Tulisan Berjalan

SUKSES KOMUNITAS MAJU JOS, AKHIRNYA BIMBINGAN DIGITAL MARKETING SECARA GRATIS TANPA BATAS TELAH MEMBERI MANFAAT BESAR

Rabu, 02 Mei 2012

Da'i pun Perlu Kreativitas Dalam Berdakwah, Karena?



Kamis, 03 Mei 2012, 11:16 WIB
  
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Siapa bilang kreativitas itu hanya milik para seniman. Da'i pun memiliki kreativitas yang sama selayaknya seniman. Bedanya, kreatifitas da'i dimanfaatkan untuk kegiatan dakwah yakni mengajak dirinya dan umat menuju ketakwaan terhadap Allah SWT. 
Bagimana perkembangan kreativitas dikalangan dai, berikut wawancara ROL bersama Ketua Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Ahmad Satori Ismail beberapa waktu lalu.

Aplikasi "Aa Gym Corner", terobosan baru dalam berdakwah dengan memanfaat teknologi dari Apple


Selasa, 01 Mei 2012

Kesalahan Ahli Bid’ah dalam Memahami “Bid’ah” Sehingga Menjadi Fitnah Islam


Vonis Bid’ah ala Wahabi terhadap amalan-amalan Kaum Muslimin benar-benar terbukti menjadi  Fitnah Islam.Bagaimana tidak menjadi fitnah Islam ketika ada orang baca surat Yasin dalam “Yasinan” divonis berdosa? Baca Tahlil dalam tahlilan berdosa, Dzikir Jamaah berdosa, baca kisah Maulid Nabi berdosa, tabligh akbar memperingati Isro’ Mi’roj berdosa, dan masih banyak lagi contohnya. Ini akibat kaum Wahabi salah dalam memahami kata “BID’AH”, makanya mereka salah juga ketika menerapkannya sehingga justru kata “Bid’ah” menjadi vonis hukum satu-satunya, yaitu hukum haram sehingga berdosa jika melakukan hal Bid’ah. Lebih jelasnya sehingga Bid’ah itu sama dengan hukum haram. Inilah kesalahan fatal dari pemahaman Bid’ah.
Kesalahan Wahabi dalam memahami kata “BID’AH”, adalah mereka memahami bid’ah sebagai suatu hukum, yaitu hukum haram. Padahal Bid’ah itu bukan hukum tetapi justri bid’ah adalah obyek hukum.  Sebab Bid’ah adalah “hal baru” yang mana “hal baru” ini tidak semuanya haram. Tetapi “hal baru” bisa menjadi Haram, menjadi Wajib, makruh, mubah, dan Mandubah. Demikian pemahaman tentang bid’ah oleh para Salafus Sholihin seperti Imam Syafi’i, Imam Ibnu Hajar Alatsqolani, Imam Nawawi dll.
Untuk lebih mendalami pemahaman bab Bi’d'ah ini silahkan baca dan simak uraian yang benar-benar bagus ini. Semoga bermanfaat….

MEMAHAMI KALIMAT:  “KULLU BIDH’ATIN DHOLALAH; SETIAP BID’AH ADALAH SESAT”
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي، تمسكوا بها، وعضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة).
Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rosyidin. Gigitlah sunnah itu dengan geraham kalian (yakni; peganglah jangan sampai terlepas). Dan berhati-hatilah terhadap PERKARA YANG BARU, maka sesungguhnya setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”
Syaikh Sholeh Al-Utsaimin dalam Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, hal: 639-640). Al-Utsaimin mengatakan, “Hukum asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam urusan dunia adalah HALAL. Jadi bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu HALAL, kecuali ada dalil yang menunjukan akan keharamannya. Tetapi hukum asal dari perbuatan-perbuatan baru dalam urusan agama adalah DILARANG, jadi bid’ah dalam urusan-urusan agama adalah HARAM dan BID’AH, kecuali adal dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan keberlakuannya.”
Melalui tulisannya yang lain Al-Utsaimin telah melanggar hukum yang dibuatnya sendiri dalam Al-Ibda’ fi Kamal Al-Syar’i wa Khathar Al-Ibtida’, hal 13. Dia mengatakan tentang hadits Nabi, ”(Semua bid’ah adalah sesat) adalah bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata “kullu (seluruh)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya ini tidak akan pernah benar.”
Dalam pernyataannya diatas Al-Utsaimin menegaskan bahwa “SEMUA BID’AH adalah SESAT”, bersifat general, umum, dan menyeluruh terhadap seluruh bid’ah, tanpa terkecuali, sehingga tidak ada bid’ah yang disebut BID’AH HASANAH. Namun mengapa dalam pernyataannya yang pertama dia membagi bid’ah ada yang HALAL dan yang HARAM, juga ada bid’ah Dunia dan Bid’ah Agama, bukankah kullu di situ dikatakannya sebagai general (umum)? Beginilah LUCU-nya dan KONTRADIKTTIF-nya, bagaimana  banyak orang tidak mampu melihat ironisme difinisi Al-Utsaimin ini?
Berbeda sekali ke’arifan dan kebijakannya dalam menetapkan hukum jika dibandingkan dengan ulama-ulama yang masyhur seperti Imam Nawawi misalnya,dalam memahami hadits Nabi “SEMUA BID’AH ADALAH SESAT”, dalam Syarah Shahih Muslim, jilid 6 hal: 154, beliau sangat hati-hati dengan kata-kata “SEBAGIAN BID’AH ITU SESAT, BUKAN SELURUHNYA.” Hadits “KULLU BIDH’ATIN DHOLALAH”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi jangkauannya. Maka para ulama membagi bid’ah menjadi dua, BID’AH HASANAH (baik) dan BID’AH SYAIYI’AH (buruk). Lebih rinci bid’ah terbagi menjadi lima bagian sesuai dengan jumlah hukum islam, yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.
Al-Hamid Al-Husaini dalam Al-Bayan Al-Syafi fii Mafahim Al-Khilafiyah (Pembahasan Tuntas Masalah Khilafiyah) menjelaskan bahwa bid’ah terbagi menjadi lima bagian yaitu:
1. Bid’ah Wajib; seperti mengumpulkan lembaran Al-Qur’an menjadi mushhaf, menyanggah orang yang menyelewegkan agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu nahwu.
2. Bid’ah Mandub; seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin, mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan melalui pengeras suara, mengerjakan kebajikan yang pada masa pertumbuhan islam belum pernah dikerjakan orang.
3. Bid’ah Makruh; seperti menghias masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang tidak pada tempatnya, dan mendekorasi kitab-kitab Al-Qur’an dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak pada semestinya.
4. Bid’ah Mubah; seperti menggunakan berbagai peralatan makan dan minum, memakan makanan dan minuman yang mengesankan kemewahan dan berlebih-lebihan.
5. Bid’ah Haram; semua perbuatan yang menyalahi sunnah dan tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukuk syari’at dan tidak mengandung kemashlahatan yang dibenarkan oleh syara’.
Soal sunnah dan bid’ah biasanya menjadi pangkal perbedaan dan perselisian pendapat. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya pengertian yang benar mengenai makna dan maksud dua perkataan itu.
Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Rasulullah saw sebagai Shahibusy Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum syari’at). Keduanya tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah dapat ditentukan pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetapkan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah, padahal Sunnah itulah yang menjadi pokok persoalan.

Orang-orang yang anti bid’ah biasanya mereka mengklaim sebagai pengikut sunnah, padahal mereka belum mengetahui batas pengertian sunnah. Ironisnya mereka sendiri sebagai pelaku bid’ah namun tidak menyadarinya, dikarenakan mereka juga tidak mengetahui batas pengertian bid’ah itu sendiri. Karena itulah mereka terperosok pada pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah.
Imam Muslim, Ahmad dan Nasa’i mentakhrij dari Anas bin Malik serta Imam Bukhari mentakhrij dari Abu Musa Al-Asy’ary bahwa ketika Rasulullah mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman untuk berdakwah beliau bersabda: “Mudahkanlah mereka dan jangan mempersulitnya, gembirakanlah mereka dan jangan membuatnya bersedih”. Dalam haditz tersebut memberikan pengertian akan fleksibelitas ajaran islam. Hal itu berhubungan langsung dengan perbedaan dan perselisihan pendapat, mengenahi sunnah dan bid’ah.
Imam Muslim juga mentakhrij dari Jabir r.a dan Imam Bukhari mentakhrij dari Ibnu Mas’ud r.a dalam khutbah Rasulullah s.a.w bersabda: “Sesungguhnya tutur kata (hadits) yang terbaik adalah Kitabullah (al-Qur’an) dan petunjuk yang terbaik adalah petunjuk Muhammad s.a.w. Sedangkan persoalan yang terburuk adalah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” Makna hadits tersebut diperkuat oleh hadits Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Majjah dan lainnya, Rasulullah bersabda, “…..Orang yang hidup sepeninggalku akan menyaksikan banyak perselisihan, maka hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin. Gigitlah sunnah itu dengan geraham kalian (yakni; peganglah jangan sampai terlepas). Hati-hatilah terhadap persoalan yang diada-adakan, karena setiap bid’ah adalah sesat.” Juga sabda beliau, “Barangsiapa yang di dalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak ada maka ia tertolak.” Dan sebagainya.
1. Pengertian Sunnah
Makna sunnah menurut dua istilah itu bukan yang dimaksud dalam pembicaraan mengenai makna Hadits Rasulullah saw. Sebab yang dimaksud “sunah” dalam hal itu adalah “Sunnah Rasul”, yakni jalan yang beliau tempuh, baik dalam bentuk amal perbuatan maupun perintah. Maka sesuatu yang baru diadakan (yang belum ada sebelumnya) harus dihadapkan, dipertimbangkan dan dinilai berdasarkan sunnah Rasulullah s.a.w. Jika yang baru diadakan itu baik, sesuai dan tidak bertentangan dengan jalan yang ditunjukkan beliau, ia dapat diterima. Namun jika sebaliknya, ia harus ditolak.
Syaikh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Iqtidha’us Shirotil Mustaqim” mengatakan sebagai berikut, “Sunah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan Jahiliyah. Jadi kata “sunnah” dalam hal itu berarti “adat kebiasaan”, yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang yang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang lainnya.” Karena itu kita dapat memahami sunnah Rasulullah dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh beliau, tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang ahli ijtihad (Para shahabat, tabi’in dan para ulama’) dengan tetap berpedoman dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, tidak sepantasnya disebut sesuatu yang diada-adakan yang sesat (bid’ah dhalalah).  Karena sunnah Rasulullah mancakup empat macam, yakni Sunnah Qauliyah (ucapan), Fi’liyah (kerjaan/tindakan), Taqriyah (pengakuan) dan Hammiyah (cita-cita/keinginan). Dan keempatnya sampai saat ini diikuti oleh umatnya.

