Tulisan Berjalan

SUKSES KOMUNITAS MAJU JOS, AKHIRNYA BIMBINGAN DIGITAL MARKETING SECARA GRATIS TANPA BATAS TELAH MEMBERI MANFAAT BESAR

Selasa, 31 Juli 2012

Ramadhan Bulan Al-Qur'an


Hikmah » 
Ramadhan adalah bulan Al-Qur’an. Oleh sebab itu, perbanyaklah membaca Al-Qur’an itu, baik di luar shalat maupun di dalam shalat. Khususnya ketika kita melaksanakan shalat tarawih pada bulan Ramadhan, perbanyaklah ayat-ayat Al-Qur’an yang dibaca di dalam shalat tersebut. Semakin banyak jumlah ayat Al-Qur’an yang dibaca dalam shalat tarawih, semakin baik. Meskipun membaca surat selain Al-Fatihah di dalam shalat, adalah suatu perbuatan yang bersifat anjuran atau sunnah, namun bagi setiap orang yang membaca Al-Qur’an dalam shalat tarawih, akan mendapatkan balasan pahala yang besar. Sebab satu amalan sunnah pada bulan Ramadhan, bernilai seperti satu amalan wajib di luar Ramadhan. 
Membaca Al-Qur’an di luar shalat saja pahalanya besar, apalagi di dalam shalat, dan apalagi pada bulan Ramadhan. "Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an, maka ia mendapatkan satu kebaikan, dan dari satu kebaikan itu berlipat menjadi sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan AlifLam Mim sebagai satu huruf, tetapi Alif satu huruf, La m satu huruf dan Mim satu huruf (H R. Tirmidzi, Al-Hakim, Baihaqi).
Apabila Rasulullah Saw melaksanakan qiyam Ramadhan atau shalat tarawih, beliau memperpanjang bacaan Al-Qur’an, lebih panjang daripada shalat-shalat yang lain. Beliau pernah shalat malam pada bulan Ramadhan, di dalam shalat itu beliau membaca surat Al- Baqarah, An-Nisa dan Ali-lmran. Setiap kali beliau berjumpa ayat tentang ancaman, beliau berhenti sejenak untuk memohon perlindungan. (HR. Muslim, dari Hudzaifah bin al-Yaman).
Umar bin Khattab ra memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dari untuk mengimami shalat pada bulan Ramadhan. Mereka membaca sebanyak 200 ayat dalam satu rakaat, sehingga para sahabat bersandar (berpegangan) pada tongkat mereka, karena lama berdiri. Shalat baru selesai menjelang fajar. Disebutkan dalam satu riwayat, bahwa ada pula yang memasang tali di antara tiang-tiang masjid, kemudian mereka berpegangan pada tali tersebut.
Pernah Umar bin Khattab mengumpulkan tiga orang penghafal Al-Qur’an, untuk menjadi imam shalat tarawih.
Yang paling cepat bacaannya, beliau perintahkan untuk membaca 30 ayat pada setiap rakaat shalat tarawih. Yang bacaannya sedang, diperintahkan membaca 25 ayat pada setiap rakaat. Sedangkan yang paling lambat bacaannya, diperintahkan membaca 20 ayat setiap rakaat.
Pada masa tabi’iri (masa setelah sahabat Nabi), biasanya kalau mereka melaksanakan shalat tarawih, mereka menghabiskan bacaan surat Al-Baqarah seluruhnya, dalam 8 rakaat shalat. Jika ada imam yang membaca seluruh surat Al-Baqarah dalam 12 rakaat, mereka beranggapan bahwa imam telah memperpendek bacaan shalatnya.
Memang, sesungguhnya jumlah ayat Al-Qur’an yang dibaca dalam shalat tarawih tidaklah harus seperti yang digambarkan di atas. Sebab kemampuan setiap orang berbeda-beda. Akan tetapi, sangatlah bagus dilakukan jika mampu melakukan seperti itu. Gambaran di atas menunjukkan bahwa betapa agungnya membaca Al- Qur’an itu pada bulan Ramadhan, apakah ketika shalat, terutama pada qiyom Ramadhan (shalat tarawih), maupun di luar shalat.
Demikian pula dengan membaca Al-Qur’an di luar shalat pada bulan Ramadhan. Di antara ulama masa lalu, ada yang mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an setiap dua hari dalam bulan Ramadhan. Elerarti selama sebulan
Ramadhan beliau mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an sebanyak 15 kali. Ada ulama, seperti An-Nakha’i, yang mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an setiap tiga hari. Ada yang mengkhatamkan Al-Qur’an setiap 3 hari, tapi pada 10 hari terakhir Ramadhan, ia khatam setiap hari.
Menurut sebuah riwayat, bahwa Imam Syafi’i mengkhatamkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, di luar shalat, sebanyak 60 kali. Demikian juga yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah. Subhaanallah. Apabila telah datang bulan Ramadhan, maka Imam Malik menghentikan sementara kegiatan membaca hadits-hadits dan belajar kepada para ulama, lalu berkonsentrasi untuk membaca Al-Qur’an.
Demikianlah perhatian yang sangat besar diberikan oleh orang-orang shaleh, oleh para ulama terhadap Al-Qur’an pada bulan Ramadhan. Begitu pula kaum Muslimin pada umumnya, meskipun jumlah mereka mengkhatamkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, masih jauh di bawah para ulama tersebut.

Seorang Pemimpin Yang Arif


Hikmah »
Oleh adminabaSabtu, 28 Juli 2012




Seorang pemimpin yang arif sedang berkeliling mengitari wilayah kepemimpinannya. Tiba-tiba, seorang penduduk menghampirinya dengan terburu-buru dan mengadu kepadanya.
"Wahai pemimpinku, aku telah dizalimi," katanya.
"Apa yang telah terjadi?" tanya pemimpin itu.
Lelaki tua itu lalu berkata, "Seseorang telah meram¬pas milikku. Orang itu sangat kuat sehingga aku sangat takut untuk mengambil kembali milikku. Aku ingin kau membantuku mengambilkannya," ujarnya meminta tolong.
Pemimpin yang arif itu lalu mengikuti langkah si lelaki tua dan menghampiri orang yang ditunjuk oleh¬nya sebagai orang yang merampas hak. Orang yang ber-badan besar dan berwajah seram itu tahu bahwa sang pemimpin kota yang menghampiri dirinya. Ia tidak be-rani membantah ketika sang pemimpin menyuruhnya mengembalikan milik si lelaki tua. Dia lalu mengemba¬likannya kepada si lelaki tua. Namun, sepeninggal si pe-mimpin, orang itu menampar lelaki tua dengan kasar.
"Rasakan pembalasanku," ujarnya dengan marah.
Lelaki tua mengaduh. "Mengapa kau menamparku?"
"Sebab kau sudah mengadu dan membuatku malu!" teriaknya.
Tamparan serta suara mengaduh itu terdengar oleh sang pemimpin. Bergegas sang pemimpin kembali ke tempat tersebut.
"Apa yang teijadi?" tanya pemimpin sambil memandang lelaki tua.
Lelaki tua itu kembali mengadu, "Orang ini telah menamparku."
"Kalau begitu, balas tamparannya," kata pemimpin arif itu.
Lelaki tua menjawab, ’’Tidak perlu pemimpinku, aku sudah memaafkannya."
Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, dia hanya tidak berani melakukan itu sebab khawatir sepeninggal sang pemimpin dia akan diperlakukan lebih kasar oleh orang muda itu.
"Biarlah, aku sudah memaafkannya," ucapan itu kembali diulangi dengan nada lirih.
Tiba-tiba, sang pemimpin menampar orang muda itu. Plaaaak...! Pemuda itu tersungkur ke tanah. Seba¬gai pemimpin, dia peka bahwa lelaki tua itu tidak ikhlas mengucapkan kata maaf dan dia merasa harus menegak¬kan keadilan.
"Wahai pemimpin yang arif, bagaimana mungkin kau menamparku sedangkan dia sudah memaafkanku?" tanya orang muda itu tidak mengerti. Dia sama sekali tidak menduga akan mendapatkan tamparan dari pe¬mimpinnya yang terkenal arif dan bijaksana.
"Meskipun lelaki tua itu sudah memaafkanmu, tam¬paran ini harus tetap dilakukan sebagai tuntutan hukum. Ini adalah hak seorang pemimpin dalam menegakkan hukum dan keadilan," katanya dengan bijak. 
"Setiap pemimpin berkewajiban untuk menegak-kan keadilan, memberantas kezaliman, dan menerap-kan hukum-hukum syari’at serta yang berkaitan de-ngan hak dan kewajiban rakyat yang dipimpinnya. "

Ibadah Puasa Menemani Di Dalam Kubur



Oleh adminabaMinggu, 29 Juli 2012




Seorang Sufi besar bernama Sufyan Ats-Tsauri mengisahkan sebagai berikut:
"Aku telah tinggal di Makkah dalam kurun waktu yang lama. Ada salah seorang laki-laki dari penduduk Makkah yang setiap harinya selalu datang ke masjid pada tengah hari. Lalu ia thawaf dan melaksanakan shalat dua rakaat. Setelah itu ia memberi salam kepadaku lalu pulang ke rumahnya. Maka tumbuhlah rasa kasih sayangku padanya, dan aku senantiasa mengunjunginya.
Suatu ketika, lelaki itu jatuh sakit, lalu ia memang gilku dan berkata, "Jika aku mati, aku harap engkau me mandikan jenazahku, menyalatkan dan menguburkanku, dan pada malam harinya, janganlah engkau tinggalkan aku sendirian di dalam kubur. Kemudian tuntunlah aku dengan kalimat tauhid, untuk menghadapi pertanyaan Munkar dan Nakir." Akupun menyanggupi untuk mengem¬ban amanah tersebut.
Maka pada saat ia meninggal dunia, semua amanah itu aku laksanakan, dan aku berada di dekat kuburnya semalam untuk mendoakannya. Dan ketika aku berada dalam keadaan antara tidur dan terjaga, tiba- tiba aku mendengar ada suara yang berseru dari atasku, "Wahai Sufyan. Dia tidak membutuhkan penjagaanmu, tuntunanmu dan juga tidak butuh ditemani olehmu. Ada yang telah menemani dan menuntunnya." Lalu aku bertanya, "Apakah yang menjadi sebab dari semua ini?" Suara itu menjawab, "Semua itu disebabkan oleh puasa Ramadhan yang ditunaikannya, dan diteruskan dengan puasa enam hari bulan Syawal."
Lalu, akupun terjaga, tapi aku tidak melihat seorangpun di dekatku. Kemudian aku berwudhu dan shalat, dan aku tidur. Dalam tidurku, aku memimpikan hal yang sama, dan mimpi itu terulang sampai tiga kali. Maka aku menyadari bahwa mimpi itu berasal dari Allah Swt, dan bukan dari setan. Akupun meninggalkan kuburan lelaki tersebut dan berdoa, "Ya Allah, dengan karunia dan Kemuliaan-Mu, berilah aku kemampuan untuk dapat menjalankan ibadah puasa seperti itu." 
(Dikutip dari An- Nawadir, karya, Ahmad Syihabuddin al-Q.alyubi).

Kisah Orang Yang Serakah


Nasehat » 
Oleh adminabaSelasa, 31 Juli 2012




Ada seorang pemuda yang terkenal sangat baik dan terpelajar. Nama pemuda itu adalah Ustman. Ia tidak pernah pelit membagi ilmu. Itu sebabnya, dia sangat dipuji-puji oleh semua orang. Semua orangtua menginginkan anaknya bersahabat dengan Ustman. Walaupun Ustman miskin, perilakunya sangat terpuji.
Ali adalah salah satu pemuda yang ingin bersahabat dengan Ustman. Suatu hari, mereka bertemu setelah Ustman berbicara di atas mimbar.
"Ustman, aku sudah lama ingin berkenalan denganmu. Alhamdulillah, sekarang kita bertemu di sini. Aku sangat kagum kepadamu dan ingin belajar darimu," kata Ali.
"Mari kita sama-sama belajar," jawab Ustman dengan rendah hati.
"Bolehkah aku bersahabat denganmu dan mengikuti¬mu ke mana pun kau pergi?" tanya Ali.
Singkat cerita, Ustman dan Ali bersahabat. Ali selalu mengikuti ke mana pun Ustman pergi. Suatu hari, Ali berkunjung ke rumah Ustman. Selepas shalat Zuhur, saatnya untuk makan siang. Ustman yang tidak tahu Ali akan berkunjung siang itu hanya memiliki sepiring nasi dan sekerat daging. Karena dia sudah menganggap Ali sebagai sahabat maka dia membagi makanannya men¬jadi tiga. Sepertiga untuknya, sepertiga untuk Ali, dan sepertiga lagi disisakan untuk makan malam.
"Makanlah Ali. Aku akan mengambil air dulu di sumur. Aku ddak memiliki air untuk diminum," kata Ust- man seraya beranjak pergi.
Setelah mendapatkan air, Ustman memasaknya dan menyajikan air minum. Dia bertanya kepada Ali, "Apakah kau melihat sepertiga nasi dan daging yang tadi kubagi?" tanya Ustman ketika melihat ketiga piring telah kosong.
Ali menggeleng. "Entahlah. Tadi aku keluar sebentar dan ketika kembali, nasi itu sudah lenyap," jawabnya.
Ustman menarik napas, ’Ya sudahlah, mudah-muda- han ada rezeki untuk nanti malam."
Ustman lalu mengajak Ali menghadiri sebuah majelis taklim, di mana dia menjadi khatibnya. Seturunnya dari mimbar, dia mendapatkan banyak makanan dari penyelenggara. Ustman bersyukur karena dia mendapat rezeki untuk makan nanti malam. Tak lupa, dia berbagi dengan Ali. Ali senang sekali. Malam itu, mereka makan dengan sangat nikmat.
"Sahabatku, aku masih heran dengan nasi tadi siang. Apakah kau tidak tahu siapa yang memakannya?" tanya Ustman.
"Aku tidak tahu." Ali menjawab tak peduli. Ali malah sibuk dengan makanan di tangan dan mulutnya.
Keesokan harinya, Ustman mengajak Ali pergi ke sebuah danau untuk memancing ikan. Dua buah kail sudah disiapkan Ustman.
"Kita akan memancing ikan untuk makan siang nanti."
Kail Ali tidak satu pun menghasilkan ikan, sedangkan kail Ustman telah memperoleh sejumlah ikan yang besar.
Ali menjadi cemburu dengan keberhasilan Ustman.
"Apa rahasianya, Ustman?" tanya Ali.
"Sebelum memasukkan kail, aku membaca bismillah," jawab Ustman tenang.
Ustman lalu berkata lagi, "Wahai Sahabatku, hingga sekarang, aku sungguh heran dengan nasi yang habis tidakjelas rimbanya. Apakah kau benar-benar tidak tahu siapa yang melakukannya?"
Ali menggeleng, "Aku benar-benar tidak tahu wahai Ustman."
"Sahabatku, aku kasihan kepada orang itu. Dia mungkin benar-benar lapar hingga menghabiskan nasi tanpa izin pemiliknya. Sesungguhnya, hal itu hukumnya haram. Jika aku bertemu dengan orang itu, aku akan memberikan ikan-ikan ini untuknya agar apa yang dia makan halal dan mengenyangkan perutnya yang lapar." Mendengar ucapan Ustman, muncullah sikap serakah Ali yang selama ini ditutupinya.
"Ustman sahabatku, maafkan aku. Sebenarnya yang menghabiskan sisa nasi itu adalah aku. Aku sangat lapar saat itu dan nasi yang kauberikan sungguh enak, namun kurang mengenyangkan karena jumlahnya sedikit. Ma¬afkan aku telah membohongimu."
Ustman menatap Ali, lalu berkata, "Kau sungguh me¬miliki sifat serakah dan pembohong. Ambillah semua ikan ini untukmu. Jangan lagi bersahabat denganku," kata Ustman meninggalkan Ali seorang diri. Ali hanya bisa menatap kepergian Ustman dengan penuh penyesalan.

"Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu bila ia berbicara berdusta, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia berkhianat." 
-HR Muslim

Terdapat Tujuh Faktor Kenapa Penyakit Hasad Dengki Menguasai Diri Manusia



Oleh: Ustaz Abu Basyer

Sahabat yang dirahmati Allah,
Hasad dengki adalah satu sifat mazmumah yang  dibenci oleh Allah S.W.T. Sesiapa yang ada sifat ini sebenarnya ia tidak meredai ketentuan Allah S.W.T  yang telah dikurniakan sesuatu kelebihan atau nikmat kepada seseorang dikalangan hamba-hamba-Nya.

Terdapat tiga ciri  sekiranya ada pada diri seseorang ia mempunyai penyakit hasad dengki.

