Tulisan Berjalan

SUKSES KOMUNITAS MAJU JOS, AKHIRNYA BIMBINGAN DIGITAL MARKETING SECARA GRATIS TANPA BATAS TELAH MEMBERI MANFAAT BESAR

Jumat, 18 Mei 2012

Poskan judulProf. Tejasen masuk Islam setelah membaca artikel tentang kebenaran Al-Quran pada kulit



(Arrahmah.com) - Dr. Tagata Tejasen mengucapkan Laa Ilaaha IllAllah Muhammad Rasul Allah! 
Dia menyatakan kesaksiannya (syahadah) dan menyatakan bahwa dia menjadi seorang Muslim. Hal ini terjadi pada waktu Konferensi Kedokteran Saudi Ke-8 yang diselenggarakan di Riyadh. Dia adalah Profesor Tejatat Tejasen, Ketua Departemen Anatomi di Universitas Chiang Mai, Thailand. Sebelumnya, dia adalah Dekan Fakultas Obat pada universitas yang sama.
Kami tunjukkan kepada Profesor Tejasen beberapa ayat Al-Quran dan Hadits yang berhubungan dengan kekhususannya dalam bidang anatomi. Dia berkomentar bahwa mereka juga mempunyai (yang serupa) dalam kitab Budha mereka penjelasan yang sangat akurat tentang tahap-tahap perkembangan embrio. Kami memberitahu dia bahwa kami sangat tertarik sekali dan ingin melihat deskripsi-deskripsi (dalam kitab Budha, pent.) tersebut dan mempelajari kitab-kitab itu. Setahun kemudian, Profesor Tejasen datang ke Universitas King Abdul Aziz sebagai pemeriksa luar. Kami mengingatkan dia tentang pernyataan yang dibuatnya setahun yang lalu, akan tetapi dia minta maaf dan mengatakan bahwa sebenarnya dia mengatakan pernyataan tersebut tanpa mempelajari terlebih dahulu permasalahan yang sebenarnya. Akan tetapi, ketika dia memeriksa Kitab-Kitab Budha, tidak juga ditemukan referensi yang berhubungan dengan masalah yang dijadikan bahan penelitian.
Kemudian, kami menunjukkan kepadanya sebuah ceramah yang ditulis oleh Profesor Keith Moore tentang kecocokan antara embriologi modern dengan apa yang ada di dalam Al-Quran dan Sunnah dan kami menanyakan Profesor Tejasen apakah dia mengenal Profesor Keith Moore. Dia menjawab bahwa tentu saja dia mengenalnya, dengan menambahkan bahwa Profesor Moore adalah salah seorang saintis yang terkemuka di bidangnya.

Ketika Profesor Tejasen mempelajari artikel ini, dia juga sangat tercengang. Kami menanyakan kepadanya beberapa pertanyaan di bidang spesialisasinya. Salah satu pertanyaan yang berkenaan dengan penemuan modern dalam ilmu tentang kulit (dermatology) tentang karakteristik (sifat-sifat) kulit dalam menerima sensor. Dr. Tejasen merespon: Ya, jika terbakarnya dalam.
Telah dinyatakan kepada Dr. Tejasen, Anda akan tertarik untuk mengetahui apa yang ada dalam buku ini, Buku yang Suci - Al-Quran, telah ada referensinya 1400 tahun yang lalu berkenaan dengan saat penghukuman kepada orang-orang yang tidak percaya dengan api neraka dan dinyatakan bahwa ketika kulit mereka dihancurkan, Allah membuat kulit yang lain lagi untuk mereka agar mereka merasakan hukuman dari api neraka itu lagi, mengindikasikan pengetahuan tentang '?? akhir urat syaraf??' (nerve ending) di dalam kulit, dan ayat tersebut adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS An-Nisaa' (4) :56).
Kami bertanya: Apakah Anda setuju bahwa ini adalah salah satu referensi akan pentingnya ??'akhir urat saraf' (nerve endings)?? pada sensasi kulit, 1440 tahun yang lalu? Dr. Tejasen merespon: Ya, saya setuju.