2. Pengertian Bid’ah

Dalam kitab Al-Qawa’idul Kubra Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam memilah-milah “bid’ah” menurut kandungan dan cakupannya, apakah mengandung mashlahah (kebaikan) atau mafsadat (keburukan), ataukah kosong dari keduanya. Atas dasar itu ia membagi sifat bid’ah menjadi lima sesuai dengan lima kaidah hukum syara’, yaitu Wajib, Mandub, Haram Makruh dan Mubah. Banyak ulama yang menilai pendapat ini sangat cermat dan tepat seperti pendapat Muhammad bin Ismail Al-Kahlani (Ash-Shon’ani) membagi bid’ah ada lima bagian dalam kitab Subulus Salam syarah kitab Bulughul Maram, Imam Nawawi dan lainnya. Mereka menyatakan bahwa penerapannya tentu menurut keperluan dalam menghadapi berbagai kejadian, peristiwa dan keadaan baru yang ditmbulkan oleh perkembangan masyarakat. Mereka mengingkari pemikiran dan pandangan yang obyektif seperti itu, dan tetap bersitegang mempertahankan pengertian keliru dan kurang bijak tentang “Kullu Bid’atin Dhalalah” (setiap bid’ah adalah sesat).
Jika anggapan bahwa setiap yang diada-adakan dan tidak dicontohkan oleh Rasulullah itu sesat, ada baiknya memperhatikan sejarah al-Qur’an dan al-Hadits yang dibukukan dan bisa dirasakan manfa’atnya sampai saat ini adalah hasil dari yang diada-adakan (bid’ah), karena Rasulullah tidak pernah menyuruh Zaid bin Tsabit untuk membukukan al-Qur’an atau menjadikannya mushhaf, juga melarangnya untuk tidak menulis apa yang pernah diucapkan dan dilakukannya (sunnah-sunnah Rasulullah).
Imam Bukhari, Muslim dan lainnya mentakhrij dari Rifa’ah bin Rafi’ berkaitan seseorang yang menyusul ucapan Rasul “Sami’allohu liman hamidah” waktu I’tidal dengan ucapan “Robbana lakal-hamdu katsiron mubarokan fiihi.” Selesai shalat Rasul tidak memarahi orang tersebut bahkan bersabda, “Aku melihat lebih dari tigapuluh Malaikat berpacu ingin mencatat do’a kamu itu lebih dulu.” Begitu juga ketika ada seorang jama’ah yang menambahkan do’a iftitah Rasul dengan kalimat “Allahu akbar kabiran wal-hamdu lillahi katsiran wa subhanallahi bukratan wa ashilan” beliau bersabda, “Aku melihat pintu-pintu langit terbuka bagi kalimat itu.” (HR. Nasa’i dari Ibnu Umar)
Ketika Rosululloh mendapat hadiah daging kelinci beliau menyuruh para shahabatnya untuk memakannya, juga kepada Umar bin Khaththab, namun Umar berkata bahwa ia sedang puasa, lalu Rasul bertanya, “puasa apakah itu?” Umar menjawab, “ puasa pada tanggal 13, 14 dan 15” Maka Rasul Bersabda, “Benar engkau umar, lakukanlah puasa pada hari yang putih bersih (yaum al-bidh) yaitu tanggal 13, 14 dan 15.” (HR. Baihaqi dari Umar bin Khaththab)
Contoh-contoh riwayat diatas adalah HAL BARU dalam agama (BID’AH) oleh para sahabat yang DILEGALKAN oleh Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam, dimana sebelumnya tidak dicontohkan oleh beliau. Wallohu A’lam bish-Showab.
Semoga bermanfa’at untuk menambah wawasan dan kebersatuan umat islam.Aamiin….

“Yasinan Itu Bid’ah Sesat”, Demikian Menurut Para Ahli Bid’ah


Yasinan Yasinan dan Isu-isu Bid’ah….

“Yasinan itu bid’ah sesat, pelakunya berdosa dan masuk neraka”, demikian kata mereka ketika mengomentari acara Yasinan. Orang-orang itu adalah segolongam kaum yang merasa bukan Ahli Bid’ah, namun dari perkataan mereka sudah otomatis menunjukkan bahwa mereka adalah Ahlul Bida’ yang sesungguhnya. Bagaimana mereka bisa mengatakan membaca surat Yasin itu berdosa, bukankah sudah jelas membaca satu huruf dari ayat Al-Qur’an itu mendapat sepuluh pahala? Bagi anda yang menggunakan akal sehat, pastinya anda akan sulit menerima pendapat orang-orang yang mengatakan Pembaca Surat Yasin itu berdosa. Baiklah, kami tidak ingin mengajak anda  menjadi orang-orang yang hanya mengikuti akal. Oleh karena itulah mari kita ikuti Pejelasan TUNTAS Tentang YASINAN berdasar dalil-dalil yang benar…..

Pejelasan TUNTAS Tentang YASINAN

Yasinan Itu Apa Sih?

 Di dalam khazanah keagamaan Islam di Indonesia ada istilah ”Yasinan”. Istilah ini merujuk kepada kebiasaan sebagian umat Islam yang menyelenggarakan acara kumpul bersama dengan membaca Surat Yasin. Itulah Yasinan. Sekalipun diberi istilah”Yasinan”, isinya tidak sekedar membaca surat Yasin, tapi biasanya dilanjutkan dengan dzikir bersama kemudian musyawarah dan ditutup dengan do’a. ”Yasinan” adalah kekayaan keberagamaan umat Islam Indonesia yang sangat besar jasanya sebagai media dakwah. Tapi tidak semua umat Islam setuju dengan ”Yasinan”. Ada sebagian umat Islam lainnya yang menolaknya. Mereka menganggap praktek ”Yasinan” tidak diteladani oleh Nabi Muhammad dan tidak dianjurkan. Maka kesimpulan mereka ”Yasinan” adalah bid’ah, mengada-ada dalam agama. Dan para pelakunya  dianggap berdosaMereka juga memberi alasan bahwa hadits-hadits yang berisi keterangan tentang keutamaan Surat Yasin adalah hadits-hadits dhoif yang wajib dihindari pengamalannya.

Yasinan adalah membaca Al Qur’an bersama-sama.
 Pada kenyataannya ”Yasinan” adalah kegiatan membaca Al Qur’an bersama-sama. Membaca Al Qur’an termasuk dzikir kepada Allah SWT. Allah berfirman : “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas” .(QS Al Kahfi : 28). Dalam bagian hadits Imam Muslim dari Abi Hurairoh ra, Rasulalloh SAW bersabda: ”Tidaklah duduk sekelompok orang di antara rumah-rumah Allah sambil membaca Kitab Allah (Al Qur’an) dan mengkajinya di antara mereka, kecuali turun kepada mereka ketenangan, mereka diliputi kasih sayang, dinaungi malaikat dan sebut-sebut Allah di depan Makhluk yang ada di sisi-Nya (maksudnya para malaikat)”. Al Imam Abi al Husain Muslim bin Al Hajjaj Al Qusyairy An Naisabury, Shohih Muslim, (Libanon, Daar al Fikr, 1992), juz dua, hal: 574. Dalam hadits tersebut tampak sekali anjuran membaca Al Qur’an bersama-sama, dengan berbagai keutamaannya, yaitu menghadirkan ketenangan batin, menghadirkan kasih sayang, mengundang malaikat datang menaungi, dan dibanggakan Allah di antara para malaikat.

Hadits-hadits surat Yasin yang berderajat maudhu’

Pada umunya, tradisi ”Yasinan” dilatar belakangi oleh niat menghidupkan sunnah Nabi, yaitu membaca surat Al Qur’an yang berdasarkan hadits Nabi memiliki keutamaan, termasuk surat Yasin. Memang benar, terdapat beberapa hadits yang menerangkan surat Yasin berderajatdha’if (lemah) bahkan sampai berderajat maudhu’ (palsu). Hadits maudhu adalah sesuatu yang dikaitkan pada Nabi dengan cara dibuat-buat, dan dengan kebohongan, padahal Nabi tidak pernah mengucapkannya, melakukannya atau menyetujuinya. DR. Muhammad Ajjaj Al Khothib, Ushuul al Hadits, (Libanon, Daar Al Fikr, 2006), hal: 275. Tegasnya, haditsmaudhu’ itu palsu, bukan berasal dari Nabi, tapi dikemukakan sebagai hadits dari Nabi. Membuat hadits palsu haram hukumnya. Bahkan Al Imam Juwaini menganggapnya sebagai kekufuran. Demikian pula, haram meriwayatkan hadits tersebut  Al Khothib, ibid. Dengan demikian haram mengamalkan hadits yang berderajat maudhu’. Contoh hadits surat Yasin yang berderajat maudhu’ ialah hadits di bawah ini yang artinya : Dari Anaas ra. Ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda “Barang siapa yang membiasakan membaca surat Yasin pada malam hari  maka ketika mati ia mati syahid”. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Thobroni dalam kitab Al Ausath Ash Shogir. Hadits tersebut dianggap maudhu’ karena dalam susunan rawinya terdapat terdapat nama Sa’id bin Musa al Azdi. Ia adalah seorang pembohong (kadzdzaab). Al Imam Muhammad bin Ali Muhammad Asy Syaukani Al Yamani, Tuhfah Adz Dakirin, (Kairo, Daar al Hadiits, 2004), hal: 419 Orang-orang yang bersemangat menganggap ”Yasinan” sebagai perbuatan bid’ah memperkuat hujjah-nya dengan hadits ini, dan hadits-hadits surat Yasin lain yang maudhu’.Padahal, bagi orang-orang yang melakukan tradisi ”Yasinan”, hadits-hadits surat Yasin yangmaudhu’ sama sekali tidak disentuh, apalagi dijadikan hujjah atau dalil.

