Tulisan Berjalan

SUKSES KOMUNITAS MAJU JOS, AKHIRNYA BIMBINGAN DIGITAL MARKETING SECARA GRATIS TANPA BATAS TELAH MEMBERI MANFAAT BESAR

Senin, 25 Juni 2012

Menentukan Arah Kiblat




Pendahuluan
Kiblat berasal dari bahasa Arab ( قبلة ) adalah arah yang merujuk ke suatu tempat dimana bangunan Ka’bah di Masjidil Haram , Makkah, Arab Saudi. Ka’bah juga sering disebut dengan Baitullah (Rumah Allah). Menghadap arah Kiblat merupakan suatu masalah yang penting dalam syariat Islam. Menurut hukum syariat, menghadap ke arah kiblat diartikan sebagai seluruh tubuh atau badan seseorang menghadap ke arah Ka'bah yang terletak di Makkah yang merupakan pusat tumpuan umat Islam bagi menyempurnakan ibadah-ibadah tertentu.
Pada awalnya, kiblat mengarah ke Baitul Maqdis atau Masjidil Aqsa Jerusalem di Palestina, namun pada tahun 624 M ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, arah Kiblat berpindah ke arah Ka’bah di Makkah hingga kini atas petunjuk wahyu dari Allah SWT. Beberapa ulama berpendapat bahwa turunnya wahyu perpindahan kiblat ini karena perselisihan Rasulullah SAW di Madinah.
Menghadap ke arah kiblat menjadi syarat sah bagi umat Islam yang hendak menunaikan shalat baik shalat fardhu lima waktu sehari semalam atau shalat-shalat sunat yang lain. Kaidah dalam menentukan arah kiblat memerlukan suatu ilmu khusus yang harus dipelajari atau sekurang-kurangnya meyakini arah yang dibenarkan agar sesuai dengan syariat.

Hukum Arah Kiblat
Kiblat sebagai pusat tumpuan umat Islam dalam mengerjakan ibadah dalam konsep arah terdapat beberapa hukum yang berkaitan yang telah ditentukan secara syariat yaitu:
a.    Hukum Wajib
1.  Ketika shalat fardhu ataupun shalat sunat menghadap kiblat merupakan syarat sahnya shalat
2.  Ketika melakukan tawaf di Baitullah.
3. Ketika menguburkan jenazah maka harus diletakkan miring bahu kanan menyentuh liang lahat dan muka menghadap kiblat.
 b.   Hukum Sunat
Bagi yang ingin membaca Al-Quran, berdoa, berzikir, tidur  (bahu kanan dibawah) dan lain-lain yang berkaitan.
 c.   Hukum Haram
Ketika membuang air besar atau kecil di tanah lapang tanpa ada dinding penghalang.
 d.   Hukum Makruh
Membelakangi arah kiblat dalam setiap perbuatan seperti membuang air besar atau kecil dalam keadaan berdinding, tidur menelentang sedang kaki selunjur ke arah kiblat dan sebagainya.

Dalil Al-Quran Berkaitan Arah Kiblat
Surah Al-Baqarah ayat 149 :
Artinya :"Dan dari mana saja engkau keluar (untuk mengerjakan shalat) hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram (Ka'bah). Sesunggunya perintah berkiblat ke Ka'bah itu benar dari Allah (tuhanmu) dan ingatlah Allah tidak sekali-kali lalai akan segala apa yang kamu lakukan"

Surah Al-Baqarah ayat 150:
Artinya: "Dan dari mana saja engkau keluar (untuk mengerjakan solat) maka hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram (Ka'bah) dan dimana sahaja kamu berada maka hadapkanlah muka kamu ke arahnya, supaya tidak ada lagi sebarang alasan bagi orang yang menyalahi kamu, kecuali orang yang zalim diantara mereka (ada saja yang mereka jadikan alasannya). Maka janganlah kamu takut kepada cacat cela mereka dan takutlah kamu kepada-Ku semata-mata dan supaya Aku sempurnakan nikmat-Ku kepada kamu, dan juga supaya kamu beroleh petunjuk hidayah (mengenai perkara yang benar)".

Hadits Berkaitan Arah Kiblat
 Dari Abu Hurairah r.a.
" Dari Abu Hurairah ra katanya : Sabda Rasulullah saw. Di antara Timur dan Barat terletaknya kiblat (Ka'bah) ".

Dari Anas bin Malik r.a.
"Bahwasanya Rasullullah s.a.w (pada suatu hari) sedang mendirikan solat dengan menghadap ke Baitul Maqdis. Kemudian turunlah ayat Al-Quran: "Sesungguhnya kami selalu melihat mukamu menengadah ke langit (berdoa mengadap kelangit). Maka turunlah wahyu memerintahkan Baginda mengadap ke Baitullah (Ka'bah). Sesungguhnya kamu palingkanlah mukamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Kemudian seorang lelaki Bani Salamah lalu, ketika itu orang ramai sedang ruku' pada rakaat kedua shalat fajar. Beliau menyeru, sesungguhnya kiblat telah berubah. Lalu mereka berpaling ke arah kiblat".  ( Diriwayatkan Oleh Muslim )
 
Berdasarkan ayat Al Qur'an dan hadits yang telah dinyatakan maka jelaslah bahwa menghadap arah kiblat itu merupakan satu kewajipan yang telah ditetapkan dalam hukum atau syariat. Maka tiadalah kiblat yang lain bagi umat Islam melainkan Ka'bah di Baitullah di Masjidil Haram.
 
Konsep Ijtihad dalam menentukan Arah Qiblat

Arah kiblat dalam konsep segitiga datar

Kesemua empat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali telah bersepakat bahwa menghadap kiblat salah satu merupakan syarat sahnya shalat. Bagi Mazhab Syafii telah menambah dan menetapkan tiga kaidah yang bisa digunakan untuk memenuhi syarat menghadap kiblat yaitu:

1.   Menghadap Kiblat Yakin (Kiblat Yakin)
Seseorang yang berada di dalam Masjidil Haram dan melihat langsung Ka'bah, wajib menghadapkan dirinya ke Kiblat dengan penuh yakin. Ini yang juga disebut sebagai “Ainul Ka’bah”. Kewajiban tersebut bisa dipastikan terlebih dahulu dengan melihat atau menyentuhnya bagi orang yang buta atau dengan cara lain yang bisa digunakan misalnya pendengaran. Sedangkan bagi seseorang yang berada dalam bangunan Ka’bah itu sendiri maka kiblatnya adalah dinding Ka’bah.
  
2. Menghadap Kiblat Perkiraan (Kiblat Dzan)
Seseorang yang berada jauh dari Ka'bah yaitu berada diluar Masjidil Haram atau di sekitar tanah suci Mekkah sehingga tidak dapat melihat bangunan Ka’bah, mereka wajib menghadap ke arah Masjidil Haram sebagai maksud menghadap ke arah Kiblat secara dzan atau kiraan atau disebut sebagai “Jihadul Ka’bah”. Untuk mengetahuinya dapat dilakukan dengan bertanya kepada mereka yang mengetahui  seperti penduduk Makkah atau melihat tanda-tanda kiblat atau “shaff” yang sudah dibuat di tempat–tempat tersebut.