Pengetahuan tentang sensasi kulit ini telah diketahui jauh hari sebelumnya (dalam Al-Quran, pent.), karena dikatakan bahwa jika seseorang melakukan suatu kesalahan, maka dia akan dihukum dengan cara membakar kulitnya dan kemudian Allah akan menggantikan kulit yang baru lagi, dan menutupinya, untuk membuat dia mengetahui lagi bahwa siksaan itu sangat pedih. Hal ini berarti bahwa mereka telah mengetahui beberapa tahun yang lalu bahwa penerima sensasi sakit pasti ada di kulit, maka mereka meletakkan sebuah kulit bari lagi di atasnya.
Kulit (Lihat Gambar) adalah pusat kepekaan rasa panas. Maka, jika kulit telah terbakar api seluruhnya, maka akan lenyaplah kepekaannya. Karena itulah maka Allah akan menghukum orang-orang yang tidak percaya akan Hari Pembalasan dengan mengembalikan kulit mereka waktu demi waktu, sebagaimana Dia, Yang Maha Mulia lagi Maha Agung, berfirman dalam Al-Quran:
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS An-Nisaa' (4) :56).
Kami menanyakan dia pertanyaan berikut: 'Mungkinkah ayat ini datang kepada Nabi Muhammad SAW dari sumber manusia?' Profesor Tejasen memberikan pengakuan bahwa hal ini tidak mungkin datang dari sumber manusia. Akan tetapi dia masih menanyakan tentang sumber pengetahuan tersebut dan kemungkinan tentang dari mana Muhammad SAW menerimanya.
Kemudian dia menanyakan: 'Akan tetapi siapakah Allah ?'
Kami menjawab: 'Dialah Sang Pencipta semua yang ada.' Jika Anda menemukan kebijaksanaan, maka hal itu karena dia datang dari Yang Maha Bijaksana. Jika Anda menemukan pengetahuan dalam pembuatan alam semesta ini, hal itu karena alam semesta ini adalah ciptaan dari Dia yang memiliki segala pengetahuan. Jika Anda menemukan kesempurnaan dalam susunan dari ciptaan-ciptaan ini, maka itulah bukti bahwa itu adalah ciptaan dari Dia yang mengetahui segala kebaikan, dan Jika Anda menemukan kemurahan hati, maka hal ini memperlihatkan bukti pada fakta bahwa ini adalah ciptaan dari Dia Yang Maha Pemurah. Sama halnya jika Anda memahami ciptaan sebagai sesuatu yang tersusun secara utuh dan terkait satu sama lain dengan kuat, maka itulah bukti bahwa itu adalah ciptaan dari Sang Pencipta, Yang Maha Agung dan Maha Mulia.
Profesor Tejasen menyetujui apa yang kami katakan padanya. Dia kembali ke negaranya di mana dia membawakan beberapa kuliah tentang pengetahuan dan penemuan barunya. Kami diberitahu bahwa lima dari murid dia berpindah ke Islam sebagai hasil dari kuliahnya. Kemudian, pada Konferensi Kedokteran Saudi ke-8 yang diselenggarakan di Riyadh, Profesor Tejasen mengikuti serangkaian ceramah pada tanda-tanda yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah yang berhubungan dengan pengetahuan Medikal.
Profesor Tejasen menghabiskan empat hari dengan beberapa sarjana, Muslim dan non-Muslim, membicarakan tentang fenomena yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah ini. Pada akhir acara, Profesor Tejasen berdiri dan mengatakan:
Pada tiga tahun terakhir saya sangat tertarik dengan Al-Quran, yang dihadiahkan oleh Syaikh Abdul-Majiid Az-Zindani. Tahun lalu, saya mendapatkan skripsi terakhir dari Profesor Keith Moore dari Syaikh. Dia meminta saya untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Thailand dan mengadakan beberapa ceramah kepada ummat Muslim di Thailand. Saya telah memenuhi permintaan dia. Anda bisa melihatnya pada video tape yang diberikan Syaikh sebagai hadiah. Dari penyelidikan saya dan dari apa yang telah saya pelajari selama konferensi ini, saya yakin bahwa segala yang terekam dalam Al-Quran 1400 tahun yang lalu pastilah suatu kebenaran, hal ini bisa dibuktikan dengan ilmu sains. Karena Nabi Muhammad SAW tidak bisa membaca dan menulis, Muhammad SAW pastilah seorang utusan yang telah menyampaikan kebenaran ini yang telah diwahyukan kepadanya sebagai cahaya dari Dia Yang Maha Pencipta. Pencipta ini pastilah Allah, atau Tuhan. Oleh karena itu, saya fikir inilah saat yang tepat untuk mengucapkan 'Laa ilaaha ilaallaah', bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah, 'Muhammadar rasuulullaah', bahwa Muhammad adalah utusan Allah...
Saya tidak hanya telah mempelajari dari pengetahuan sains di konferensi ini, akan tetapi juga memperoleh kesempatan besar untuk menemui banyak ilmuwan baru dan membuat persahabatan baru dari semua pengikut konferensi. Hal paling berharga yang saya peroleh dengan mendatangi konferensi ini adalah kalimat 'Laa ilaaha illallaah, Muhammadar rasuulullaah', dan menjadi seorang Muslim.
Kebenaran sungguh datang dari Allah yang telah berfirman dalam Al-Quran:
Dan orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (Quran Surat 34:6)
source: muslim-mualaf blog
originally published by 2010
(siraaj/arrahmah.com)

Kisah seorang pemuda dan bidadari bermata jeli



(Arrahmah.com) - Abdul Wahid bin Zaid berkata, “Ketika kami sedang duduk-duduk di majelis kami, aku pun sudah siap dengan pakaian perangku, karena ada komando untuk bersiap-siap sejak Senin pagi. Kemudian saja ada seorang laki-laki membaca ayat, (artinya) ‘Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin jiwa dan harta mereka dengan memberi Surga.’ (At-Taubah: 111). Aku menyambut, “Ya, kekasihku.”
Laki-laki itu berkata, “Aku bersaksi kepadamu wahai Abdul Wahid, sesungguhnya aku telah menjual jiwa dan hartaku dengan harapan aku memperoleh Surga.”
Aku menjawab, “Sesungguhnya ketajaman pedang itu melebihi segala-galanya. Dan engkau sajalah orang yang aku sukai, aku khawatir manakala engkau tidak mampu bersabar dan tidak mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.”
Laki-laki itu berkata, “Wahai Abdul Wahid, aku telah berjual beli kepada Allah dengan harapan mendapat Surga, mana mungkin jual beli yang aku persaksikan kepadamu itu akan melemah.” Dia berkata, “Nampaknya aku memprihatinkan kemampuan kami semua, …kalau orang kesayanganku saja mampu berbuat, apakah kami tidak?” Kemudian lelaki itu menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah kecuali seekor kuda, senjata dan sekedar bekal untuk perang. Ketika kami telah berada di medan perang dialah laki-laki pertama kali yang tiba di tempat tersebut. Dia berkata, “Assalamu ’alaika wahai Abdul Wahid,” Aku menjawab, “Wa’alaikumussalam warahmatullah wa barakatuh, alangkah beruntungnya perniagaan ini.”
Kemudian kami berangkat menuju medan perang, lelaki tersebut senantiasa berpuasa di siang hari dan qiyamullail pada malam harinya melayani kami dan menggembalakan hewan ternak kami serta menjaga kami ketika kami tidur, sampai kami tiba di wilayah Romawi.
Ketika kami sedang duduk-duduk pada suatu hari, tiba-tiba dia datang sambil berkata, “Betapa rindunya aku kepada bidadari bermata jeli.” Kawan-kawanku berkata, “Sepertinya laki-laki itu sudah mulai linglung.” Dia mendekati kami lalu berkata, “Wahai Abdul Wahid, aku sudah tidak sabar lagi, aku sangat rindu pada bidadari bermata jeli.” Aku bertanya, “Wahai saudaraku, siapa yang kamu maksud dengan bidadari bermata jeli itu.” Laki-laki itu menjawab, “Ketika itu aku sedang tidur, tiba-tiba aku bermimpi ada seseorang datang menemuiku, dia berkata, ‘Pergilah kamu menemui bidadari bermata jeli.’ Seseorang dalam mimpiku itu mendorongku untuk menuju sebuah taman di pinggir sebuah sungai yang berair jernih. Di taman itu ada beberapa pelayan cantik memakai perhiasan sangat indah sampai-sampai aku tidak mampu mengungkapkan keindahannya.
Ketika para pelayan cantik itu melihatku, mereka memberi kabar gembira sambil berkata, ‘Demi Allah, suami bidadari ber-mata jeli itu telah tiba.’ Kemudian aku berkata, ‘Assalamu ‘alaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Pelayan cantik itu menjawab, ‘Tidak, kami sekedar pelayan dan pembantu bidadari bermata jeli. Silahkan terus!’
Aku pun meneruskan maju mengikuti perintahnya, aku tiba di sebuah sungai yang mengalir air susu, tidak berubah warna dan rasanya, berada di sebuah taman dengan berbagai perhiasan. Di dalamnya juga terdapat pelayan bidadari cantik dengan mengenakan berbagai perhiasan. Begitu aku melihat mereka aku terpesona. Ketika mereka melihatku mereka memberi kabar gembira dan berkata kepadaku, ‘Demi Allah telah datang suami bidadari bermata jeli.’ Aku bertanya, ‘Assalamualaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Mereka menjawab, Waalaikassalam wahaiwaliyullah, kami ini sekedar budak dan pelayan bidadari bermata jeli, silahkan terus.’
Aku pun meneruskan maju, ternyata aku berada di sebuah sungai khamr berada di pinggir lembah, di sana terdapat bidadari-bidadari sangat cantik yang membuat aku lupa dengan kecantikan bidadari-bidadari yang telah aku lewati sebelumnya. Aku berkata, ‘Assalamu alaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Mereka menjawab, ‘Tidak, kami sekedar pembantu dan pelayan bidadari bermata jeli, silahkan maju ke depan.’
Aku berjalan maju, aku tiba di sebuah sungai yang mengalirkan madu asli di sebuah taman dengan bidadari-bidadari sangat cantik berkilauan wajahnya dan sangat jelita, membuat aku lupa dengan kecantikan para bidadari sebelumnya. Aku bertanya, ‘Assalamu alaikunna, apakah di antara kalian ada bidadari bermata jeli?’ Mereka menjawab, ‘Wahai waliyurrahman, kami ini pembantu dan pelayan bidadari jelita, silahkan maju lagi.’
Aku berjalan maju mengikuti perintahnya, aku tiba di se-buah tenda terbuat dari mutiara yang dilubangi, di depan tenda terdapat seorang bidadari cantik dengan memakai pakaian dan perhiasan yang aku sendiri tidak mampu mengungkapka keindahannya. Begitu bidadari itu melihatku dia memberi kabar gembira kepadaku dan memanggil dari arah tenda, ‘Wahai bidadari bermata jeli, suamimu datang!’
Kemudian aku mendekati kemah tersebut lalu masuk. Aku mendapati bidadari itu duduk di atas ranjang yang terbuat dari emas, bertahta intan dan berlian. Begitu aku melihatnya aku terpesona sementara itu dia menyambutku dengan berkata, ‘Selamat datang waliyurrahman, telah hampir tiba waktu kita bertemu.’ Aku pun maju untuk memeluknya, tiba-tiba ia berkata, ‘Sebentar, belum saatnya engkau memelukku karena dalam tubuhmu masih ada ruh kehidupan. Tenanglah, engkau akan berbuka puasa bersamaku di kediamanku, insya Allah. ‘
Seketika itu aku bangun dari tidurku wahai Abdul Wahid. Kini aku sudah tidak bersabar lagi, ingin bertemu dengan bida-dari bermata jeli itu.”
Abdul Wahid menuturkan, “Belum lagi pembicaraan kami (cerita tentang mimpi) selesai, kami mendengar pasukan musuh telah mulai menyerang kami, maka kami pun bergegas meng-angkat senjata begitu juga lelaki itu.
Setelah peperangan berakhir, kami menghitung jumlah para korban, kami menemukan 9 orang musuh tewas dibunuh oleh lelaki itu, dan ia adalah orang ke sepuluh yang terbunuh. Ketika aku melintas di dekat jenazahnya aku lihat, tubuhnya berlu-muran darah sementara bibirnya tersenyum yang mengantarkan pada akhir hidupnya.”
Sumber: 99 Kisah Orang Shalih, Penerbit Darul Haq
(Muslimahzone.com)

Misteri doa mustajab di hari Jum’at


Misteri doa mustajab di hari Jum’at

Muhib Al-Majdi
Jum'at, 4 Mei 2012 09:26:11
(Arrahmah.com) – Allah SWT melebihkan hari Jum’at dari hari-hari lainnya dalam sepekan dengan banyak keutamaan. Di antaranya pada hari Jum’at terdapat suatu waktu yang doa seorang muslim pada waktu tersebut dikabulkan oleh Allah SWT, selama memenuhi syarat-syarat dan adab-adab berdoa.
Keutamaan terkabulnya doa pada waktu mustajab tersebut disebutkan dalam beberapa hadits. Di antaranya,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ قَالَ: «إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً، لَا يُوَافِقُهَا مُسْلِمٌ، يَسْأَلُ اللهَ فِيهَا خَيْرًا، إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ»، قَالَ: وَهِيَ سَاعَةٌ خَفِيفَةٌ.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, “Sesungguhnya pada hari Jum’at terdapat suatu jam (waktu) tertentu, tidaklah seorang muslim mendapati waktu tersebut dan berdoa kepada Allah memohon kebaikan, melainkan Allah akan memenuhi permohonannya.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lalu bersabda, “Waktu tersebut hanya sebentar.” (HR. Bukhari no. 6400 dan Muslim no. 852, dengan lafal Muslim)
Di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai kapan waktu mustajab tersebut. Sebagian ulama menyatakan sejak bakda Shubuh. Sebagian lain menyatakan sejak khatib naik mimbar sampai waktu dilaksanakan shalat Jum’at. Sebagian lain menyatakan waktu khatib duduk sebentar di antara dua khutbah. Dan sejumlah pendapat lainnya.
Pendapat yang paling kuat menyatakan waktu tersebut adalah satu jam terakhir di sore hari, yaitu satu jam sebelum matahari terbenam pertanda waktu shalat maghrib telah masuk. Hal ini berdasarkan sejumlah hadits shahih berikut,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَامٍ، قَالَ: قُلْتُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ: إِنَّا لَنَجِدُ فِي كِتَابِ اللَّهِ: «فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ سَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُؤْمِنٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ فِيهَا شَيْئًا إِلَّا قَضَى لَهُ حَاجَتَهُ» . قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: فَأَشَارَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَوْ بَعْضُ سَاعَةٍ» ، فَقُلْتُ: صَدَقْتَ، أَوْ بَعْضُ سَاعَةٍ. قُلْتُ: أَيُّ سَاعَةٍ هِيَ؟ قَالَ: «هِيَ آخِرُ سَاعَاتِ النَّهَارِ» . قُلْتُ: إِنَّهَا لَيْسَتْ سَاعَةَ صَلَاةٍ، قَالَ: «بَلَى. إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا صَلَّى ثُمَّ جَلَسَ، لَا يَحْبِسُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ، فَهُوَ فِي الصَّلَاةِ»
Dari Abdullah bin Salam Radhiyallahu ‘Anhu berkata, “Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sedang duduk, maka saya mengatakan, “Sesungguhnya kami (kaum Yahudi, sebelum ia masuk Islam, pent) mendapati dalam kitab Allah (Taurat, pent) bahwa pada hari Jum’at terdapat suatu jam (waktu) tertentu, tidaklah seorang mukmin mendapati waktu tersebut saat ia melaksanakan shalat dan berdoa kepada Allah memohon suatu keperluan, melainkan Allah akan memenuhi keperluannya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memberi isyarat kepadaku (Abdullah bin Salam) lalu bersabda, “Atau sebagian waktu (tidak satu jam penuh, pent).” Aku (Abdullah bin Salam) berkata: “Anda benar, memang sebagian waktu saja.” Abdullah bin Sallam lalu bertanya, “Waktu apakah ia?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Waktu (satu jam) terakhir dari waktu siang hari.” Abdullah bin Sallam berkata: “Tetapi waktu tersebut bukan waktu untuk shalat.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab, “Ia adalah waktu shalat. Sebab, jika seorang mukmin menunaikan shalat (Ashar) kemudian duduk di tempatnya menunggu shalat berikutnya (Maghrib), maka sesungguhnya selama itu tengah mengerjakan shalat.” HR. Ibnu Majah no. 1139, Al-hafizh Al-Bushiri berkata: Sanadnya shahih dan para perawinya tsiqah)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: «يَوْمُ الْجُمُعَةِ ثِنْتَا عَشْرَةَ - يُرِيدُ - سَاعَةً، لَا يُوجَدُ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا، إِلَّا أَتَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ»
Dari Jabir bin Abdullah dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda, “Hari Jum’at terdiri dari dua belas jam. Tidak ada seorang muslim pun yang memohon sesuatu kepada Allah (pada suatu jam tertentu), melainkan Allah akan mengabulkannya. Maka carilah jam terkabulnya doa tersebut pada satu jam terakhir setelah shalat Ashar!” (HR. Abu Daud no. 1048 dan An-Nasai no. 1389, sanadnya baik, dinyatakan shahih oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi, An-Nawawi, dan Al-Albani, dan dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar al-Aasqalani)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: التَمِسُوا السَّاعَةَ الَّتِي تُرْجَى فِي يَوْمِ الجُمُعَةِ بَعْدَ العَصْرِ إِلَى غَيْبُوبَةِ الشَّمْسِ.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Carilah satu jam yang diharapkan pada hari Jum’at pada waktu setelah shalat Ashar sampai waktu terbenamnya matahari!” (HR. Tirmidzi no. 489, di dalamnya terdapat seorang perawi yang lemah bernama Muhammad bin Abi Humaid az-Zuraqi. Namun hadits ini diriwayatkan dari jalur lain oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Awsath dan dikuatkan oleh hadits Jabir bin Abdullah dan Abdullah bin Salam di atas)
Imam Sa’id bin Manshur meriwayatkan sebuah riwayat sampai kepada Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa sekelompok sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumpul dan saling berdiskusi tentang satu jam terkabulnya doa pada hari Jum’at. Mereka kemudian bubar dan tiada seorang pun di antara mereka yang berbeda pendapat bahwa satu jam tersebut adalah satu jam terakhir pada hari Jum’at.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari menyatakan riwayat imam Sa’id bin Manshur ini shahih. Beliau lalu berkata, “Pendapat ini juga dianggap paling kuat oleh banyak ulama seperti imam Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rahawaih, dan dari kalangan madzhab Maliki adalah imam ath-Tharthusyi. Imam Al-‘Allai menceritakan bahwa gurunya, imam Ibnu Zamlikani yang merupakan pemimpin ulama madzhab Syafi’i pada zamannya memilih pendapat ini dan menyatakannya sebagai pendapat tegas imam Syafi’i.”
Wallahu a’lam bish-shawab.
(muhib almajdi/arrahmah.com)

Syukur Bertambah, Nikmat Melimpah


Written by  | Noember 8, 2011 | 

Ibnu Abbas meriwayatkan, bahwa suatu kali hujan turun di zaman Nabi shallallahu alaihi wasallam. Lalu Nabi bersabda, ”Pagi ini, di antara manusia ada yang bersyukur, namun ada juga sebagian yang kufur. Mereka (yang bersyukur) berkata, ”Hujan ini adalah rahmat dari Allah.” Namun sebagian lagi (yang kufur) berkata, ”Memang benar (hujan turun karena) bintang ini dan bintang itu.” (HR Muslim)
Ada yang Syukur dan Ada yang Kufur
Meski kasus di atas terkait dengan hujan, namun kaidah ini berlaku untuk segela jenis nikmat yang Allah turunkan. Untuk setiap karunia yang Allah berikan, selalu menjadi ujian untuk memisahkan dua golongan, golongan orang yang bersyukur, dan golongan orang yang kufur.
Dikatakan kufur atas nikmat Allah, karena mereka mengalamatkan asal nikmat dan rejeki yang disandangnya kepada selain Allah. Bahwa rejeki datang karena kerja kerasnya, harta berlimpah karena kepiawaian dalam bisnisnya, atau karena semata-mata kondisi ekonomi sedang bagus-bagusnya. Apalagi jika mengalamatkan rejeki diperoleh berkat jimat, pertolongan leluhur, mendatangi dukun atau sesaji yang dilakukannya.
Sebagian lagi yang kurang, atau bahkan tidak bersyukur, mereka tidak peka atas nikmat yang tertuju kepadanya. Mereka tidak menyadari tiap nikmat yang melekat pada dirinya. Karena fokus pikirannya hanya tertuju pada apa-apa yang belum dimiliki.
Mereka  baru sadar, ketika nikmat itu dicabut atau hilang dari genggaman. Inilah karakter kebanyakan manusia sebagaimana yang difirmankan Allah,
”Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Rabbnya” (QS al-’Adiyaat 6)
Imam Hasan al-Bashri  rahimahullah menyebutkan bahwa maksud ’lakanuud’ (sangat ingkar) adalah yang suka mengingat musibah, namun melupakan nikmat.” Saat musibah datang, atau ada sesuatu yang hilang darinya, maka seakan ia tak pernah memiliki apa-apa selain yang hilang itu. Maka bagaimana Allah akan memberikan nikmat tambahan jika mereka hanya memandang nikmat dengan sebelah mata? Bagaimana pula mereka akan bahagia jika mereka tak mampu mendeteksi segala nikmat yang disandangya? Begitulah siksa bagi orang yang kufur atas nikmat Allah di dunia, sebelum nantinya merasakan pedihnya siksa di akhirat.
Ikat Nikmat dengan Syukur
Berbanding terbalik dengan kufur nikmat. Begitu indahnya nikmat saat direspon dengan syukur. Sungguh kesyukuran itu bahkan lebih berharga nilainya dari nikmat yang disyukuri. Karena ia akan melahirkan banyak sekali buah dan faedah yang akan dirasakan nikmatnya dalam segala sisi, baik di dunia maupun di akhirat. Tidaklah mengherankan, jika target setan menggoda manusia dari segala arah adalah untuk menjauhkan manusia dari kesyukuran, Iblis berjanji,
”Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS al-A’raf 17)
Setan tidak ingin manusia mendapatkan faedah melimpah karena bersyukur. Karena orang yang bersyukur tak hanya terhindar dari siksa akhirat, tapi juga bisa mengenyam selaksa kebahagiaan di dunia.
Kebahagiaan akan terpancar di hati orang yang bersyukur. Tiada orang yang lebih berbahagia dan lebih optimis dari orang yang bersyukur. Syeikh Abdurrahman as-Sa’di menggambarkan kondisi hati orang yang bersyukur, “Orang yang bersyukur adalah orang yang paling bersih jiwanya, paling lapang dadanya, dan paling bahagia hatinya. Karena hati dipenuhi oleh pujian terhadap-Nya, merasakan hadirnya setiap nikmat-nikmat dari-Nya, dia pun bahagia lantaran bisa menikmati karunia dari-Nya. Lisannya senantiasa basah dengan ungkapan syukur dan dzikir kepada-Nya. Dan semua ini merupakan pondasi terwujudnya kehidupan yang baik, inti dari kenikmatan jiwa, dan rahasia diperolehnya segala kelezatan dan kegembiraan. Ketika hati menyadari dan mendeteksi hadirnya tambahan nikmat, maka harapan terhadap karunia Allah pun semakin bertambah dan menguat.”
Tatkala seorang hamba merasa senang, mengakui nikmat dari Allah dan mensyukurinya, maka Allah tak ingin mencabut nikmat itu darinya. Benarlah ungkapan para ulama bahwa asy-syukru qayyidun ni’am, syukur adalah pengikat nikmat. Dengannya, nikmat-nikmat yang tersandang menjadi langgeng dan lestari. Dan tak ada cara yang paling kuat untuk mempertahankan nikmat selain dari syukur.
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Allah menurunkan nikmat atas hamba-Nya sesuai kehendak-Nya. Jika ia tidak mensyukurinya, maka nikmat akan diganti dengan musibah. Karena itulah, syukur juga disebut dengan al-haafizh (penjaga), karena ia bisa menjaga nikmat yang telah ada. Syukur disebut juga dengan al-jaalib (yang mendatangkan), karena ia bisa mendatangkan nikmat yang belum di depan mata.”
Syukur bertambah, Nikmat Melimpah
Nikmat itu hadir karena syukur. Lalu syukur itu akan mengundang hadirnya tambahan nikmat. Tambahan nikmat akan terus diturunkan kepada seorang hamba, dan tidak akan berhenti hingga hamba itu sendiri yang menghentikan syukurnya kepada Allah. Begitulah kesimpulan cerdas dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Sesuai dengan kadar syukur seseorang, sebanyak itu pula tambahan nikmat akan tercurah kepadanya. Tatkala menafsirkan firman Allah,
“dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS Ali Imran 145)
Ibnu Katsier rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah Kami akan menurunkan karunia dan rahmat Kami di dunia dan di akhirat sesuai dengan kadar syukur dan amal perbuatannya.” Mereka akan mendapatkan karunia tersebut, dan tak akan terkurangi sedikitpun. Ketika seorang mukmin bersyukur dengan menjalankan ketaatan, maka Allah akan memberikan balasan kepadanya sesuai dengan kadar syukurnya. Hal ini dikuatkan dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,
Sesungguhnya Allah tidak akan menzhalimi atas satu kebaikan seorang mukmin, Allah akan memberikan imbalan di dunia, dan memberinya pahala di akhirat.” (HR Muslim)
Namun hal ini tidak berarti bahwa setiap orang yang diberi kemudahan dalam memperoleh harta, atau rejeki datang silih berganti itu selalu diartikan sebagai tambahan karunia. Ada kalanya kemudahan melimpah itu sebagai istidraj, Allah hendak membiarkan mereka bersenang-senang sementara hingga nantinya akan disiksa secara tiba-tiba. Maka hendaknya seorang mukmin segera mawas diri, apakah dia sedang berada dalam taat, ataukah maksiat, sehingga bisa dibedakan, apakah kenikmatan itu berupa karunia atukah istidraj.  Nabi saw bersabda,
”Jika kamu mendapatkan Allah memberikan kemudahan dunia kepada seorang hamba sementara ia bergelimang dengan maksiat sesukanya, maka itu hanyalah istidraj.” (HR Ahmad)
Untuk merealisasikan syukur yang dengannya akan mengundang tambahan karunia, hendaknya kita senantiasa mengingat, merenungi dan mencari-cari kenikmatan yang sudah kita miliki. Dengan cara seperti itu, kita pun akan merasakan nikmatnya karunia, untuk kemudian bersyukur kepada Dzat yang telah memberikan karunia.
Inilah yang sering dilakukan oleh para ulama. Seperti Fudhail bin Iyadh dan Sufyan bin Uyainah, keduanya duduk bersama di malam hari untuk saling mengingatkan nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada keduanya. Sufyan mengatakan, ”Allah telah menganugerahkan kepada kita ini dan itu, Dia telah menolong kita tatkala ini dan itu..” Begitupun halnya dengan Fudhail.
Maka barangsiapa yang ingin diberi tamhahan nikmat, baik dalam hal ilmu, harta, keharmonisan rumah tangga dan segala kemaslahatan yang lain, maka hendaknya mengingat nikmat, lalu mensyukuri dengan lisan dan menggunakan nikmat untuk ketaatan. Karena Allah tidak pernah ingkar janji dengan firman-Nya,
Dan (ingatlah juga), takala Rabbmu mema’lumkan:”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS al-Maidah 7)
Sebagaimana Allah juga tidak akan mengingkari janji-Nya,
“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman?” (QS an-Nisa’ 147)
Qatadah mengatakan, “yakni Allah tidak akan menyiksa orang yang bersyukur dan beriman.” Allahumma a’inna ‘alaa dzikri-Ka wa syukri-Ka wa husni ‘ibaadati-Ka, ya Allah bantulah kami untuk senantiasa berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu dan memperbagus ibadahku kepada-Mu. Amiin. (Abu Umar Abdillah)