Hadits-Hadits Surat Yasin Yang Berderajat Hasan Lighoirihi

Hadits Hasan Lighoirihi adalah hadits dho’if yang jalur periwayatannya lebih dari satu, dan sebab kedho’ifannya bukan karena kefasikan atau pembohongnya perawi. Dari makna di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa hadits dho’if  bisa naik derajatnya menjadi hadits Hasan Lighoirihi karena dua hal : Pertama, hadits tersebut diriwayatkan juga oleh seorang perawi lain atau lebih banyak, dimana riwayatnya berderajat sama atau lebih kuat. Kedua, sebab kelemahan hadits tersebut adalah karena buruknya hafalan perawi atau terputus sanadnya (inqitho’) ketidak terkenalan (jahalah) nya perawi. Hadits Hasan Lighoirihi lebih rendah derajatnya dari pada Hasan Lidzatihi, sehingga jika terjadi perbedaan isi di antara keduanya, hadits Hasan Lidzatihi harus lebih didahulukan. Tapi hadits Hasan Lighoirihitermasuk hadits maqbul, diterima sebagai hujjah hukum. DR. Mahmud Ath Thohaan,Taisiir Mushtholah al Hadits, (Libanon, Daar al Fikr), hal: 43. Dalam bidang hadits, ukuran bagi diterima atau tidaknya sebuah hadits harus didasarkan kepada ukuran ilmu hadits. Maka jika seorang menafikan sebuah Hadits dengan kehendaknya sendiri, berarti ia telah melakukan tindakan gegabah, yang tidak perlu dicontoh apalagi dituruti. Untuk memastikan bisa diterima atau tidaknya hadits-hadits surat Yasin, kita wajib menggunakan ukuran-ukuran di atas. Di antara hadits-hadits surat Yasin yang menjadi hujjah adalah hadits-hadits di bawah ini :
Pertama, Nabi Muhammad saw bersabda :
”Hati Al Qur’an adalah surat Yasin, tidaklah seseorang membacanya karena mengharap ridho Allah kecuali Allah pasti akan mengampuninya, bacalah surat Yasin untuk orang mati kalian”. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majjah dan Ibnu Hibban, hadits tersebut bersumber dari sahabat Ma’qal bin Yasar ra., matan di atas berasal dari kitab An Nasa’i. Hadits tersebut dianggap shohih oleh Ibnu Hibban. Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits tersebut dan menganggapnya shohih. Asy Syaukani,ibid. Dalam sebuah karangannya Ustadz Yazid Abdul Qodir al Jawaz mengatakan bahwa hadits di atas adalah dho’if  karena ada perawi yang majhul (jahalah) dalam susunan perawinya yaitu Abu Utsman. Dan dengan alasan itu pula ia menganggap ”Yasinan” sebagai bid’ah, sebuah tuduhan yang gemar dilancarkannya. Pandangan ustadz Yazid ditelan mentah-mentah dan dianggap benar seratus persen oleh orang-orang yang juga gemar melontarkan tuduhan bid’ah kepada orang lain yang berbeda ijtihadnya (sebuah kegemaran yang paling dibenci ulama-ulama salaf).
Terhadap pandangan ustadz Yazid penulis perlu mengemukakan:
1. Kalau memang benar hadits ini dho’if  disebabkan kejahalahan / kemajhulan Abu Utsman (ustadz Yazid mengutip sumbernya dari pendapat ahli hadits besar Adz Dzahabi) tidak berarti hadits ini haram dijadikan hujjah, sebab berdasarkan ilmu hadits, hadits dho’if yang kedho’ifannya tidak disebabkan kefasikan dan kebohongan perawi, dan hadits tersebut diriwayatkan lebih dari satu perawi maka hadits tersebut derajatnya naik menjadi haditsHasan Lighoirihi. Hadits di atas memenuhi syarat-syarat tersebut. Jadi, wajib diamalkan karena berarti kita telah menghidupkan sunah Nabi.
2. Sekalipun ternyata bahwa dalam seluruh jalur periwayatan hadits tersebut terdapat nama Abu Utsman, tapi karena hadits tersebut diriwayatkan oleh empat Imam(penulis mengecualikan riwayat dari Imam an Nasai yang hanya menulis nama Abu Utsman tanpa menulis dari bapaknya) Abu al Fida al Hafidh Ibn Katsir Ad Dimsyaqi, Tafsir Al Qur’an Al Adhiim, (Libanon, Daar al Fikr, 1992) jilid ketiga, hal: 678.
Maka berarti pula Abu Utsman meriwayatkan empat kali. Berarti kemajhulan Abu Utsman harus dipertanyakan, sebab seorang perawi disebut majhul diantaranya, kalau hanya sekali saja meriwayatkan hadits. Ath Thohaan, looc.cit. hal: 98 Jika demikian Abu Utsman tidak bisa dianggap majhul.
Dengan begitu hadits di atas shohih, sebagaimana dikatakan Imam Ahmad dan Ibn Hibban. Tapi, dengan tanpa pengandaian-pengandaian, penulis lebih condong mengatakan hadits tersebut di atas derajatnya Hasan Lighoirihi, yang bisa digunakan sebagai hujjah, dan harus diamalkan.
Kedua, ”Al Hafidh Abu Ya’la berkata, ”Meriwayatkan padaku Ishaq bin Abi Isra’il meriwayatkan padaku Hajjaj bin Muhammad dari Hisyam bin Ziyad dari Al Hasan, ia berkata: ”Aku mendengar Abu Hurairoh berkata, Rasulalloh SAW bersabda: barang siapa membaca Surat Yasin di malam hari maka keesokan paginya diampuni Allah. Dan barang siapa yang membaca Haa Mim yang disebut di dalamnya Ad Dukhon maka keesokan paginya diampuni oleh Allah”. Hadits ini isnadnya bagus. Ibnu Katsir, op.cit, hal: 678. Dalam buku ”Yasinan” nya – entah sengaja, pura-pura lupa atau lupa – Ustadz tidak mencantumkan susunan sanad yang lengkap melalui riwayat Abu Ya’la sebagaimana kita lihat hadits di atas. Ia justru menampilkan hadits dengan redaksi (matan) serupa yang diriwayatkan oleh at Thabroni dalam kitab al Mu’jam al Ausath dan al Mu’jam ash Shoghir, yang didalamnya terdapat nama Aghlab bin Tamim yang oleh ahli hadits dianggap dhoif Asy Syaukani, ibid. . Sedangkan dalam riwayat Abu Ya’la di atas sama sekali tidak ada nama perawi tersebut. Bahkan riwayat Abu Ya’la itu diberi komentar isnaaduhu jayyid (susunan sanad/ perawinya bagus). Menurut ahli hadits Indonesia, guru besar Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ), Jakarta Profesor Doktor KH. Maghfur Utsman, jika sebuah hadits dikomentari isnaaduhu jayyid  maka hadits tersebutberderajat hasan Wawancaara 14 Februari 2007Maka jelaslah bahwa hadits tersebut bisa dijadikan hujjah, sehingga orang yang mengamalkannya memperoleh pahala dari Allah, dan berdosalah orang yang dengan sengaja (apalagi dengan semangat kebencian yang meluap-luap) meninggalkan dan menanggalkan isi hadits tersebut. Na’udzubillah!!!

Yasinan Surat Yasin: Mengapa disebut Qalb al Qur’an dan Apa hubungannya dengan orang yang sudah meninggal

As Suyuthi menukil pendapat al Ghazali bahwa Surat Yasin disebut Qolb al Qur’an Menurut kamus al Munawwir qolb artinya : hati, isi, lubuk hati, jantung, inti (lihat kamus al Munawwir, Arab-Indonesia terlengkap, Yogyakarta, Pustaka Progressif, 2000, cet. kedua puluh lima, hal. : 1145)  karena sahnya keimanan diukur dengan pengetahuan terhadap al Hasyr (hari dikumpulkannya seluruh manusia) dan an Nasyr (hari kiamat). Pengenalan tersebut diteguhkan dalam surat Yaasin dengan sebaik-baik pengungkapan. Sedangkan menurut an Nasa’i ia mengatakan bahwa kemungkinannya karena dalam surat tersebut berisi pemantapan tiga pokok ketauhidan, risalah, dan hari kebangkitan, dimana hal-hal tersebut berkait dengan keyakinan hati. Jalal al Din As Suyuthi Asy Syafi’i , Al Itqaan fi Ulum al Qur’an (Libanon, Daar al Fikr, tt), juz kedua, hal. : 159. Adapun maksud kalimat  (bacalah surat Yasin untuk orang mati kalian) adalah karena di dalam Surat Yasin diterangkan tentang kematian dan kehidupan, Asy Syaukani, ibid. contohnya pada ayat yang artinya:Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh) al Qur’an Surat Yasin ayat 12. Dan Artinya : Dan ditiuplah sangkakala, maka tiba-tiba mereka ke luar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. al Qur’an Surat Yasin ayat 12. Imam Al Qurtubi mengatakan bahwa membaca Surat Yasin untuk orang mati maksudnya membaca surat tersebut di sisi orang yang akan mati atau juga membaca di kuburannya. Mengenai pendapat tersebut Ash Suyuthi mengatakan bahwa pendapat yang pertama (dibaca ketika orang akan mati) itu merupakan pendapat jumhur ulama, sedangkan pendapat kedua merupakan pendapat Ibn Abdul Wahid Al Maqdisi.  Imam Jalaluddin as-Suyuthi,Ziarah keAlam Barzakh (terjemahan Syarh ash-Shudur bi Syarh al Mautaa wa al Qubur), Jakarta, Pustaka Hidayah, 2005, cet kesatu, hal. : 393  Menurut Imam As-Saukani jika dibaca untuk orang yang sudah meninggal dunia maka tujuannya adalah untuk meringankan beban (siksa) mayit di dalam kubur.  As-Saukani, ibid   Jadi pada dasarnya surat tersebut dibaca di sisi orang yang mau meninggal dunia maupun sudah meninggal dunia sama-sama dibenarkan dan mendapat pahala.

Yasinan dan Kesimpulan

Kalau saya mengikuti orang yang gemar menuduh bid’ah ibadah orang lain yang tidak sama, tentu saya akan mengatakan begini : “Yasinan adalah kebiasaan atau pekerjaan yang dianggap ibadah karena memiliki sumber hukum berupa hadits Nabi yang menurut ukuran ilmu mustholahah al hadits derajatnya hasan lighoirihi yang bisa diterima sebagai hujjah dan harus diamalkan. Maka orang yang menolak Yasinan adalah pelaku bid’ah tarkiyah senyata-nyatanya dan bisa dianggap sesat dan harus siap merasakan api neraka”  Tapi saya tidak ingin menyimpulkan seperti itu sebab cara pandang seperti itu sungguh sangat jauh dari cara pandang para ulama salaf. Sayahanya ingin memberi kesimpulan sederhana bahwa insya Allah tradisi “Yasinan”  yang banyak dilakukan oleh umat Islam tidaklah bertentangan dengan sunah Nabi, dan siapa yang melakukannya insya Allah memperoleh pahala dari Allah. Tapi harus diperhatikan juga bahwa sebaiknya dalam tradisi “Yasinan” tidak hanya diisi  dengan hanya membaca Surat Yasin tapi harus tingkatkan kualitasnya dengan bersungguh-sungguh menkaji dan mendalami ayat-ayat surat tersebut untuk diamalkan. Hanya Allah Yang Maha Benar.

REFERENSI :
1.         Al Imam Abi al Husain Muslim bin Al Hajjaj Al Qusyairy An Naisabury, Shohih Muslim, (Libanon, Daar al Fikr, 1992)
2.         DR. Muhammad Ajjaj Al Khothib, Ushuul al Hadits, (Libanon, Daar Al Fikr, 2006)
3.         Al Imam Muhammad bin Ali Muhammad Asy Syaukani Al Yamani, Tuhfah Adz Dakirin, (Kairo, Daar al Hadiits, 2004)
4.         DR. Mahmud Ath Thohaan, Taisiir Mushtholah al Hadits, (Libanon, Daar al Fikr)
5.         Abu al Fida al Hafidh Ibn Katsir Ad Dimsyaqi, Tafsir Al Qur’an Al Adhiim, (Libanon, Daar al Fikr, 1992)
6.         Jalal al Din As Suyuthi Asy Syafi’i Al Itqaan fi Ulum al Qur’an (Libanon, Daar al Fikr, tt)
7.         AW.  Munawwir, Kamus Al Munawwir, Arab-Indonesia Terlengkap  ( Yogyakarta, Pustaka Progressif, 2000)
8. Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Ziarah ke Alam Barzakh (terjemahan Syarh ash-Shudur bi Syarh al Mautaa wa al Qubur), Jakarta, Pustaka Hidayah, 2005.

*          Ketua MUI Pusat  (DR. KH. MA. Sahal Machfudh)
**        Ketua Bidang Kajian & Bahsul Masail FOSWAN (Forum Silaturahim Warga Nahdliyiin)
Libih detailnya klik : FOSWAN

******************************************************
Penjelasan tambahan juga bisa di lihat di link lainnya, Judul: Tahlil, Yasiin dan Do’a dalam AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH.
Link-nya klik: AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH

Inilah Empat Kitab Hadis Terbaik



Sabtu, 28 April 2012, 11:20 WIB
blogspot.com
  
Inilah Empat Kitab Hadis Terbaik
Shahih Muslim
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Heri Ruslan

Kesahihan sabda Rasulullah SAW yang terkandung dalam sebuah kitab hadis tentu akan menentukan kualitas kitab itu.  Para ulama pun menetapkan kitab hadis berdasarkan kualitas sabda Rasulullah SAW ke dalam empat rangking atau peringkat:
  • Peringkat pertama ditempati Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.  Ada pula ulama yang memasukan kitab Al-Muwatta karya Imam Malik dalam peringkat pertama.
  •  Peringkat kedua ditempati oleh Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmizi,  Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, dan Sunan An-Nasai. Para ulama masih berbeda pendapat tentang Sunan Ibnu   Majah yang masuk dalam Kutub as-Sittah untuk ditempatkan dalam peringkat kedua.
  •  Peringkat Ketiga,  dalah kitab yang banyak memuat hadis dhaif atau lemah, seperti Musnad Ibnu Abi Syaibah, Musnad Abi Dawud Sulaiman at-Tayalisi, Musnad Abdillah Ibnu Hamid, dan Mussanaf Abd ar-Razzaq.
  • Peringkat keempat adalah kitab-kitab hadis yang ditulis oleh ahli kisah, pendakwah, dan para sufi, seperti Musanaf Ibnu Mardawih dan Musanaf Abi Syaikh.

Inilah Amalan Penolak Bala



Senin, 30 April 2012, 09:48 WIB
blog.science.gc.ca.
  
Inilah Amalan Penolak Bala
Dzikir kepada Allah (ilustrasi).
REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Ustad Arifin Ilham

Hidup ini tidak seindah yang dibayangkan. Banyak hal yang tidak terduga menghampiri hidup kita. Kepahitan dan kegetiran adalah warna yang memoles lembar kehidupan manusia. Meski sesungguhnya bagi orang yang beriman dunia ini adalah surga tak berperi dengan kenikmatan dan keelokannya yang tidak bertepi.

Untuk kita yang saat ini sedang dalam kubangan musibah ada baiknya kita mencoba menyisir jalan kebaikan berikut ini. Atau, kita yang sedang dihantui kegagalan, inilah amalan yang menghibur untuk menolak berbagai kemungkinan bala. 

Pertama, melazimkan doa. Orang yang terbiasa dengan berdoa akan mengalir sebuah kekuatan yang mampu menjadikan dirinya tegar. Bahkan, doa adalah sebuah proteksi ampuh menstabilkan kondisi hati dengan berbagai macam keadaannya.

Disebut oleh Nabi Muhammad SAW, “Tidak ada yang mampu menolak takdir kecuali doa.” (HR Ahmad). Bahkan, ada doa yang langsung dari Allah untuk menuntun kita terhindar dari berbagai ujian, musibah, dan bala. “Duhai Allah jangan sekali-kali Engkau uji kami di luar batas kemampuan kami.” (QS al-Baqarah [2]: 286).

Kedua, kesungguhan takwa. Banyak disebut oleh berbagai ayat bahwa kesungguhan dan keseriusan dalam ketakwaan mengantarkan ketangguhan spiritual dalam menyelesaikan setiap kesulitan hidup. Ini artinya semangat takwa menghindarkan sebuah peristiwa buruk dalam hidup manusia. “Siapa yang bertakwa maka Allah jadikan baginya jalan keluar. Dan Allah karunia kan rezeki dari arah tak terduga. Siapa yang menyerahkan urusannya ke pada Allah maka akan dicukupkan (nikmat dan kebutuhannya) …” (Baca QS al- Thalaq [65]: 2-3).

Ketiga, rida orang tua. Setelah kita tegak dengan nilai-nilai Langit seperti disebut oleh dua poin di atas, saatnya kita mengumpulkan energi dari bumi. Dan, kita perlu memulainya dari bilik kedua orang tua kita. Doa dan restu mereka yang pada urutannya mengantarkan kepada sejuta kebaikan, yang kita unduh tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat. Keramat terampuh di dunia ini tidak lain doa dan restu orang tua. “Rida Allah ada pada rida orang tua dan murka-Nya ada pada murka kedua orang tua,” demikian sabda Nabi Muhammad SAW riwayat al-Hakim.

Keempat, sedekah. Keutamaan sedekah sudah banyak yang menyebutkan. Bahkan, secara terang sebuah hadis mengisyaratkan, “Sedekah itu benar-benar menolak bala.” (HR Thabrani dari Abdullah ib nu Mas’ud). Karena, agama adalah amal. Maka, nikmat dan kelezatan beragama akan berasa jika kita benar-benar mengamalkan. Karena itu, saat nya kita buktikan dengan amal nyata. Kita bersedekah pasti ada proteksi bala yang langsung Allah desain.

Kelima, istighfar. “Kami tidak akan turunkan azab bencana selama mereka masih beristighfar.” (QS al-Anfal, 8: 33). Berikutnya, silaturahim, berzikir, dan selawat. Terkait dengan zikir, disebut oleh Nabi SAW, “Petir menyambar siapa pun, tetapi petir tidak akan menyambar orang yang sedang berzikir.”

Terakhir, senantiasa berbuat baik. Kebaikan yang kita tebarkan di bumi adalah kebaikan untuk kita yang Allah gelontorkan dari langit (QS ar- Rahman [55]: 60).Wallahu a’lam.