Apakah Wali Itu Syarat Sah Pernikahan ?
Oleh : Ahmad Zarkasih, Lc
Assalamualaikum
warohmatullah, ustadz Ahmad di rumahfiqih.
Sebenernya pertanyaan
saya singkat saja, yakni soal wali dalam pernikahan. Tentu wali perempuan
maksud saya. Pertanyaannya apakah memang wali bagi wanita itu adalah syarat sah
pernikahan yang kalau tidak ada wali, nikah tidak sah? Karena saya banyak
melihat beberapa orang muslim yang di antaranya teman juga saudara saya,
menikah tanpa wali, mereka mengatakan itu sah menurut agama.
Saya jadi bingung,
benarkah ada ulama yang mengatakan bahwa wali pernikahan itu bukan sesuatu yang
harus? Mohon penjelasannya.
Syukran. wassalam
Keberadaan wali nikah
yang menjadi syarat sahnya pernikahan memang masih berada pada willayah
perbedaan pendapat antara ulama fiqih lintas madzhab. Setidaknya ada 3 pendapat
masyhur di kalangan para ahli fiqih dalam masalah ini:
[1] Wali adalah syarat
sah sebuah pernikahan, artinya sebuah pernikahan tidak sah dalam pandangan
syariah jika tanpa wali. Ini adalah pendapat jumhur ulama; diantaranya madzhab
Syafi’i, Hanbali dan salah satu riwayat masyhur Imam Malik. [1]
[2] Wali bukanlah
syarat sah pernikahan. Pernikahan secara syariah, hukumnya sah walau tanpa
wali. Ini pendapat Imam Abu Hanifah, namun 2 sahabat beliau; Muhammaddan Abu
Yusuf memandang berbeda. [2]
[3] Dibedakan antara
perawan dan janda. Kalau perawan, wali adalah syarat sah pernikahan, akan
tetapi kalau dia janda maka wali bukanlah syarat sah pernikahan itu. Ini
pendapatnya Imam Abu Daud Al-Zohiri. [3]
Sejatinya, dalam
turots fiqih ada satu lagi pendapat dalam masalah ini, yaitu pendapat Imam
Malik dari riwayat Ibn Al-Qasim yang mengatakan bahwa seorang wanita yang
tidak Syarifah(mulia) atau dari kalangan biasa yang tidak
terpandang, boleh menikah dengan tanpa wali.
Jadi dalam pandangan Imam
Malik yang satu ini, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Rusyd, wali merupakan
syarat pelengkap saja dan bukan syarat sah pernikahan. Adanya itu baik, tapi
tidak adanya juga tidak menjadi masalah.
Dalil Jumhur
Kita mulai dari
kelompok pertama yang mensyaratkan adanya wali dalam sebuah akad pernikahan
yang sah dalam syariah. Dan ini –sebagaiaman di atas- adalah pendapat jumhur
ulama kecuali madzhab Abu Hanifah Al-Nu’man.
1. Banyak ayat-ayat
pernikahan yang secara jelas menjadikan para wali itu sebagai pemegang
kekuasaan atas terjadinya akad pernikahan itu sendiri dengan menisbatkan kata
nikah para wali.
Diantara ayat-ayat
tersebut ialah:
وَأَنْكِحُوا
الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ
“dan kawinkanlah
orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan”.(An-Nur 32)
وَلَا تَنْكِحُوا
الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ
وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
dan janganlah kamu
menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu.
dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah 221)
Perintah-perintah
untuk melangsungkan pernikahan di ayat-ayat diatas ditujukan dengan shighot
(redaksi) mudzakkar yang berarti itu untuk laki-laki (para wali). Artinya
memang pernikahan itu ada pada wali, dan seandainya wanita bisa menikahkan
didirnya sendiri, niscaya pernitah itu akan ditujukan untuk perempuan. Tapi
nyatanya tidak ada.
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ
النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ
أَزْوَاجَهُنَّ
“apabila kamu mentalak
isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya”(Al-Baqarah 232)
Makin jelas lagi di
ayat ini bahwa larangan menghalangi pernikahan itu ditujukan kepada laki (wali
perempuan), kalau saja memang perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, lalu
kenapa ada larangan untuk walinya?
2. Lebih jelas lagi
bahwa banyak hadits-hadits Nabi saw yang memang melarang wanita untuk melangsungkan
pernikahannya sendiri tanpa wali. Diantaranya:
لَا نِكَاحَ إِلَّا
بِوَلِيٍّ
Dari Abu Musa
Al-Asy’ari, Nabi saw bersabda: “Tidak sah pernikahan tanpa wali” (HR
Ahmad dan Ibnu Hibann)
Dalam riwayat lain
disebutkan:
أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ
نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا, فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ, فَإِنْ دَخَلَ بِهَا
فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا اِسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا, فَإِنِ اشْتَجَرُوا
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Dari ‘Aisyah ra, Rasul
saw bersabda: “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka
pernikahannnya adalah batal (3 kali), jika si laki-laki itu telah menggaulinya,
maka baginya mahar atas itu. Dan jika para wali itu berselisih, maka Hakim
ialah wali bagi yang tidak mempunyai wali” (HR.Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Ini dikuatkan dengan
riwayat dari Abu Hurairoh:
لَا تُزَوِّجُ
اَلْمَرْأَةُ اَلْمَرْأَةَ, وَلَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ نَفْسَهَا
Dari Abu Hurairah ra,
Rasul saw bersabda: “Wanita tidak menikahkah wanita yang lain dan tidak
bisa ia menikahkan dirinya sendiri” (HR. Ibnu Majah dan Al-Daro
Quthni)
Dan kata nikah dalam
ayat maupun hadits itu semua berarti akad nikah itu sendiri sebagaimana
dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’.
Masih dalam kitabnya,
Imam Nawawi menambahkan pernyataan Imam Ibnu Al-Mudzir bahwa pernikahan dalam
Islam haruslah dengan wali, dan tanpanya pernikahan itu batal. Dan ini ialah
pendapat yang tidak ada satupun dari sahabat Nabi yang menyelisihnya.[4]
Dalil Madzhab Hanafi
Sedangkan kelompok
kedua, yaitu pendapatnya Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa pernikahan
tidak disyaratkan adanya wali, berargumen dengan beberapa dalil:
1. Ayat al-Quran
Banyak ayat Al-Quran
yang justru memberika kekuasaan penuh untuk wanita melangsungkan pernikahannya
sendiri tanpa wali. Diantaranya:
فَإِنْ طَلَّقَهَا
فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“kemudian jika si
suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi
halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain…” (Al-Baqarah 230)
Dalam ayat ini Allah
mengembalikan perkara nikah kepada wanita itu sendiri, ini berarti ialah
legalitas syariah kepada wanita untuk melangsungkan pernikahannya sendiri tanpa
wali.
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ
النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ
أَزْوَاجَهُنَّ
“apabila kamu mentalak
isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya”(Al-Baqarah 232)
Dalam ayat ini ada 2
poin; pertama pernikahan justru dinisbatkan kepada wanita, yang berrati tidak
perlu ada wali untuk menikah. Kedua bahwa larangan menghalangi itu ditujukan
–bisa jadi- untuk para mantan suami agar tidak menghalangi mantan istrinya menikah
dengan siapa saja yang ia mau jika sudah selesai masa iddahnya.
Dan bisa jadi untuk
para wali perempuan itu untuk tidak menghalangi mereka menikah jika memang
mereka sudah sepakat dengan para calon-calon suami mereka. Bukan berarti
larangan untuk melakukan akad pernikahan.[5]
فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“kemudian apabila
telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka (menerima pinangan / menikah) menurut yang patut”
(Al-Baqarah 234)
Walaupun
mempunyai Ihtimal, ayat ini tetap dijadikan argument bahwa
wanita memang diberikan kekuasaan untuk melangsungkan pernikahannya sendiri
tanpa wali.
2. Hadits Nabi s.a.w.
Setelah berdalil
dengan ayat Quran, kelompok ini kemudian menguatkan pendapatnya dengan
dalil-dali dari hadits Nabi Muhammad saw. Diantaranya:
الْأَيِّمُ أَحَقُّ
بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا
صُمَاتُهَا
Dari Ibnu Abbas ra,
Nabi saw bersabda: “Wanita yang tidak bersuami lebih berhak atas
dirinya ketimbang walinya. Dan wanita perawan dimintai izi atas dirinya, dan
diamnya ialah perizinannya” (HR Muslim)
Dalam hadits ini jelas
nyata bahwa wanita manapun bisa melangsungkan pernikahannya tanpa adanya wali.
Walaupun tetap dalam madzhab ini, meski wali bukanlah syarat sah, akan tetapi
akad nikah seorang wanita dengan wali itu sebuah hal yang disukai ( mustahabb).[6]
Perlu diketahui
sebelumnya bahwa dalam ushul madzhab Imam Abu Hanifah ada klualfikasi khusus
yang tidak ada dalam madzhab-madzhab lainnya dalam menerima sebuah hadits untuk
dijadikan dalil hukum.
Salah satunya ialah:
tidak bolehnya perawi hadits menyelisihi apa yang diriwayatkannya. Berbeda
dengan Jumhur yang tetap mengambil riwayatnya sebagai dalil hukum tanpa melihat
perbuatan si perawi yang menyelisihi riwayatnya sendiri. Dan hadits ‘Aisyah
yang mengandung kebatilah dan ketidak absahan sebuah pernikahan yang tidak ada
wali di dalamnya itu ada kejanggalan.
Kejanggalannya karena
ada riwayat yang menyatakan bahwa ‘Aisyah pernah menikahkan anak perempuan
saudara kandungnya; Abdul-Rahman. Akan tetapi ketika itu Abdul-Rahman dengan
dalam perjalanan di negeri Syam.[7]
Dan dalam madzhab ini
juga, penambahan ketetapan hukum atas ketetapan hukum yang sudah terlebih
dahulu muncul itu menyebabkan perubahan, dan bukan penambahan atau keterangan.
Dan menurut pandangan
madzhab ini, dalil kebolehan wanita menikah dengan tanpa wali yang ada dalam
Al-Quran itu ialah Qoth’i. dan semua dalil hadits yang
disampaikan oleh kelompok pertama itu sifatnya Dzonni karena tidak
disampaikan secara Mutawatir (jalur sanad yang masiv) , akan
tetapi jalur Ahaad, yaitu satu jalur sanad saja.
Maka tidak bisa dalil
yang Dzonni itu merubah ketetapan hukum yang sudah ada
sebelumnya dalam Al-Quran, dan itu sifatnya qoth’i. sudah
jelas dalam kaidah ushul bahwa qoth’I jauh lebih kuat
dibanding Dzonni.
3. Dalil ‘Aqli.
Setelah menguraikan
dalilnya dari Al-Quran dan sunnah, madzhab ini kemudian mulai berargumen dengan
dalil akal. Bahwa pernikahan adalah praktek pengambilan manfaat yang di dalamnya
terdapat maslahat agama dan dunia, sama seperti jual beli.
Salah satu syarat
sahnya praktek jual beli ialah masing-masing pelaku transaksi itu berakal dan
bukan termasuk orang yang tidak mampu mengelola keuangan dengan baik, seperti
anak kecil atau juga orang gila. Begitu juga dalam pernikahan. Maka itu dalam
madzhab kami, wanita kecil yang menikah wajib dengan wali, karena ia belum
cukup berakal untuk melakukan itu. Berbeda dengan wanita yang dewasa, dan sudah
cerdas menentukan pilihannya. Tidak perlu lagi ia kepada perwalian ke ayahnya
atau juga yang lain. Karena ia sudah cukup cerdas untuk melakukan itu.
Maka ketika si wanita
sudah cukup cerdas dan dewasa untuk menangani masalah itu semua, dia sudah
tidka perlu lagi tuntunan walinya. Karena itu tidak disyaratkan menikah dengan
wali, karena memang perwalian dibutuhkan jika memang yang diwalikan tidak mampu
melakukan hal terssebut. Maka ketika yang diwlalikan sudah mampu, secara
otomatis perwalian itu pindah ke dirinya sendiri dari yang sebelumnya berada di
walinya. [8]
Dalil Imam Abu Daud
Al-Zohiri
Sedangkan Imam Abu
Daud Al-Zohiri yang biasa disebut dengan Abu Sulaiman oleh Imam Ibnu Hazm dalam
kitab Al-Muhalla, beliau berdalil dengan redaksi zahir teks hadits:
اَلثَّيِّبُ أَحَقُّ
بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا , وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ , وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا
Dari Ibnu Abbas ra,
Nabi saw bersabda: “Wanita yang tidak bersuami lebih berhak atas
dirinya ketimbang walinya. Dan wanita perawan dimintai izi atas dirinya, dan
diamnya ialah perizinannya” (HR Muslim)
Pilih Pendapat Yang
Mana?
Memang tidak ada
ketentuan dan keharusan dalam syariah ini untuk kita mengikuti satu pendapat
atau satu madzhab tertentu. Apalagi dalam masalah khilafiyah seperti ini, kita
dibolehkan mengambil yang satu dan meninggalkan yang lain sesuai dengan
keyakinan kita, apakah itu yang lebih mudah, atau pendapat yang lebih hati-hati
dan terkesan sulit. Tentu itu juga dengan bimbingan seorang guru.
Dalam masalah ini
memang pendapat Imam Abu Hanifah terkesan pendapat yang ringan bahkan
memudahkan untuk tidak kita katakan menggampangkan. Karena memang tidak
mengharuskan wali bagi siapa saja yang ingin menikah. Berbeda dengan pendapat
Jumhur yang mensyaratkan wali nikah sebagai rukun yang tidak boleh
ditinggalkan.
Dan memang inilah yang
sering dijadikan tameng oleh beberapa kalangan untuk melangsungkan pernikahan
dengan tanpa wali si wanita. Mereka berdalih bahwa ada pendapat madzhab fiqih
yang membolehkan itu. Terkesan menggampangkan syariah walaupun tidak salah
juga.
Akan tetapi jauh lebih
baik jika masalah ini dikembalikan kepada kerifan budaya setempat. Di Indonesia
khususnya, masayarakat kita tidak akan bisa menerima jika ada seorang gadis
menikah tanpa ada wali, atau bahkan kawin lari. Jadi ada baiknya dan bisa jadi
ini yang harus dilakukan di Indonesia, yakni menikah dengan aturan yang memang
sudah baku agar tidak terjadi gesekan-gesekan yang tidak diinginkan nantinya.
[1] Bidayatul-Mujtahid 376, Al-Majmu’
16/146, Al-Mughni 7/337
[2] Bada’i Al-Shona’i 2/247
[3] Al-Muhalla 9/455
[4] Al-Majmu’ 16/150
[5] Bada’i Al-Shona’i 2/248
[6] Bada’i Al-Shona’i 2/247
[7] Al-Muhalla 9/452
[8] Bada’i Al-Shona’i 2/248
Wallahu a'lam
bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Zarkasih, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar