesalahanmu, wahai Adam. Akan tetapi, pergilah dan dirikan untuk-Ku sebuah rumah, lalu berthawaflah dan berzikirlah kepada-Ku di sekelilingnya, seperti yang telah dilakukan oleh para malaikat di sekeliling Arsy-Ku.”
Kemudian pada titik yang ditentukan Allah itu, Nabi Adam membangun Ka’bah. “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk tempat beribadah manusia ialah Baitullah di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.” (QS. Al Imron: 96).
Oleh karena itu Makkah kemudian disebut Ummul Quro atau asal muasal semua negeri di bumi karena Adam dan Hawa pertama menetap berada di kota ini dan kuburan Siti Hawa hingga saat ini masih dapat disaksikan di kota pelabuhan Jeddah atau jaddatun yanng artinya kota nenek manusia.
3.       Zaman Nabi Syts AS.
Syts adalah putra dari Nabi Adam AS yang diberi wasiat oleh ayahnya untuk senantiasa beribadah siang dan malam. Nabi Syts pemperbaiki Ka’bah dengan bahan dari tanah liat dan batu yang bertahan sampai zaman Nabi Nuh AS. Ketika terjadi banjir pada masa Nabi Nuh, Ka’bah porak poranda. Sampai pada generasi ketiga ini tidak dijumpai keterangan di dalam Alquran dan hadits-hadits Shahih, dan pada generasi keempat, yaitu generasi Nabi Ibrahim  AS dan Nabi Ismail AS dicantumkan sejarahnya di dalam Alquran.
4. Generasi Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS
Ketika Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim dan Ismail agar membangun sebuah rumah ibadah di atas puing Ka’bah yang sudah tertimbun bekas banjir pada masa Nabi Nuh, keduanya tidak tahu persis lokasi yang dimaksud. Kemudian Allah  mengirim angin al khajuj yang membersihkan daerah sekitar Ka’ba. Keduanya pun mengikuti dan melakukan penggalian dan meletakkan pondasi lebih tinggi hingga terbentuk bangunan sempurna.  “Dan ingatlah, ketika kami memberikan tempat kepada Ibrahim di Baitullah….” (QS. Al Hajj: 26).
Usai membangun sudut-sudut atau rukun-rukunnya, Nabi Ibrahim meminta Ismail untuk mengambil batu paling putih yang di bawa Nabi Adam dari Surga, namun berubah menjadi hitam karena dosa-dosa manusia. Setelah tuntas, keduanya lalu berdoa, “Dan ingatlah, ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail seraya berdoa: “Ya Tuhan kami terimalah amalan kami, Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS al-Baqarah: 127). Informasi dari Alquran dalam pembangunan ini adalah meninggikan pondasi (yarfa’u), artinya Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail merenovasi bangunan tua sebelumnya.
Pada masa ini di sekitar Ka’bah sudah terdapat sumber mata air zam-zam, sehingga daya tarik Ka’bah sebagai sumber energi spiritual manusia, juga sebagai sumber asbab penghidupan dunia semakin menarik semua mahluk hidup untuk berkerumun di sekitar Ka’bah.
5. Suku Amaliqah
Suku amaliqah berasal dari Yaman yang kemudian menetap di sekitar Ka’bah. Setelah mendapat izin dari Siti Hajar dan Nabi Ismail, suku ini termasuk yang mula-mula tinggal dalam waktu lama di sekitar Ka’bah. Riwayat menyatakan keturunan suku ini pernah melakukan perbaikan meski tidak ada perombakan besar pada bangunan ka’bah, hanya memperbaiki bagian yang rusak karena faktor alam.  Setelah diperbaiki Ka’bah kembali berdiri seperti zaman Nabi Ibrahim lagi.
6. Suku Jurhum
Keberadaan Ka’bah dan sumber mata air zam-zam sungguh menjadi magnet dunia. Berbagai kabilah silih berganti mendatangi. Suku jurhum dipimpin raja Madhad bin Umar bin Haris bin Madhad bin Umar Al-Jurhum datang ke Ka’bah bersama rombongan besar.  Setelah dibangun oleh bangsa Amaliqah, Ka’bah terkena banjir besar dari dataran tinggi Makkah yang mengakibatkan rusaknya dinding meskipun tidak roboh. Suku Jurhum-lah yang kemudian membangun kembali seperti sediakala dengan menambah bangunan di luar Ka’bah untuk penahan luapan air bila terjadi banjir kembali.
7. Qushai Bin Kilab dari Bani Kinanah.
Setelah Bangsa Jurhum berlalu, Ka’bah kemudian sampai ke tangan Qushay bin Kilab. Ia adalah seorang pemuka dari suku bangsa Quraisy, keturunan langsung Nabi Ismail, kakek buyut Nabi Muhammad SAW. Di masa ini Hajar Aswad sempat hilang diambil oleh anak-anak Mudhar bin Nizar dan ditanam di sebuah bukit.  Pembangunan Ka’bah ditinggikan dan diberi atap dari kayu dan pelepah kurma. Setelah Hajar Aswad ditemukan, kemudian disimpan Qushay, hingga bangsa Quraisy mengurus Ka’bah secara turun menurun pada masa Nabi Muhammad.
8.  Abdul Muthalib (Kakek Rasulullah Muhammad SAW)
Renovasi dilakukan setelah penyerangan Raja Abrahan yang diabadikan dalam Alquran surat al-Fiil. Raja ini membawa pasukan gajah, simbol kedigdayaan kekuatan kala itu. Sebelum operasi penghancuran ka’bah, Abrahah merampas 200 ekor onta milik Abdul Muthallib, yang berstatus sebagai penjaga ka’bah. Sesepuh Makkah yang kharismatik itu menemui Raja Abrahah dengan tenang. “Apa maksud kedatanganmu Tuan?” tanya Abrahah. “Tolong kembalikan kepadaku 200 ekor onta yang Kau rampas!” jawabnya. Betapa kaget Abrahah. Rasa hormatnya seketika luruh. “Semula aku menghargaimu begitu tinggi, saya datang untuk menghancurkan Ka’bah, tapi Anda malah sibuk memikirkan onta. Betapa kecil permintaanmu wahai Abdul Muthallib?” lalu keluarlah kalimat Abdul Muthalib yang sangat terkenal: “Sungguh, aku hanya pemilik onta, sedang Baitullah milik Rabb yang akan menjaganya.”
Mereka membiarkan Abrahah dan tentara gajahnya mendekati Ka’bah.  Seketika Allah mengirim burung Ababil membawa batu panas. Gajah-gajah pun berjatuhan laksana daun-daun yang dimakan ulat. Setelah peristiwa pada tahun 571 M bersamaan dengan kelahiran Nabi itu Abdul Muthallib melakukan perbaikan Ka’bah.
9. Suku Quraisy.
35 tahun setelah tahun gajah (aamu fiil), Kota Makkah dilanda banjir besar sehingga meluap ke Masjidil Haram. Akibat banjir itu dikhawatirkan sewaktu-waktu Ka’bah runtuh sehingga perlu dibongkar. Ketika mereka bersepakat untuk merenovasi Ka’bah berdirilah ditengah-tengah mereka Abu Wahab bin Amr seraya berkata: “Hai suku Quraisy janganlah kau menyumbang untuk bangunannya dari usahamu, rizqimu kecuali yang baik, diperoleh dari jalan hang halal. Jangan sampai tercampur oleh uang hasil melacur, jual beli riba atau dari hasil kehzaliman seseorang.”
Saat perombakan dimulai, masyarakat takut merobohkan tembok Ka’bah yang tersisa, mereka takut ditimpa murka Allah. Lalu Walid bin Mughirah  berinisiatif  mengambil cangkul dan mulai merobohkan sambil berkata: “Ya Allah kami tidak akan berpaling dan tidak ada yang kami inginkan kecuali hanya kebaikan.”
Pada malam harinya orang-orang menanti untuk melihat apakah Mughirah ditimpa musibah kerana perbuatannya atau tidak. Ketika tidak terjadi apa-apa, berangkatlah mereka ke Ka’bah  hingga yang tersisia hanya pondasi yang dibangun Nabi Ibrahim. Pada pembangunan total ini, mereka menyisakan enam hasta di bagian utara karena keterbatasan dana, yang kemudian disebut al Hijr Ismail atau al Hathim. Mereka juga membuat pintu lebih tinggi dari permukaan tanah. Jika sebelumnya hanya sembilan hasta, kini menjadi  lima belas hasta, dan memasang atap dengan disangga enam sendi. Kini Ka’bah berbentuk segi empat.
Pada saat peletakan Hajar Aswad, mereka saling berselisih tentang siapa yang berhak mendapat kehormatan meletakkan Hajar Aswad itu. Perselisihan ini terus berlangsung selama lima hari, tanpa ada keputusan. Bahkan perselisihan itu semakin meruncing dan hampir saja menjurus kepada pertumpahan darah antar suku di tanah suci.
Abu Umayyah bin al-Mughirah al-Makhzumiy datang dan menawarkan solusi dengan menyerahkan urusan ini kepada siapa pun yang pertama kali masuk masjid pada pagi itu. Mereka menerima cara ini. Allah menghendaki orang yang berhak atasnya adalah Muhammad yang saat itu berumur 35 tahun atau 5 tahun sebelum turun firman pertama. Tatkala mengetahui hal itu, mereka berteriak,”Inilah al Amin. Kami ridho kepadanya, inilah dia Muhammad.”
Atas dasar kepintaran,  keadilan dan kebijaksanaan Muhammad “Al-Amin” pada saat itu, beliau membuka dan menghamparkan surbannya di tanah, kemudian meletakkan batu Hajar Aswad di tengah-tengah serban tersebut. kemudian beliau menyuruh semua kepala kabilah yang hadir pada saat itu untuk memegang masing-masing ujung surban, kemudian mengangkatnya secara bersama-sama kemudian beliau sendiri yang meletakkan kembali batu Hajar aswad ke tempatnya semula. Semua merasa puas atas cara penyelesaian yang ditetapkan oleh Muhammad “Al-Amin” tersebut.
10. Abdullah bin Zubair bin Awwam (Cucu Abu Bakar Asshiddiq RA).
Walikota Makkah Abdullah bin Zubair bin Awwam (putra Asma’ binti Abu Bakar Ash-shiddiq dan Zubair bin Awwam) memutuskan perenovasian ka’bah seperti yang diinginkan Rasulullah SAW ketika beliau masih hidup. Dia pun membangun kembali serta menambahkan bagian yang masih kurang ketika orang-orang Quraisy kehabisan dana dari enam hasta menjadi sepuluh hasta. Dia juga menjadikan Ka’bah memiliki dua pintu, satu di sebelah timur dan lainnya di sebelah barat sehingga orang yang memasukinya dari satu pintu dan keluar di pintu yang lainnya. Abdullah bin Zubair memasang pecahan Hajar Aswad itu dengan diberi penahan perak. Dia menjadikannya dalam bentuk yang paling baik dan megah sehingga seperti yang disifatkan Nabi saw sebagaimana diberitakan oleh Sayyidah Aisyah RA yang juga bibinya.
Pada saat pembongkaran bangunan atas selesai, tampak pondasi terdiri dari batu-batu kemerahan yang saling bersilang menyambung seperti talian jemari. Terjadi keajaiban ketika Abdullah Bin Mu’thi al-Adawi  mendongkel bagian batu di hijir Ismail, ternyata semua bagian pondasi ikut bergerak dan seketika terjadi gempa dahsyat di kota Makkah. Maka Abdullah bin Zubair kemudian memutuskan langsung membangun di atas pondasi yang sudah ada. Pondasi itu tidak pernah berubah sejak awal karena Nabi Ibrahim pun hanya meninggikan dari pondasi yang sudah ada.
11. Abdul Malik bin Marwan (Bani Umayyah).
Pada 693 Masehi, penguasa Makkah selanjutnya Hajjaj bin Yusuf Ath-Taqafi berkirim surat ke Khalifah Abdul Malik bin Marwan (khalifah kelima dari Bani Umayyah yang mulai menjadi khalifah pada 692 Masehi/ 74 H) atas pembangunan Ka’bah zaman Abdullah bin Zubair bin Awwam. Dia mengira bahwa penyempurnaan itu adalah hasil fikiran dan ijtihad Zubair, padahal berdasarkan hadist Nabi. Lalu Abdul Malik minta mengembalikan Ka’bah seperti renovasi pada masa suku Quraisy setelah Abdul Muthallib. Al Hajjaj pun merobohkan bagian utara Ka’bah dan mengeluarkan al Hijr lalu menutup pintu barat.
 Tatkala Abdul Malik mendapatkan hadits dari Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah, maka ia pun menyesali perbuatannya sehingga mengatakan,”Kami sangat berkeinginan mengembalikan seperti orang yang membangun sebelumnya.” Maksudnya seperti masa Abdullah bin Zubair bin Awwam. Lalu ia pun bermusyawarah dengan Imam Malik dalam permasalahan ini dan beliau mencegah agar kemuliaan Ka’bah tidak lenyap dan tidak menodai kehormatan Ka’bah.
12. Sultan Murad Khan (Kekhilafahan Utsmani/ Ottoman)
Ketika Makkah dilanda banjir besar yang menenggelamkan Masjidil Haram, maka Sultan Murad Khan IV (tahun 1040 H/ 1630 Masehi), mengeluarkan perintah kepada Muhammad Ali Pasya, Gubernur Mesir yang  berwenang di daerah Hejazz (Makkah-Madinah) untuk perbaikan total. Ia kemudian meminta para arsiteknya untuk merenovasi  Ka’bah secara maksimal. Pembangunan dalam tempo enam bulan dan memakan biaya sangat mahal dan bertahan 400 tahun lamanya hingga pada masa pemerintahan Raja Abdul Abdul Aziz Assu’udi.  Setelah itu dilakukan perbaikan berkala dan pelebaran Masjidil Haram sampai hari ini di bawah pengawasan kerajaan Assu’udi.

Tidak ada komentar: