Tulisan Berjalan

SUKSES KOMUNITAS MAJU JOS, AKHIRNYA BIMBINGAN DIGITAL MARKETING SECARA GRATIS TANPA BATAS TELAH MEMBERI MANFAAT BESAR

Sabtu, 29 Juli 2017

Alhamdulillah Sy naik kls 4

Apakah Wali Itu Syarat Sah Pernikahan  ?
Oleh : Ahmad Zarkasih, Lc
Assalamualaikum warohmatullah, ustadz Ahmad di rumahfiqih.
Sebenernya pertanyaan saya singkat saja, yakni soal wali dalam pernikahan. Tentu wali perempuan maksud saya. Pertanyaannya apakah memang wali bagi wanita itu adalah syarat sah pernikahan yang kalau tidak ada wali, nikah tidak sah? Karena saya banyak melihat beberapa orang muslim yang di antaranya teman juga saudara saya, menikah tanpa wali, mereka mengatakan itu sah menurut agama.
Saya jadi bingung, benarkah ada ulama yang mengatakan bahwa wali pernikahan itu bukan sesuatu yang harus? Mohon penjelasannya.
Syukran. wassalam
Keberadaan wali nikah yang menjadi syarat sahnya pernikahan memang masih berada pada willayah perbedaan pendapat antara ulama fiqih lintas madzhab. Setidaknya ada 3 pendapat masyhur di kalangan para ahli fiqih dalam masalah ini:
[1] Wali adalah syarat sah sebuah pernikahan, artinya sebuah pernikahan tidak sah dalam pandangan syariah jika tanpa wali. Ini adalah pendapat jumhur ulama; diantaranya madzhab Syafi’i, Hanbali dan salah satu riwayat masyhur Imam Malik. [1]
[2] Wali bukanlah syarat sah pernikahan. Pernikahan secara syariah, hukumnya sah walau tanpa wali. Ini pendapat Imam Abu Hanifah, namun 2 sahabat beliau; Muhammaddan Abu Yusuf memandang berbeda. [2]
[3] Dibedakan antara perawan dan janda. Kalau perawan, wali adalah syarat sah pernikahan, akan tetapi kalau dia janda maka wali bukanlah syarat sah pernikahan itu. Ini pendapatnya Imam Abu Daud Al-Zohiri. [3]
Sejatinya, dalam turots fiqih ada satu lagi pendapat dalam masalah ini, yaitu pendapat Imam Malik dari riwayat Ibn Al-Qasim yang mengatakan bahwa seorang wanita yang tidak Syarifah(mulia) atau dari kalangan biasa yang tidak terpandang, boleh menikah dengan tanpa wali.
Jadi dalam pandangan Imam Malik yang satu ini, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Rusyd, wali merupakan syarat pelengkap saja dan bukan syarat sah pernikahan. Adanya itu baik, tapi tidak adanya juga tidak menjadi masalah.
Dalil Jumhur
Kita mulai dari kelompok pertama yang mensyaratkan adanya wali dalam sebuah akad pernikahan yang sah dalam syariah. Dan ini –sebagaiaman di atas- adalah pendapat jumhur ulama kecuali madzhab Abu Hanifah Al-Nu’man.
1. Banyak ayat-ayat pernikahan yang secara jelas menjadikan para wali itu sebagai pemegang kekuasaan atas terjadinya akad pernikahan itu sendiri dengan menisbatkan kata nikah para wali.
Diantara ayat-ayat tersebut ialah:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ
“dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan”.(An-Nur 32)
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. (Al-Baqarah 221)
Perintah-perintah untuk melangsungkan pernikahan di ayat-ayat diatas ditujukan dengan shighot (redaksi) mudzakkar yang berarti itu untuk laki-laki (para wali). Artinya memang pernikahan itu ada pada wali, dan seandainya wanita bisa menikahkan didirnya sendiri, niscaya pernitah itu akan ditujukan untuk perempuan. Tapi nyatanya tidak ada.
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ
“apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya”(Al-Baqarah 232)
Makin jelas lagi di ayat ini bahwa larangan menghalangi pernikahan itu ditujukan kepada laki (wali perempuan), kalau saja memang perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, lalu kenapa ada larangan untuk walinya?
2. Lebih jelas lagi bahwa banyak hadits-hadits Nabi saw yang memang melarang wanita untuk melangsungkan pernikahannya sendiri tanpa wali. Diantaranya:
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Dari Abu Musa Al-Asy’ari, Nabi saw bersabda: “Tidak sah pernikahan tanpa wali” (HR Ahmad dan Ibnu Hibann)
Dalam riwayat lain disebutkan:
أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا, فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ, فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا اِسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا, فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Dari ‘Aisyah ra, Rasul saw bersabda: “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannnya adalah batal (3 kali), jika si laki-laki itu telah menggaulinya, maka baginya mahar atas itu. Dan jika para wali itu berselisih, maka Hakim ialah wali bagi yang tidak mempunyai wali” (HR.Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Ini dikuatkan dengan riwayat dari Abu Hurairoh:
لَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ اَلْمَرْأَةَ, وَلَا تُزَوِّجُ اَلْمَرْأَةُ نَفْسَهَا
Dari Abu Hurairah ra, Rasul saw bersabda: “Wanita tidak menikahkah wanita yang lain dan tidak bisa ia menikahkan dirinya sendiri” (HR. Ibnu Majah dan Al-Daro Quthni)
Dan kata nikah dalam ayat maupun hadits itu semua berarti akad nikah itu sendiri sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’.
Masih dalam kitabnya, Imam Nawawi menambahkan pernyataan Imam Ibnu Al-Mudzir bahwa pernikahan dalam Islam haruslah dengan wali, dan tanpanya pernikahan itu batal. Dan ini ialah pendapat yang tidak ada satupun dari sahabat Nabi yang menyelisihnya.[4]
Dalil Madzhab Hanafi
Sedangkan kelompok kedua, yaitu pendapatnya Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa pernikahan tidak disyaratkan adanya wali, berargumen dengan beberapa dalil:
1. Ayat al-Quran
Banyak ayat Al-Quran yang justru memberika kekuasaan penuh untuk wanita melangsungkan pernikahannya sendiri tanpa wali. Diantaranya:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
“kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain…” (Al-Baqarah 230)
Dalam ayat ini Allah mengembalikan perkara nikah kepada wanita itu sendiri, ini berarti ialah legalitas syariah kepada wanita untuk melangsungkan pernikahannya sendiri tanpa wali.
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ
“apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya”(Al-Baqarah 232)
Dalam ayat ini ada 2 poin; pertama pernikahan justru dinisbatkan kepada wanita, yang berrati tidak perlu ada wali untuk menikah. Kedua bahwa larangan menghalangi itu ditujukan –bisa jadi- untuk para mantan suami agar tidak menghalangi mantan istrinya menikah dengan siapa saja yang ia mau jika sudah selesai masa iddahnya.
Dan bisa jadi untuk para wali perempuan itu untuk tidak menghalangi mereka menikah jika memang mereka sudah sepakat dengan para calon-calon suami mereka. Bukan berarti larangan untuk melakukan akad pernikahan.[5]
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka (menerima pinangan / menikah) menurut yang patut” (Al-Baqarah 234)
Walaupun mempunyai Ihtimal, ayat ini tetap dijadikan argument bahwa wanita memang diberikan kekuasaan untuk melangsungkan pernikahannya sendiri tanpa wali.
2. Hadits Nabi s.a.w.
Setelah berdalil dengan ayat Quran, kelompok ini kemudian menguatkan pendapatnya dengan dalil-dali dari hadits Nabi Muhammad saw. Diantaranya:
الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا
Dari Ibnu Abbas ra, Nabi saw bersabda: “Wanita yang tidak bersuami lebih berhak atas dirinya ketimbang walinya. Dan wanita perawan dimintai izi atas dirinya, dan diamnya ialah perizinannya” (HR Muslim)
Dalam hadits ini jelas nyata bahwa wanita manapun bisa melangsungkan pernikahannya tanpa adanya wali. Walaupun tetap dalam madzhab ini, meski wali bukanlah syarat sah, akan tetapi akad nikah seorang wanita dengan wali itu sebuah hal yang disukai ( mustahabb).[6]
Perlu diketahui sebelumnya bahwa dalam ushul madzhab Imam Abu Hanifah ada klualfikasi khusus yang tidak ada dalam madzhab-madzhab lainnya dalam menerima sebuah hadits untuk dijadikan dalil hukum.
Salah satunya ialah: tidak bolehnya perawi hadits menyelisihi apa yang diriwayatkannya. Berbeda dengan Jumhur yang tetap mengambil riwayatnya sebagai dalil hukum tanpa melihat perbuatan si perawi yang menyelisihi riwayatnya sendiri. Dan hadits ‘Aisyah yang mengandung kebatilah dan ketidak absahan sebuah pernikahan yang tidak ada wali di dalamnya itu ada kejanggalan.
Kejanggalannya karena ada riwayat yang menyatakan bahwa ‘Aisyah pernah menikahkan anak perempuan saudara kandungnya; Abdul-Rahman. Akan tetapi ketika itu Abdul-Rahman dengan dalam perjalanan di negeri Syam.[7]
Dan dalam madzhab ini juga, penambahan ketetapan hukum atas ketetapan hukum yang sudah terlebih dahulu muncul itu menyebabkan perubahan, dan bukan penambahan atau keterangan.
Dan menurut pandangan madzhab ini, dalil kebolehan wanita menikah dengan tanpa wali yang ada dalam Al-Quran itu ialah Qoth’i. dan semua dalil hadits yang disampaikan oleh kelompok pertama itu sifatnya Dzonni karena tidak disampaikan secara Mutawatir (jalur sanad yang masiv) akan tetapi jalur Ahaad, yaitu satu jalur sanad saja.
Maka tidak bisa dalil yang Dzonni itu merubah ketetapan hukum yang sudah ada sebelumnya dalam Al-Quran, dan itu sifatnya qoth’i. sudah jelas dalam kaidah ushul bahwa qoth’I jauh lebih kuat dibanding Dzonni.
3. Dalil ‘Aqli.
Setelah menguraikan dalilnya dari Al-Quran dan sunnah, madzhab ini kemudian mulai berargumen dengan dalil akal. Bahwa pernikahan adalah praktek pengambilan manfaat yang di dalamnya terdapat maslahat agama dan dunia, sama seperti jual beli.
Salah satu syarat sahnya praktek jual beli ialah masing-masing pelaku transaksi itu berakal dan bukan termasuk orang yang tidak mampu mengelola keuangan dengan baik, seperti anak kecil atau juga orang gila. Begitu juga dalam pernikahan. Maka itu dalam madzhab kami, wanita kecil yang menikah wajib dengan wali, karena ia belum cukup berakal untuk melakukan itu. Berbeda dengan wanita yang dewasa, dan sudah cerdas menentukan pilihannya. Tidak perlu lagi ia kepada perwalian ke ayahnya atau juga yang lain. Karena ia sudah cukup cerdas untuk melakukan itu.
Maka ketika si wanita sudah cukup cerdas dan dewasa untuk menangani masalah itu semua, dia sudah tidka perlu lagi tuntunan walinya. Karena itu tidak disyaratkan menikah dengan wali, karena memang perwalian dibutuhkan jika memang yang diwalikan tidak mampu melakukan hal terssebut. Maka ketika yang diwlalikan sudah mampu, secara otomatis perwalian itu pindah ke dirinya sendiri dari yang sebelumnya berada di walinya. [8]
Dalil Imam Abu Daud Al-Zohiri
Sedangkan Imam Abu Daud Al-Zohiri yang biasa disebut dengan Abu Sulaiman oleh Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla, beliau berdalil dengan redaksi zahir teks hadits:
اَلثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا , وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ , وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا
Dari Ibnu Abbas ra, Nabi saw bersabda: “Wanita yang tidak bersuami lebih berhak atas dirinya ketimbang walinya. Dan wanita perawan dimintai izi atas dirinya, dan diamnya ialah perizinannya” (HR Muslim)
Pilih Pendapat Yang Mana?
Memang tidak ada ketentuan dan keharusan dalam syariah ini untuk kita mengikuti satu pendapat atau satu madzhab tertentu. Apalagi dalam masalah khilafiyah seperti ini, kita dibolehkan mengambil yang satu dan meninggalkan yang lain sesuai dengan keyakinan kita, apakah itu yang lebih mudah, atau pendapat yang lebih hati-hati dan terkesan sulit. Tentu itu juga dengan bimbingan seorang guru.
Dalam masalah ini memang pendapat Imam Abu Hanifah terkesan pendapat yang ringan bahkan memudahkan untuk tidak kita katakan menggampangkan. Karena memang tidak mengharuskan wali bagi siapa saja yang ingin menikah. Berbeda dengan pendapat Jumhur yang mensyaratkan wali nikah sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan.
Dan memang inilah yang sering dijadikan tameng oleh beberapa kalangan untuk melangsungkan pernikahan dengan tanpa wali si wanita. Mereka berdalih bahwa ada pendapat madzhab fiqih yang membolehkan itu. Terkesan menggampangkan syariah walaupun tidak salah juga.
Akan tetapi jauh lebih baik jika masalah ini dikembalikan kepada kerifan budaya setempat. Di Indonesia khususnya, masayarakat kita tidak akan bisa menerima jika ada seorang gadis menikah tanpa ada wali, atau bahkan kawin lari. Jadi ada baiknya dan bisa jadi ini yang harus dilakukan di Indonesia, yakni menikah dengan aturan yang memang sudah baku agar tidak terjadi gesekan-gesekan yang tidak diinginkan nantinya.



[1] Bidayatul-Mujtahid 376, Al-Majmu’ 16/146, Al-Mughni 7/337
[2] Bada’i Al-Shona’i 2/247
[3] Al-Muhalla 9/455
[4] Al-Majmu’ 16/150
[5] Bada’i Al-Shona’i 2/248
[6] Bada’i Al-Shona’i 2/247
[7] Al-Muhalla 9/452
[8] Bada’i Al-Shona’i 2/248
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Zarkasih, Lc



Tidak ada komentar: