Selasa, 27 Maret 2012, 15:34 WIB
Blogspot.com
Ilustrasi
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Para teolog lebih menekankan aspek transendensi Tuhan. Ia seolah-olah jauh dari keterjangkauan manusia dan seluruh makhluk-Nya. Ia tak pernah terbayangkan zat dan substansi-Nya.
Pikiran dan memori manusia sama sekali tidak mampu manampung Tuhan dalam dirinya. Mungkin bukan Tuhan tidak mau memperkenalkan diri-Nya kepada manusia, tetapi seperti yang terungkap dalam syair Jalaluddin Rumi, "Apa arti sebuah piala untuk menampung air samudra."
Dalam menafsirkan Alquran, para teolog menyapu bersih adanya pemahaman keserupaan Allah dengan makhluk. "Kata tangan Tuhan" (QS. Al-Fath: 10) dipahami sebagai kekuasaan Tuhan, "mata Tuhan" (QS. At-Thur: 48) dipahami pengawasan Tuhan, dan "wajah Tuhan" (QS. Al-Baqarah: 272) dipahami sebagai ridha Allah.
Bahkan, hal-hal tertentu yang bisa menjurus kepada pemahaman tasybih diarahkan pengertiannya ke arah pengertian yang lebih aman. Meskipun kadang mengganggu kelurusan makna logika kalimat, misalnya Wa nafakhtu fihi min ruhi fa qa’u lahu sajidin dalam QS. Al-Hijr: 29).
Kalimat tersebut berarti "maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud." Kata min ruhi diselipkan penafsiran dalam kurung ciptaan. Ini dilakukan demi mencegah pemahaman bahwa Tuhan meniupkan roh-Nya ke dalam diri manusia.
Dari berbagai uraian di atas jelas sekali terlihat, teolog lebih menekankan aspek transendensi Tuhan dan ketakterbandingan (incomparability) antara Tuhan dan makhluk. Tuhan digambarkan seolah-olah lebih menonjol sebagai Tuhan maskulin, yang lebih menekankan aspek kebesaran, kekuasaan, dan keagungan-Nya.
Dalam lintasan sejarah pemikiran di dunia Islam, pandangan seperti ini sangat dominan, termasuk di Indonesia, yang dalam hal ini dapat diukur melalui terjemahan dan tafsir Alquran yang dikeluarkan Kementerian Agama, yang terlalu menekankan aspek eksoterisme Islam.
Para teolog lebih menekankan aspek transendensi Tuhan. Ia seolah-olah jauh dari keterjangkauan manusia dan seluruh makhluk-Nya. Ia tak pernah terbayangkan zat dan substansi-Nya.
Pikiran dan memori manusia sama sekali tidak mampu manampung Tuhan dalam dirinya. Mungkin bukan Tuhan tidak mau memperkenalkan diri-Nya kepada manusia, tetapi seperti yang terungkap dalam syair Jalaluddin Rumi, "Apa arti sebuah piala untuk menampung air samudra."
Dalam menafsirkan Alquran, para teolog menyapu bersih adanya pemahaman keserupaan Allah dengan makhluk. "Kata tangan Tuhan" (QS. Al-Fath: 10) dipahami sebagai kekuasaan Tuhan, "mata Tuhan" (QS. At-Thur: 48) dipahami pengawasan Tuhan, dan "wajah Tuhan" (QS. Al-Baqarah: 272) dipahami sebagai ridha Allah.
Bahkan, hal-hal tertentu yang bisa menjurus kepada pemahaman tasybih diarahkan pengertiannya ke arah pengertian yang lebih aman. Meskipun kadang mengganggu kelurusan makna logika kalimat, misalnya Wa nafakhtu fihi min ruhi fa qa’u lahu sajidin dalam QS. Al-Hijr: 29).
Kalimat tersebut berarti "maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud." Kata min ruhi diselipkan penafsiran dalam kurung ciptaan. Ini dilakukan demi mencegah pemahaman bahwa Tuhan meniupkan roh-Nya ke dalam diri manusia.
Dari berbagai uraian di atas jelas sekali terlihat, teolog lebih menekankan aspek transendensi Tuhan dan ketakterbandingan (incomparability) antara Tuhan dan makhluk. Tuhan digambarkan seolah-olah lebih menonjol sebagai Tuhan maskulin, yang lebih menekankan aspek kebesaran, kekuasaan, dan keagungan-Nya.
Dalam lintasan sejarah pemikiran di dunia Islam, pandangan seperti ini sangat dominan, termasuk di Indonesia, yang dalam hal ini dapat diukur melalui terjemahan dan tafsir Alquran yang dikeluarkan Kementerian Agama, yang terlalu menekankan aspek eksoterisme Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar