Yang dimaksud “syirik” di sini adalah menyekutukan dan atau menyerupakan Allah SWT dengan makhluk, baik dalam sifat dan hal-ihwalnya. Jadi bukan syirik yang berkonotasi ‘iri’ sebagaimana yang dipahami masyarakat umum. Demikian, agar yang masih awam tidak bingung dalam membaca artikel di bawah ini). Selamat membaca….
Oleh: Wild West Wahabi
Adalah suatu kaum yang suka memutar-mutar lidahnya dan bodoh tingkah lakunya. Mereka berbicara dengan sabda Nabi SAW dan membaca Al-Qur’an, tetapi tidak sampai melewati kerongkongannya dan tidak sampai mengobatinya. Diantara mereka pernah berkata: “SESUNGGUHNYA TONGKATKU INI LEBIH BERGUNA DARIPADA MUHAMMAD, KARENA TONGKATKU INI BISA AKU PAKAI UNTUK MEMUKUL ULAR, SEDANG MUHAMMAD SETELAH MATI TIDAK ADA SEDIKITPUN KEMANFA’ATAN YANG TERSISA DARINYA, KARENA DIA (RASULULLAH S A W) ADALAH SEORANG THORISY (kurir atau tukang pos) DAN SEKARANG SUDAH BERLALU”.
Mereka pelopor pembuat bid’ah dengan merubah negeri Rasulullah SAW menjadi kerajaan dan menamakannya dengan nama keluarga mereka sendiri. Mereka tidak lain adalah sumber fitnah di tengah Muslimin yang menimbulkan perselisihan dan perpecahan. Mereka berasal dari Najed dan memerintahkan pengikutnya mencukur habis rambutnya (plontos). Mereka adalah sejelek-jelek makhluk.
Mereka sangat keras kepada kaum Muslimin tetapi berkasih sayang dan bekerja sama dengan musuh Islam. Dengan petro-dolarnya mereka menyombongkan diri di hadapan kaum Muslimin tetapi tunduk patuh dihadapan musuh Islam. Mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya, yang tidak akan kembali seperti tidak kembalinya anak panah ketempatnya. Dan mereka gemar membunuh pemeluk Islam dan mengundang berhala-berhala (Amerika, Inggris dan kaum Zionis).
Mereka menetapkan bahwa Allah mempunyai jari, dan mereka juga menetapkan bahwa di antara jari-jari-Nya itu terdapat jari kelingking, serta jari kelingking-Nya mempunyai sendi. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Khuzaimah di dalam kitab at-Tauhid. Mereka juga mengatakan Allah SWT mempunyai dua tangan dengan ukuran tujuh puluh dua hasta dan dada. Mereka tidak hanya cukup sampai di sini, mereka juga menjadikan Allah mempunyai kaki. Bahkan mereka melangkah lebih jauh lagi. Mereka juga menetapkan bahwa Allah SWT mempunyai nafas.
Apa yang masih tersisa, terutama setelah mereka menetapkan Allah SWT mempunyai wajah? Bagaimana dengan suara-Nya?! Mereka telah menetapkannya dan bahkan menyerupakannya dengan suara besi yang bising. Kemudian, mereka menetapkan bahwa Allah SWT mempunyai bobot dan ukuran. Oleh karena itu, terdengar suara derit kursi ketika Allah sedang mendudukinya dan hanya tersisa seukuran empat jari. Jika Allah tidak mempunyai bobot, lantas apa arti dari suara derit? Maka lengkaplah bentuk yang jelek ini.
Dengan demikian, Allah SWT menjadi seorang manusia, yang mempunyai sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia. Inilah yang tampak dari mereka, meskipun mereka mengingkarinya. Bahkan, mereka mengatakan lebih dari itu. Mereka menetapkan Nabi Adam diciptakan berdasarkan wajah Allah, setinggi tujuh puluh hasta. Mereka juga menetapkan bahwa Allah SWT dapat dilihat. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah. Manakala sebagian dari mereka melihat buruknya apa yang telah mereka buat, mereka berusaha memberikan pembenaran terhadap hal itu, dan memberikan alasan dengan mengatakan: Tanpa bentuk (bi la kaif).
Sungguh benar apa yang dikatakan seorang penyair, “Mereka telah menyerupakan-Nya dengan makhluk-Nya namun mereka takut akan kecaman manusia maka oleh karena itu mereka pun menyembunyikannya dengan mengatakan ‘tanpa bentuk’.” Bagi setiap orang yang berakal sehat, pembenaran ini sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Karena ketidak-tahuan akan bentuk tidak memberikan faedah sedikit pun, dan tidak mendorong kepada arti yang benar. Justru dia lebih dekat kepada kesamaran (syubhat). Karena, penetapan kata-kata ini kepada makna hakikinya adalah berarti penetapan bentuk itu sendiri bagi kata-kata tersebut. Karena kata-kata berdiri dengan bentuknya itu sendiri, dan penetapan sifat-sifat ini ke dalam artinya sebagaimana yang sudah dikenal adalah berarti tajsim dan tasybih itu sendiri.
Adapun alasan yang mereka kemukakan, bahwa itu tanpa bentuk (kaif), tidak lebih hanya merupakan silat lidah saja. Syeikh Mu’tashim, seorang ulama dari Sudan, ketika masih kuliah pernah berdiskusi dengan salah seorang dosen beliau di kampus tentang seputar masalah duduknya Allah di atas ‘Arsy. Ketika dosen tersebut terdesak dia mengemukakan alasan, “Kami hanya akan mengatakan apa yang telah dikatakan oleh kalangan salaf.
Arti duduk (al-istiwa) diketahui, bentuk duduk (al-kaif) tidak diketahui, dan pertanyaan tentang-nya adalah bid’ah’ “. Syeikh Mu’tashim mengatatakan kepadanya, “Anda tidak menambahkan apa-apa kecuali kesamaran (syubhat), dan Anda hanya menafsirkan air dengan air setelah semua usaha ini.” Dia berkata, “Bagaimana mungkin, padahal diskusi demikian serius.” Syeikh Mu’tashim berkata, “Jika arti duduk diketahui, maka tentu bentuknya pun diketahui juga. Sebaliknya, jika bentuk tidak diketahui, maka duduk pun tidak diketahui, karena tidak terpisah darinya. Pengetahuan tentang “duduk” adalah pengetahuan tentang “bentuk” itu sendiri, dan akal tidak akan memisahkan antara sifat sesuatu dengan bentuknya, karena keduanya adalah satu.
Jika Anda mengatakan si Fulan duduk, maka ilmu Anda tentang duduknya adalah ilmu Anda tentang bentuk (kaifiyyah) duduknya. Ketika Anda mengatakan, “duduk” diketahui, maka ilmu anda tentang duduk itu adalah ilmu Anda tentang bentuk duduk itu sendiri. Karena jika tidak, maka tentu terdapat pertentangan di dalam perkataan Anda, yang mana pertentangan itu bersifat zat. Ini tidak ada bedanya dengan pernyataan bahwa Anda mengetahui “duduk”, namun pada saat yang sama Anda mengatakan bahwa Anda tidak mengetahui bentuknya.”
Dia pun terdiam beberapa saat, lalu dengan tergesa-gesa dia meminta ijin untuk pergi. Semua yang dikatakan mereka tentang tidak adanya kaif (bentuk), namun dengan tetap menerapkan arti hakiki pada kata-kata di atas, tidak lain merupakan dua hal yang saling bertentangan (kontradiksi). Sebagaimana mereka mengatakan bahwa Allah SWT mempunyai tangan dalam arti yang sesungguhnya, namun tangan-Nya tidak sebagaimana tangan, adalah sebuah perkataan yang mana bagian akhirnya menyalahi bagian awalnya, dan begitu juga sebaliknya. Karena tangan dalam arti yang sesungguhnya (hakiki), mempunyai bentuk sebagaimana yang telah diketahui (bukan kaki misalnya).
Dan, penafian bentuk darinya adalah berarti membuang hakikatnya. Jika kata-kata yang kosong ini cukup untuk menetapkan kesucian Allah SWT, maka tentunya kita dapat mengatakan, Allah SWT mempunyai jisim namun tanpa bentuk, Allah mempunyai darah namun tanpa bentuk, Allah mempunyai daging namun tanpa bentuk, dan Allah mempunyai rambut namun tanpa bentuk. Bahkan, salah seorang dari mereka sampai mengatakan, “Sesungguhnya saya malu untuk menetapkan Allah mempunyai kemaluan dan janggut. Oleh karena itu, maafkanlah saya, dan tanyalah kepada saya selain dari keduanya.”
Juga perlu diingat, jangan sampai dari keterangan ini Anda memahami bahwa kita mempercayai takwil di dalam ayat-ayat yang seperti ini. Karena pentakwilan makna zahir Al-Qur’an dan sunnah dengan alasan bahwa makna tersebut bertentangan dengan akal, tidaklah dibolehkan. Karena di dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak ada sesuatu yang bertentangan dengan akal. Adapun apa yang terbersit bahwa makna zahir Al-Qur’an dan hadis bertentangan dengan akal, sebenarnya itu bukanlah makna zahir, melainkan sebuah makna yang mereka bayangkan sebagai makna zahir.
Berkenaan dengan ayat-ayat yang seperti ini, tidak diperlukan adanya takwil. Karena bahasa, di dalam penunjukkan maknanya, terbagi kepada dua bagian: 1. Penunjukkan makna ifradi. 2. Penunjukkan makna tarkibi. Terkadang, makna ifradi berbeda dari makna tarkibi, jika di sana terdapat petunjuk (qarinah) yang memalingkan makna tarkibi dari makna ifradi. Sebaliknya, makna tarkibi akan sejalan dengan makna ifradi apabila tidak terdapat qarinah (petunjuk) yang memalingkannya dari makna ifradi.
Sebagai contoh, tatkala kita menyebutkan kata “singa” —yaitu berupa kata tunggal— maka dengan serta merta terbayang di dalam benak kita binatang buas yang hidup di hutan. Makna yang sama pun akan hadir di dalam benak kita manakala kata tersebut disebutkan dalam bentuk susunan kata (tarkibi) yang tidak mengandung petunjuk (qarinah) yang memalingkannya dari makna ifradi. Seperti kalimat yang berbunyi, “Saya melihat seekor singa tengah memakan mangsanya di hutan.” Sebaliknya, makna kata singa akan berubah sama sekali apabila di dalam susunan kata (kalimat) kita mengatakan, “Saya melihat singa tengah menyetir mobil.” Maka yang dimaksud dari kata singa yang ada di dalam kalimat ini adalah seorang laki-laki pemberani.
Inilah kebiasaan orang Arab di dalam memahami perkataan. Manakala seorang penyair berkata, “Dia menjadi singa atas saya, namun di medan perang dia tidak lebih hanya seekor burung onta yang lari karena suara terompet perang yang dibunyikan.” Dari syair ini kita dapat mengetahui bahwa kata singa di atas tidak lain adalah seorang laki-laki yang berpura-pura berani di hadapan orang-orang yang lemah, namun kemudian lari sebagai seorang pengecut tatkala berhadapan dengan musuh. Orang yang mengerti perkataan ini, tidak mungkin akan menamakannya sebagai orang yang mentakwil nash dengan sesuatu yang keluar dari makna zahir perkataan.
Demikian juga halnya dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang seperti ini. Ketika —misalnya— Allah SWT mengatakan, “Tangan Allah di atas tangan mereka “, maka pengertian tangan di sini sebagai kekuasaan bukanlah suatu bentuk takwil. Hal ini tidak berbeda dengan perkataan yang berbunyi, “Negeri berada di dalam genggaman tangan raja”. Yaitu artinya berada di bawah kekuasaan dan kehendak raja. Kata-kata ini tetap sesuai diucapkan meskipun pada kenyataannya raja tersebut buntung tangannya.
Demikian juga halnya dengan ayat-ayat lainnya. Kita menetapkan makna tarkibi, yang tampak dari sela-sela konteks kalimat, dan kita tidak terpaku dengan makna kata secara leksikal, dengan tanpa melakukan takwil atau tahrif. Itulah yang disebut dengan beramal dengan zahir nash. Namun tentunya, zahir yang tampak dari konteks kalimat. Kaum yang berasal dari Najed, mereka menyesatkan manusia dengan makna zahir fardiyyah, dengan tanpa melihat kepada makna keseluruhan (ijmali tarkibi).
Dengan cara inilah makna zahir Al-Qur’an dan sunah menjadi hujjah, yang tidak seorang pun manusia diperbolehkan berpaling darinya, dan juga mentakwilkannya, setelah sebelumnya memperhatikan dengan seksama qarinah-qarinah (petunjuk-petunjuk) yang menyatu maupun yang terpisah. Adapun orang yang berhujjah dengan makna zahir fardiyyah maka dia telah lalai dan menyimpang dari perkataan orang Arab. Telah berlangsung sebuah diskusi di antara saudaranya Syeikh Mu’tashim dengan salah seorang tokoh mereka. Diskusi mereka mengenai seputar sifat-sifat Allah. Saudaranya Syeikh Mu’tashim mensucikan Allah dari sifat-sifat yang seperti di atas, dan dengan berbagai jalan berusaha membuktikan keburukan keyakinan-keyakinan tersebut.
Namun, semuanya itu tidak mendatangkan manfaat, hingga akhirnya saudaranya Syeikh Mu’tashim mengajukan sebuah pertanyaan kepadanya, “Jika memang Allah SWT mempunyai sifat-sifat ini, yaitu Dia mempunyai wajah, mempunyai dua tangan, dua kaki, dua mata, dan sifat-sifat lainnya yang mereka alamatkan kepada Tuhan mereka, apakah tidak mungkin kemudian seorang manusia membayangkan dan mengkhayalkan-Nya? Dan dia pasti akan membayangkan-Nya. Karena jiwa manusia tercipta sedemikian rupa, sehingga dia akan membayangkan sesuatu yang telah diberi sifat-sifat yang seperti ini.” Jawaban yang diberikan oleh tokoh mereka tersebut benar-benar menjelaskan keyakinannya tentang tajsim. Dia berkata, “Ya, seseorang dapat membayangkan-Nya, namun dia tidak diperkenankan memberitahukannya.!!” Saudaranya Syeikh Mu’tashim berkata, “Sesungguhnya Allah yang Mahabenar, Dia tidak dapat diliputi oleh akal, tidak dapat digapai oleh penglihatan, tidak dapat ditanya di mana dan bagaimana, serta tidak dapat dikatakan kepada-Nya kenapa dan bagaimana. Karena Dialah yang telah menciptakan di mana dan bagaimana. Segala sesuatu yang dapat Anda bayangkan adalah makhluk.
Kami telah belajar bahwa, “Segala sesuatu yang kamu bayangkan, meski pun dalam bentuk yang paling rumit, dia itu makhluk seperti kamu.’ Keseluruhan pengenalan Allah ialah ketidak-mampuan mengenal-Nya.” Tokoh mereka itu berkata dengan penuh emosi, “Kami menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya, dan itu cukup.” Saudara dari Syeikh Mu’tashim berkata kepadanya, “Apa bedanya antara Anda meletakkan sebuah berhala di hadapan Anda dan kemudian Anda menyembahnya, dengan Anda membayangkan sebuah berhala dan kemudian menyembahnya?” Tokoh mereka itu dengan emosi memuncak berteriak, “Ini adalah perkataan kelompok sesat —semoga Allah memburukkan mereka. Mereka beriman kepada Allah namun mereka tidak mensifati-Nya dengan sifat-sifat seperti ini. Sehingga dengan demikian, mereka menyembah Tuhan yang tidak ada.”
Demikianlah…. Mereka ini menderita penyakit syirik yang kronis. Para Penderita penyakit Syirik Kronis (kita singkat saja dengan PSK) ini tidak merasa kalau sedang sakit yang sangat berbahaya. Bahkan para PSK ini menyebut semuanya itu dengan tauhid murni. Mereka bukan saja tidak merasakannya bahkan dengan bergairah menikmatinya dan berupaya menularkannya kepada orang lain. Begitu telah mendarah dagingnya sehingga para PSK ini tidak akan pernah bisa menghilangkan berhala dari dalam benak mereka tanpa memecahkan kepala mereka sendiri.
Jadi, wahai saudara-saudaraku muslimin Sunni dan Syiah, janganlah heran kalau kaum PSK ini akan terus ngotot dengan kedunguan dan fitnahnya selama mereka belum memecahkan kepala mereka sendiri untuk menghilangkan berhala dalam benak mereka.
Sumber:
http://wildwestwahabi.wordpress.com/2007/06/22/penderita-syirik-kronis/#more-4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar