Tulisan Berjalan

SUKSES KOMUNITAS MAJU JOS, AKHIRNYA BIMBINGAN DIGITAL MARKETING SECARA GRATIS TANPA BATAS TELAH MEMBERI MANFAAT BESAR
Tampilkan postingan dengan label Muamalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Muamalah. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 April 2012

Aturan Transfer Uang ke Mata Uang Berbeda




CetakPDF
money_transfer_uangH. Syam Merauke lanjut menyebarkan. Ketika berada di luar negeri, bentuk transaksi yang satu ini sangat dibutuhkan sekali. Keluarga di Indonesia kadang membutuhkan uluran tangan saudaranya yang berada di luar negeri, sehingga mesti ada transfer uang dolar atau riyal ke rupiah. Apakah transaksi seperti ini dibolehkan? Apakah terdapat riba di dalamnya karena terdapat bentuk penukaran uang yang tidak tunai?
Aturan dalam Shorf (Money Changer)
Dalam fikih Islam, penukaran mata uang dengan mata uang dikenal dengan istilah shorf. Dalam shorf, ada satu aturan yang perlu diperhatikan yaitu harus ada qobdh (serah terima secara langsung) dalam majelis akad. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam hadits dari ‘Ubadah bin Ash Shomit,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
Jika emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan dibayar kontan (tunai). Jika jenis barang tadi berbeda, maka silakan engkau membarterkannya sesukamu, namun harus dilakukan secara kontan (tunai).” (HR. Muslim no. 1587). Emas dan perak para ulama sebut sebagai barang ribawi bersama dengan empat barang lainnya sebagaimana disebutkan dalam hadits. Emas dan perak di sini memiliki ‘illah (sebab) yang sama yaitu sebagai tsaman(alat tukar atau mata uang).
Setiap mata uang adalah jenis tersendiri. Mata uang riyal itu mata uang tersendiri. Begitu pula uang dolar adalah mata uang jenis tersendiri. Dan keduanya memiliki illah yang sama yaitu sebagai mata uang (alat tukar dalam jual beli, disebut tsaman) sehingga dihukumi sama dengan emas dan perak. Dalam emas dan perak, ada dua aturan yang perlu diperhatikan ketika terjadi shorf (pertukaran):
  1. Jika barang sejenis ditukar –semisal emas dan emas atau perak dan perak-, ada dua syarat yang harus dipenuhi: (1) harus tunai (yadan bi yadin) dan (2) harus semisal (mitslan bi mitslin) atau jumlahnya sama.
  2. Jika barang beda jenis namun masih satu ‘illah (sama-sama alat tukar atau mata uang), maka hanya satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu tunai (yadan bi yadin).
Sehingga dalam penukaran mata uang jika sejenis –rupiah dan rupiah-, harus tunai dan jumlahnya sama. Contoh: Selembar Rp100 ribu jika ditukar dengan pecahan Rp10 ribu maka jumlahnya harus sama dan harus tunai ketika menukarnya. Jika mata uang beda jenis ingin ditukar –semisal mata uang riyal ingin ditukar dengan rupiah-, maka syaratnya harus tunai.
Jika dalam shorf di atas tidak mitslan bi mitslin (semisal) dalam penukaran mata uang sejenis, maka terjadi riba fadhel. Jika terjadi penundaan dalam penyerahan, maka terjadi riba nasi-ah.
Transfer ke Mata Uang Berbeda
Masalah ini dapat kita temukan pada beberapa pekerja yang ada di luar negeri (TKI/TKW) atau barangkali para pelajar/ mahasiswa. Di antara keluarga mereka di kampung kadang membutuhkan uang sehingga mengharuskan uang tersebut ditransfer dari luar negeri, atau ada kasus yang sebaliknya. Karena terjadi beda mata uang dalam transfer uang tersebut, maka tetap berlaku syaratshorf yang dibahas di atas. Tetap dipersyaratkan qobdh atau yadan bi yadin atau tunai. Jika mata uang yang ditransefer ke negara tujuan itu sama dengan negara asal, maka ada dua syarat yang harus terpenuhi, yaitu tunai (qobdh) dan semisal.
Lantas bagaimana bentuk qobdh di sini? Haruskah uang tersebut ditukar terlebih dahulu ke mata uang lain lalu diterima tunai, setelah itu baru dikirim? Pilihan ini tentu sangat sulit dilakukan ketika mentransfer. Ataukah qobdh bisa dengan cara lainnya? Karenaqobdh menurut para ulama dilihat dari ‘urf-nya, yaitu dilihat pada masing-masing barang. Pada jual beli emas serah terimanya (qobdh) harus dengan serah terima fisik, dan contoh lainnya.
Mayoritas ulama menganggap bahwa qobdh di sini bisa terjadi serah terima dalam bentuk certified check atau bisa dalam bentuk kertas bukti transfer yang telah dicetak dan diterima. Atau dengan kata lain sudah diketahui berapa mata uang yang sudah ditukar ke mata uang lain, setelah ada bukti serah terima seperti ini, kemudian boleh ditransfer.
Bukti fatwa pertama
Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Kerajaan Saudi Arabia mendapatkan pertanyaan, “Apa hukum uang yang ditransfer dari satu mata uang ke mata uang yang lain? Misalnya saya memiliki gaji dengan mata uang Riyal Saudi dan saya ingin mentransfer dari Riyal Sudan. Dan perlu diketahui bahwa mata uang Riyal  Saudi sama dengan 3 Riyal Sudani. Apakah transaksi semacam ini termasuk riba?”
Jawab para ulama di Lajnah, “Boleh mentransfer mata uang dan diterima dengan mata uang berbeda di negara lain walau terjadi beda nilai ketika penukaran karena berbeda jenis mata uang sebagaimana dalam contoh yang telah disebutkan dalam soal. Akan tetapi, syarat yang mesti diperhatikan adalah harus ada qobdh (serah terima) dalam majelis. Jika sudah ada serah terima cek atau kertas bukti pengiriman, maka hukumnya seperti qobdh dalam majelis (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, pertanyaan pertama dari fatwa no. 4721, 13: 449. Fatwa ini ditanda tangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selaku anggota).
Bukti fatwa kedua
Keputusan dari Majma’ Fiqh Al Islami dari Robithoh Al ‘Alam Al Islami ketika pertemuan ke-11, keputusan tersebut berbunyi:
Setelah penelaahan dan penelitian, majelis ini memutuskan dengan sepakat:
1. Cek bisa menggantikan bentuk serah terima selama terpenuhi syarat ketika terjadi shorf (penukaran) mata uang ketika ditransfer di berbagai bank.
2. Catatan dalam buku bank sudah dianggap sebagai qobdh ketika suatu mata uang ditukar ke mata uang lain, baik uang tersebut diserahkan oleh seseorang kepada bank atau diambil dari simpanannya di bank. –selesai- (Dinukil dari Fatawa Al Islam Sual wal Jawab no. 111927).
Jika tidak ada qobdh seperti di atas, hanya sekedar percaya dan tidak ada bukti transfer atau bukti penukaran uang, maka seperti ini adalah bentuk transfer uang yang bermasalah.
Bagaimana hukum biaya transfer?
Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah berkata, “Suatu perusahaan atau bank boleh saja menarik biaya transfer karena biaya di sini termasuk upah dari transaksi ijaroh yaitu jual jasa pengiriman uang ke negara lain” (Fatawa Al Islam Sual wal Jawab no. 111927).
Catatan: Walaupun transfer uang tadi membutuhkan waktu beberapa hari untuk sampai ke negara tujuan, selama uang tersebut sudah ada qobdh dalam majelis, maka sudah dianggap sah. Karena yang terpenting di sini adalah penukaran mata uang tersebut (shorf). Ketika sudah ada bukti transfer atau bukti penukaran uang saat berada di bank sehingga diketahui berapa besaran uang yang dikirim, maka sudah sah transfer tersebut. Wallahu a’lam.
Demikian bahasan singkat kami dalam kesempatan kali ini. Bahasan ini adalah tindak lanjut dari bahasan sebelumnya yang pernah dibahas di rumaysho.com: Syarat dalam Money Changer.


Referensi:
2. Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 4721, 13: 449.
3. Syarh ‘Umdatul Fiqh, Syaikh Prof. Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Jibrin, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan keenam, tahun 1431 H, 2: 825.
4. Durus Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri membahas kitab Dalil Ath Tholib (Mar’i bin Yusuf Al Hambali), Kitab Bai’, Bab Riba.

Jumat, 16 Maret 2012

Riba Dalam Pegadaian




AddThis Social Bookmark Button
CetakPDF
riba_dalam_pegadaianGadai adalah suatu hal yang biasa di tengah-tengah kita di saat kita membutuhkan pinjaman. Gadai di sini sebagai jaminan agar si pemberi utang percaya pada kita sebagai peminjam. Namun beberapa transaksi gadai melanggar ketentuan Islam. Terutama dalam hal  memanfaatkan barang gadai, semisal sawah yang digadai digunakan untuk bercocok tanam oleh si pemberi utang. Pemanfaatan ini termasuk riba, karena setiap utang piutang yang diambil manfaat (keuntungan) adalah riba. Lihat bahasan selengkapnya dalam tulisan sederhana berikut ini.
Pengertian Gadai
Gadai dalam bahasa Arab disebut dengan ar rahn, arti secara bahasa adalah ats tsubut wad dawaam, yang bermakna tetap dan langgeng. Rahn juga secara bahasa bisa bermakna al habs (tertahan). Sedangkan menurut istilah syar’i yang akan kita uraikan saat ini, ar rahn bermakna menjadi harta sebagai jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan sebagian atau seharga harta tersebut ketika gagal melunasi utang tadi.
Dalil yang Menunjukkan Bolehnya Gadai
Firman Allah Ta’ala,
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آَثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian” (QS. Al Baqarah: 283).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِىٍّ إِلَى أَجَلٍ ، وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi secara tidak tunai (utang), lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan gadaian berupa baju besi” (HR. Bukhari no. 2068 dan Muslim no. 1603).
Para ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan dan hal ini telah dilakukan sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini, dan tidak ada yang mengingkarinya.
Gadai Tidak Wajib
Penulis Al Mughni berkata, “Tidak diketahui adanya khilaf dalam masalah ini bahwa gadai sebagai jaminan dari utang tidaklah wajib”.
Sedangkan perintah yang disebutkan dalam ayat, bukanlah perintah wajib, namun hanya perintah irsyad (petunjuk). Dan dikuatkan dengan lanjutan ayat,
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”. Gadai sendiri adalah perintah ketika ada uzur menulis utang. Penulisan sendiri tidaklah wajib, maka sama halnya dengan gadai sebagai gantinya.
Gadai Dibolehkan dalam Keadaan Tidak Bersafar
Jika kita melihat dalam ayat yang disebutkan di atas, gadai ada ketika safar. Namun hal itu bukan menunjukkan selain safar tidak boleh. Dalil yang menyatakan bahwa boleh ketika seseorang itu mukim dan melakukan gadai adalah hadits,
تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِىٍّ بِثَلاَثِينَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, baju besi beliau tergadaikan pada orang Yahudi sebagai jaminan untuk 30 sho’ gandum (yang beliau beli secara tidak tunai)” (HR. Bukhari no. 2916).
Ketentuan Umum dalam Pegadan Syari’ah
Ada beberapa ketentuan umum dalam muamalah gadai setelah terjadinya serah terima barang gadai. Di antaranya:
1. Barang yang Dapat Digadaikan
Barang yang dapat digadaikan adalah barang yang memiliki nilai ekonomi, agar dapat menjadi jaminan bagi pemilik uang. Dengan demikian, barang yang tidak dapat diperjual-belikan, dikarenakan tidak ada harganya, atau haram untuk diperjual-belikan, adalah tergolong barang yang tidak dapat digadaikan. Yang demikian itu dikarenakan, tujuan utama disyariatkannya pegadaian tidak dapat dicapai dengan barang yang haram atau tidak dapat diperjual-belikan.
Barang yang digadaikan dapat berupa tanah, sawah, rumah, perhiasan, kendaraan, alat-alat elektronik, surat saham, dan lain-lain. Sehingga dengan demikian, bila ada orang yang hendak menggadaikan seekor anjing, maka pegadaian ini tidak sah, karena anjing tidak halal untuk diperjual-belikan.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil penjualan anjing, penghasilan pelacur dan upah perdukunan” (HR. Bukhari no. 2237 dan Muslim no. 1567).
2. Barang Gadai Adalah Amanah
Status barang gadai selama berada di tangan pemberi utang adalah sebagai amanah yang harus ia jaga sebaik-baiknya. Sebagai salah satu konsekuensi amanah adalah, bila terjadi kerusakan yang tidak disengaja dan tanpa ada kesalahan prosedur dalam perawatan, maka pemilik uang tidak berkewajiban untuk mengganti kerugian. Bahkan, seandainya orang yang menggadaikan barang itu mensyaratkan agar pemberi utang memberi ganti rugi bila terjadi kerusakan walau tanpa disengaja, maka persyaratan ini tidak sah dan tidak wajib dipenuhi.
3. Barang Gadai Dipegang Pemberi utang
Barang gadai tersebut berada di tangan pemberi utang selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).” (QS. Al-Baqarah: 283).
4. Pemanfaatan Barang Gadai
Pihak pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian. Sebab, sebelum dan setelah digadaikan, barang gadai adalah milik orang yang berutang, sehingga pemanfaatannya menjadi milik pihak orang yang berutang, sepenuhnya. Adapun pemberi utang, maka ia hanya berhak untuk menahan barang tersebut, sebagai jaminan atas uangnya yang dipinjam sebagai utang oleh pemilik barang.
Dengan demikian, pemberi utang tidak dibenarkan untuk memanfaatkan barang gadaian, baik dengan izin pemilik barang atau tanpa seizin darinya. Bila ia memanfaatkan tanpa izin, maka itu nyata-nyata haram, dan bila ia memanfaatkan dengan izin pemilik barang, maka itu adalah riba. Karena setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba. Demikianlah hukum asal pegadaian yang menganut kaedah sama dengan utang piutang.
Namun ada gadaian yang boleh dimanfaatkan jika dikhawatirkan begitu saja ia akan rusak atau binasa. Seperti hewan yang memiliki susu dan hewan tunggangan bisa dimanfaatkan sesuai pengeluaran yang diberikan si pemberi utang dan tidak boleh lebih dari itu. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا ، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا ، وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Barang gadaian berupa hewan tunggangan boleh ditunggangi sesuai nafkah yang diberikan. Susu yang diperas dari barang gadaian berupa hewan susuan boleh diminum sesuai nafkah yang diberikan. Namun, orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan” (HR. Bukhari no. 2512).
5. Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai.
Apabila pelunasan utang telah jatuh tempo, maka orang yang berutang berkewajiban melunasi utangnya sesuai dengan  waktu yang telah disepakati dengan pemberi utang. Bila telah lunas maka barang gadaian dikembalikan kepada pemiliknya. Namun, bila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya, maka pemberi utang berhak menjual barang gadaian itu untuk membayar pelunasan utang tersebut. Apabila  ternyata ada sisanya maka sisa tersebut menjadi hak pemilik barang gadai tersebut. Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi utangnya, maka orang yang menggadaikannya tersebut masih menanggung sisa utangnya.

Referensi:
  1. Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait.
  2. Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil ‘Aziz, Syaikh Dr. ‘Abdul ‘Azhim Badawi, terbitan Dar Ibnu Rajab, cetakan ketiga, 1421 H.
  3. Tulisan Ustadz Muhammad Wasitho, MA tentang Pegadaian di Majalah Pengusaha Muslim