3.  Menghadap Kiblat Ijtihad (Kiblat Ijtihad)
Ijtihad arah kiblat digunakan seseorang yang berada di luar tanah suci Makkah atau bahkan di luar negara Arab Saudi. Bagi yang tidak tahu arah dan ia tidak dapat mengira Kiblat Dzan nya maka ia boleh menghadap kemanapun yang ia yakini sebagai Arah Kiblat.  Namun bagi yang dapat mengira maka ia wajib ijtihad terhadap arah kiblatnya. Ijtihad  dapat digunakan untuk menentukan arah kiblat dari suatu tempat yang terletak jauh dari Masjidil Haram. Diantaranya adalah ijtihad menggunakan posisi rasi bintang, bayangan matahari, arah matahari terbenam dan perhitungan segitiga bola maupun pengukuran menggunakan peralatan modern.
Bagi lokasi atau tempat yang jauh seperti Indonesia, ijtihad arah kiblat dapat ditentukan melalui perhitungan falak atau astronomi serta dibantu pengukurannya menggunakan peralatan modern seperti kompas, GPS, theodolit dan sebagainya. Penggunaan alat-alat  modern ini akan menjadikan arah kiblat yang kita tuju semakin tepat dan akurat. Dengan bantuan alat dan keyakinan yang lebih tinggi maka hukum Kiblat Dzan akan semakin mendekati Kiblat Yakin. Dan sekarang kaidah-kaidah pengukuran arah kiblat menggunakan perhitungan astronomis dan pengukuran menggunakan alat-alat modern semakin banyak digunakan secara nasional di Indonesia dan juga di negara-negara lain. Bagi orang awam atau kalangan yang tidak tahu menggunakan kaidah tersebut, ia perlu taqlid atau percaya kepada orang yang berijtihad.



1. PERHITUNGAN / HISAB ARAH KIBLAT
Koordinat Posisi Geografis
Setiap lokasi di permukaan bumi ditentukan oleh dua bilangan yang menunjukkan kooordinat atau posisinya. Koordinat posisi ini masing-masing disebut Latitude (Lintang) dan Longitude (Bujur). Sesungguhya angka koordinat ini merupakan angka sudut yang diukur dari pusat bumi sampai permukaannya. Acuan pengukuran dari suatu tempat yang merupakan perpotongan antara garis Ekuator dengan Garis Prime Meridian yang melewati kota Greenwich Inggris. Titik ini  berada di Laut Atlantik kira-kira 500 km di Selatan kota Accra Rep. Ghana Afrika.
Satuan kooordinat lokasi dinyatakan dengan derajatmenit busur dan detik busur dan disimbolkan dengan ( °,   ',   "  ) misalnya 110° 47’ 9” dibaca 110 derajat 47 menit 9 detik. Dimana 1° = 60’ = 3600”. Dan perlu diingat bahwa walaupun menggunakan kata menit dan detik namun ini adalah satuan sudut dan bukan satuan waktu.
Latitude disimbolkan dengan huruf Yunani φ (phi) dan Longitude disimbolkan dengan λ (lamda). Latitude atau Lintang adalah garis vertikal yang menyatakan jarak sudut sebuah titik dari lintang nol derajat yaitu garis Ekuator. Lintang dibagi menjadi Lintang Utara (LU) nilainya positif (+) dan Lintang Selatan (LS) nilainya negatif (-) sedangkan Longitude atau Bujur adalah garis horisontal yang menyatakan jarak sudut sebuah titik dari bujur nol derajat yaitu garis Prime Meridian. Bujur dibagi menjadi Bujur Timur (BT) nilainya positif (+) dan Bujur Barat (BB) nilainya negatif (-). Untuk standard internasional angka longitude dan latitude menggunakan kode arah kompas yaitu North (N), South(S), East (E) dan West (W). Misalnya Yogyakarta berada di Longitude 110° 47’ BT bisa ditulis 110° 47’ E atau +110° 47’.

Ilmu Ukur Segitiga Bola
Ilmu ukur segitiga bola atau disebut juga dengan istilah trigonometri bola (spherical trigonometriadalah ilmu ukur sudut bidang datar yang diaplikasikan pada permukaan berbentuk bola yaitu bumi yang kita tempati. Ilmu ini pertama kali dikembangkan para ilmuwan muslim dari Jazirah Arab seperti Al Battani dan Al Khawarizmi dan terus berkembang hingga kini menjadi sebuah ilmu yang mendapat julukan Geodesi. Segitiga bola menjadi ilmu andalan tidak hanya untuk menghitung arah kiblat bahkan termasuk jarak lurus dua buah tempat di permukaan bumi.
Sebagaimana sudah disepakati secara umum bahwa yang disebut arah adalah “jarak terpendek” berupa garis lurus ke suatu tempat sehingga Kiblat juga menunjukkan arah terpendek ke Ka’bah. Karena bentuk bumi yang bulat, garis ini membentuk busur besar sepanjang permukaan bumi. Lokasi Ka’bah berdasarkan pengukuran menggunakan Global Positioning System (GPS) maupun menggunakan software Google Earth secara astronomis berada di 21° 25' 21.04" Lintang Utara dan 39° 49' 34.04" Bujur Timur. Angka tersebut dibuat dengan ketelitian cukup tinggi. Namun untuk keperluan praktis perhitungan tidak perlu sedetil angka tersebut. Biasanya yang digunakan adalah :

φ = 21° 25’ LU  dan  λ = 39° 50’ BT  (1° = 60’ = 3600”)

° = derajat   ‘  =  menit busur   dan “ = detik busur

Arah Ka’bah yang berada di kota Makkah yang dijadikan Kiblat dapat diketahui dari setiap titik di permukaan bumi, maka untuk menentukan arah kiblat dapat dilakukan dengan menggunakan Ilmu Ukur Segitiga Bola (Spherical Trigonometri).Penghitungan dan pengukuran dilakukan dengan derajat sudut dari titik kutub Utara, dengan menggunakan alat bantu mesin hitung atau kalkulator.
 
Untuk  perhitungan arah kiblat, ada 3 buah titik yang harus dibuat, yaitu :
1. Titik A, diletakkan di Ka’bah (Mekah)
2. Titik B, diletakkan di lokasi yang akan ditentukan arah kiblatnya.
3. Titik C, diletakkan di titik kutub utara.

Titik A dan titik C adalah dua titik yang tetap, karena titik A tepat di Ka’bah dan titik C tepat di kutub Utara sedangkan titik B senantiasa berubah tergantung lokasi mana yang akan dihitung arah Kiblatnya.
Bila ketiga titik tersebut dihubungkan dengan garis lengkung permukaan bumi, maka terjadilah segitiga bola ABC, seperti pada gambar.

Ketiga sisi segitiga ABC di samping ini diberi nama dengan huruf kecil dengan nama sudut didepannya masing-masing sisi a, sisi b dan sisi c.

Dari gambar di atas, dapatlah diketahui bahwa yang dimaksud dengan perhitungan Arah Kiblat adalah suatu perhitungan untuk mengetahui berapa besar nilai sudut K di titik B, yakni sudut yang diapit oleh sisi a dan sisi c.
Pembuatan gambar segitiga bola seperti di atas sangat berguna untuk membantu menentukan nilai sudut arah kiblat bagi suatu tempat dipermukaan bumi ini dihitung/diukur dari suatu titik arah mata angin ke arah mata angin lainnya, misalnya diukur dari titik Utara ke Barat (U-B), atau diukur searah jarum jam dari titik Utara (UTSB).
Untuk perhitungan arah kiblat, hanya diperlukan dua data :
1). Koordinat Ka’bah  φ  = 21o 25’ LU    dan     λ  = 39o 50’ BT.
2). Koordinat lokasi yang akan dihitung arah kiblatnya.

Sedangkan data lintang dan bujur tempat lokasi kota yang akan dihitung arah kiblatnya dapat diambil dari berbagai sumber diantaranya : Atlas Indonesia dan Dunia, Taqwim Standar Indonesia, Tabel Geografis Kota-kota Dunia, situs Internet maupun lewat pengukuran langsung menggunakan piranti Global Positioning System (GPS).

Data dan Rumus Arah Kiblat yang Digunakan
No
INDONESIA
NILAI
ARAB
INTERNASIONAL
SIMBOL
   1
   Lintang    ( LU / LS )
+ / -
‘Ardul  balad
Latitude    (U/S)
phi = φ
   2
   Bujur        ( BT / BB )
+ / -
Thulul balad
Longitude (E/W)
lambda = λ

Data geografis Ka’bah di Makkah :         φ = 21° 25’ LU  dan  λ = 39° 50’ BT  (diringkas)
                        
Dalam ilmu segitiga bola terdapat banyak sekali rumus yang dapat digunakan untuk menghitung arah kiblat serta menghitung jarak dari ka’bah ke lokasi tertentu.

Contoh :  Menghitung Arah Kiblat Yogyakarta   dengan    Markaz Masjid Syuhada

Data Koordinat Geografis :  φ t =  -7° 47' (LS)   dan    λt =  110° 22'  (BT)

Hasil Perhitungan :

                                         sin ( 110° 22’ - 39° 50’)
tg K  =   ---------------------------------------------------------------------------
                cos -7° 47’ .  tg 21° 25  -  sin -7° 47’ . cos ( 110° 22’ - 39° 50’)


                                                0,942835532
tg K  =   ---------------------------------------------------------------------------------
                 0,990787276 . 0,392231316   (-0,135427369) . 0,333258396


                                0,942835532                                               0,942835532
tg K  =   -------------------------------------------     -->    tg K  =    -------------------
                 0,388617797   (-0,045132307)                                0,433750104



tg K  =   2,173683703    -->     K =  65,29527469 °   -->  K =  65° 17’ 42.99”



Jadi Arah Kiblat Masjid Syuhada 65° 17’ 42.99” dihitung dari titik Utara Sejati ke Arah Barat atau jika dihitung dari arah Barat ke Utara sebesar 24° 42’ 17,01”  atau 24,7° .

Dalam prakteknya angka arah kiblat ini diwakilkan dalam angka skala kompas dengan pandual nol derajat di titik Utara sehingga angka arah kiblat menurut kompas adalah :

KK =  360° - 65,3 °  =   294, 7 °

Dari hasil perhitungan dengan rumus tersebut di atas, kota-kota yang sudah diketahui lintang dan bujurnya akan dapat diketahui pula arah kiblatnya secara tepat menggunakan rumus segitiga bola tersebut. Data koordinat geografis beberapa kota besar di Indonesia dan kecamatan se DIY terdapat dalam lampiran.

Untuk melakukan perhitungan secara manual dapat dilakukan menggunakan alat yang paling sederhana yang disebut “Rubuk Mujayyab”. Alat yang berbentuk seperempat lingkaran ini merupakan alat peninggalan jaman Al Khawarizmi 14 abad yang lalu. Alat ini ternyata memiliki kemampuan melakukan hitungan trigonometri. Alat ini juga dapat dengan mudah kita buat sendiri.

Selanjutnya daftar logaritma juga bisa digunakan namun sebaiknya mengunakan kalkulator yang memiliki fungsi trigonometri Sinus, Cosinus dan Tangen juga memori penyimpanan cukup banyak sehingga angka-angka yang telah didapatkan bisa disimpan. Kalkulator yang disarankan untuk melakukan hitungan arah kiblat juga adalah kalkulator yang memiliki kemampuan melakukan programming agar hitungan terhadap banyak data arah kiblat menjadi lebih cepat.  Disarankan juga menggunakan kalkulator yang memiliki layar dot matrix dual line yaitu memiliki dua baris tampilan layar terpisah antara proses dan hasilnya. Kalkulator jenis ini misalnya KARCHE 4600SX, KARCE 4650P, CASIO FX3600SP, CASIO fx4500P dsb.

Peta Arah Kiblat di DI. Yogyakarta dan sekitarnya  (sumber: BHR DIY)

Perlu diketahui bahwa akibat yang akan terjadi karena serongnya arah kiblat terhadap ka'bah yang hanya berukuran 12 x 10.5 x 15 meter serta jauhnya jarak  dari Indonesia yaitu sekitar 8000 km à maka selisih 1° akan menyebabkan pergeseran sebesar 126 kilometer di Utara atau Selatan Ka’bah itu sendiri.
Terdapat berbagai macam kaidah atau cara yang dapat digunakan untuk menentukan arah kiblat baik untuk menyemakan arah kiblat masjid, langgar / surau / musholla maupun arah kiblat untuk shalat di dalam rumah. Kaidah tersebut meliputi kaidah tradisional maupun kaidah baru menggunakan peralatan modern.

2. PENGUKURAN ARAH KIBLAT

Kaidah Arah Kiblat Tradisional
■  Istiwa A'zam - Matahari Istiwa di Atas Ka'bah
Kejadian saat posisi matahari istiwa (kulminasi) tepat di atas Ka'bah terjadi dua kali setahun yaitu pada setiap tanggal 28 Mei sekitar pukul 16.18 WIB dan pada 16 Juli sekitar jam 16.28 WIB. Ketika matahari istiwa di atas Ka'bah, bayang-bayang objek tegak di seluruh dunia akan lurus ke arah kiblat.
Kedudukan matahari di atas Ka'bah yang menyebabkan bayangan tegak diseluruh dunia searah  kiblat.

Panduan untuk menentukan arah kiblat dari sesuatu tempat pada tanggal dan jam yang telah ditentukan diatas:
  1. Dirikan sebuah tiang di sekitar lokasi yang hendak diukur arah kiblatnya.
  2. Pastikan tiang tersebut tegak dan lurus. Untuk meyakinkan posisi tegakknya dapat diukur menggunakan       bandul yang  tergantung pada seutas tali.
  3. Tempat yang dipilih untuk  pengukuran ini tidak boleh terlindung dari ahaya matahari. Oleh karena     matahari berada di Barat, maka bayangan akan kearah Timur, maka arah kiblat ialah bayang yang menghadap ke Barat.

■  Menggunakan Rasi Bintang (Konstelasi)
Rasi Bintang ialah sekumpulan bintang yang berada di suatu kawasan langit serta mempunyai bentuk yang hampir sama dan kelihatan berdekatan antara satu sama lain. Menurut International Astronomical Union ( IAU ), kubah langit dibagi menjadi delapan puluh delapan (88) kawasan rasi bintang. Bintang-bintang yang berada disuatu kawasan yang sama adalah dalam satu rasi. Masyarakat dahulu telah menetapkan sesuatu rasi bintang mengikuti bentuk yang mudah mereka kenal pasti seperti bentuk-bentuk binatang dan benda-benda. Dengan mengetahui bentuk rasi tertentu, arah mata angin dan  arah Kiblat dari suatu tempat dapat ditentukan.

Rasi Orion (Al-Babudur)
Pada rasi ini terdapat tiga bintang yang berderet yaitu Mintaka, Alnilam dan Alnitak. Arah Kiblat dapat diketahui dengan mengunjurkan arah tiga bintang berderet tersebut ke arah Barat. Rasi Orion akan berada di langit Indonesia ketika waktu subuh pada Juli dan kemudian akan kelihatan lebih awal pada bulan Desember. Pada bulan Maret Rasi Orion akan berada ditengah-tengah langit pada waktu Maghrib.
Bentuk Rasi Orion dan Penentuan Arah Kiblat.

Menggunakan kedudukan Bintang Al-Qutbi / Kutub  (Polaris)
Bintang-bintang akan kelihatan mengelilingi pusat kutub yang ditunjukkan oleh bintang kutub (Polaris). Oleh itu bintang ini menunjukkan arah Utara benar dari manapun di muka bumi ini. Bintang kutub terletak dalam buruj al-judah ( Rasi Bajak / Ursa Minoris ) dan rasi  ini hanya dapat dilihat oleh masyarakat di bagian Utara katulistiwa pada  tengah malam pada bulan Juli hingga Desember setiap tahun. Kedudukan bintang kutub bisa dikenali berdasarkan bentuk rasi bintang ini.
Rasi Al-Judah ( Bajak / Ursa Minoris )
Arah kiblat yang sesusai ditentukan berdasarkan perbedaan sudut sekitar 65°' ( Jawa/Sumatra ) ke kiri dari kedudukan bintang kutub seperti yang ditunjukkan dalam gambar. Gunakanlah petunjuk sudut dengan jari untuk menentukan nilai bukaan sudut.
Panduan jari untuk perkiraan nilai sudut.

■  Kaidah Matahari Terbenam
Secara umum jika kita merujuk kepada kedudukan matahari terbenam untuk tujuan penentuan arah kiblat adalah tidak tepat. Ini disebabkan arah matahari terbenam di Indonesia akan berubah-ubah dari azimut 246 hingga 293. Walau bagaimanapun sebagai salah satu daripada langkah berijtihad, arah matahari terbenam dapat digunakan sekiranya diketahui perbedaan sudut di antara arah matahari dengan arah kiblat. Ada posisi istimewa terbenamnya matahari terlihat dari Indonesia yaitu saat matahari berada di Katulistiwa (Ekuator) yang disebut dengan peristiwa ekuinox dan saat matahari berada di Titik balik Utara/Selatan yang disebut Solstice.

Kaidah Penentuan Arah Kiblat Modern
■  Menggunakan Kompas
Penandaan arah kiblat dengan kompas banyak diamalkan di kalangan masyarakat Islam masa kini. Arah yang ditunjukkan oleh kompas adalah arah yang merujuk kepada arah utara magnet. Arah utara magnet ternyata tidak mesti sama dengan arah utara sebenarnya. Perbedaan arah utara ini disebut sebagai sudut serong magnet atau deklinasi yang juga berbeda diseiap tempat dan selalu berubah sepanjang tahun. Satu lagi masalah yang bisa timbul dari menggunakan kompas ialah tarikan gravitasi setempat dimana ia terpengaruh oleh bahan-bahan logam atau arus listrik di sekeliling kompas yang digunakan. Namun ia dapat digunakan sebagai alat alternatif sekiranya alat yang lebih teliti  tidak ada.

■  Menggunakan Theodolit
Teodolit merupakan antara alat termoden yang dapat digunakan oleh kebanyakaan pihak yang melakukan kerja menentukan arah kiblat. Theodolit dapat digunakan untuk mengukur sudut secara mendatar dan tegak, dan juga memberi memiliki akurasi atau ketelitian yang cukup tinggi dan tepat. Untuk mengendalikan alat ini diperlukan operator yang terlatih dan menguasai teknik penggunaan theodolith secara benar.

■  Kaidah Posisi Matahari pada Azimuth Kiblat
Dalam peredarannya, matahari mengalami gerak yang disebut gerak harian matahari atau gerak musim. Pada hari-hari tertentu terlihat dari sebuah wilayah maka posisi matahari akan bertepatan dengan azimuth arah kiblat dari wilayah tersebut.  Dengan menggunakan perhitungan rumus segitiga bola dan rumus mencari posisi azimuth matahari akan diketahui kapan matahari akan memiliki azimuth yang sama dengan arah kiblat.


PERMASALAHAN PENENTUAN ARAH KIBLAT DI INDONESIA

Terdapat beberapa faktor penyebab sehingga arah kiblat dianggap tidak penting. Selain itu sering terjadinya konflik berkaitan isu pengukuran arah kiblat yang benar. Diantara penyebab itu misalnya:
 Tidak ada kepedulian
Terdapat sebagian umat Islam yang mengambil sikap acuh dan menganggap kelonggaran yang diberikan oleh hukum syar'ayang membenarkan cukup hanya menggunakan kaidah qiblat secara dzani saja. Masalah ini berkaitan dengan Al-Quran Surat Al Baqarah ayat 144 yang berbunyi :


" Maka kami benarkan engkau berpaling mengadap kiblat yang engkau sukai. Oleh itu palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram dan dimana saja kamu berada hadapkanlah mukamu ke arahnya ".

Perlu diketahui bahwa akibat yang akan terjadi karena serongnya arah kiblat terhadap ka'bah yang hanya seluas 12 x 10.5 x 15 meter serta jarak yang jauh dari Indonesia sekitar 8000 km, maka selisih 1° akan menyebabkan pergeseran sebesar 140 kilometer di Utara atau Selatan Mekkah.

 Kurangnya Pengetahuan Masyarakat
Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai kaidah penentuan arah kiblat baik secara tradisional maupun modern menyebabkan banyak sekali terdapat kekeliruan terhadap kenyataan arah kiblat yang ada di masyarakat. Kebanyakkan umat Islam sekarang lebih cenderung menggunakan kiblat masjid mengikut tradisi lama yaitu dari generasi ke generasi dan tidak pernah dikur ulang ketepatannya. Begitu juga dalam menentukan arah kiblat di pemakaman, bahkan hanya ditentukan oleh penggali kubur, padahal mereka juga tidak begitu mahir dalam menentukan arah yang tepat ke kiblat.

 Ketiadaan peralatan moden untuk melakukan pengukuran
Sewajarnya umat Islam perlu memiliki alat sekurang-kurangnya kompas untuk menetukan arah kiblat. Selain itu juga amat perlu untuk mempunyai kesadaran tentang pentingnya ilmu falak bagi menghindari kesalahan dalam menentukan ketepatan arah kiblat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut pembentukan organisasi atau badan-badan yang bertanggungjawab seperti Badan Hisab Rukyat  dan juga lembaga-lembaga Falak yang dimiliki organisai-organisasi Islam di Indonesai merupakan bagian yang dipertangungjawabkan untuk membantu menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan arah kiblat. Semoga dengan tindakan yang kita lakukan akan memberi keyakinan terhadap ibadah yang kita lakukan dan mendapat keridhaan Ilahi.
Akhirnya,  semoga risalah kecil ini akan mampu memberi kefahaman kepada kita tentang pentingnya ketepatan dalam menentukan arah kiblat yang menjamin sahnya ibadah kita. Kesadaran kita adalah amat penting dan rasa bertanggungjawab untuk memastikan bahwa amalan yang dilakukan berada dalam keadaan yakin dan seandainya masih ada keraguan-keraguan tidak ada salahnya untuk meminta bantuan kepada lembaga-lembaga falak yang ada.
Kontribusi dari : Bahagian Falak Syarie Jabatan Mufti Negeri Selangor


Alat pengukur arah kiblat pada prinsipnya adalah alat yang dapat mengetahui arah mata angin. Terdapat beberapa jenis alat yang biasa digunakan untuk mengukur arah kiblat misalnya : 

1.   Kompas Magnetik
Kompas ini adalah paling banyak digunakan untuk keperluan memandu arah mata angin. Kini bermacam-macam jenis kompas magnetik dijual di pasaran. Kompas magnetik bekerja berdasarkan kemuatan magnet bumi yang membuat jarum magnet yang terdapat pada jenis kompas megnetik ini selalu menunjuk ke arah Utara dan Selatan. Beberapa jenis dari kompas ini memiliki harga yang murah namun ketelitiannya kurang. Kompas magnetik yang memiliki ketelitian cukup tinggi namun harganya cukup mahal diantaranya jenis Suunto, Forestry Compass DQL-1, Brunton, Marine, Silva, Leica, Furuno dan Magellan. Beberapa jenis kompas yang dijual di pasaran terutama jenis military compass terbukti banyak menunjukkan penyimpangan antara 1° hingga 10°  dari angka yang ditunjukkan oleh jarumnya.  Karena kelemahan utama kompas jenis magnetik adalah ia begitu mudah terpengaruh oleh benda-benda yang bermuatan logam sehingga sangat tidak dianjurkan menggunakan kompas jenis ini masuk ke dalam bangunan yang mengandung banyak besi-besi beton. Kompas magnetik dalam praktisnya juga sangat dipengaruhi oleh medan magnetik lokal dan deklinasi magnetik secara global. Di sekitar wilayah DIY angka deklinasi magnetik dapat menyerongkan kompas hingga mencapai 1° ke arah Barat. Sehingga pada setiap pengukuran angka pada kompas magnetik harus dikurangi angka deklinasi tersebut.

Kalibrasi Kompas
Yang paling penting  peralatan kompas yang menggunakan sistem magnet tersebut harus dilakukan kalibrasi terlebih dahulu. Kalibrasi adalah membandingkan hasil pengukuran suatu alat dengan alat lain yang dijadikan standard. Kalibrasi tentunya harus menggunakan peralatan yang lebih teliti misalnya menggunakan piranti Global Positioning System (GPS) atau piranti Theodolit. Kalibrasi juga dapat dilakukan dengan menggunakan arah matahari terbit maupun terbenam pada saat-saat tertentu misalnya saat matahari terbit dan terbenam di arah Timur dan Barat tepat yaitu saat peristiwa yang disebut Ekuinox yang terjadi setiap tanggal 21 Maret dan 23 September. Juga dapat dilakukan dengan mengukur masjid yang sudah sesai arah kiblatnya misalnya masjid Syuhada dan Masjid Kampus UGM dan masjid Jendral Sudirman. Sementara shaff masjid besar Kauman juga dapat digunakan sebagai kalibrator terhadap kompas yang kita miliki. Arah yang ditunjukkan oleh kompas saat melakukan kalibrasi dapat dipergunakan untuk melakukan pengukuran terhadap masjid-masjid lain di sekitarnya.

2.  Kompas Digital 
Adanya perkembangan dalam bidang teknologi memungkinan kompas tidak lagi menggunakan sistem magnetik yang ternyata memiliki banyak kekurangan dan kelemahan. Kini telah banyak dibuat model kompas dengan menggunakan sistem digital dan dipandu langsung oleh keberadaan satelit yang banyak beterbaran di atas langit kita. Sistem pemandu ini dinamakan Global Positioning Sistem (GPS). Salah satunya adalah aplikasi yang dimiliki oleh salah satu merk ponsel terkenal. Dengan menginstall aplikasi tertentu maka ponsel tersebut tidak hanya dapat digunakan sebagai sarana komunikasi serta hiburan lewat tayangan film dan musiknya namun ponsel tersebut kini dapat berfungsi sebagai kompas yang dapat memandu langsung posisi arah kiblat secara presisi dimanapun kita berada. Bahkan ia juga dilengkapi dengan fitur jadwal shalat dan secara ortomatis akan mengumandangkan adzan saat waktu shalat tiba. Tidak hanya ponsel, aplikasi arah kiblat kini juga dikemas dalam sebuah jam tangan maupun gantungan kunci  yang mampu menunjukkan arah kiblat secara presisi
Selain itu kini telah banyak dipasarkan Digital Prayer Time Keeping sebuah alat yang sebesar kalkulator saku yang berfungsi sekaligus mengetahui jadwal waktu shalat, memperdengarkan adzan, menunjukkan arah kiblat, menampilkan kalender Hijriyah dan Masehi serta dapat memperdengarkan alunan ayat suci Al Qur’an. Teknik penggunaan peralatan tersebut tidak dibahas di sini.
 
3. Global Positioning Sistem (GPS)
Global Positioning System (GPS) adalah suatu sistem pemandu arah (navigasi) yang memanfaatka teknologi satelit.  Penerima GPS memperoleh sinyal dari beberapa satelit yang mengorbit bumi. Satelit yang mengitari bumi pada orbit pendek ini terdiri dari 24 susunan satelit, dengan 21 satelit aktif dan 3 buah satelit sebagai cadangan. Dengan posisi orbit tertentu dari satelit-satelit ini maka satelit yang melayani GPS bisa diterima diseluruh permukaan bumi dengan penampakan antara 4 sampai 8 buah satelit. GPS dapat memberikan informasi posisi, ketinggian dan waktu dengan ketelitian sangat tinggi. Nama lengkapnya adalah NAVSTAR GPS (Navigational Satellite Timing and Ranging Global Positioning System; ada juga yang mengartikan "Navigation System Using Timing and Ranging.") Dari perbedaan singkatan itu, orang lebih mengenal cukup dengan nama GPS. Dan GPS mulai diaktifkan untuk umum tahun 1995.
Kini telah banyak merk-merk GPS yang beredar di pasaran. Diantaranya yang cukup dikenal adalah GPS Garmin, Magellan, Navman, Trimble, Leica, Topcon dan  Sokkia. GPS Garmin seri Vista Cx contohnya memiliki banyak fitur. Kecuali ia mampu memberikan informasi posisi secara akurat termasuk ketinggian di atas muka air laut alat ini memiliki fitur kompas yang juga sangat akurat. Kelebihan dari kompas yang dimiliki oleh GPS ini adalah ia tidak dipengaruhi oleh medan magnetik baik deklinasi magnetik bumi maupun medan magnet lokal serta dapat memandu arah secara akurat karena dipandu oleh sinyal dari satelit.  Alat ini tentunya sangat membantu saat dilakukan pengukuran arah kiblat. Cuma untuk sekarang harga alat ini masih tergolong mahal.
               
