Tulisan Berjalan

SUKSES KOMUNITAS MAJU JOS, AKHIRNYA BIMBINGAN DIGITAL MARKETING SECARA GRATIS TANPA BATAS TELAH MEMBERI MANFAAT BESAR

Senin, 09 April 2012

Apa Itu Nur Muhammad? (2)




Blogspot.com
  
Apa Itu Nur Muhammad? (2)
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Ia disebut sebagai nabi pertama dalam arti bapaknya para ruh (abu al-warh al-wahidah), nabi terakhir karena memang ia sebagai khatam an-nubuwwah wa al-mursalin. 

Sedangkan, Nabi Adam hanya dikenang sebagai bapak biologis (abu al-jasad). Jika dikatakan Muhammad SAW nabi pertama dan terakhir bagi Allah SWT, tidak ada masalah.

Nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang kelihatannya paradoks, seperti al-awwal wa al-akhir, al-dhahir wa al-bathin, al-jalal wa al-jamal, juga tidak ada masalah bagi-Nya, karena itu semua hanya di level puncak (al-a’yan ats-tsabitah) atau wujud potensial, tidak dalam wujud aktual (wujud al-kharij).

Dasar keberadaan Nur Muhammad dihubungkan dengan sejumlah ayat dan hadits. Di antaranya, "Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya (Nur) dari Allah dan kitab yang menerangkan." (QS. Al-Maidah 15).

Ayat lainnya, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu), bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah." (QS. Al-Ahzab: 21). Ada pula hadits, "Saya adalah penghulu keturunan Adam pada hari kiamat."

Hadits riwayat Bukhari menjadi dasar lainnya, yaitu "Aku telah menjadi nabi, sementara Adam masih berada di antara air dan tanah berlumpur." Ada lagi suatu riwayat panjang yang banyak ditemukan dalam literatur tasawuf dan literatur-literatur Syiah adalah pertanyaan Sayyidina Ali RA kepada Rasulullah.

"Wahai Rasulullah, mohon dijelaskan apa yang diciptakan Allah sebelum semua makhluk diciptakan?" 

Rasul menjawab, "Sebelum Allah menciptakan yang lain, terlebih dahulu Ia menciptakan nur nabimu (Nur Muhammad). Waktu itu belum ada lauh al-mahfuz, pena (qalam), neraka, malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, bintang, jin, dan manusia.

Kemudian dengan iradat-Nya, Dia menghendaki adanya ciptaan. Ia membagi Nur itu menjadi empat bagian. Dari bagian pertama, Ia menciptakan qalam, lauh al-mahfuz, dan Arasy. Ketika Ia menciptakan lauh al-mahfuz dan qalam, pada qalam itu terdapat seratus simpul.

Jarak antar simpul sejauh dua tahun perjalanan. Lalu, Allah memerintahkan qalam menulis dan qalam bertanya, 'Ya Allah, apa yang harus saya tulis?' Allah menjawab, 'Tulis La Ilaha illa Allah, Muhammadan Rasul Allah.' Qalam menjawab, 'Alangkah agung dan indahnya nama itu, ia disebut bersama asma-Mu Yang Maha Suci.'

Allah kemudian berkata agar qalam menjaga perilakunya. Menurut Allah, nama tersebut adalah nama kekasih-Nya. Dari nur-Nya, Allah menciptakan Arasy, qalam, dan lauh al-mahfuz. Jika bukan karena dia, ujar Allah, dirinya tak akan menciptakan apa pun. Saat Allah menyatakan hal itu, qalam terbelah dua karena takutnya kepada Allah."

Apa Itu Nur Muhammad? (1)



Selasa, 20 Maret 2012, 18:50 WIB
Blogspot.com
  
Apa Itu Nur Muhammad? (1)
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Dalam ilmu tasawuf, Nur Muhammad mempunyai pembahasan mendalam. Nur Muhammad disebut juga hakikat Muhammad. 

Sering dihubungkan pula dengan beberapa istilah seperti al-qalam al-a’la (pena tertinggi), al-aql al-awwal (akal utama), amr Allah (urusan Allah), al-ruh, al-malak, al-ruh al-Ilahi, dan al-ruh al-Quddus.

Tentu saja, sebutan lainnya adalah insan kamil. Secara umum istilah-istilah itu berarti makhluk Allah yang paling tinggi, mulia, paling pertama dan utama. Seluruh makhluk berasal dan melalui dirinya. Itulah sebabnya Nur Muhammad pun disebut al-haq al-makhluq bih atau al-syajarah al-baidha' karena seluruh makhluk memancar darinya.

Ia bagaikan pohon yang daripadanya muncul berbagai planet dengan segala kompleksitasnya masing-masing. Nur Muhammad tidak persis identik dengan pribadi Nabi Muhammad SAW. Nur Muhammad sesungguhnya bukanlah persona manusia yang lebih dikenal sebagai nabi dan rasul terakhir.

Namun tak bisa dipisahkan dengan Nabi Muhammad sebagai person, karena representasi Nur Muhammad dan atau insan kamil adalah pribadi Muhammad yang penuh pesona. Manusia sesungguhnya adalah representasi insan kamil. Oleh karena itu, dalam artikel terdahulu, manusia dikenal sebagai makhluk mikrokosmos.

Sebab, manusia merupakan miniatur alam makrokosmos. Posisi Muhammad sebagai nabi dan rasul dapat dikatakan sebagai miniatur makhluk mikrokosmos karena pada diri beliau merupakan tajalli Tuhan paling sempurna. Itu pula sebabnya, mengapa Nabi Muhammad mendapatkan berbagai macam keutamaan dibanding nabi-nabi sebelumnya.

Bahkan hadits-hadits Isra’ Mikraj menyebutkan, Rasulullah pernah mengimami nabi yang pernah hidup sebelumnya. Melalui Nur Muhammad, Tuhan menciptakan segala sesuatu. Dari segi ini, Al-Jilli menganggapnya qadim dan Ibnu ‘Arabi menganggapnya qadim dalam kapasitasnya sebagai ilmu Tuhan dan baharu ketika ia berwujud makhluk.

Namun perlu diingat bahwa konsep keqadiman, menurut Ibnu Arabi, ada dua macam, yaitu qadim dari segi dzat dan qadim dari segi sesuatu itu masuk ke wilayah ilmu Tuhan. Nur Muhammad, menurut Ibnu Arabi, masuk kategori qadim jenis kedua, yaitu bagian dari ilmu Tuhan (qadim al-hukmi) bukan dalam qadim al-dzati.

Dengan demikian, Nur Muhammad dapat dianggap qadim dalam perspektif qadim al-hukmi, namun juga dapat dianggap sebagai baharu dalam perspektif qadim al-dzati. Dalam satu riwayat juga pernah diungkapkan bahwa Nabi Muhammad adalah sebagai nabi pertama dan terakhir.

Antara Tanzih dan Tasybih (4-habis)


Selasa, 27 Maret 2012, 16:58 WIB
Blogspot.com
  
Antara Tanzih dan Tasybih (4-habis)
Ilustrasi


Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar     
Ada sejumlah ayat yang sering dijadikan dalil oleh para sufi di dalam mendukung pandangan tasybihnya, antara lain:

"Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Hadid: 4).

Surah lainnya, "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya." (QS. Qaf: 16).

Lalu, "Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 115).

Dalam sebuah hadits disebutkan, Takhallaqu bi akhlaq Allah (berakhlaklah sebagaimana akhlak Allah SWT). Ini menunjukkan adanya keserupaan Allah dan makhluk dari segi sifat. Jika Allah Maha Kreatif (Al-Khaliq), Maha Pemaaf (Al-Afwu), dan Maha Sabar (As-Shabur), implementasinya manusia juga harus memaksimalkan diri meniru sifat Tuhan, yaitu menjadi makhluk yang kreatif, pemaaf, dan penyabar.

Ayat dan hadits di atas mengisyaratkan antara Tuhan dan hamba-Nya lebih tepat dikatakan memiliki hubungan immanen. Para sufi lebih tertarik mendekati Tuhan melalui jalur immanen ini. Sebab, mereka merasa didukung kenyataan ayat demi ayat Alquran lebih menonjolkan aspek immanen, feminitas, kelembutan, kasih-sayang, dan jamaliah-Nya.

Dengan lebih menekankan aspek tanzih Tuhan akan terbayang sebagai Tuhan maskulin, transenden, jauh, dan melahirkan suasana keagamaan formal dan cenderung kering. Sebaliknya, pada aspek tasybih Tuhan akan terbayang sebagai Tuhan feminin, immanen, dekat, dan melahirkan suasana keagamaan yang informal dan cenderung permisif.

Dari segi inilah Ibnu Arabi membuat analisis menarik. Memahami secara parsial dan terpisah kedua kualitas di atas tidak akan melahirkan kepribadian Muslim sejati. Tapi, yang justru diperlukan adalah memadukannya. Dia menggabungnya dalam konsep Huwa la Huwa (Dia yang Bukan Dia), yang akan diuraikan dalam artikel mendatang.

Antara Tanzih dan Tasybih (3)



Selasa, 27 Maret 2012, 15:53 WIB
Blogspot.com
  
Antara Tanzih dan Tasybih (3)
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar     
Berbeda dengan para sufi yang lebih sering menekankan aspek tasybih Tuhan. Bagi sufi, alam khususnya manusia sebagai insan kamil, merupakan lokus pengejawentahan diri (majla) dan lokus penampakan (madzhar) asma dan sifatnya-Nya. Dengan demikian, Tuhan tidak bisa dipisahkan dengan makhluk-Nya.

Bahkan, Tuhan dianggap menjadi substansi (jauhar) pada setiap makhluk. Jika kita melihat alam, khususnya manusia sebagai makhluk mikrokosmos, niscaya kita membayangkan Tuhan di balik setiap sesuatu. 

Bukankah Tuhan pada mulanya hanya sendiri lalu menciptakan kosmos, alam raya dari diri-Nya sendiri. Sehingga, antara Sang Khaliq dan makhluk merupakan dua hal yang tak terpisahkan.

Dimensi kualitas kosmos, semua berasal dari-Nya, pengetahuan mereka dari pengetahuan-Nya, kekuasaan mereka dari kekuasaan-Nya, cinta mereka dari cinta-Nya, energi mereka adalah energi-Nya.

Dengan demikian, antara Tuhan dan makhluk-Nya tak bisa dipisahkan. Para sufi mendasarkan pandangannya tentang konsep tasybih kepada Alquran dan hadits. Nama-nama dan sifat-sifat Tuhan sebagaimana tercantum di dalam Al-Asma Al-Husna menjadi entry point atau titik masuk untuk mengenal Tuhan.

Pada nama dan sifat Tuhan secara eksplisit disebutkan dalam Alquran, seperti "Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat" (QS. As-Syura: 11). Tuhan yang digambarkan Maha Mendengar (Al-Sami’) dan Maha Melihat (Al-Bashir) mempunyai keserupaan dengan makhluk-Nya.
Seperti manusia yang juga dapat mendengar dan melihat, walaupun sudah barang tentu berbeda dengan kapasitas dan cara Tuhan mendengar dan melihat.

Antara Tanzih dan Tasybih (2)



Selasa, 27 Maret 2012, 15:34 WIB
Blogspot.com
  
Antara Tanzih dan Tasybih (2)
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar     

Para teolog lebih menekankan aspek transendensi Tuhan. Ia seolah-olah jauh dari keterjangkauan manusia dan seluruh makhluk-Nya. Ia tak pernah terbayangkan zat dan substansi-Nya.

Pikiran dan memori manusia sama sekali tidak mampu manampung Tuhan dalam dirinya. Mungkin bukan Tuhan tidak mau memperkenalkan diri-Nya kepada manusia, tetapi seperti yang terungkap dalam syair Jalaluddin Rumi, "Apa arti sebuah piala untuk menampung air samudra."

Dalam menafsirkan Alquran, para teolog menyapu bersih adanya pemahaman keserupaan Allah dengan makhluk. "Kata tangan Tuhan" (QS. Al-Fath: 10) dipahami sebagai kekuasaan Tuhan, "mata Tuhan" (QS. At-Thur: 48) dipahami pengawasan Tuhan, dan "wajah Tuhan" (QS. Al-Baqarah: 272) dipahami sebagai ridha Allah.

Bahkan, hal-hal tertentu yang bisa menjurus kepada pemahaman tasybih diarahkan pengertiannya ke arah pengertian yang lebih aman. Meskipun kadang mengganggu kelurusan makna logika kalimat, misalnya Wa nafakhtu fihi min ruhi fa qa’u lahu sajidin dalam QS. Al-Hijr: 29).

Kalimat tersebut berarti "maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud." Kata min ruhi diselipkan penafsiran dalam kurung ciptaan. Ini dilakukan demi mencegah pemahaman bahwa Tuhan meniupkan roh-Nya ke dalam diri manusia.

Dari berbagai uraian di atas jelas sekali terlihat, teolog lebih menekankan aspek transendensi Tuhan dan ketakterbandingan (incomparability) antara Tuhan dan makhluk. Tuhan digambarkan seolah-olah lebih menonjol sebagai Tuhan maskulin,  yang lebih menekankan aspek kebesaran, kekuasaan, dan keagungan-Nya.

Dalam lintasan sejarah pemikiran di dunia Islam, pandangan seperti ini sangat dominan, termasuk di Indonesia, yang dalam hal ini dapat diukur melalui terjemahan dan tafsir Alquran yang dikeluarkan Kementerian Agama, yang terlalu menekankan aspek eksoterisme Islam.

Antara Tanzih dan Tasybih (1)



Selasa, 27 Maret 2012, 14:25 WIB
Blogspot.com
  
Antara Tanzih dan Tasybih (1)
Ilustrasi

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar     
Salah satu pengetahuan yang amat penting diketahui di dalam wacana ilmu tasawuf ialah al-tanzih wa al-tasybih. 

Konsep ini sangat mendasar karena memengaruhi suasana batin dan etos kerja seorang Muslim. Konsep ini juga menjadi salah satu pangkal perbedaan mendasar antara para mutakalimin/teolog dan para sufi.

Secara kebahasaan, tanzih berarti jauh dan tasybih berarti menyerupai. Tanzih berasal dari kata nazzaha berarti menjauh, berjarak, dan membersihkan. Tanzih adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan bahwa Tuhan dan makhluk-Nya amat jauh dan tak terbandingkan (uncomparable).

Tuhan tak dapat digambarkan dan dibandingkan dengan makhluk-Nya. Ia berbeda secara mutlak dengan makhluk-Nya dan tidak ada kata sifat yang mampu melukiskan-Nya. Sedangkan tasybih berasal dari kata syabbaha yang berarti menyerupakan, yakni menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain.

Tasybih adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai kemiripan dengan alam sebagai makhluk-Nya karena alam adalah lokus penampakan (madzhar) diri-Nya. Dengan kata lain, alam (secara harfiah berarti tanda) adalah ayat untuk mengungkap identitas Tuhan.

Para teolog lebih sering menekankan aspek tanzih Tuhan. Bahkan, di antaranya mengatakan barangsiapa yang menyerupakan Tuhan dengan sesuatu maka ia musyrik. Bagi teolog, Tuhan harus berbeda dengan makhluk-Nya karena Ia adalah Tuhan. Makhluk tidak boleh dan memang tidak akan pernah mungkin menyerupai Tuhannya.

Mereka mendasarkan pandangannya pada ayat dan hadits di samping logika. Mereka sering mengutip, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia." (QS As-Syura: 11). "Tuhan menjadi tumpuan kosmos dan seluruh makhluk, Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam."(QS Ali ‘Imran: 97).

Sejak semula juga tidak pernah dibayangkan teolog bahwa Tuhan serupa dengan makhluk-Nya. Bagimana Tuhan bisa disebut Tuhan kalau tidak lebih Maha Istimewa dibandingkan makhluk-Nya. Pokoknya, Tuhan harus berbeda dengan makhluk-Nya dan tidak mempunyai hubungan apa pun dengan sifat makhluk-Nya yang bersifat baru.

Seandainya semua manusia kufur atau semuanya berperilaku iblis, tidak akan menurunkan kewibawaan dan kemahasempurnaan Tuhan. Sebaliknya, seandainya manusia semuanya berperilaku ideal seperti malaikat, tidak juga akan menambah kewibawaan dan kesempurnaan Tuhan. 

Tuhan adalah Maha Sempurna tanpa ketergantungan sedikit pun pada makhluk-Nya

Relasi Tuhan dan Hamba



Senin, 09 April 2012, 14:22 WIB
  
Relasi Tuhan dan Hamba
Ka'bah, berdoa di depan ka'bah



Dalam kajian tasawuf, tidak ada artinya berbicara tentang apa pun tanpa berbicara tentang Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan disebut kosmos, termasuk di dalamnya alam (makrokosmos) dan manusia (mikrokosmos). Tuhan adalah asalusul dari segala sesuatu. Semua bersumber dari-Nya dan kelak semuanya akan kembali kepada- Nya, Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Kita berasal dari Yang Satu kemudian menjadi banyak dan kembali ke Yang Satu. Dengan demikian, yang banyak ini sesungguhnya siapa?

Secara matematika juga menunjukkan bahwa sebanyak apa pun sebuah bilangan pasti berasal dari angka 1. Bukankah angka 2 berasal dari angka 1 + 1, bukankah 1.000 merupakan kelipatan 1.000 dari angka 1, dan seterusnya. Memang, angka 1 tidak sama dengan 2, 1.000, dan seterusnya, tetapi bukankah angka-angka itu tetap merupakan himpunan dari angka 1. Jadi, tidak ada artinya kita berbicara angka sebanyak apa pun tanpa berbicara tentang angka 1, karena bukankah angka yang banyak itu tetap merupakan himpunan dari angka 1?

Keterpisahan dan sekaligus ketakterpisahan antara Tuhan dan hamba melahirkan wacana tersendiri di dalam teologi dan tasawuf. Para teolog atau ulama kalam lebih menekankan aspek keterpisahan dan ketakterbandingan antara Tuhan dan hamba. Sedangkan kalangan sufi lebih menekankan aspek ketakterpisahan dan keserupaan antara Tuhan dan hamba, meskipun dibatasi dengan istilah "keserupaan dalam ketakterbandingan" ( similarity in uncomparability).

Allah SWT dalam kapasitas Ahadiyat-Nya tentu saja tak terbandingkan dan terpisah dengan makhluk-Nya. Dia "yang tidak ada satu pun setara dengannya" (). Namun, dalam kapasitas Wahidiyat-Nya, yang di dalamnya diperkenalkan nama-nama-Nya, meniscayakan antara diri-Nya dengan hamba. Hubungan antara Tuhan dan hamba ini melahirkan konsep Tuhan (Rab) dan hamba (marbub), Ilah dan Ma'luh, Khalik dan makhluk.

Dalam konteks ini seolah-olah kalangan sufi —dan ini yang banyak ditentang oleh para teolog- — beranggapan Tuhan butuh terhadap makhluk, karena eksistensi sebuah kata meniscayakan sebuah kata lainnya, atau di dalam hubungan polaritas-dialektis, eksistensi satu sisi meniscayakan eksistensi sisi lainnya. Bukankah tidak akan ada budak tanpa ada tuan, tidak ada Rab tanpa marbub, tidak ada Ilah tanpa ma'luh, tidak ada makhluk tanpa Khalik, dan tidak ada ma'lum (objek pengetahuan) tanpa 'Alim (subjek yang mengetahui). (subjek yang mengetahui). Tentu, demikian pula sebaliknya, sulit membayangkan adanya tuan tanpa ada budak, ada marbub tanpa ada Rab, adanya Khalik tanpa ada makhluk, dan adanya 'Alim tanpa ada ma'lum?

Alasan para sufi berpendapat demikian karena bukankah namanama dan sifat Tuhan memerlukan adanya berbagai lokus atau tempat manifestasikan dan mengaktualisasikan diri? Dengan kata lain, tanpa lokus maka nama-nama dan sifat Tuhan tidak mungkin dapat teraktualisasi. Jika itu semua tidak bisa teraktualisasi maka menjadi tidak berarti nama-nama dan sifat itu. Jika nama-nama dan sifat itu tidak punya arti maka untuk apa Tuhan memperkenalkan kapasitas Wahidiyat-Nya? Padahal, dalam artikel-artikel terdahulu sudah dijelaskan bahwa Tuhan dengan penuh perencanaan menciptakan makhluk-Nya untuk mengenal diri-Nya, sebagaimana disebutkan dalam hadis qudsi yang terkenal dalam dunia tasawuf itu. Dalam perspektif tasawuf, hubungan primer Allah dan makhluknya terjalin bagaikan langit dan bumi, jiwa dan roh, dan Yang dan Yin. Tuhan adalah Mahaagung, Mahatinggi, Mahaterang, dan Mahakreatif, sedangkan makhluknya kecil, rendah, gelap, dan reseptif atau menerima pengaruh. Dari hubungan seperti ini, Tuhan adalah Yang dan makhluk adalah Yin. Disebut demikian karena Tuhan memberi pengaruh (Mu'atstsir/Yang) dan makhluk menerima pengaruh (ma'tsur/Yin).

Di dalam mengimplementasikan kapasitasnya sebagai khalifah alam semesta (khalaif al-ardl), manusia (mikrokosmos) juga mempunyai kapasitas Yang, karena ia harus memberi pengaruh terhadap alam semesta (makrokosmos) sebagai Yin. Kapasitas Yang yang diperoleh manusia tentu berbeda dan tak dapat dibandingkan de - ngan kapasitas Yang Tuhan. Kapasitas Yang pada diri manusia tetap dalam kapasitasnya sebagai ham ba ('abid) di mana manusia secara total harus tunduk dan patuh kepada Tuhan sebagai Ma'bud.

Allah SWT sendiri dalam kapasitasnya sebagai Tuhan (Rab dan Ilah) mempunyai kapasitas Yin, karena Ia mencipta dan memelihara makhluk-Nya dengan penuh kasih sayang. Dengan demikian, selain memberi pengaruh (mu'atstsir) dalam kapasitasnya sebagai al- Jalal, Ia juga menerima pengaruh (Ma'tsur) dalam kapasitas-Nya sebagai al-Jamal. Namun demikian, kapasitas Jamaliyyah Tuhan tentu tidak bisa disetarakan dengan jamaliyyah manusia. Bagaimanapun manusia sebagai bagian dari makhluk dan hamba terikat kepada Tuhan.

Allah SWT sebagai Tuhan "membutuhkan" hamba untuk disebut sebagai Tuhan, karena sulit membayangkan Sosok Tuhan tanpa hamba. Sebaliknya, manusia tidak mungkin ada dan mewujud sebagai hamba tanpa adanya Tuhan yang menciptakan dan sekaligus sebagai Tuhannya. Dengan demikian, Tuhan dan hamba saling membutuhkan dalam kapasitas yang berbeda. Relasi hamba kepada Tuhan adalah menyembah (ta'abbud) dan relasi Tuhan terhadap hambanya adalah memberi anugrah (isti'anah)