1. Iaitu menginginkan nikmat yang diperolehi oleh orang lain hilang atau berpindah kepadanya.

2. Seseorang yang bersifat dengki tidak ingin melihat orang lain mendapat nikmat atau tidak ingin melihat orang lain menyerupai atau lebih daripadanya dalam sesuatu perkara yang baik. Orang yang bersifat demikian seolah-olah membangkang kepada Allah subhanahu wata‘ala kerana mengurniakan sesuatu nikmat kepada orang lain.

3. Orang yang berperangai seperti itu juga sentiasa dalam keadaan berdukacita dan iri hati kepada orang lain yang akhirnya menimbulkan fitnah dan hasutan yang membawa kepada bencana dan kerosakan.


Di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin karangan Imam Al-Ghazali ada disimpulkan tujuh faktor  yang menimbulkan perasaan hasad dengki tersebut.

Antara lain :-

1) Perasaan Permusuhan dan Kebencian

2) Merasa Diri Mulia

3) Takabbur

4) Ujub

5) Takut Terlepas Sesuatu Tujuan dan Habuan

6) Ghairah Menjadi Ketua dan Mencari Populariti

7) Busuk Hati.

Huraian faktor-faktor tersebuat adalah seperti berikut.

Pertama : Perasaan Permusuhan dan Kebencian

Ini adalah sebab yang paling banyak menimbulkan kedengkian. Kerana sesiapa yang disakiti oleh seseorang lain atas sebab-sebab tertentu atau menyangkalnya dalam tujuan-tujuan tertentu lantaran alasan-alasan tertentu, hatinya pasti marah lalu membenci orang yang menyakitinya itu, maka tertanamlah bibit dengki dalam dirinya. Dengki mengundang perlakuan yang agresif untuk memuaskan hatinya.

Pendekkata perasaan hasad dengki sentiasa bergandingan dengan perasaan marah dan permusuhan. Semua manusia pada dasarnya memiliki sifat marah, kerana marah adalah salah satu tabiat manusia. maka agama tidak melarang marah, tetapi kita diperintahkan untuk dapat mengendalikan marah dan senantiasa menjadi pema’af.

Fiirman Allah s.w.t  yang bermaksud : “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh”
(Surah Al-A’raaf ayat 199)

Sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud : ”Orang yang terkuat di kalangan kamu semua ialah orang yang dapat  mengalahkan hawa nafsunya di ketika dia marah dan orang yang tersabar ialah orang yang suka memberikan pengampunan di saat dia  berkuasa memberikan balasan (kejahatan orang yang menyakitinya)”
(Hadis Riwayat Baihaqi)

Kedua : Merasa Diri Mulia

Perasaan ini manifestasinya ialah seseorang itu merasa keberatan kalau ada sesiapa yang dianggapnya mengatasi dirinya. Dia tidak rela kalau ada orang lain melebihinya. Kalau ada orang –orang sepertinya yang mendapat lebih pangkat, kuasa, ilmu dan harta, dia bimbang kalau-kalau orang tersebut akan bersikap sombong terhadapnya. Dia tidak boleh tahan dengan sikap mengatasi yang ditunjukkan oleh saingannya itu. Malah dia tidak boleh menerima apa yang dirasakannya sebagai sikap mengatasinya.

Ketiga : Takabbur

Jelasnya seorang itu mempunyai watak membesarkan diri terhadap orang lain, selalu memperkecilkan dan mempergunakan seseorang untuk kepentingan dirinya. Ia menganggarkan seseorang itu mematuhinya. Apabila orang berkenaan menerima atau memperolehi sesuatu kurnia ia khuatir kalau-kalau orang itu tidak lagi merelakan diri untuk mengikut arahannya. Akhirnya orang yang telah mendapat kurnia tersebut akan enggan mengikutinya, atau boleh jadi ia menganggap orang tersebut akan cuba pula menyainginya.

Allah S.W.T. berfirman (di dalam Hadis Qudsi) : “Kesombongan adalah selendangKu dan kebesaran adalah sarungKu. Maka barang siapa menyamai-Ku salah satu dari keduanya, maka pasti Kulemparkan ia ke dalam Jahannam dan tidak akan Kupedulikan lagi.” 
Apabila kita meneliti maksud hadis ini, ia dengan jelas menyatakan bahawa kesombongan dan kebesaran itu hanya milik Allah s.w.t. semata-mata, tetapi bagaimanakah perasaan ini masih boleh timbul di dalam hati manusia?
Sebenarnya, perasaan sombong atau takabbur boleh berlaku apabila timbulnya suatu pandangan terhadap orang lain dengan pandangan yang kecil dan hina.

Keempat : Ujub (bangga diri)

Terdapat tiga ciri-ciri ujub iaitu :

a. Iaitu merasai atau menyangkakan dirinya lebih sempurna.

b. Orang yang bersifat ‘ujub adalah orang yang timbul di dalam hatinya sangkaan bahawa dia adalah seorang yang lebih sempurna dari segi pelajarannya, amalannya, kekayaannya atau sebagainya dan ia menyangka bahawa orang lain tidak berupaya melakukan sebagaimana yang dia lakukan.

c. Dengan itu, maka timbullah perasaan menghina dan memperkecil-kecilkan orang lain dan lupa bahawa tiap-tiap sesuatu itu ada kelebihannya.

Pernah Allah Subhanahu Wata’ala jelaskan kepada kita perihal umat-umat di zaman silam. Mereka merasa takjub dengan diri mereka sendiri. Hal ini menghalang mereka menurut kebenaran. Hujjah mereka selalunya ialah seperti yang tertera di dalam Al-Quran :-

“Bukankah kamu tak lebih dari manusia(biasa) seperti kami juga?”

Dan ungkapan yang berbunyi: “Dan mereka berkata adakah wajar kami mempercayai manusia yang seperti kami juga?”

Golongan tersebut merasa aneh melihat orang yang berjaya mendapat pangkat kerasulan, menerima wahyu dan martabat yang dekat di sisi Allah Subhanuahu Wata’ala ialah manusia seperti mereka. Sebab itu mereka menaruh rasa dengki kepada Rasul-Rasul tersebut.

Kelima : Takut Terlepas Sesuatu Tujuan dan Habuan

Biasanya perasaan ini wujud dalam kalangan orang yang saling berlumba-lumba merebut sesuatu habuan. Tiap orang akan merasa dengki kepada saingannya apabila saingannya mendapat suatu kelebihan yang boleh membantu dirinya sahaja membolot habuan yang menjadi tujuan mereka tadi.

Keenam : Ghairah Menjadi Ketua dan Mencari Populariti

Umpamanya seseorang yang bercita-cita untuk menjadi manusia pertama yang tidak ada tolok bandingnya dalam salah satu cabang seni. Apabila keghairahan terhadap pujian dan jolokan – bahawa dialah satu-satunya pakar yang tidak ada taranya di zaman itu – telah menguasai dirinya, tiba-tiba dia mendengar ada orang lain yang dapat menandinginya di tempat lain. Hal ini nescaya akan menyusahkan hati perutnya. Ia bercita-cita kalau tandinganya itu mati sahaja atau kemahirannya menurun dan pupus.

Ketujuh : Busuk Hati

Keadaan ini kalau ada pada seseorang maka ia akan bersikap tidak suka sesuatu kebaikan diperolehi oleh hamba Allah yang lain. Apabila disebutkan dihadapannya tentang kesenangan mana-mana hamba Allah, sempit hatinya mendengar perihal tersebut. Akan tetapi apabila dinyatakan pula sebaliknya, umpama tentang kesusahan, kegagalan dan nasib malang menimpa orang lain maka ia merasa gembira dan suka hati.

Sahabat yang dimuliakan,
Marilah sama-sama kita buangkan sifat hasad dengki ini samaada di dalam hati  atau di dalam tindakkan dan amalan kita. Sifat yang keji ini bukan saja mendapat kebencian manusia tetapi yang paling penting sifat ini di benci oleh Allah S.W.T. Hidup di dunia ini adalah sementara dan kehidupan di hari akhirat adalah kehidupan yang kekal abadi maka tinggalkanlah sifat hasad dengki ini kerana sesiapa yang menuruti sifat ini dia sedang mengikut hawa nafsunya dan mengikut bisikan syaiatan dan akan mendapat azab seksaan dihari akhirat nanti.

Diambil dari: http://abubasyer.blogspot.com/2011_01_02_archive.html