4. Theodolit
Theodolit adalah alat yang digunakan untuk mengukur sudut horisontal (Horizontal Angle = HA) dan sudut vertikal (Vertical Angle = VA). Alat ini banyak digunakan sebagai piranti pemetaan pada survey geologi dan geodesi.  Dengan berpedoman pada posisi dan pergerakan benda-benda langit misalnya matahari sebagai acuan atau dengan bantuan satelit-satelit GPS maka theodolit akan menjadi alat yang dapat mengetahui arah secara presisi hingga skala detik busur (1/3600 °).
Theodolit terdiri dari sebuah teleskop kecil yang terpasang pada sebuah dudukan. Saat teleskop kecil ini diarahkan maka angka kedudukan vertikal dan horintal akan berubah sesuai perubahan sudut pergerakannya. Setelah theodolit berskala analog maka kini banyak diproduksi theodolit dengan menggunakan teknologi digital sehingga pembacaan skala jauh lebih mudah.  Beberapa merk theodolit misalnya Nikon, Topcon, Leica, Sokkia

Pointing Titik Utara Sejati
Untuk pengukuran arah kiblat maka yang diperlukan hanya skala sudut horisontalnya atau Horizontal Angle (HA). Hal paling penting dalam penggunaan theodolit saat digunakan sebagai pemandau arah kiblat adalah pointing terhadap titik Utara sejati sebagai acuan terhadap perubahan sudut yang ditunjukkan oleh skala horisontalnya atau yang disebut “Azimuth”, sementara untuk menjadikan bagian skala vertikal atau “Altitude” juga akurat maka kedudukan alat saat kalibrasi harus benar-benar datar. Pointing terhadap titik Utara bisanya dilakukan dengan mengarahkan theodolit ke matahari dan dicari berapa azimuth matahari saat itu untuk dicocokkan sehingga bisa diketahui arah utara sejatinya (True North). Pointing juga bisa dilakukan dengan menggunakan kompas yang biasanya terpasang di atas theodolit.
Pengukuran arah kiblat menggunakan theodolit dirasakan sulit terutama terkendala oleh sulitnya melakukan pointing terhadap titik Utara Sejati apalagi posisi matahari yang dijadikan target sudah tinggi di atas kepala atau bahkan kompas yang biasanya di atas theodolit sering tidak presisi. Untuk itu diperlukan teknisi yang menguasai betul penggunaan alat ini kecuali harganya yang juga termasuk sangat mahal.

5. Total Station
Alat ini merupakan langkah maju dan modernisasi dari theodolit. Total Station dilengkapi dengan piranti Global positioning System (GPS) sebagai pemandu arah dan posisi serta peningkatan dalam hal akurasi. Alat ini juga dilengkapi dengan penjejak jarak otomatis menggunakan laser. Pada teleskopnya juga dilengkapi dengan sensor CCD sehingga saat pembidikan cukup dilihat lewat layar monitor. Alat ini bahkan mampu menyimpan data-data hasil pengukuran dalam memorinya yang sudah serba komputerisasi.
Untuk pengukuran arah kiblat alat ini akan langsung mencari sendiri kemana arah kiblat dan arah shaff shalat langsung dari dalam bangunan masjid dengan tingkat akurasi yang tinggi. Beberapa merk Total Station misalnya Nikon, Topcon, Leica, Sokkia dan Horizon. Jangan bertanya mengenai harga alat ini sebab yang jelas sangat berat untuk kantong kita pribadi.

Ilmu Falak : Sejarah, Perkembangan dan Peranannya dalam Islam



Oleh : Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, M.A

Ilmu falak (astronomi) terhitung sebagai cabang ilmu eksak tertua yang banyak mendapat perhatian manusia sepanjang sejarah. Kegiatan ilmu falak sudah berkembang sejak jauh sebelum Islam datang. Pengetahuan manusia terhadap ilmu falak pada awalnya hanya sebatas pengamatan alami yang bersifat praktis-pragmatis yaitu mengamati terbit dan tenggelam benda-benda langit untuk kepentingan perjalanan, perdagangan, pertanian, menetapkan ritual-ritual agama & sosial, dan lainnya. Aktifitas praktis-pragmatis ini tak jarang juga dikaitkan dengan menelaah situasi alam dalam perspektif yang berbeda yaitu menghubungkannya dengan hal-hal yang bersifat abstrak-pragmatis seperti untuk meramal karakter & nasib seseorang atau sekelompok orang di masa depan yang dikenal dengan nujum atau astrologi.
Ilmu falak seperti dituturkan banyak praktisi merupakan cabang keilmuan Islam yang memiliki posisi istimewa. Ilmu ini adalah cabang ilmu yang tidak banyak mendapat penentangan dari umat muslim karena peranannya yang demikian signifikan dalam penentuan waktu ibadah. Sejak dahulu dan hingga kini, ilmu falak mendapat tempat terhormat dan dihargai oleh para ahli agama (fukaha) yang terus bertahan hingga era modern.
Di zaman tengah, selain disebut ilmu 'falak' dan 'haiah', ilmu ini di sebut juga ilmu observasi (ar-rashd) yang merupakan bagian integral dalam ilmu falak. Selain itu ilmu ini disebut juga ilmu waktu (miqat) karena ia berkaitan dengan penentuan waktu (khususnya waktu salat dan arah kiblat).
Secara umum, ilmu falak dibagi menjadi dua, yaitu (1) ilmu falak teoritis (falak 'ilmiy nazhary, theoritical astronomy) dan (2) ilmu falak praktis atau terapan (falak tathbiqi 'amaly, practical astronomy). Dalam penggunaaan sehari-hari ilmu falak praktis-terapan ('amaly) inilah yang oleh masyarakat disebut sebagai ilmu falak, dan di Indonesia dikenal dengan ilmu hisab, yaitu hisab (perhitungan) yang berkaitan dengan penentuan dan pelaksanaan ibadah.

Sejarah & Perkembangan Ilmu Falak dalam Islam Islam
Sejak silam, kajian ilmu falak banyak mendapat perhatian dari para peneliti dan sejarawan. Regis Morlan (seorang orientalis Prancis, peneliti sejarah ilmu falak klasik) mengemukakan beberapa faktor: (1) banyaknya ulama yang berkecimpung di bidang ini sepanjang sejarah, (2) banyaknya karya-karya yang dihasilkan, (3) banyaknya observatorium astronomi yang berdiri sebagai akses dari banyaknya astronom serta karya-karya mereka, (4) banyaknya data observasi (pengamatan alami) yang terdokumentasikan. Sementara itu Prof. Dr. Muhammad Ahmad Sulaiman (guru besar ilmu falak di Institut Nasional Penelitian Astronomi dan Geofisika, Helwan - Mesir) mengatakan “astronomi adalah miniatur terhadap majunya peradaban sebuah bangsa”.
Dalam perjalanan mulanya, peradaban India, Persia dan Yunani adalah peradaban yang punya kedudukan istimewa. Dari tiga peradaban inilah secara khusus muncul dan lahirnya peradaban falak Arab (Islam), disamping peradaban lainnya. Peradaban India adalah yang terkuat dalam pengaruhnya terhadap Islam (Arab). Buku astronomi ‘Sindhind’ punya pengaruh besar dalam perkembangan astronomi Arab (Islam), dengan puncaknya pada dinasti Abbasiah masa pemerintahan Al-Manshur, buku ini diringkas dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ibrahim al-Fazzârî adalah orang yang mendapat amanah untuk mengerjakan proyek ini, sekaligus juga ia melahirkan buku penjelas yang berjudul “as-Sind Hind al-Kabîr”.
Peradaban Persia memberi pengaruh signifikan dalam peradaban ilmu falak Islam, ditemukan cukup banyak istilah-istilah falak Persia yang terus dipakai dalam Islam hingga saat ini, seperti zij (epemiris) dan auj (aphelion). Buku astronomi berbahasa Persia yang banyak mendapat perhatian Arab (Islam) adalah 'Zij Syah' atau ‘Zij Syahryaran’ yang merupakan ephemiris (zij) yang masyhur di zamannya.
Sementara dari peradaban Yunani puncaknya dimotori oleh Cladius Ptolemaus (w. ± 160 M) yang dikenal dengan sistem "geosentris"nya. Gagasan astronomi Ptolemaus terekam dalam maha karyanya yang berjudul ‘Almagest’ atau ‘Tata Agung’ yang menjadi buku pedoman astronomi hingga berabad-abad sebelum runtuh oleh teori tata surya Ibn Syathir (w. 777 H) dan Copernicus.

Peran Ilmu Falak dalam Islam
Dalam penggunaan praktis, ilmu falak merupakan ilmu yang mempelajari tata lintas pergerakan bulan dan matahari dalam orbitnya secara sistematis dan ilmiah demi kepentingan manusia. Ibn Khaldun (w. 808 H) dalam “Muqaddimah”nya mendefinisikan ilmu ini sebagai ilmu yang membahas tentang pergerakan bintang-bintang (planet-planet) yang tetap, bergerak dan gumpalan-gumpalan awan yang berhamburan. Makna yang hampir sama juga dikemukakan al-Khawarizmi (w. 387 H) dalam ‘Mafatih al-‘Ulmu’nya.
Ilmu falak sebagai ilmu yang mempelajari benda-benda angkasa selalu dibutuhkan oleh manusia. Dari penelaahan berbagai benda-benda angkasa ini manusia dapat mengetahui dan memanfaatkan banyak hal. Ilmu ini selalu ada dan dibutuhkan dalam kehidupan manusia dan selalu dibicarakan orang disetiap waktu dan zaman. Hal demikian mengingat betapa penting dan menariknya ilmu ini. Mengamati langit, yang merupakan kegiatan utama ilmu falak adalah aktifitas pengamatan benda-benda angkasa alamiah ciptaan Allah Swt yang selalu berubah dan bergerak serta menawarkan berbagai tantangan bagi para pengamatnya. Dahulu, dan hingga kini, langit atau angkasa merupakan obyek wisata yang menarik dan banyak digemari manusia.
Obyek pembahasan utama ilmu falak syar'i dalam Islam adalah fenomena bulan dan matahari. Fenomena alamiah dari dua benda angkasa ini menjadi wasilah kebolehan dan batas waktu ibadah seorang muslim seperti batas waktu salat, puasa dan kiblat yang diperkuat oleh berbagai nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Pembahasan falak syar’î secara garis besar meliputi empat hal: (1) penetapan awal-awal bulan kamariah, (2) penetapan waktu-waktu salat, (3) penentuan arah dan bayang kiblat, dan (4) penentuan terjadinya gerhana (baik gerhana matahari maupun gerhana bulan).

(1) Penentuan Awal Bulan (Kalender)
Menentukan awal bulan, khususnya menetapkan puasa & hari raya, dalam Islam adalah berdasarkan sistem bulan (qamarî) yaitu peredaran bulan mengelilingi bumi dalam porosnya yang dalam aplikasi bulanannya ditetapkan dengan berganti-ganti antara 30 dan 29 hari. Hal ini diperkuat dengan sabda Nabi Saw; “… as syahru hakadzâ wa hakadzâ wa hakadzâ” (… bulan itu adakalanya begini dan begini (adakalanya 30 hari dan adakalanya 29 hari) [HR. Muslim]. Khusus dalam menetapkan awal puasa dan hari raya, Rasulullah Saw menyatakan untuk melihat hilal (rukyat). Nabi Saw menegaskan: “shumû liru’yatihi wa afthirû liru’yatihi…” (puasalah kamu karena melihat hilal, dan berbuka (berhari raya) lah karena melihat hilal) [HR. Muslim]. Dengan berbagai data, fakta dan perdebatan, perintah melihat yang disabdakan baginda Nabi Saw ini berganti dan dapat difahami dengan melihat secara rasional (hisab). Melalui pemahaman yang baik terhadap pergerakan fenomena bulan dan matahari, hadis-hadis tersebut terfahami dan teraplikasikan secara teoritis matematis tanpa perlu rukyat secara faktual (ru’yah bashariyah), namun perdebatan dalam masalah ini senantiasa ramai dibicarakan di Indonesia maupun di negara-negara muslim lainnya.
(2) Menentukan Waktu-Waktu Salat
Penentuan waktu salat dalam Islam ditetapkan berdasarkan fenomena alamiah matahari, seperti terangkum dalam makna ayat “aqimish shalah liduluk as syams…” (dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir…) [QS. Al-Isra’ : 78], serta sabda panjang Nabi Saw terkait teknis pelaksanaan waktu salat fardu yang lima yang dikaitkan dengan fenomena matahari (HR. Muslim) Rumitnya, baik nash al-Qur’an maupun al-Hadits tidak memuat rincian pasti tentang penentuan waktu-waktu tersebut, yang pasti hanyalah “kitâban mawqûta” (waktu yang sudah ditentukan), tidak ada kepastian tata cara yang akan digunakan. Namun demikian ilmu falak mampu menyelesaikan ‘ketidak rincian nash’ tersebut melalui berbagai pengamatan dan penelaahan teks dan konteks fenomena matahari. Dalam kenyataannya, secara umum masyarakat telah sepakat menerima data hisab penentuan kapan seorang muazin akan mengumandangkan azan atau kapan seorang muslim akan salat tanpa ada perdebatan berarti, meski berbagai persoalan tetap menyelip dalam data hisab waktu-waktu salat, seperti halnya dalam menetapkan awal waktu puasa dan hari raya.

(3) Menentukan Arah Kiblat
Menghadap kiblat adalah satu keharusan (syarat) dalam salat. Salat dinyatakan tidak sah jika tidak menghadap Kakbah, karena menghadapnya adalah kemestian untuk sah dan berkualitasnya salat seorang muslim. Al-Qur’an hanya menyatakan “wa min haytsu kharajta fa walli wajhaka syathral masjidil haram wa haytsu ma kuntum fa wallu wujuhaum syathrah” (Dan dari mana saja kamu berangkat, maka palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram. Dan dari mana saja kamu berada, maka palingkanlah wajahmu kearahnya) [QS. Al-Baqarah (02): 150] tanpa ada penjelasan rinci tentang menghadap yang dimaksud. Dimaklumi, bagi penduduk Mekah dan sekitarnya, menghadap dan mengarah Kakbah dapat diusahakan meski secara alamiah dengan serta merta menghadap, dan ini masih dalam koridor ‘zhan’ yang dilegalkan. Berpaling kurang beberapa derajat dari bangunan Kakbah dapat ditolerir karena masih dalam teritorial kota Mekah. Namun bagaimana halnya jika berada jauh dari Kakbah atau kota Mekah, Indonesia misalnya? Serta merta atau asal menghadap tidaklah dibenarkan, meski dilandasi dengan ‘zhan’ namun tetap saja tidak realistis dan logis, karena ‘zhan’ dalam syariat akan selalu bersesuaian dengan realitas empirik (mashlahat-waqi’iyat). Dalam konteks Indonesia, berpaling beberapa derajat dari bangunan Kakbah akan berpaling jauh dari bangunan Kakbah bahkan kota Mekah. Ini tentunya tidak realistis, dan tidak bisa disebut 'zhan'. Untuk mengatasi hal ini, fikih an sich tidak memadai. Nah, ilmu falak berperan memersiskan atau setidak-tidaknya meminimalisir perpalingan arah yang begitu mencolok tersebut. Dan dalam penentuan arah kiblat inipun masyarakat dapat menerima tanpa perdebatan, seoarang mushallî (orang yang akan menunaikan shalat) merasa ithmi’nan (tenang) dengan arah sajadah yang terhampar di mushallâ atau mesjid tanpa ambil pusing tepat atau melesetkah arah sajadah tersebut. Padahal banyak mushallâ dan mesjid yang kadang serampangan menentukan arah kiblat. Ilmu falak lagi-lagi berperan dalam menetapkan arah kiblat ini.

(4) Menentukan terjadinya Gerhana
Gerhana matahari maupun gerhana bulan adalah fenomena alamiah ‘luar biasa’ yang dapat disaksikan dengan mata, meski jarang dan tidak semua orang dapat menyaksikan dan tidak disemua tempat dapat disaksikan. Salat gerhana dalam fikih Islam adalah ibadah anjuran yang sangat dianjurkan (sunnah mu’akadah). Namun, kapan salat itu dilakukan ? fenomena alamiah ini jarang terjadi, pula tidak banyak manusia yang perhatian terhadap fenomena ini, hingga terkadang ia dilupakan atau terlupakan. Namun ilmu falak selalu dan senantiasa dapat mengingatkan dan mendeteksi fenomena ini, kapan dan dimana peristiwa alamiah ini akan terjadi. Dengan demikian dari peranan ilmu falak ini seorang muslim dapat menunaikan anjuran yang sangat dianjurkan tersebut dengan yakin dan nyaman.
Dari uraian diatas jelas bahwa peranan ilmu falak sangatlah nyata dan signifikan. Artikel ini hanyalah ‘pengantar’, paling tidak pengantar bahwa ilmu falak itu berguna dan berperan dalam ibadah utama umat Islam. Betapapun lihai dan piawainya seorang muslim memahami teks nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah, namun jika tidak memahami konteks (aplikasi) nash tersebut, nash-nash tersebut tetaplah ‘tidak tanggap’. Karena itu “fikih tidak sempurna tanpa peranan ilmu falak”. Wallahu a’lam.
***

* Program S-3 penelitian Filologi Astronomi Islam era klasik di "Institute of Arab Research & Studies" The Arab League ALECSO Cairo - Egypt

Visibilitas Hilal



Kalender Islam ditentukan berdasarkan penampakan hilal (bulan sabit pertama) sesaat sesudah matahari terbenam. Alasan utama dipilihnya kalender bulan (komariyah) -- walau tidak dijelaskan di dalam Hadits maupun Al-Qur'an -- nampaknya karena alasan kemudahan dalam menentukan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan. Ini berbeda dari kalender syamsiah (kalender matahari) yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya. Karena kemudahan itu -- orang awam pun bisa menentukan kapan pergantian bulan -- sistem kalender tradisional banyak yang bertumpu pada kalender bulan. Pada masyarakat yang menghendaki adanya penyesuaian dengan musim, diadakan sistem kalender gabungan: qamari-syamsiah (luni-solar calendar), seperti kalender Yahudi dan kalender Arab sebelum masa kerasulan Muhammad SAW. Pada sistem gabungan ini ada bulan ketiga belas setiap 3 tahun agar kalender qamariah tetap sesuai dengan musim. Nama bulan pun disesuaikan dengan nama musimnya, seperti Ramadan yang semula berarti bulan musim panas terik. Dalam ajaran Islam penambahan bulan itu (disebut nasi) dilarang karena biasanya bulan ke-13 itu diisi dengan upacara atau pesta yang dipandang sesat (Al-Qur'an S. 9:37).

Karena waktu ibadah sifatnya lokal, penentuannya yang berdasarkan penampakan hilal memang merupakan cara yang termudah. Masyarakat di suatu tempat cukup memperhatikan kapan hilal teramati untuk menentukan saat ibadah puasa Ramadan, beridul fitri, beridul adha, atau saat berhaji (khusus di daerah sekitar Mekkah). Seandainya cuaca buruk, Nabi Muhammad SAW memberikan petunjuk praktis: genapkan bulan sekarang menjadi 30 hari, karena tidak mungkin bulan qamariyah lebih dari 30 hari. Tentunya ini menuntut pengamatan hilal yang lalu. Karena sifatnya lokal, apapun keputusan di suatu daerah sah berlaku untuk daerah itu. Daerah lain mungkin saja berbeda.

Visibilitas (rukyat) hilal merupakan sebagian permasalahan yang mendapat perhatian serius dari astronom Muslim abad pertengahan. Hal ini disebabkan kalender yang digunakan sehari-hari didasarkan pada Bulan dan awal bulan ditandai dengan penampakan hilal. Beragam kriteria visibilitas dihasilkan ketika itu.

Kemajuan ilmu astronomi dan pengetahuan astronom terhadap pergerakan dan posisi Bulan menjadikan kriteria posisi hilal untuk dapat dilihat semakin kecil. Terlebih dengan diketemukannya alat bantu observasi, seperti teleskop, membuat kriteria posisi hilal menjadi lebih kecil lagi.

Fotheringham (1910), Bruin (1977), Yallop (1997), Ilyas (1990-an), Schaefer (1988), The Royal Greenwich Observatory (RGO), dan South African Astronomical Observatory (SAAO) mengeluarkan kriteria visibilitas hilal dengan S $< 12 deg. Kriteria Danjon bahkan mensyaratkan elongasi Bulan-Matahari sebesar 7 derajat pada saat Matahari tenggelam.

Saat ini beragam kriteria visibilitas dikeluarkan oleh astronom, baik Muslim maupun non-Muslim. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa penampakan sabit bulan pertama atau hilal bukan permasalahan umat Islam semata.

Jika Rasulullah SAW mengawali dan mengakhiri puasanya didasarkan pada rukyat (visibilitas) hilal yang mudah dilihat dan dikenali oleh orang yang ummi, tentunya seperti itulah umat Islam ingin melaksanakannya. "Bukankah Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (2:185)."

Ada tiga cara menentukan awal bulan Ramadhan, yaitu :

* Rukyat hilal (melihat bulan sabit).
* Persaksian atau kabar tentang rukyat hilal.
* Menyempurnakan bilangan hari Sya'ban.

Hilal berarti bulan baru, atau bulan sabit dalam sistem kalender Islam yang didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi (lunar calender). Sistem penanggalan lainnya yaitu sistem penanggalan Masehi, didasarkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari.